Sepak Terjang Aron Manurung Dalam CPT Online 2020: SEA Qualifier 1

Akhir pekan kemarin menjadi puncak dari gelaran Capcom Pro Tour Online 2020: SEA Qualifier 1 (CPT Online SEA). Musim ini sendiri terdapat sedikit perubahan pada format. Salah satunya, karena dampak pandemi COVID-19, pertandingan diubah menjadi format online yang dibagi ke dalam beberapa regional.

Dari regional SEA pertandingan berjalan dari 27 hingga 28 Juni 2020 kemarin, dan dimenangkan oleh pemain asal Singapura, Niel Chong (SKZ) . Dalam kompetisi sebenarnya ada beberapa pemain Indonesia yang turut bertanding, bahkan termasuk sosok sepuh FGC lokal, Bram Arman. Namun satu yang mencolok adalah sosok Aron Manurung. Menggunakan Nash, Zeku, dan Vega, Aron mendapat pencapaian yang cukup baik, terhenti di babak Losers Quarter-Final setelah kalah 3-0 melawan pemain asal Singapura, Gavrel Saw (Bravery).

Sumber: Capcom Pro Tour
Sumber: Capcom Pro Tour

Maka dari itu, saya mewawancara Aron secara singkat, membahas soal sepak terjangnya selama mengikuti CPT Online SEA 1. Pertama-tama soal perubahan format. Perubahan menjadi online, tentu secara tidak langsung memberikan tantangan dari segi teknis kepada pemain. Apalagi netcode SF V bukan dibilang yang terbaik, yang kadang bisa memberi keuntungan kepada mereka yang mengalami lag.

“Dalam turnamen ini, untungnya ada beberapa peraturan yang diterapkan. Seperti minimum internet speed, list of banned stage serta costume, dan kewajiban menggunakan LAN untuk koneksi internet. Tapi pada saat top 8, sempat ada waktu terbuang karena ada pemain yang masih menggunakan Training Stage, yang mana stage tersebut memang dilarang dalam top 8.” tukas Aron.

“Tantangan teknis, pasti adalah untuk memastikan Internet dalam kondisi prima. Namun, saya mengakui memang netcode SFV masih belum sempurna. Beberapa koneksi ke negara tertentu tidak sebagus negara lain sesama SEA. Bagusnya lagi adalah, Sebelum real match, kami diberi kesempatan untuk tes koneksi, yang nantinya akan diberi pertimbangan dari organizer, apakah match bisa dilaksanakan atau tidak.”

Sumber: Foto Pribad
Aron Manurung, salah satu pemain SFV terkuat asal Indonesia hingga sejauh ini. Sumber: Foto Pribadi

Selain soal itu, Aron juga memberikan alasannya seputar karakter yang ia gunakan, juga alasan kenapa Seth masih kuat hingga saat ini. “Kalau pemilihan karakter, saya kebanyakan pakai Nash sampai top 16.” Aron membuka pembahasan. “Saat masuk level top 8, baru saya pakai Zeku saat lawan pemain asal Thailand, MindRPG. Alasan saya ganti karakter saat itu adalah karena adaptasi dia sangat baik terhadap Nash dan Vega yang saya gunakan. Jadi saya coba peruntungan matchup knowledge dan menghadapi Bison miliknya dengan Zeku.” Aron menjelaskan bagaimana ia bisa menang lawan MindRPG di Losers Round 1.

“Saat lawan Bravery, saya sengaja pakai Zeku dan Vega karena secara mekanik, Nash memang cukup kesulitan melawan Cammy. Apalagi, Bravery juga bermain dengan sangat solid, dan saya belum bisa menang lawan Cammy miliknya.” tukas Aron soal pertandingannya lawan Bravery.

Jika Anda penasaran dengan permainan Aron pada kompetisi CPT Online 2020 SEA 1, Anda bisa tonton pada video di bawah ini. Tenang… Video sudah saya atur supaya langsung menuju pertandingan Aron, supaya Anda tidak kerepotan.

Membahas Seth, Aron juga memberikan sedikit pendapatnya. “Kalau bicara soal Seth, saya mengakui memang tergolong sebagai karakter top tier karena gerakan-gerakan miliknya yang serba bisa, mulai dari Anti-Air, Invicible Reversal, Easy Hit Confirm dan lain sebagainya. Walau demikian, saya lihat balancing karakter ini sudah cukup jika berkaca kepada CPT SEA saja. Karakter yang digunakan kontestan variatif, walau memang, karakter mid/high-tier seperti Cammy, Ibuki, termasuk Seth tetap mendominasi. Soal saya menggunakan Seth, sebenarnya kepingin, tapi saya masih latihan menyempurnakan cara main karakter ini dulu, karena masih belum lancar dan jujur belum percaya diri pakai Seth kalau untuk kompetisi.” Aron memberi pandangannya soal Seth dan balancing karakter SFV dilihat dari CPT SEA kemarin.

