Keuntungan Bare-Metal-as-a-Service sebagai Layanan Dedicated Server bagi Bisnis Startup

Dengan berkembangnya teknologi saat ini membuat banyak perusahaan memilih untuk memanfaatkan teknologi cepat dan efisien dalam mengembangkan sebuah bisnis. Salah satunya adalah dengan memilih penggunaan teknologicloud. Bahkan menurut data IDG Cloud Computing Survei 2020 sebanyak 69% perusahaan sudah bermigrasi ke teknologicloud. Dengan adanya migrasi ini juga bukan tanpa alasan semata, kemudahancloud serveruntuk menyimpan dan membagikan data melalui jaringan internet dan pihak ketiga menjadikan penggunaan teknologicloudsemakin tinggi. Tidak hanya perusahaan besar saja yang mengadopsi server ini, berbagai startup, industri medis hingga kesehatan, dan UKM lokal sudah mengadopsinya

Namun,clouddalam teknologi juga masih belum mampu membuat semua perusahaan meninggalkan server on Premise, ada banyak pilihan yang membuat perusahaan masih bertahan dengan server on Premise, terutama perusahaan yang memiliki sensitivitas data cukup tinggi seperti perbankan, memegang kendali penuh terhadap data perusahaan menjadi salah satu alasan server on Premise bertahan.

Sementara bisnis startup teknologi seperti Artificial Intelligence, Data Mining hingga layananfintechtentunya membutuhkan server dengan kapabilitas yang tinggi serta performa yang menjanjikan salah satunya melalui teknologi servercloud.Hanya saja seiring meningkatnya penggunaan kapasitas layanancloud serverjuga akan memakan biaya yang cenderung besar, bahkan bisa menjadi lebih mahal dari server on premise, selain itu lokasi datacenter danhardwareyang digunakan juga masih menjadi perdebatan apakah mampu memenuhi kebutuhan performa yang disebutkan di atas. Namun, hal ini juga tidak menutup bahwa semua sistem servercloudberlaku demikian, karena dengan melihattrendpengeluaran untuk servercloudyang diperkirakan akan naik $482 miliar pada tahun ini, menjadi sebuah tanda bahwa perusahaan penyedia servercloudsemakin berinovasi untuk memberikan layanan yang lebih unggul dari on Premise.

Bare Metal as Service (BMaaS) sebagai Pilihan Cloud Server dengan Kinerja Komputasi Tinggi Terdedikasi

Jika bisnis startup Anda bergerak di bidangfintech, healthcare, e-commerce, hosting,atau bisnis yang membutuhkan layanan komputasi dengan kinerja tinggi dengan jaminan performa tanpa berbagiresource,maka Anda perlu menggunakan layanan baremetal server ataubare-metal-as a-service(BmaaS).

Ini karena BmaaS adalah layanan server baremetal yang sangat bermanfaat bagi bisnis yang memilikiworkload besar, namun menginginkan jaminan performa komputasi terdedikasi yang memiliki kecepatan lebih baik daripada layanan virtual. Penggunaan BmaaS yang notabene menggunakan server fisik dengan karakteristiksingle tenantpengguna bisa bebas mengoptimalkan performanya tanpa perlu khawatir gangguan dari aktivitas pengguna lain (no noisy neighbor).

Dengan kelebihan tersebut, Anda otomatis bisa mengontrolresourceseperti CPU dan RAM dari server fisik yang akan digunakan. Selain itu Anda juga dapat dengan leluasa menggunakan OS pada Server tersebut atau membuat sendiri virtualisasi di dalamnya untuk dibagi guna memenuhi kebutuhan yang berbeda. Namun dengan segala keuntungan tersebut, kita menemui berbagai kendala. Misalnya, penyedia minim menyediakanhardware ready stock,pelanggan harus memesan beberapa bulan sebelumnya, hingga tak jarang yang tersedia hanyalahhardware tipe lama dan waktu tunggu hingga bisa digunakan cukup lama hingga berjam-jam lamanya.

Namun, Anda tak perlu khawatir karena Biznet Gio hadir melalui layanan NEO Metal yang merupakan Bare Metal as a Service server dengan GPU paling pertama di Indonesia untuk menjawab kendala-kendala tersebut. Layanan NEO Metal memungkinkanuseruntuk menyewahardware serverberbasiscloud dengan banyak pilihan sesuai kebutuhan. Neo Metal Didukung hardware HPE Proliant generasi terbaru dan SSD Enterprise, tersedia juga dengan berbagai pilihan sepertiprocessorAMD EPYC/Intel Xeon up to 128 Core Thread generasi terbaru, GPU NVIDIA dan RAM up to 128 GB.

