Buat Tweet Rasis, Pemain Pro Ini Dilarang Ikuti Capcom Pro Tour Seumur Hidup

Pada hari Sabtu, 13 Juni 2020, pemain profesional Ryan “FChampion” Ramirez mengunggah foto semangka ke Twitter dengan tagar #WatermelonLivesMatter. Tweet itu mengundang kemarahan fans fighting game karena dianggap meremehkan gerakan Black Lives Matter, yang memperjuangkan kesetaraan hak untuk orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat. Dia lalu menghapus tweet tersebut dan meminta maaf. Meskipun begitu, Capcom tetap memutuskan untuk melarang Ramirez ikut serta dalam Capcom Pro Tour dan Street Fighter League.

“Dengan ini, kami menyatakan bahwa Ryan ‘FChamp’ Ramirez dilarang untuk ikut serta dalam semua kegiatan esports di bawah Capcom, termasuk Capcom Pro Tour dan Street Fighter League karena telah melanggar peraturan yang telah kami tetapkan terkait perilaku pemain,” kata Capcom melalui Twitter. “Larangan ini bersifat global dan berlaku untuk semua turnamen dan kegiatan esports yang kami adakan di seluruh dunia.”

pemain pro rasis
Ryan “FChamp” Ramirez pernah memenangkan EVO 2012. | Sumber: Liquipedia

Dalam dunia esports, Ramirez menggunakan julukan “FChamp”, yang merupakan singkatan dari “Filipino Champ”. Dia adalah salah satu pemain Marvel vs. Capcom paling sukses dalam sejarah. Pada 2012, dia memenangkan Evolution Championship Series (EVO) untuk game Ultimate Marvel vs. Capcom 3, yang dibuat oleh Capcom. Dia juga mencoba untuk berkompetisi di Street Fighter IV dan Street Fighter V. Pada 2016, dia lolos babak kualifikasi dari Capcom Cup untuk Street Fighter V. Pada tahun berikutnya, dia duduk di posisi 7/8 dalam EVO 2017 untuk game Street Fighter V.

Sepanjang karirnya, Ramirez memang dikenal dengan kebiasaannya untuk menghina musuhnya. Terkait larangan Capcom ini, Ramirez percaya, hal itu tidak lebih dari PR stunt dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa perusahaan game itu peduli akan isu kesetaraan. Pasalnya, dia mengaku, dia tidak pernah ikut serta dalam Capcom Pro Tour selama dua tahun belakangan.

Kematian George Floyd, seorang pria berkulit hitam, pada akhir Mei 2020 mendorong warga Amerika Serikat untuk melakukan protes, menuntut kesetaraan hak bagi orang-orang berkulit hitam. Gerakan ini mendorong sejumlah publisher game berjanji untuk lebih aktif dalam mengatasi masalah rasisme di komunitas game mereka. Selain itu, sejumlah perusahaan game memiliki inisiatif untuk memberikan donasi bagi kaum minoritas.

Sumber: ESPN, GamesIndustry

Sumber header: PCMag

EVO Online tak Sertakan Super Smash Bros. Ultimate

Evolution Championship Series, turnamen game fighting terbesar di dunia, harus dibatalkan pada tahun ini karena pandemi virus corona. Sebagai gantinya, turnamen yang juga dikenal dengan nama EVO itu akan diadakan secara online. EVO 2020 seharusnya diadakan di Las Vegas pada akhir pekan di bulan Juli. Namun, karena format turnamen diganti online, maka EVO akan berlangsung selama 5 akhir pekan, yaitu sepanjang bulan Juli.

Pada Februari 2020, penyelenggara EVO mengumumkan lineup game yang akan diadu dalam turnamen tersebut. Sayangnya, dalam EVO Online, ada satu game yang terpaksa untuk tidak disertakan, yaitu Super Smash Bros. Ultimate. Memang, pihak penyelenggara belum memberikan pernyataan resmi terkait alasan mereka melakukan itu. Meskipun begitu, diduga, alasan mengapa Super Smash Bros. tak lagi disertakan dalam EVO Online adalah karena sistem pertandingan online dari game itu agak bermasalah, menurut laporan IGN.