Terakhir, Aron menceritakan soal tantangannya selama turnamen ini, dan apa yang ingin ia capai di CPT SEA berikutnya. Jika bicara soal musuh terberatnya, Aron menjawab Chuan, yang adalah runner-up dari turnamen ini. “Dia yang melempar saya ke loser-bracket, dan membuat saya jadi berjuang ekstra. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Nash dan dua karakter lain yang saya kuasai memang bad matchup melawan Guile (karakter Chuan). Kedua, Chuan bermain dengan sangat solid menggunakan Guile, yang membuat makin sulit lagi dikalahkan.”

Membahas soal keberhasilannya mendapat peringkat 5 di CPT Online SEA 1 ini, Aron mengaku ia sudah cukup puas. “Karena target awal saya sebenarnya top 8 saja.” Aron menjelaskan. “Untuk CPT SEA bulan September nanti, saya menaikkan target jadi harus bisa top 3. Semoga bracket mengizinkan, juga semoga saya sudah jadi lebih baik, dan bisa mengalahkan Chuan nantinya.”

Selamat untuk Aron! Sungguh perjalanan yang membanggakan bagi FGC lokal, terutama komunitas SFV Indonesia. Semoga di CPT Online SEA 2, Aron bisa mencapai apa yang ia targetkan, dan kembali memberikan yang terbaik bagi FGC Indonesia.

George Russell: Balapan Virtual Buat Saya Tetap Kompetitif

Pandemi virus corona menyebabkan berbagai kompetisi olahraga dibatalkan, termasuk Formula 1. Sebagai ganti balapan yang dibatalkan, Formula 1 memutuskan untuk mengadakan seri F1 Esports Virtual Grand Prix. Seri balapan virtual itu dimenangkan oleh pembalap rookie Williams asal Inggris, George Russell.

Menariknya, saat seri F1 Esports Virtual Grand Prix baru diadakan, Russell bahkan belum memiliki simulator. Namun, setelah memutuskan untuk ikut serta dalam kompetisi balapan virtual tersebut, Russel berlatih dengan serius. Dia bahkan meminta saran pada para pembalap esports di Williams. Dalam balapan pertamanya, Russell tampil kurang memuaskan. Tidak menyerah, dia memutuskan untuk berlatih lebih keras. Latihannya berbuah manis, sepanjang seri F1 Esports Virtual Grand Prix, dia berhasil memenangkan 4 balapan, menurut laporan Formula1.

George Russell menjadi pembalap Mercedes pada tahun lalu. | Sumber: Formula1
George Russell menjadi pembalap Mercedes pada tahun lalu. | Sumber: Formula1

Russell berkata, pertandingan balapan virtual memiliki tekanan mental yang sama dengan balapan sebenarnya. Dia mengaku, ketika dia memutuskan untuk ikut serta dalam F1 Esports Virtual Grand Prix, dia hanya ingin beradu dengan para pembalap lainnya. Namun, dia kemudian sadar bahwa balapan virtual tidak kalah kompetitif dengan balapan F1 di dunia nyata.

“Dalam balapan F1 sebenarnya, saya masuk dalam bagian paling belakang, saya tidak ingin kalah bersaing di esports juga. Jadi saya berusaha sedikit lebih keras. Beradu dengan para pembalap lain, hal ini membantu saya untuk tetap kompetitif. Dalam balapan virtual, ada beberapa hal yang sangat mirip dengan balapan sebenarnya,” kata Russel, dikutip dari Motorsport.

“Anda tetap harus bisa lolos babak kualifikasi dan untuk itu, Anda harus menyelesaikan 3 putaran. Dan jika Anda gagal, maka Anda akan ada di posisi paling belakang. Anda juga tetap merasakan tekanan mental yang sama,” ujar Russell. “Anda mungkin bisa menyelesaikan putaran dengan waktu cepat di latihan. Tapi, ketika Anda ikut serta dalam babak kualifikasi, Anda harus menghadapi tekanan mental yang berbeda.”

Russell bercerita, bahkan dalam balapan virtual, suasana sebelum balapan sangat mirip dengan balapan di dunia nyata. Dia mengatakan, dia tetap merasa berdebar-debar sebelum balapan, seperti saat dia menunggu lampu aba-aba menjelang balapan dimulai. Dia berkata, “Detail seperti inilah yang membuat balapan virtual seperti balapan sebenarnya.”

Selama pandemi, balapan esports berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Selain Formula 1, ada beberapa balapan lain yang juga mengadakan balapan virtual, seperti Formula E, NASCAR, dan W Series.

Sumber header: Formula1

Global Esports Federation Lakukan Aliansi Dengan Olympic Council of Asia

Belakangan Global Esports Federation sepertinya sedang gencar melebarkan pengaruhnya. Berdiri 17 Desember 2019 lalu, badan esports global ini bahkan sudah mendapatkan dukungan dari Tencent sejak hari pertama peluncuran. Tak hanya itu, belakangan mereka gencar merangkul berbagai federasi olahraga internasional, seperti Commonwealth Games Federation, World Taekwondo, International Tennis Federation, dan Organizacion Deportiva Suramericana (ODESUR).