Ditambahbenefitlainnya seperti fasilitas tersedia dimulti data center,gratis Inter-DC Link, dan gratis bandwidth tanpa kuota hingga 10 Gbps, spesifikasi tersebut akan menghasilkan performa yang mulus. Layanan NEO Metal menjanjikan provisioning yang sangat cepat yaitu hanya 5 menit. Dengan keunggulan tersebut, pengguna dapat menggunakan langsung server baremetal setelah melakukan pembayaran tanpa harus menunggu berjam-jam.

Kiat CTO Memilih dan Merencanakan Server untuk Layanannya

Teknologi bagi startup digital bisa dianalogikan sebagai fondasi pada sebuah bangunan. Fondasi berperan besar dalam membuat bangunan terebut berdiri kokoh. Demikian pula teknologi (tentu bentuknya beragam) dalam menumbuhkan bisnis startup. Sebut saja bagi startup yang memberikan pelayanan melalui sebuah website atau aplikasi, maka sistem server di baliknya – selain aplikasinya itu sendiri – harus memiliki kekuatan yang mumpuni dalam memberikan dukungan.

Hal ini juga berlaku untuk layanan yang memiliki intensitas penggunaan yang tinggi, seperti Tiket.com sebagai salah satu pemimpin bisnis Online Travel Agency (OTA) di Indonesia. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Co-Founder dan CTO Tiket.com Natali Ardianto memberikan beberapa tips terkait dengan perencanaan sistem server dan tindakan yang perlu dilakukan dalam disaster recovery. Layanan online Tiket.com sangat bergantung dengan keandalan server dalam menyuguhkan performa kepada pelanggan.

Pertimbangan startup dalam memilih server untuk layanannya

Menurut Natali, berdasarkan pengalamannya dalam mengelola teknologi sejenis, prioritas utama dalam memilih layanan hosting atau server adalah besaran pipa bandwidth. Kemudian pertimbangan yang kedua adalah kemudahan dalam scaling server. Dan yang ketiga baru tentang spesifikasi server. Pipa bandwidth menjadi unsur terpenting, karena bandwidth akan berujung pada kecepatan akses oleh pengguna.

Mengapa bukan kemampuan scaling server dulu? Natali mengatakan jika pun sistem dapat melakukan scaling dengan sangat cepat, namun jika pipa bandwidth yang disediakan kecil pengguna tidak dapat melakukan scaling trafik secara cepat. Dan Natali mengatakan bahwa tidak mudah dan murah untuk melakukan scaling network.

Scaling server sangat tergantung pada kemampuan hosting dalam mengelola skalabilitas sistemnya, entah itu virtualisasi atau SOP (Standard Operating Procedure) yang sangat bagus ketika ada demand server yang tiba-tiba banyak. Sedangkan spesifikasi server sangat mudah diputuskan, karena spesifikasi saat ini cukup homogen, tidak terlalu banyak variannya. Prosesor Intel, memory DDR4, harddisk drive SSD. Simple.”

Lalu ketika berbicara tentang startup umumnya dimulai dari kapabilitas sistem yang kecil, namun di tengah proses kadang lonjakan terjadi begitu saja dengan sangat tinggi. Kadang sistem tidak siap untuk menghadapi, akibatnya sistem mengalami down. Kemungkinan paling buruk justru membuat pengguna kecewa, sehingga traksi justru tidak meningkat tajam.

Sebagai langkah antisipasi, menurut Natali, sebuah startup teknologi memang perlu melakukan perencanaan sejak awal, tidak bisa hanya menganggap penggunaan teknologi cloud akan otomatis scaling dengan sendirinya. Ia menceritakan ketika Tiket.com masih di usia yang sangat dini beroperasi.

“Ketika usia Tiket.com baru live selama 6 bulan, kami sempat mengalami spike yang tinggi ketika ada penjualan konser Big Bang, di mana 6.000 tiket konser terjual dalam 10 menit. Ketika itu webserver yang aktif hanya tiga, namun dikarenakan sudah direncanakan sejak awal, dalam waktu kurang dari 5 menit, saya bisa menambah 10 webserver secara instan hanya dengan menggunakan iPad.”

Nyatanya perencanaan ini juga akan menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan stack teknologi yang akan digunakan dari layanan tertentu. Contohnya pengalaman tersebut kini membawa Tiket.com mampu melakukan skalabilitas sistem dengan baik. Bahkan dikatakan Natali ketika ada 40.000 concurrent user yang mengunjungi situs, seperti ketika penjualan tiket kereta lebaran, tidak terjadi isu dalam sistem karena sudah memanfaatkan teknologi auto-scaling dari provider yang saat ini digunakan Tiket.com.