Untungnya, pertandingan dari game-game lain masih akan tetap dilangsungkan. Inilah game-game yang akan diadu dalam EVO Online:

  • Dragon Ball FighterZ
  • Granblue Fantasy Versus
  • Samurai Shodown
  • Soulcalibur 6
  • Street Fighter 5: Champion Edition
  • Tekken 7
  • Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]

Selain itu, penyelenggara EVO juga akan mengadakan turnamen terbuka dari 4 game fighting yang sebelumnya tidak menjadi bagian dari turnamen EVO. Keempat game tersebut antara lain Killer Instinct, Moratl Kombat 11: Aftermath, Skullgirls 2nd Encore, dan Them’s Fightin’ Herds, lapor Polygon.

Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, EVO Online juga akan menyertakan turnamen khusus untuk Marvel vs. Capcom 2 dalam rangka merayakan ulang tahun ke-20 dari game tersebut. Turnamen yang dinamai “20urnament of Champions” itu akan menggunakan sistem undangan.

Sebelum ini, komunitas Smash juga pernah berselisih dengan penyelenggara EVO. Dalam EVO Japan 2020 yang diadakan pada Februari, komunitas Smash meradang karena hadiah turnamen Smash hanyalah controller Nintendo Switch Pro, meski turnamen tersebut disponsori oleh Nintendo. Padahal, turnamen dari game lain menawarkan total hadiah berupa uang tunai yang cukup besar. Misalnya, dalam turnamen Street Fighter dan Tekken 7, dua game fighting paling populer, pemenang dapat membawa pulang hadiah sebesar US$9 ribu atau sekitar Rp122 juta.

Sumber header: Twitter

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

Pentingnya Standar Pada Turnamen Fighting Game Indonesia

Seiring dengan perkembangan esports secara umum di Indonesia, komunitas fighting game atau Fighting Game Community (FGC) ternyata juga turut “kecipratan” perkembangannya. Salah satu alasan terbesarnya mungkin datang dari SEA Games 2019, yang turut mempertandingkan Tekken 7, membuat fighting game (FG) mendapat perhatian yang lebih besar. Dampaknya? Turnamen fighting game kini jadi semakin marak.

Sepanjang tahun 2019, setidaknya ada 6 turnamen figthing game di Jabodetabek. Ini saja kita baru menghitung turnamen yang diadakan oleh salah satu tournament organizer tertua di skena FGC Indonesia yaitu Advanced Guard. Belum lagi turnamen-turnamen lainnya seperti Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight, atau mungkin turnamen di luar Jabodetabek yang diselenggarakan oleh komunitas seperti Drop the Cap.

Namun demikian, banyaknya turnamen fighting game memunculkan beberapa dampak. Salah satunya adalah penerapan rules yang tidak standar antar kompetisi satu dengan yang lain. Karena perkembangan skena fighting game sudah cukup terasa, saya jadi berpikir bahwa kini sudah saatnya turnamen fighting game, apapun itu menggunakan peraturan standar kompetitif yang berlaku. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan terkait hal ini.

Belajar dari EVO 2008

Anda pecinta FG mungkin sudah tidak asing dengan gelaran Evolution Championship Series atau yang lebih dikenal dengan nama EVO. Berjalan sejak tahun 1996 lalu, EVO selama ini dianggap sebagai turnamen paling bergengsi di kalangan Fighting Game Community (FGC). Selama ini posisi EVO berhasil mempertahankan tradisi kompetisi pada zaman arcade, sampai sekarang menjadi sebuah fenomena global.

Menjadi satu gelaran yang sangat berkaitan erat dengan komunitas pemain fighting game, tak heran jika gelaran ini sangat dihormati oleh komunitas. Tak heran agar EVO bisa mempertahankan nama baiknya, ia harus menggunakan peraturan sesuai standar pada setiap cabang game yang dipertandingkan.

