Mobile Arena, Arena of Valor, dan Bubarnya EVOS.AOV

Tujuh hari lalu (23 Oktober 2020) satu berita mengejutkan datang dari skena Arena of Valor Indonesia yaitu berita bubarnya tim EVOS Esports. Kejadian tersebut mengejutkan bagi skena AOV lokal mengingat posisi EVOS Esports sebagai tim paling sukses di skena lokal sampai saat ini.

Kasus seperti ini mungkin mirip seperti kasus Sinatra beberapa bulan lalu ketika ia memutuskan untuk pindah ke VALORANT. Kasus tersebut jadi heboh karena posisi Sinatra yang notabene MVP dan juara Overwatch League bersama San Francisco Shock malah pindah ke skena VALORANT yang kala itu masih belum jelas masa depannya. Kejadian seperti EVOS AOV ataupun Sinatra tentunya memunculkan tanda tanya tersendiri.

Dalam kasus EVOS Esports, hal yang jadi pertanyaan mungkin adalah “ada apa dengan skena AOV sampai-sampai ditinggal oleh tim terbaiknya?” Saya sendiri tidak punya jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam hal EVOS AOV, belakangan Henri Teja selaku mantan pemain ke-6 EVOS AOV terlihat sedang rajin streaming bermain Wild Rift bersama Pokka dan Wirraw yang merupakan pemain EVOS AOV. Namun tentunya saya tidak bisa berspekulasi apapun terkait hal tersebut.

Terlepas dari apa yang terjadi pada tim AOV EVOS Esports, pertanyaan soal keadaan skena AOV lokal Indonesia sendiri sebenarnya menjadi satu topik menarik tersendiri untuk dibahas. Untuk mengetahui keadaan serta bagaimana masa depan “si MOBA Batman”, mari kita sedikit melakukan napak tilas terhadap perkembangan Arena of Valor di Indonesia sampai titik sekarang.

 

Mobile Arena dan Carut Marut Usaha Lokalisasi Arena of Valor

Arena of Valor memang terbilang punya strategi yang “unik” pada awal perkembangannya. Tencent dan TiMi Studios selaku developer dan publisher utama Arena of Valor melibatkan beberapa rekan dalam usahanya melakukan penetrasi di beberapa pasar game Asia. Ada Garena mengurus penerbitan AOV di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Taiwan. Netmarble mengurus penerbitan AOV di Korea Selatan. Terakhir ada DeNA mengurus penerbitan AOV di Jepang.

Arena of Valor dirilis dengan nama Mobile Arena ketika mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir Mei 2017. Nama game Arena of Valor juga berbeda-beda di masing-masing negara ketika pertama kali rilis. Vietnam menggunakan nama Lien Quan Mobile, Thailand mengunakan nama Realm of Valor, Indonesia menggunakan nama Mobile Arena, sementara Korea Selatan menggunakan nama Penta Storm. Tetapi ternyata perbedaan pengurus memunculkan masalah tersendiri bagi AOV, salah satunya adalah masalah distribusi update yang tidak merata.

Ketika diperkenalkan pada Mei 2017, Garena Indonesia selaku publisher resmi atas Mobile Arena melakukan strategi yang mirip seperti ketika mereka mengasuh League of Legends untuk pasar lokal. Strategi tersebut adalah menyediakan server serta berbagai inisiatif lokal Indonesia seperti esports ataupun berbagai acara tingkat grassroot untuk membesarkan komunitas.

Sayangnya strategi tersebut tidak berjalan sepenuhnya mulus dan memunculkan beberapa masalah. Selain soal distribusi update yang tidak merata, masalah lain juga jadi muncul karena penerapan server lokal Indonesia ternyata membuat durasi matchmaking jadi lebih lama.

Setelah dua bulan Mobile Arena beroperasi sejak Mei 2017, Garena Indonesia mengumumkan pergantian nama game jadi Arena of Valor pada bulan Agustus 2017. Pengumuman tersebut memunculkan secercah harapan penyatuan server/konten untuk kawasan Asia Tenggara ataupun global. Sayangnya perubahan nama ternyata tidak mengubah kondisi game Arena of Valor yang ketika itu membuat pemain cukup frustasi. Distribusi update tetap tidak merata dan server game juga tetap dipisah berdasarkan aplikasi game.