Perdebatan “klise” yang masih sering terjadi, antara memilih layanan lokal atau internasional

“Jujur untuk saat ini saya memilih provider internasional. Di awal pengembangan Tiket.com, saya pernah meletakkan server di Jakarta. Ketika terjadi DDoS Attack yang massive sebesar 1,1 Gbps selama satu bulan, hosting provider lokal kesulitan untuk mengantisipasi load bandwidth yang besar ini, bahkan akses internasional mereka menjadi mampet karena serangan tersebut. Alhasil ujung-ujungnya situs Tiket.com yang diblokir, agar attacker berhenti.”

Setelah dipindahkan ke provider internasional, permasalahan bandwidth tersebut terselesaikan. Bahkan sempat terjadi serangan DDoS sebesar 3,3 Gbps di tahun 2015, namun dapat ditangani tanpa service disruption di layanan Tiket.com.

“Sebagai gambaran, saat ini saya memiliki server di Jakarta, dengan bandwidth dedicated rasio 1:1 2 Mbps, biayanya Rp 4 juta tiap bulannya. Di Singapura, server saya diberi bandwidth 100 Mbps gratis. Jika di-upgrade menjadi 1 Gbps, cukup menambah biaya kurang lebih Rp 260 ribu tiap bulannya. Bedanya jauh sekali bukan.”

Dan yang lebih ironis bagi Natali, hop count dari Jakarta-Singapura bisa lebih sedikit ketimbang Jakarta-Jakarta. Terjadi mismanage yang cukup kritis di routing network Indonesia saat ini.

Konsep high availability dan scalability sebagai strategi meningkatkan keandalan sistem

Hal ini terkait dengan strategi sebuah sistem online yang sudah mapan dan memiliki traksi pengguna yang tinggi untuk meminimalkan terjadinya down-time atau kegagalan sistem lainya. Perencanaan yang dilakukan oleh CTO Tiket.com ialah menggunakan konsep high availability dan scalability. High availability berarti selalu tersedia setiap saat. Caranya dengan memiliki jumlah lebih dari sepasang untuk masing-masing sistem. Load balancer sepasang, web server sepasang, database sepasang, cache system sepasang dan seterusnya.

Ketika salah satu server mati, masih ada server lainnya yang mengambil alih load server. Bahkan jika perlu, lokasi data center pun dipisah, sehingga jika terjadi disaster, entah itu power outtage, hardware malfunction atau bahkan bom nuklir, masih ada sistem lain di lokasi berbeda.

“Saya bahkan pernah diceritakan oleh teman provider hosting internasional, bahwa jarak antar dua data center dia sekian kilometer. Alasannya? Agar jika ada pesawat menghantam data center yang pertama, maka ledakannya tidak akan mengganggu data center yang kedua.”

Scalability sendiri harus dilakukan oleh kita sendiri sebagai pengguna. Ketika mendesain sebuah sistem, harus bisa distributed, dikarenakan dari server bisa berbeda-beda. Namun walau pun berbeda-beda lokasi, namun datanya sama persis satu dengan yang lainnya. Scalability ini yang paling rumit dan kompleks, umumnya kita belajar berdasarkan pengalaman.

Untuk melakukan duplikasi sistem tersebut kadang terkendala dengan perhitungan investasi dalam bisnis. Seringkali mendengar cerita, bahwa tim teknologi kadang kesulitan meyakinkan kepada CEO (terutama yang memiliki latar belakang non-teknis) untuk mau membayar lebih pada kebutuhan tersebut. Nyatanya ketika tidak terjadi kegagalan sistem, penambahan jumlah server atau pengutusan staf khusus untuk mengelola backup terlihat seperti buang-buang energi dan sumber daya. Tidak terjadi di semua bisnis, namun tak sedikit yang menghadapi.

“Jujur saja, saya juga dulu pernah melaluinya juga, selama dua tahun servernya hanya satu. Waktu itu jumlah server baru ditambahkan ketika saya laporkan ke investor tentang kondisi saya.”

Solusi yang bisa dilakukan berdasarkan pengalaman Natali menghadapi situasi yang sama adalah dengan meminta rekan yang lebih dipandang dan dikenal pula oleh CEO untuk membantu mengingatkan risiko yang sedang dihadapi. Mungkin juga diberikan artikel-artikel terkait mengenai sistem yang down karena tidak scaling.