Tapi bukan berarti EVO selalu tanpa celah. Pada EVO 2008, mereka sempat melakukan satu kesalahan yang cukup penting. Kesalahan ini memperuncing pertikaian antara komunitas FG secara umum dengan komunitas Smash. Masalah ini muncul pada saat EVO mengikutsertakan Super Smash Bros. Brawl (Wii) sebagai bagian dari kompetisi EVO 2008.

Dalam pertandingan tersebut, EVO menggunakan satu ruleset yang tidak sesuai standar, yaitu memperkenankan Items di dalam pertandingan. Items dalam Brawl merupakan sebuah benda yang muncul dalam waktu, bentuk, serta efek yang acak. Penambahan ruleset ini mengakibatkan jalannya pertandingan jadi semakin sulit untuk diduga, karena menambah faktor keberuntungan dari kemenangan seorang pemain.

Mengutip dari Red Bull Esports, dikatakan bahwa setelah kejadian tersebut Brawl segera menjadi bahan tertawaan oleh peserta cabang game lain EVO. Penerapan ruleset tersebut berdampak kepada cara pandang FGC terhadap Brawl. Memperuncing hubungan antara FGC dengan komunitas penggemar seri Super Smash Bros (SSB). SSB dianggap bukan bagian dari fighting game oleh komunitas karena anggapan bahwa memenangkan kompetisi SSB tidak selamanya karena jago, tapi bisa jadi karena keberuntungan.

Beberapa tahun berlalu, hubungan antara FGC dengan SSB sudah membaik. EVO Japan 2020 kembali melibatkan komunitas SSB lewat seri terbarunya, Super Smash Bros. Ultimate. Walau sempat menjadi kontroversi karena kompetisinya hanya berhadiah sebuah kontroler saja, namun kemenangan Shutton di sana tetap dihormati oleh komunitas karena kemampuan yang ia tunjukkan.

Sumber: EVO
Sumber: EVO

Kasus EVO 2008 sebenarnya bisa menjadi pelajaran berarti bagi penyelenggara turnamen fighting game di Indonesia. Mengingat fighting game bersifat individual, usaha penyelenggara untuk menjunjung tinggi sportivitas pastinya akan sangat diharapkan. Demi kompetisi yang dianggap adil ataupun demi gengsi yang didapatkan sang juara setelah memenangkan kompetisi tersebut.

Tanpa peraturan yang sesuai standar, mereka yang kalah kompetisi mungkin bisa saja nyinyir, menganggap kompetisi tersebut tidak adil karena peraturannya tidak sesuai standar. Buntut panjangnya, mungkin turnamen tersebut bisa menjadi dipandang buruk oleh komunitas.

Kata Komunitas Fighting Game Indonesia

Seakan tak lengkap jika kita membicarakan hal ini tanpa melibatkan Bram Arman co-founder Advanced Guard, ke dalam perbincangan. Bram mungkin bisa dibilang sebagai dedengkot komunitas fighting game di Indonesia yang menurut saya patut untuk dihormati. Salah satu alasan saya pribadi adalah, karena usahanya untuk terus mengasuh komunitas fighting game di Indonesia yang sudah ia lakukan sejak dari tahun 2012 lalu.

Ia mengatakan, permasalahan ini memang punya pro dan kontra tersendiri, apalagi mengingat jumlah massa FGC di Indonesia tidak sebesar di luar negeri. “Semua pasti ada sisi pro and cons, termasuk jika kita bicara soal turnamen fighting game yang semakin banyak, namun memiliki peraturan yang tidak sesuai standar. Melihat hal ini, pro-nya adalah, exposure buat FGC jadi tambah banyak, terutama Tekken yang belakangan memang marak turnamen. Cons-nya kalau menurut pendapat saya personal, saya merasa miris melihat kejadian seperti ini. Apalagi saya sendiri merasa sudah meluangkan banyak waktu untuk membuat turnamen fighting game sesuai standar dan dengan kualitas yang memadai.” Ucap Bram.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Terkait soal hal tersebut, kami juga menanyai komunitas Cross Gathering, salah satu komunitas fighting game yang berdomisili di Surabaya, Jawa Timur. Komunitas ini kerap kali membuat turnamen berbagai macam fighting game untuk para penggemarnya yang berada di domisili Jawa Timur dan sekitarnya. Saya pun menanyai pendapat Eko Gunawan sebagai seseorang yang bisa dibilang sebagai salah satu tetua dari komunitas Cross Gathering.