Yang terakhir, mereka bekerja sama dengan Dentsu, salah satu advertising agency terbesar dunia yang berasal dari Jepang. Kini, Global Esports Federation kembali mengumumkan aliansi terbaru mereka dengan The Olympic Council of Asia. Kolaborasi ini dikatakan untuk membentuk dan mempromosikan esports ke seluruh kawasan asia. Selain itu dikatakan juga bahwa kolaborasi ini dilakukan untuk menginspirasi jutaan anak muda di asia untuk “memaksimalkan potensi esports.”

Chris Sumber: Esports Insider
Chris Chan (kanan) Presiden Global Esports Federation. Sumber: Esports Insider

Terkait kolaborasi ini, Sheikh Ahmad Presiden Olympic Council of Asia mengatakan dalam rilis. “OCA tidak sabar untuk bekerja sama dengan GEF untuk memberikan yang terbaik kepada anak muda di Asia. Esports adalah salah satu fenomena terbesar di masa ini, dan OCA senang sekali bisa bekerja sama dengan GEF dalam memaksimalkan potensi esports untuk tujuan yang baik.”

OCA sendiri merupakan komite Olimpiade di tingkat regional. Dalam OCA terdapat 45 Komite Olimpiade dari 45 negara, dan dikatakan mewakili 4,6 miliar orang, dengan 700 juta orang berusia 15 hingga 24 tahun.

Chris Chan, Presiden Global Esports Federation juga menambahkan. “Kerja sama dengan OCA didorong oleh kepemimpinan yang visioner dari sang Presiden serta para eksekutif yang ada di dalam Board Member, dan kami mengakui kedalaman serta keluasan inovasi progresif yang ada di dalam benua yang sangat dinamis, juga awet muda. Bersama-sama kami akan membangun kerja sama ini dengan fokus mendorong inisiatif yang berorientasi kepada masa depan untuk melayani para atlit, pemain dan anak-anak muda. Kami sangat mensyukuri atas kepercayaan serta kepercayaan diri Presiden OCA, dan para Executive Board. Kami tidak sabar untuk dapat melakukan hal besar bersama-sama.”

Sumber: The Drum
Sumber: The Drum

Sampai saat ini esports memang masih memiliki halangan tersendiri untuk dapat masuk ke dalam Olimpiade. Komite Olimpiade Internasional (IOC) masih memiliki kekhawatiran menyertakan esports ke dalam Olimpiade, karena game esports yang menampilkan kekerasan secara eksplisit. Sehingga terakhir kali mereka menyepakati bahwa hanya hanya game esports olahraga saja yang berpotensi masuk Olimpiade.

Menariknya di Asia, esports malah kerap hadir di dalam festival olahraga belakangan. Tahun 2018, esports sudah menjadi cabang eksibisi di dalam Asian Games. Lalu dilanjut ke tahun 2019, yang mana esports akhirnya menjadi cabang bermedali dalam gelaran SEA Games.

FaZe Clan Berikan Pendanaan untuk Startup Nutrisi Esports, CTRL

Organisasi esports FaZe Clan kembali melakukan ekspansi bisnis mereka. Kali ini, FaZe Clan bekerja sama dengan startup yang mengembangkan produk makanan bernutrisi bagi pelaku esports bernama CTRL. Kerja sama antara pelaku esports dan produk makanan akan menjadi sebuah langkah maju bagi ekosistem esports di masa depan.

Mungkin sampai saat ini stigma negatif masih melekat pada gamers ataupun atlet esports. Gambaran yang terlintas di pikiran saat mendengar kata atlet esports dan gamers adalah, seseorang yang menghabiskan banyak waktunya hanya untuk bermain dan nyaris tidak peduli akan kesehatan bahkan kebersihan diri.

via: drinkctrl.com
via: drinkctrl.com

Lebih jauh lagi mengenai pendanaan FaZe Clan, belum ada keterangan resmi terkait jumlah yang pasti dan seberapa besar kepemilikan FaZe Clan atas CTRL. Meskipun begitu, besarnya pengaruh dan eksistensi FaZe Clan akan memberikan dorongan yang signifikan untuk dapat menjangkau pasar esports secara global.

Dengan pesatnya perkembangan industri game dan esports yang masuk ke dalam lifetstyle, lambat laun stigma negatif terhadap gamers dan atlet esports yang tebangun sejak lama bisa dikikis.

CTRL Flavors | via: drinkctrl.com
CTRL Flavors | via: drinkctrl.com

Skyler Johnson, Co-founder  CTRL, berkomentar kepada VentureBeat, “FaZe Clan adalah perwujudan dari esports lifestyle yang merambah hal lain seperti musik hingga pakaian. Sejauh ini, nutrisi untuk gamer belum benar-benar menjadi bagian dari percakapan.”

