Dua Izin Penyelenggara Telekomunikasi Bakrie Telecom Dicabut, Bagaimana Perusahaan Bertahan?

Selama tahun 2016 ini, Kemenkominfo telah resmi menerbitkan delapan surat keputusan pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi. Salah satu yang terdampak adalah izin penyelenggaraan jaringan Fixed Wireless Access (FWA) dan Sambungan Langsung Internasional (SLI) milik PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Pencabutan izin tersebut dilayangkan pada bulan Oktober ini, untuk FWA pada 10 Oktober, sedangkan SLI di 17 Oktober lalu.

Kemenkominfo menerbitkan surat pencabutan tersebut didasari oleh rekomendasi Direktorat Pengendalian Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika dan/atau Permohonan Pengembalian Izin Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dari Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. Selain BTEL, beberapa penyedia layanan telekomunikasi lain turut terdampak, beberapa di antaranya Asia Cellular Satellite, Global Telecom Utama dan sebagainya.

Pencabutan dua izin tersebut tentu membuat perusahaan telekomunikasi berkode saham BTEL ini makin sulit untuk bersaing di era 4G/LTE ini dengan para pemain besar lain. Keterpurukan BTEL sebenarnya sudah mencoba disiasati sejak bulan April lalu. Menggaungkan taglineAwal Transformasi“, keputusan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) menyetujui pengangkatan dua direktur baru.

Bersama dua direktur barunya Mark Robson dan Andi Pravidia, BTEL berniat untuk mengejar ketertinggalan di pasar Triple Play (Internet, Telepon dan TV) yang sedang menjadi tren di Indonesia. Namun langkah awal tersebut sebenarnya dimulai dengan cukup berat, karena kala itu perusahaan dikabarkan tengah memiliki hutang hingga Rp 7,6 triliun. Sehingga hasil RUPSLB turut menyepakati untuk melakukan reformasi struktur permodalan dengan penerbitan saham baru.

MVNO dioptimalkan sebagai penggerak bisnis BTEL

Seperti diketahui BTEL telah mengubah dirinya dari penyelenggara jaringan seluler menjadi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) 4G/LTE melalui jaringan Smartfren dan kapabilitas aplikasi EsiaTalk. Pendekatan yang sedikit berbeda juga terus digencarkan untuk memaksimalkan pengguna jaringan 4G/LTE yang dimilikinya. Salah satunya dengan menyediakan berbagai varian modem dan ponsel yang 4G/LTE-ready.

Dicabutnya izin sebenarnya dilakukan pada jaringan tetap lokal mobilitas terbatas dan jaringan tetap sambungan internasional. Artinya dengan izin sebagai Internet Services Provider (ISP), BTEL harusnya masih bisa melanjutkan cita-citanya untuk menjadi penyelenggara Triple Play. MVNO dan jaringan fiber optik miliknya diyakini menjadi modal besar untuk sukses Triple Play BTEL.

Konektivitas portabel sebagai ujung tombak layanan Smartfren

Konsolidasinya dengan Smartfren dalam penggabungan usaha telah diambil sejak tahun 2014 lalu. Pada akhirnya saat ini brand Smartfren yang paling digenjot, khususnya untuk perangkat modem. Minatnya pun tak sedikit, dan kalau dilihat apa yang ingin dibentuk memang mengarah ke perangkat konektivitas portabel. Ini pun yang mungkin bisa digencarkan untuk visi Triple Play miliknya.

Umumnya pesaing di Triple Play, sebut saja IndiHome, MyRepublik dan FirstMedia menggunakan konektivitas berbasis kabel untuk masuk ke pelanggan. Bisa dikatakan belum ada yang memberikan porsi serius jika penggunaan Triple Play berada di perangkat portabel, konektivitasnya. Sangat memungkinkan dengan kekuatan Smartfren yang ada saat ini, namun hal tersebut dikembalikan kepada strategi bisnis perusahaan.

Sedikit demi sedikit layanan BTEL menyusut. Cara untuk segera menguatkan bisnis harus dipikirkan matang. Masih ada harapan untuk bisa berjaya di era internet ini, dengan izin ISP yang dimiliki. Namun jika tidak ada inovasi, maka BTEL cukup menunggu waktu saja untuk kian tertinggal jauh dengan para pesaingnya yang sudah mulai gencar melakukan pendekatan lain, yakni berbasis konten (contohnya dengan kerja sama dengan OTT dan layanan streaming premium).

Bakrie Telecom Segera Masuki Bisnis Triple Play

Salah satu keputusan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) yang digelar hari ini menyetujui pengangkatan direktur baru perusahaan yakni Mark Robson dan Andi Pravidia. Di bawah kepemimpinan Mark dan Andi, BTEL juga berkomitmen untuk turut meramaikan pasar Triple Play (Internet, Telepon, dan TV) di Indonesia. Setelah sebelumnya perusahaan juga dikabarkan tengah mengalami kesulitan finansial (memiliki hutang Rp 7,6 triliun), RUPSLB menyepakati untuk memperbaiki struktur permodalan dengan menerbitkan saham baru.

Ini sudah kali sekian BTEL mencoba bertransformasi. Sebelumnya BTEL juga telah mengubah dirinya dari penyelenggara jaringan seluler menjadi penyedia layanan Mobile Virtual Network Operator (MVNO) 4G LTE melalui jaringan Smartfren dan aplikasi EsiaTalk. Transformasi menjadi penyedia layanan Triple Pay dinilai manajemen perusahaan sebagai salah satu langkah ekspansi yang akan memperkuat pilar pengembangan bisnis digital Bakrie Telecom.