Eko juga punya pandangannya sendiri terkait permasalahan ini. “Menurut saya pribadi, mempertandingkan suatu game dengan peraturan internasional itu banyak untungnya kok bagi penyelenggara. Karena jadinya komunitas tidak ada yang protes, panitia juga harusnya jadi tidak terlalu direpotkan. Mengapa jadi tidak direpotkan? Karena peraturan internasional pasti sudah melalui pertimbangan serta persetujuan dari developer ataupun komunitas. Jadi penyelenggara tinggal pakai saja.” Ucapnya.

Sumber: Drop the Cap
Eko Gunawan (kedua dari kanan) yang juga menjadi runner up di dalam gelaran Hybrid Cup Sumber: Drop the Cap

Memang apa saja yang membuat turnamen fighting game bisa dikatakan sesuai standar? Menurut saya yang paling minimal adalah turnamen tersebut menggunakan game versi terbaru, pemainnya dibebaskan menggunakan controller apapun, dan menggunakan format best-of-3.

Pertama-tama soal versi game yang digunakan. Sebagai perwakilan pemain, saya menanyai pendapat Jovian (Cobus) dari DRivals. Cobus yang merupakan seorang pemain Tekken 7, merasa kehadiran peraturan atau sistem permainan yang tidak standar sedikit-banyak mempengaruhi mentalitas pemain.

“Kalau ditanya pendapat, pasti kecewa kalau peraturannya tidak sesuai standar. Satu yang paling fatal dan beberapa kali gue temukan adalah penggunaan Tekken 7 versi lama untuk kompetisi. Walau ini tidak mempengaruhi level kompetitif dalam turnamen tersebut, tapi gue merasa hal ini mempengaruhi level kompetitif pemain Tekken Indonesia secara keseluruhan. Menurut saya ini membuat pemain Tekken Indonesia tidak terbiasa melatih mental dan skill untuk tingkat lebih tinggi, terutama untuk kompetisi yang menggunakan peraturan standar internasional.” Cobus mengatakan.

Lalu bagaimana kalau bicara soal controller? Bram lalu mengutarakan pendapatnya. “Kalau bicara dalam lingkup FGC, controller itu sangat fatal. Sejak awal, FGC tidak pernah menyamaratakan controller yang harus digunakan dalam sebuah turnamen. Setiap pemain diperkenankan menggunakan controller-nya masing-masing, entah itu Joystick, Arcade Stick, Mixbox, ataupun Keyboard. Kalau sampai dipaksa menggunakan satu jenis controller saja, menurut saya turnamen tersebut malah jadi kurang sportif.”

Sumber: Geek Buying
Sumber: Geek Buying

Jika bicara controller, saya juga setuju dengan pendapat bram. Pemilihan controller ibarat seperti pemilihan sepatu pada pemain bola. Anda tidak bisa mengharuskan semua pemain menggunakan satu jenis sepatu di dalam pertandingan sepak bola. Karena masing-masing pemain punya karakteristik permainannya sendiri, misalnya pemain sayap butuh sepatu yang optimal untuk gerak lincah, sementara pemain tengah butuh sepatu yang optimal untuk mengontrol serta mengumpan bola dengan tepat sasaran.

Kembali membahas fighting game, kenyamanan dan kebiasaan adalah alasan utama dalam pemilihan controller pesertanya. Pemain yang pakai Arcade Stick biasanya sudah mengenal fighting game sejak masih ada di Arcade, jadi mereka tidak bisa dipaksa harus menggunakan Joystick, begitupun sebaliknya. Jadi adil dalam pemilihan controller di fighting game adalah dengan dibebaskan menggunakan apapun. Toh, perbedaan controller tidak mempengaruhi kemampuan Anda bertarung di dalam pertandingan fighting game. Pada EVO saja, banyak juga kok pemain Tekken atau Street Fighter yang masih menggunakan Joystick untuk bertanding di tingkat dunia.