Adapun inisatif awal berdirinya CTRL dimulai oleh Sundance Digiovanni dan beberapa pelaku esports lainnya. Dengan pengalamannya memiliki 3 orang anak membuatnya memikirkan asupan nutrisi yang tepat untuk menunjang aktivitas gamers, terlebih atlet esports.

Di kesempatan yang lain di bulan maret tahun ini, FaZe Clan juga sudah melakukan kerja sama dengan salah satu brand minuman energi G FUEL. Dalam kerja sama itu dikembangkanlah salah satu varian rasa yang bernama FaZeberry.

Semoga di masa depan gamers secara luas dapat terlepas dari stigma yang buruk di masyarakat. Berbagai macam cemilan, soft drink, energy drink dan fast food seolah menjadi batasan menu yang dikonsumsi gamers. Padahal di sisi lain, untuk dapat tetap memiliki performa terbaik diperlukan latihan fisik, mental, dan ditunjang asupan nutrisi yang perlu diperhatikan secara serius.

 

ONE Esports Kerja Sama dengan Toyota, Gelar GR Supra GT Cup Asia 2020.

ONE Esports mengumumkan kerja samanya dengan Toyota Motor Asia Pacific. Lewat kerja sama ini, ONE Esports bersama dengan Toyota akan gelar sebuah turnamen GR Supra GT Cup Asia 2020. Turnamen tersebut merupakan ajang balap sim-racing dengan menggunakan Gran Turismo (PS4) sebagai platform.

Gelaran GR Supra GT Cup di tahun 2020 ini merupakan iterasi kedua dari kompetisi tersebut. Mengutip dari rilis turnamen ini diikuti oleh 30.000 pemain, pada tahun 2019 lalu. Berkat turnamen tersebut juga, jadi ada 800.000 pemain membeli dan menggunakan Toyota GR Supra RZ di dalam game. “Mengumpulkan feedback dari 120 ribu pemain, termasuk dari pembalap top, Toyota menggunakan data tersebut untuk membantu proses pengembangan GR Supra di dunia nyata.” tulis Gran Turismo dalam rilis.

Sumber: Gran Turismo
Sumber: Gran Turismo

Untuk regional Asia, ONE Esports akan melakukannya bersama-sama dengan dukungan Toyota Gazoo Rasing (TGR), yang merupakan merupakan perpanjangan tangan Toyota di bidang motorsports yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan riset dan pengembangan lewat beberapa cara termasuk esports racing events.

Mengutip dari ONE Esports, kerja sama dengan Toyota Motor Asia Pacific akan dilakukan untuk “memberikan pengalaman balapan esports yang unik”. Balapan ini nantinya juga akan menampilkan pembalap motorsport Gran Turismo Asia terbaik, yang turut bertanding di dalam seri turnamen ini.

Terkait kerja sama ini, Carlos Alimurung CEO ONE Esports mengatakan. “GR Supra GT Cup Asia 2020 adalah kesempatan menampilkan kekuatan mesin GR Supra dan kemampuan balap dari pemain Gran Turismo Sport terbaik di Asia. ONE Esports merasa terhormat karena dapat mempersembahkan gelaran ini dan kami tak sabar untuk bisa memahkotai pembalap terbaik di Asia.”

Kompetisi akan dimulai dari babak kualifikasi nasional yang diselenggarakan mulai Juli sampai September. Kualifikasi nasional diselenggarakan di 5 negara, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, India, dan Filipina. Untuk mengikuti kompetisi, pemain harus berusia minimal 18 tahun, dan harus memiliki mobile GR Supra di dalam game Gran Turismo Sport. Nantinya tiga pembalap teratas dari masing-masing negara yang disebut akan melanjutkan balapan ke tingkat regional.

Cukup disayangkan, tidak ada Indonesia dari daftar kualifikasi nasional yang akan diadakan untuk GR Supra GT Cup Asia 2020. Padahal Indonesia punya Andika Rama Maulana, salah satu pembalap sim racing lokal yang sudah malang melintang di berbagai skena sim racing, mulai dari tingkat regional, sampai internasional.

Tak hanya itu, Indonesia juga sebenarnya memiliki skena sim racing yang cukup kuat. Terakhir, Ikatan Motor Indonesia bahkan menggandeng komunitas sim racing lokal. Tak hanya itu, bahkan perusahaan minyak nasional, Pertamina, berani untuk melakukan investasi ke dalam ekosistem lewat kerja sama sponsorship dengan tim sim racing lokal, GT-Sim.ID.

21 Tim yang Dikabarkan Bergabung ke Franchise LCK

Sebagai salah satu liga LoL paling bergengsi di dunia, perubahan sistem dari promosi-relegasi pada League of Legends Champions Korea (LCK) menjadi Franchise Model di tahun 2021, tentu jadi berita heboh. Tidak heran, walau dikabarkan memiliki biaya sampai dengan 175 miliar Rupiah, namun slot untuk bertanding di LCK tetap diperebutkan. Sebelumnya, Gen.G dikabarkan menjadi tim pertama yang akan masuk ke dalam liga. Ada kabar juga menyebutkan bahwa organisasi esports barat seperti FaZe Clan dan NRG Esports juga memiliki minat untuk bergabung.