Cita-cita memiliki data center sendiri untuk startup

CTO Tiket.com mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak berencana membangun data center sendiri. Ia cukup puas memanfaatkan teknologi cloud computing. Harga lebih murah, pengelolaan mudah, karena hanya mengurus software di masing-masing server, tidak perlu terlalu pusing dengan urusan networking, redundancy network dan lain sebagainya. Dengan pertumbuhan teknologi yang sangat pesat, sistem menjadi semakin kompleks. Jangan sampai kita turut disibukkan dengan hardware yang failing, memory yang corrupt, harddisk yang rusak.

Bayangkan jika kita memiliki server sendiri, dan storage disk-nya rusak, kita harus sudah punya stock untuk mengganti hardware yang lama. Belum lagi kalau kita hendak meng-upgrade server.

“Saya dulu pernah memiliki server fisik sendiri, dan ketika saya hendak meng-upgrade jumlah prosesor saya, ternyata heat sink server tersebut bentuknya khusus dan hanya tersedia di Singapura. Alhasil saya memesan heat sink tersebut ke Singapura, bermasalah di bea cukai karena dianggap barang mewah, dan baru sampai di tangan saya dua bulan kemudian. Bayangkan, hanya untuk upgrade prosesor butuh dua bulan.”

Natali pun turut menegaskan bahwa teknologi cloud itu bukan hanya virtualisasi saja.

“Saya sendiri memanfaatkan teknologi baremetal cloud. Artinya, server saya fisik, tanpa virtualisasi. Namun yang cloud adalah network-nya, dan juga pricing-nya yang diukur per jam maupun per bulan. Bahkan ketika saya matikan server tahun lalu, dan saya memesan server baru, dengan spesifikasi yang lebih tinggi, saya bisa mendapatkan harga yang sama. Kenapa bisa demikian? Karena adanya Moore’s Law. Kemampuan prosesor naik 2 kali lipat tiap 2 tahun.”

Application Information Will Show Up Here

Karena di Awan Pun Juga Ada Petir

Cukup ramai beberapa waktu terakhir bertebaran di media sosial sebuah tulisan blog pribadi tentang kekecewaan seorang Founder startup asal Yogyakarta yang disebabkan kegagalan penyedia layanan cloud server kepercayaannya sehingga menyebabkan data bisnis (di server website dan server email) hilang begitu saja. Hal ini sontak membuat banyak pihak menjadi was-was, dari tadinya merasa aman dan nyaman meletakkan produk dan layanan mereka pada brand cloud server ternama, kini mulai dihantui dengan isu yang sama. Penting bagi kita untuk mencoba mengulang kembali bagaimana sebenarnya konsep cloud computing tersebut bekerja.

Cloud computing atau komputasi awan mulai hype sejak awal era millenium. Kehadirannya diawali oleh pesatnya penggunaan VPN (Virtual Private Network) di kalangan pengguna internet – jika jaringan saja bisa dibuat jalur pribadi dengan kepemilikan yang lebih simpel dan murah, bagaimana dengan server – Amazon menjadi pemain kunci di awal kehadiran layanan komputasi awan. Popularitas layanan tersebut kian menjanjikan kala brand besar seperti Microsoft, Google hingga IBM turut meramaikan pasar dengan berbagai variasi layanan dan jaminan kenyamanan pengguna. Produk komputasi awan pun mulai mengerucut untuk sampai ke konsumen, dari berbentuk SaaS (Software as a Services), IaaS (Infrastructure as a Services), dan PaaS (Platform as a Services).

Tujuan konsep komputasi awan semakin jelas, yakni ingin membuat pengembang software memfokuskan pada produk, bukan pada pengelolaan infrastruktur, dalam hal ini server. Sistem server menjadi peran dominan seiring meningkatnya ketergantungan bisnis dengan dunia online. Penumbuhan traksi yang cepat dan dinamika produk menjadi pertimbangan kunci. Alhasil layanan komputasi awan laris-manis di pasaran. Faktanya pun demikian. Layanan komputasi awan benar-benar menyederhanakan proses manajemen dan pemeliharaan infrastruktur server. Menariknya layanan tersebut juga memberikan fleksibilitas dan skalabilitas dalam penggunaan, pun demikian dengan sistem pembayaran. “Pay as you use”.

Komputasi awan tetap disokong server fisik

Jargon Service Level Agreement (SLA) menjadi salah satu yang paling kencang ditawarkan dalam pemasaran layanan komputasi awan. Persentase 99,99% SLA sering disodorkan untuk meyakinkan kepada pengguna agar meletakkan sistem aplikasinya ke layanan tersebut. Diketahui namun sering tak diindahkan bahwa ketika berbicara tentang komputasi awan sebenarnya tetap berbicara tentang server fisik, hanya saja letaknya jarang kita ketahui. Konsep virtualisasi menjadi salah satu yang berperan besar dalam peradaban komputasi awan. Sistem mirroring atau duplikasi server juga.