Terakhir adalah soal format best-of-3. Ini juga menjadi penting dalam sebuah pertandingan fighting game. Bram punya pendapatnya sendiri terkait hal ini. “Memang best-of-3 itu menurut saya wajib di dalam fighting game. Kenapa? Karena best-of-1 rentan memunculkan faktor keberuntungan. Kalau skill gap antara pemain satu dengan yang lain sangat jauh, mungkin best-of-1 masih tidak masalah. Tapi bagaimana jika sama-sama jago? Di sini yang tadi saya sebut, rentan memunculkan faktor keberuntungan.” ucap Bram.

Apa yang Harus Komunitas Lakukan

Menghadapi masalah yang kian terasa ini, apa yang sebetulnya harus dilakukan oleh FGC Indonesia? Tidak, saya tentunya tidak akan menyuruh komunitas untuk “memboikot” turnamen yang peraturannya kurang jelas. Karena saya merasa pasti ada solusi yang lebih bijak atas masalah tersebut.

Saya lalu kembali mengutip pendapat Eko dari Crossgathering untuk membahas ini. Eko juga sedikit cerita, bahwa fenomena seperti ini juga beberapa kali terjadi di Surabaya. “Kalau bicara turnamen FG, seperti di Jakarta, paling banyak tetap Tekken. Walau pesertanya mungkin lebih sedikit dibanding Jakarta, namun turnamen Tekken pasti minimal memiliki 32 peserta. Soal turnamen dengan peraturan yang tidak standar? Sudah pasti ada juga di Surabaya.” ucapnya.

Eko lalu melanjutkan apa yang biasa ia lakukan menghadapi masalah tersebut. “Kalau saya sebagai perwakilan komunitas yang peduli dengan game-nya, biasanya akan menghubungi panitia, lalu menawarkan bantuan serta saran agar turnamen bisa berjalan dengan lancar. Beberapa ada yang terbuka, beberapa ada yang tidak mau menerima. Kalau tidak terbuka, biasanya mereka juga yang kerepotan. Akhirnya peserta banyak yang protes karena panitia tidak berpengalaman. Belum lagi kalau turnamen tersebut dibahas secara buruk oleh komunitas, tentunya pihak penyelenggara juga yang rugi.” Tukasnya.

Sumber: Drop the Cap
Antusiasme pemain fighting game di Surabaya yang sama besarnya seperti di Jakarta dan sekitarnya. Sumber: Drop the Cap

Namun demikian Eko juga merasa bahwa masalah tersebut nyatanya di luar kendali komunitas. “Jika kita bicara soal organizer besar yang menyelenggarakan turnamen fighting game dengan hadiah besar tapi peraturannya tidak mengikuti standar, saya merasa itu kembali lagi menjadi hak mereka. Tapi hal ini tentu sangat disayangkan. Kalau saja mereka mau merangkul dan menerima bantuan komunitas, jalannya turnamen tentu akan jadi lebih mulus. Kenapa? Komunitas sudah pasti paham dengan FG yang dipertandingkan serta perangkat mereka juga lebih update. Jadi pada akhirnya jika mau bekerja sama, ini menjadi simbiosis mutualisme kok antara penyelenggara dengan komunitas.” ucap Eko.

Lalu bagaimana jika dari sisi pemain? Apa yang bisa dilakukan oleh para pemain? Seperti tadi yang sudah saya bilang pada awal, “memboikot” rasanya bukan cara yang bijak untuk dilakukan. Perkembangan komunitas mungkin malah terhambat, jika misalnya tindakan tersebut dilakukan. Skenario terburuknya, memboikot mungkin akan menyebabkan perpecahan. Muncul perbedaan kubu antara pemain pro peraturan standar dengan pemain yang tidak terlalu peduli dengan peraturan standar. Akhirnya FGC Indonesia yang belum sempat menjadi lebih besar, malah terpecah belah terlebih dahulu.