Setelah pertama kali diumumkan April 2020 lalu, kini akhirnya terungkap, siapa saja tim yang akan bergabung ke dalam Franchise Model LCK. Informasi ini pertama kali diungkap oleh situs media esports asal Korea bernama Korizon. Lewat akun twit bernama @KorizonEsports, media tersebut mengungkap 21 organisasi dan tim yang telah mengirimkan aplikasi mereka untuk bergabung ke dalam Franchise Model LCK.

Dari daftar tersebut, hampir semua tim peserta LCK dan Challengers Korea (liga Korea divisi 2) saat ini (kecuali Griffin) telah mendaftar. Beberapa nama populer lain mungkin sudah mendaftar, namun aplikasinya tidak memenuhi syarat sehingga jadi ditolak. Berikut daftar 21 tim tersebut:

  1. T1
  2. Gen.G
  3. DRX
  4. Damwon Gaming
  5. KT Rolster
  6. Afreeca Freecs
  7. SeolHaeOne Prince
  8. Hanwha Life Esports
  9. Team Dynamics
  10. Sandbox Gaming
  11. ESC Shane
  12. Speargaming
  13. Element Mystic
  14. OZ Gaming
  15. Jin Air Greenwings
  16. Runaway
  17. Gamer Republic, Inc.
  18. Omaken Sports
  19. World Game Star
  20. WDG
  21. Treasure Hunter/KnightsGG

Menariknya, nama-nama barat seperti FaZe Clan dan NRG Esports yang sebelumnya dikabarkan mengirimkan letters of intent, ternyata tidak ada dalam daftar. Mengutip dari media Korea lainnya, Fomos, dua tim tersebut, dan juga Pittsburgh Knights dikabarkan tidak jadi melakukan aplikasi masuk ke dalam LCK.

Sumber: LCK Official
Sumber: LCK Official

Walau ini adalah perubahan baru bagi LCK, namun liga LoL asal Korea tersebut menjadi liga terakhir yang mengubah sistemnya menjadi franchise model dari keseluruhan ekosistem League of Legends. Sebelumnya liga Amerika Serikat, LCS, dan liga Eropa, LEC, sudah lebih dulu menerapkan sistem ini sejak dari sekitar tahun 2017 lalu.

Selain harus membayar biaya franchise sebesar 175 miliar Rupiah, perubahan sistem ini juga memberi kewajiban minimal gaji pemain kepada tim peserta, yaitu 60 juta won Korea (sekitar 698 juta Rupiah) per tahun.

Divisi Esports Nielsen di Amerika Utara Punya Bos Baru

Nielsen membentuk divisi Nielsen Esports pada 2017. Divisi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan layakan konsultasi terkait nilai sponsorship, riset di industri esports, serta insight soal fans esports. Pada tahun yang sama, Nielsen membentuk Nielsen Esports Advisory Board. Dewan itu berisi publisher game, penyelenggara turnamen esports, broadcaster, perusahaan media, organisasi olahraga tradisional, dan para sponsor yang terlibat dalam industri esports. Dewan tersebut dipimpin oleh Matthew Yazge.

Pada pertengahan Juni 2020, Nicole Pike yang menjabat sebagai Managing Director dari Nielsen Esports memutuskan untuk pindah ke perusahaan riset dan analitik lain, YouGov. Tanggung jawab yang diemban oleh Pike lalu dialihkan ke tangan Yazge, yang merupakan Head of Brand Sponsorship, Nielsen Sports. Dengan bertambahnya tanggung jawab Yazge, Nielsen memutuskan untuk mempromosikannya sebagai Head of Esports di kawasan Amerika Utara.

divisi esports Nielsen
Bagan penjelasan tentang ekosistem esports oleh Nielsen. | Sumber: Nielsen

“Semangat Matthew dalam esports dan gaming, ditambah dengan pengetahuannya akan sponsorship dan brands menjadikannya orang yang ideal untuk memimpin divisi esports Nielsen,” kata Jon Stainer, Managing Director of Sports, Nielsen, seperti dikutip dari Esports Insider. “Dengan menyediakan insight dan data yang lengkap bagi perusahaan yang ingin memasuki ranah esports, Matthew akan memberikan pengaruh besar dalam kesuksesan bisnis Nielsen.”

Yazge telah bekerja untuk Nielsen selama lebih dari 9 tahun. Selama itu, dia telah menduduki berbagai jabatan, termasuk Vice President of Brand Partnership untuk divisi Music and Film di Nielsen. Ketika itu, tugasnya adalah untuk mendorong penjualan dan program konsultasi di bidang musik, film, dan fashion. Selain itu, dia juga pernah memimpin program inklusi Nielsen di California Selatan.