Wakil Direktur Utama dan CEO BTEL Taufan E. Rotorasiko mengungkapkan:

“Kami melihat ada kebutuhan besar dalam menyinergikan telekomunikasi, internet dan media. Karenanya dengan lisensi MVNO, jaringan FO (Fiber Optic) yang lebih dari 100.000 homepass yang dimiliki BTEL, kemampuan & pengalaman bertransformasi, serta adanya bisnis aplikasi dengan EsiaTalk yg semakin berkembang, beserta potensi LTE ke depan kami merencanakan untuk turut memberikan sumbangsih kepada kemajuan bangsa dengan melalui solusi Triple Play.”

Di awal, BTEL segera memberdayakan lebih dari 100.000 homepass yang telah tersebar sebagai basis layanan Triple Play. Guna mendukung langkah ini pengembangan aplikasi (seperti EsiaTalk) akan segera disesuaikan. Dalam beberapa bulan belakang sebenarnya BTEL juga sudah melakukan soft-launching, dan mengklaim sudah mendapatkan lebih dari 3.000 pelanggan.

“Kami ingin bekerja sama dengan berbagai perusahaan penyedia layanan teknologi, telekomunikasi, dan media dalam memberikan nilai lebih kepada pelanggan, pemegang saham, karyawan, para mitra serta seluruh stakeholder BTEL. Dengan bergabungnya Mark Robson yang sudah berkecimpung lama dalam bisnis Triple Play di mancanegara, serta Andi Pravidia di tim manajemen, kami meyakini visi kami tersebut bisa tercapai,” ujar Taufan.

Sebelumnya, mengawali tahun fiskal 2016, berdasarkan Keterbukaan Informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), BTEL mencatat kerugian sebesar Rp 3,659 triliun hingga kuartal ketiga 2015m melesat dari  periode yang sama tahun lalu dengan kerugian Rp 2,292 triliun.  Pemicu utama dari kerugian pemilik merek dagang Esia ini adalah beban perusahaan serta rugi selisih kurs, ditambah dengan anjloknya pendapatan. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah PHK karyawan untuk perseroan.

Smartfren Targetkan Rencana Konsolidasi Jaringan Dengan Bakrie Telecom Rampung Akhir Tahun

Smartfren Telecom (Smartfren)  dan Bakrie Telecom (BTEL) terus maksimalkan target rencana konsolidasi jaringan dalam rangka memaksimalkan frekuensi alokasi frekuensi 850 MHz yang dimiliki keduanya. Target yang rencananya akan terealisasi pada akhir tahun ini dikabarkan tidak akan terganggu soal isu terkait utang BTEL yang mencapai angka puluhan triliun. Pihak Smartfren sendiri meyakini kongsi bisnisnya dengan BTEL akan bisa beres tanpa perlu menunggu mediasi dari pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika. Continue reading Smartfren Targetkan Rencana Konsolidasi Jaringan Dengan Bakrie Telecom Rampung Akhir Tahun

Bakrie Telecom Mulai Bergerak di Level Korporasi

Kalau diperhatikan, di sepanjang tahun 2012 kemarin nyaris tak ada terobosan atau gebrakan yang dilakukan oleh Bakrie Telecom (BTEL). Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, operator CDMA dengan merek Esia ini seperti tenggelam di tengah kompetisi selular yang ketat. Disinyalir, salah satu musababnya adalah hengkangnya Erik Meijer yang kini bergabung di Indosat. Di tahun 2013 ini, perusahaan milik grup Bakrie tersebut berusaha untuk bangkit dengan strategi baru.

Continue reading Bakrie Telecom Mulai Bergerak di Level Korporasi

About the Synergy Between Bakrie Telecom and Sampoerna Telekomunikasi

Several days ago, Bakrie Telecom (BTEL) and Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) announced a collaboration in which STI would acquire 10% of BTEL shares (worth $90 million) and in return, BTEL receives 35% of STI shares which is currently owned by Sampoerna Strategic and Polaris with an option to be the largest shareholder of STI in the next 3 years. Business entity will be synergized under BTEL.

Michael Sampoerna as President Director of Sampoerna Strategic, owner of STI, cited by Kompas, stating that the reason for collaborating with BTEL is to increase its competitiveness in order to expand in the data communications infrastructure, which will become a trend in the future. In other words, rather than making a costly investment in this area (and Sampoerna is not sure that they would gain profit), it is better to go with other entity that is “more secure”.

Continue reading About the Synergy Between Bakrie Telecom and Sampoerna Telekomunikasi

Tentang Sinergi Bakrie Telecom dan Sampoerna Telekomunikasi

Kemarin, pihak Bakrie Telecom (BTEL) dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) mengumumkan kerjasama, di mana STI memperoleh 10% saham BTEL (senilai $90 juta) dan in return BTEL mendapatkan 35% saham STI yang saat ini dimiliki oleh Sampoerna Strategic dan Polaris dengan opsi menjadi pemegang saham mayoritas STI dalam 3 tahun ke depan. Badan usaha akan disinergikan di bawah entitas BTEL.

Michael Sampoerna selaku Presiden Direktur Sampoerna Strategic, pemilik STI, seperti dikutip oleh Kompas, menyebutkan alasan peleburan entitas STI ke dalam BTEL adalah meningkatkan daya saing yang dimilikinya untuk melakukan ekspansi di infrastruktur komunikasi data, yang bakal menjadi tren di masa mendatang. Dengan kata lain, ketimbang melakukan investasi mahal di area ini (dan Sampoerna belum yakin bakal untung), lebih baik ikut dengan perahu/entitas lain yang “lebih aman”.

Continue reading Tentang Sinergi Bakrie Telecom dan Sampoerna Telekomunikasi