Jovian lalu menyatakan pendapatnya. “Menurut saya, satu-satunya langkah yang patut dicoba memang adalah dengan edukasi kepada panitia tersebut setiap kali turnamen. Supaya ke depannya mereka bisa membuat turnamen yang punya peraturan sesuai standar. Karena kalau dari sisi pemain, jujur saja, kami tentunya ingin bisa mendapat kemenangan, ingin mendapat sesuatu dari hasil latihan yang kami lakukan. Jadi mau tidak mau, banyak turnamen juga menjadi keuntungan tersendiri bagi pemain kompetitif seperti saya dan kawan-kawan DRivals.” ucapnya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Para peserta di dalam gelaran Hybrid Cup Tekken 7 Team Fight. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Bicara soal turnamen, Hybrid juga selalu mencoba menunjukkan bahwa turnamen fighting game harus sesuai dengan standar yang ada. Hybrid Cup, sudah hadir beberapa kali dengan mempertandingkan beberapa macam fighting game, dan selalu menggunakan peraturan sesuai dengan standar kompetitif masing-masing game. Hasilnya adalah komunitas mempercayai turnamen yang diadakan oleh Hybrid, dan puncaknya adalah gelaran Hybrid Cup Series – Play on PC: Fighting Game Tournament yang diikuti oleh hampir 200 peserta.

Bicara soal apa yang harus dilakukan komunitas, Bram memiliki pendapat yang kurang lebih serupa dengan Eko. Menurutnya, kehadiran banyak turnamen dengan rules yang bervariasi ini memang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Nyatanya, turnamen seperti ini juga tidak akan sepi.” kata Bram.

“Pemain-pemain fighting game sudah pasti haus kompetisi. Jadi, pemain juga pasti realistis saja, mengapa tidak untuk ikut turnamen seperti ini? Walau peraturannya mungkin tidak nyaman bagi pemain, tetapi mereka pasti punya sisi oportunis, ingin mengejar hadiah, ingin mendapatkan pengakuan, atau sesederhana ikut karena dekat dengan lokasi acara dan ingin jajal kemampuan. Menurut saya hal itu juga tidak salah, karena motivasi masing-masing pemain tentunya berbeda-beda.” Bram menyatakan pendapatnya.

“Pada dasarnya, turnamen fighting game yang merebak memang menguntungkan player. Kalaupun mereka ikut, para player dari komunitas biasanya sharing tips kepada sang penyelenggara, karena mereka sebenarnya juga punya kepedulian yang sama. Cuma, jika bicara dari sudut pandang saya sebagai Tournament Organizer, saya cuma bisa bilang saya berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas.”

“Maka dari itu saya sejujurnya sangat bersyukur terhadap beberapa pihak yang masih percaya dengan saya, karena kepercayaan tersebut menjadi kesempatan bagi saya dan FGC Indonesia untuk unjuk gigi community effort yang sesungguhnya. Pada akhirnya, passion komunitas bisa berjalan bersamaan kok dengan keinginan pihak-pihak terkait.” Bram memberi pendapatnya seraya menutup perbincangan kami soal standar turnamen fighting game.

Turnamen yang tidak sesuai standar memang kerap kali menjadi masalah bagi komunitas game, tak terkecuali komunitas fighting game. Saya sendiri setuju dengan pendapat para narasumber yang telah membantu saya melengkapi artikel ini, yaitu edukasi tanpa henti dan terus memberi saran kepada penyelenggara yang sudah membuat turnamen fighting game untuk komunitas.

Sumber header: Esports Edition

Divergent Microfactories Pamerkan Blade, Supercar Modular Yang Ramah Lingkungan

Supercar atau mobil eksotis mengacu pada tipe kendaraan elit serta edisi terbatas. Karena level ini sangat bergengsi, perusahaan otomotif biasanya mencurahkan segala sumber daya mereka demi memastikan produknya lebih unggul dibanding kompetitor. Di sana, bisa jadi faktor terakhir yang baru mereka pikirkan ialah penghematan material dan pemakaian sumber daya. Continue reading Divergent Microfactories Pamerkan Blade, Supercar Modular Yang Ramah Lingkungan