“Dengan jabatan baru ini, saya akan memanfaatkan pengetahuan saya tentang sponsor untuk membantu mereka mengerti betapa pentingnya mendekatkan diri pada fans esports,” kata Yazge. Dia akan menjelaskan pada para sponsor bahwa mereka akan dapat memenuhi target marketing mereka dengan membuat konten bersama para pemain esports profesional populer.

Industri esports bertumbuh dengan pesat, baik dari segi nilai industri maupun jumlah penonton. Jadi, tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar tertarik untuk masuk ke industri esports. Karena itu, para pelaku esports harus dapat menjamin validitas data mereka. Peran Nielsen adalah memberikan data yang bisa terpercaya. Pada tahun lalu, Nielsen berhasil menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan game dan esports besar, seperti Riot Games, Activision Blizzard, serta ESL dan DreamHack.

David Beckham Masuki Industri Esports, Tanamkan Modal di Guild Esports

Mantan pesepak bola David Beckham kini memasuki dunia esports dengan menjadi co-owner dari Guild Esports, startup esports asal Inggris. Melalui DB Ventures, Beckham menanamkan modal di Guild Esports, yang tengah mengumpulkan pendanaan dengan target sebesar £25 juta (sekitar Rp44,6 miliar). Selain Beckham, Blue Star Capital juga menjadi salah satu investor awal dari startup esports tersebut.

“Sepanjang karir saya, saya beruntung karena bisa bermain dengan para atlet terbaik. Saya telah melihat semangat dan dedikasi yang diperlukan untuk bisa bermain di tingkat tertinggi,” kata Beckham, menurut laporan Esports Insider. “Saya tahu bahwa para atlet esports juga memiliki semangat tersebut. Di Guild, kami memiliki visi untuk menciptakan standar baru, serta mendukung para pemain profesional untuk maju di masa depan. Kami berkomitmen untuk mendukung pemain muda bertalenta melalui sistem akademi kami dan saya tidak sabar untuk membantu tim Guild Esports untuk tumbuh dan berkembang.”

Guild Esports akan menggunakan model akademi, lapor GamesIndustry. Hal itu berarti, Guild Esports akan mencari pemain muda berbakat dan melatih mereka untuk menjadi atlet esports profesional. Saat ini, Guild akan fokus untuk melatih pemain yang berlaga di Rocket League, FIFA, dan Fortnite.

David Beckham esports
David Beckham menjadi co-owner dari Guild Esports. | Sumber: Nerd4Life

Selain Beckham sebagai co-owner, Guild Esports juga memiliki Carleton Curtis sebagai Executive Chairman. Curtis sempat menjabat sebagai Vice President of Programming di Activision Blizzard. Dia juga berperan penting dalam penyelenggaraan Overwatch League dan Call of Duty League. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Senior Director, Digital Strategy di Fox Sports serta Program Director, Esports di Red Bull.

“Industri esports tengah berkembang pesat dan masih akan terus tumbuh. Hal ini menjadi bukti bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Guild Esports untuk masuk ke dalam industri esports,” kata Curtis. “Kami memiliki tim manajemen yang berpengalaman dan saya senang dengan keberadaan David Beckham sebagai co-owner dari startup ini karena dia memiliki pengalaman dan profesionalisme dalam membuat tim olahraga yang baik. Hal ini sesuai dengan strategi kami untuk membuat tim esports terbaik.”

Memang, meskipun Beckham paling dikenal sebagai pemain sepak bola profesional, dia juga merupakan pemilik dari Inter Miami, tim sepak bola Amerika Serikat baru yang berlaga di Major League Soccer. Beckham bukanlah satu-satunya pemain sepak bola yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Pada akhir tahun lalu, Gareth Bale juga membentuk tim esports yang dinamai Ellevens Esports.

“Di Guild Esports, David akan memegang peran penting dalam membuat program pelatihan yang akan diimplementasikan di akademi kami. Selain itu, dia juga bisa menjadi inspirasi bagi para atlet esports muda,” ujar Curtis.

Sumber header: The Esports Observer

Kreator Film Hollywood, J.M.R. Luna Jadi CEO OG

Organisasi esports OG punya CEO baru, yaitu J.M.R. Luna. Dia memiliki pengalaman dalam membuat film di Hollywood. Selain itu, dia juga pernah menjadi Head of Content and Production di Evil Geniuses dan menjadi VP of Content and Production untuk Immortals Gaming Club.

“Jika Anda berasumsi bahwa tidak ada kesamaan antara membuat film dan memimpin organisasi esports, Anda salah,” kata Luna dalam wawancara dengan Esports Insider. “Dalam membuat film, saya bertugas layaknya CEO. Saya memimpin semua operasi bisnis, bertanggung jawab atas semua operasi dari awal sampai akhir. Saya harus mengumpulkan orang-orang kreatif dan membantu mereka bekerja sama dalam lingkungan yang sangat dinamis. Apa yang saya lakukan dalam membuat film sangat mirip dengan esports.” Dia mengaku, pengalamannya bekerja untuk organisasi esports lain juga akan membantunya dalam menyesuaikan diri sebagai CEO dari OG.