Perbedaan antara menyediakan server on-premise (mengelola data center secara mandiri) dengan mengandalkan layanan komputasi awan adalah terletak pada jangkauan pengelolaan dan pemeliharaan. Sedangkan persamaannya, keduanya sama-sama mengandalkan pada “kredibilitas” komputer server. Ketika kita mengelola server secara on-premise maka penjagaan sepenuhnya ada di tangan kita, plus pengelolaan. Bedanya ketika berlangganan dengan layanan komputasi awan, kita mempercayakan penjagaan tersebut kepada pihak lain.

Jadi dapat ditarik benang merahnya. Ini hanya masalah letak server dan penjagaan. Bentuknya tetap sebuah komputer server, bukan sebuah kekuatan super yang melayang di atmosfer. Artinya 0,01% di luar SLA bisa jadi mengabarkan kepada kita bahwa komputer server terbakar atau meledak.

Kegiatan membosankan bernama mem-backup

Menyadari komputasi awan tetaplah sebuah bentukan fisik dari komputer server, kekhawatiran tampaknya kembali perlu ditanamkan. Pertanyaan seperti “Bagaimana jika tiba-tiba SSD (Solid State Drive) pada server mengalami corrupt?”, “Bagaimana jika terjadi kerusakan pada CPU di server?”, dan sebagainya penting untuk menjadi pertimbangan, setidaknya untuk membakar kemalasan untuk melakukan sebuah kegiatan membosankan bernama “mem-backup” data. Sayangnya sampai saat ini belum ada brand yang benar-benar bisa memberikan 100% SLA yang mencakup keseluruhan layanan cloud server yang dijajakan.

Jika sekelas Digital Ocean yang banyak dielukan saja tidak bisa mengembalikan data Fitinline yang lenyap di servernya, maka tugas backup menjadi agenda yang seharusnya krusial. Bisa jadi bisnis online yang sudah besar butuh mengalokasikan tim khusus yang bertugas untuk melakukan backup data. Ini layaknya sebuah asuransi. Jika tidak terjadi kecelakaan, maka hanya terkesan sebagai sebuah kegiatan yang menghamburkan sumber daya. Namun jika kembali mengingat bahwa sebuah benda fisik bisa kapan saja terdampak risiko buruk, maka hal tersebut harusnya dapat disiapkan secara lebih matang.

Apa yang diharapkan dari sebuah layanan komputasi awan?

Selain memangkas tuntas kerumitan pengelolaan sumber daya server, pemanfaatan komputasi awan sering dikaitkan dengan kebutuhan yang berjenjang, terlebih untuk startup. Umumnya startup dimulai dengan sistem berkapasitas minim sehingga tidak memerlukan sumber daya yang besar. Seiring dengan bertumbuhnya pengguna suatu layanan, kadang startup perlu melakukan peningkatan (upgrade) sistem server secara cepat, mengimbangi lonjakan yang dihadapi. Komputasi awan memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan baik, karena salah satu visi yang ingin didorong adalah skalabilitas yang mudah.

Kecepatan akses juga menjadi pertimbangan tatkala seseorang mempercayakan meletakkan sistem yang dibangun pada sebuah layanan komputasi awan. Umumnya penyedia layanan komputasi awan menawarkan kenyamanan pemilihan data center sesuai dengan target penggunaan, tujuannya agar akses lebih cepat. Saat ini yang dijajakan untuk sebuah layanan – misalnya website – bukan sekedar sistem hosting, namun mengarah ke VPS (Virtual Private Server) atau VM (Virtual Machine). Yang disewakan bukan sebuah ruang kosong dengan kapasitas tertentu, melainkan satu kesatuan sistem server.

Salah satu hal krusial lainnya adalah terkait dengan jaminan akan data-data yang diunggah ke server tersebut. Perlu dipahami betul ketentuan SLA dan batasan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan sebelum memilih, sehingga dari sisi penggunaan kita dapat memastikan tindakan yang perlu dilakukan untuk disaster recovery ketika terjadi kegagalan di sisi penyedia.

Teknologi kini menjadi kunci bisnis digital yang berkembang dan akan terus menjadi ketergantungan. Kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan juga menjadi hal yang krusial, karena di awan juga ada petir yang kapanpun bisa menyambar.