CEO OG
Luna akan bekerja dengan petinggi OG lainnya. | Sumber: Esports Insider

Untuk waktu lama, OG dikenal sebagai organisasi esports yang hanya fokus pada satu game, yaitu Dota 2, lapor The Esports Observer. Dan di ekosistem esports Dota 2, OG sangat dikenal. Faktanya, OG adalah satu-satunya tim yang berhasil memenangkan The International dua kali. Namun, tahun lalu, OG akhirnya memutuskan untuk membuat tim Counter-Strike: Global Offensive. Sebastian “Ceb” Debs, yang menjadi bagian dari tim yang memenangkan TI dua kali, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pemain dan menjadi pelatih bagi tim Dota 2 dan CS:GO dari OG.

Sebagai CEO OG, Luna tidak hanya bertugas untuk mengawasi proses pembuatan konten dan memastikan agar para pemain OG menjadi populer di dunia esports. Dia juga harus memikirkan masa depan OG sebagai organisasi esports. Tugas Luna mencakup memikirkan rencana ekspansi dan pendanaan OG. Untuk mencapai hal ini, dia akan bekerja sama dengan kapten tim Dota 2 dan pendiri OG, Johan “N0tail” Sundstein, CRO & Co-owner Xavier Oswald, serta COO Charlie Debs.

“OG mungkin adalah satu-satunya organisasi esports super besar yang belum pernah mendapatkaan pendanaan eksternal,” kata Luna. “Kami akan mengumpulkan pendanaan dalam waktu dekat. Kami akan mencari rekan yang tepat dan ingin bergabung dengan kami untuk berkolaborasi bersama. Saya merasa, hal ini membuka kesempatan bagi OG untuk tumbuh dan berkembang.”

[IdeaPlay] Bagaimanakah Solusi yang Tepat untuk Mengurangi Gamer Toxic?

Jika Anda pernah bermain game multiplayer yang kompetitif, khususnya yang gratisan, kemungkinan besar Anda pernah bertemu dengan gamer toxicGamer toxic ini sebenarnya ada banyak jenis-jenisnya seperti para pemain yang lebih suka menyalahkan rekan satu timnya, semaunya sendiri dalam bermain (saat memilih role, misalnya), AFK atau rage quit, menggunakan cheat, ataupun perilaku menyebalkan lainnya.

Faktanya, gamer toxic selalu bisa ditemukan di setiap game kompetitif. Hal ini juga bahkan sudah mulai terlihat di Valorant yang dibuat dengan tujuan esports. League of Legends juga dikenal dengan komunitas yang salty. PB juga masih menjadikan cheater sebagai salah satu prioritas yang harus dibasmi. Dota 2, MLBB, AoV, PUBG Mobile ataupun game-game lainnya juga bisa dipastikan memiliki gamer-gamer toxic yang menyebalkan.

Kami juga sebenarnya pernah menuliskan soal toxicity panjang lebar beberapa waktu yang lalu untuk mencari tahu sejumlah penyebab kenapa banyak gamer toxic di game-game kompetitif.

Faktor-faktor ini saya kira memang harus dicari tahu sebelum mencari solusinya. Dari beberapa faktor yang bisa Anda baca di artikel sebelumnya tadi, menurut saya, memang ada yang bisa dicari solusinya dari sisi game publisher namun juga ada yang mungkin di luar jangkauan game publisher.

Sumber:
Sumber: Riot Games

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toxic-nya gamer yang mungkin berada di luar jangkauan game publisher itu adalah elemen kompetitif, kultur sosial negatif (sekarang ini), ataupun soal sistem free-to-play.

Elemen kompetitif tentunya tak bisa dihilangkan juga jika memang hal tersebut yang jadi nilai jual utama game-game kompetitif. Sedangkan dari faktor sistem free-to-play, ada beberapa alasan kenapa hal ini juga berpengaruh dalam merebaknya jumlah gamer toxic.

Pertama, karena bisa dimainkan gratis, para pemain toxic jadi tidak merasakan konsekuensi untuk berperilaku seenaknya sendiri. Jika akun mereka di-ban karena terlalu banyak menerima laporan negatif mereka juga bisa dengan mudah membuat akun baru.

Kedua, karena freeto-play dan salah satu tujuan/tolak ukur kesuksesan sebuah game adalah jumlah pemain, mengatur perilaku orang banyak itu jadinya jelas lebih sulit ketimbang mengatur perilaku lebih sedikit orang.

Sistem free-to-play tadi, meski berpengaruh, memang mungkin tak bisa diubah begitu saja. Namun sistem reward and punishment tadi yang mungkin bisa diperbaiki untuk mencegah perilaku toxic.

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Solusi yang bisa dilakukan publisher game dalam mengurangi gamer toxic

Setelah membahas penyebabnya secara singkat tadi, menurut saya, inilah mindset yang bisa dimiliki oleh publisher untuk mengurangi perilaku toxic.

Saya percaya bahwa solusi paling efektif dan paling mudah diimplementasikan adalah dengan lebih menekankan pada hadiah (reward) untuk perilaku baik ketimbang hukuman untuk perilaku toxic. Meski hampir semua game sudah memiliki sistem reputasi, misalnya sistem Honor di League of Legends ataupun Credit Score di MLBB, penekanannya lebih pada hukuman buat gamer toxic. Implementasi hukuman ini yang tidak efektif dan mudah disiasati.

Di MLBB misalnya, para pemain yang memiliki Credit Score rendah memang akhirnya akan dilarang untuk bermain Ranked. Namun batasan minimal Credit Score untuk bermain mode Ranked ini terlalu rendah dan hukumannya pun mungkin tak terlalu berarti. Apalagi, selain bisa dengan mudah membuat akun baru dan menanjak Rank setidaknya sampai Grand Master atau Epic, praktek jual beli akun dan jasa joki juga masih marak ditemukan.

Sistem hukuman Credit Score ini juga masih sangat bergantung pada laporan para pemainnya. Dengan meningkatnya perilaku individualis tiap-tiap orang di zaman modern, sistem laporan tadi juga mungkin tidak efektif. Misalnya saja seperti ini, di MOBA, satu tim berisikan 5 orang. Misalnya saja saya hanya toxic terhadap 1 orang, hanya orang itu saja yang merasa dirugikan dan melaporkan saya — sedangkan 3 orang lainnya mungkin tidak merasa memiliki alasan untuk melaporkan saya.

Sebaliknya, jika penekanan sistemnya lebih kepada reward buat mereka-mereka yang berperilaku baik, hal tersebut mungkin akan lebih efektif untuk membangun kultur positif di dalam komunitas.

Mengubah penekanan pada perilaku terpuji, di bayangan saya, bisa jadi seperti contoh berikut. Jika seorang pemain berhasil mempertahankan reputasi (Honor, Credit Score, atau apapun namanya) di tingkat tertinggi dalam satu bulan penuh, ia bisa mendapatkan mata uang yang bisa dibelanjakan. Memberikan ataupun mendapatkan reputasi baik (Like, misalnya) dari pemain lainnya juga bisa mendapatkan reward.

Contoh konkretnya, jika hal tersebut diterapkan di MLBB, misalnya seperti ini. Jika saya bisa mempertahankan Credit Score di angka 110 terus menerus dalam 30 hari, saya akan mendapatkan 100 Diamond. Di MLBB, kita juga bisa memberikan Like/Love kepada pemain lain setelah setiap pertandingan. Setiap kita memberikan Like ke satu pemain, kita akan mendapatkan 10 Gold. Setiap Like yang kita dapat dari pemain lain, kita juga akan mendapatkan 50 Gold.

Jadi, hanya dengan selalu berlaku positif saja, kita bisa mendapatkan 90 Gold tambahan setiap pertandingan dan 100 Diamond per bulan. Tentunya, nominal dan currency reward tadi bisa saja disesuaikan dengan perhitungan masing-masing publisher. Namun, intinya, publisher game harus memberikan alasan dan tujuan yang jelas dan berharga kenapa kita harus berperilaku positif di game mereka. Selain memberikan konsekuensi untuk perilaku negatif — seperti yang sekarang sudah berlaku. Jika ingin lebih jauh lagi, ada ranking juga buat para pemain yang bisa mempertahankan Credit Score paling lama.

Menurut saya, hal ini sebenarnya mudah diimplementasikan (hanya tinggal menghitung berapa nominal dan currency yang masuk akal saja) dan akan lebih efektif untuk mendorong kultur positif di komunitas game tersebut. Dengan kultur positif yang semakin tinggi, otomatis, perilaku toxic juga akan semakin berkurang.

Penutup

Via: Wellspace
Via: Wellspace

Terakhir, ibaratnya saja seperti ini. Baik dengan orang tua, guru, atau atasan, hukuman, teguran, atau cacian saat berlaku negatif itu memang nyatanya lebih sering kita rasakan ketimbang pujian ataupun hadiah saat berlaku positif. Hal ini jadi lebih membuat kita mencari aman ketimbang mengambil inisiatif untuk berlaku positif.

Game sendiri juga sebenarnya sudah menekankan sistem reward dan punishment yang lebih gamblang dan efektif. Anda harus farming jika ingin mendapatkan uang dan EXP. Sebaliknya, Anda tidak boleh sering mati juga jika tidak ingin kehilangan waktu untuk farming. Sistemnya memang dibuat untuk mendorong yang positif dan menghindari yang negatif.

Gameplay-nya tentu saja jadi tidak akan efektif jika Anda hanya didorong untuk menghindari yang negatif. Jika Anda hanya perlu mencari aman, kemungkinan besar, sebagian besar pemain akan lebih memilih untuk bermain pasif.

Apakah Anda setuju dengan solusi ini? Atau apakah Anda memiliki solusi lain yang lebih efektif dan masuk akal untuk dilakukan dalam mengurangi perilaku gamer toxic?