Terkait server lokal Indonesia, hal tersebut jadi masalah karena pemain Arena of Valor/Mobile Arena di zaman itu relatif kalah jumlah dibanding pemain Mobile Legends. Salah satu alasan jumlah pemain AOV jadi kalah adalah karena Mobile Legends lebih dulu rilis, tepatnya pada Juli 2016, dan mereka juga sudah punya skena esports yang lumayan besar pada saat Mobile Arena dirilis.

Karena jumlah pemainnya yang relatif lebih sedikit, pemain server lokal Indonesia (Baratayudha) jadi kesulitan mendapatkan match. Pemain casual yang populasinya cenderung lebih banyak mungkin tidak terlalu merasakan masalah matchmaking tersebut. Tetapi masalah durasi matchmaking jadi cukup terasa bagi pemain kompetitif level tinggi mengingat jumlah mereka yang cenderung lebih sedikit.

Masalah durasi matchmaking ternyata juga dirasakan oleh server Valiant yang berisikan Malaysia, Singapura, dan Filipina (Disingkat MSP). Akhirnya pada 11 April 2019 Garena Indonesia mengumumkan penyatuan server Baratayudha (Indonesia) dengan server Valiant (MSP) yang diharapkan bisa menjadi solusi atas durasi serta tingkat kompetisi matchmaking game yang terjadi sebelumnya. Namun masih ada satu masalah lain yang masih menghinggapi yaitu masalah distribusi update.

Sumber: Garena AOV indonesia
Sumber: Garena AOV indonesia

Sejak dulu hingga sekarang, server Thailand, Vietnam, dan Taiwan kerap menjadi patokan karena mereka cenderung lebih dulu menerima update Hero, game, ataupun balancing patch. Sebagai sedikit gambaran bagaimana perbedaan update antar server terjadi di Arena of Valor, Anda mungkin bisa mengintip tabel milik Samurai Gamers yang menjabarkan perbedaan ketersediaan Hero antara server satu dengan yang lain.

Hal ini juga memunculkan masalah yang lagi-lagi lebih dirasakan oleh para pemain kompetitif. Perbedaan patch dan jumlah Hero mengakibatkan pemain lokal Indonesia cenderung kalah saing apabila bertanding di tingkat internasional. Selain ada perbedaan mekanik, variasi Hero yang bisa dimainkan pemain Indonesia juga kalah banyak jika dibandingkan dengan pemain Thailand, Vietnam, dan Taiwan.

Untuk mengafirmasi opini tersebut saya berbincang singkat dengan Agung “RuiChen” Chen yang sudah melatih roster AOV EVOS Esports untuk bertanding di kancah lokal dan internasional sejak sekitar tahun 2018. Ternyata Agung juga berpendapat serupa.

“Perbedaan patch sangat jadi masalah bagi pemain profesional seperti kami. Hal tersebut jadi masalah karena kami harus banyak adaptasi ketika bertanding di tingkat internasional,” ucap Agung.

Sumber: Agung "RuiChen" pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports.
Agung “RuiChen” pelatih divisi AOV dari tim EVOS Esports. Sumber: ESL Indonesia

“Bukan cuma perbedaan patch, perbedaan jumlah Hero juga jadi masalah lain. Contohnya ada pada ASL Season 4 kemarin (tahun 2020) kami enggak bisa pakai Sinestrea pada saat Hero tersebut sudah bisa pakai di pertandingan luar negeri. Lalu memangnya kenapa beda jumlah Hero jadi masalah? Karena kompetisi AOV menggunakan sistem Global Ban Pick yang hanya memperkenankan pemain pick satu Hero pada satu kali kesempatan saja di dalam seri pertandingan best-of-sekian. Pada level kompetisi tertinggi, perbedaan satu Hero bisa jadi begitu krusial dalam persaingan untuk menjadi juara,” Agung menjelaskan lebih lanjut.

Walaupun begitu, inisiatif Garena Indonesia menghadirkan konten lokal sebetulnya patut diacungi jempol. Salah satu yang patut diapresiasi adalah usaha Garena Indonesia menghadirkan Hero Wiro Sableng ke dalam AOV
pada September tahun 2018 lalu. Ketika itu Garena Indonesia bekerja sama dengan Caravan Studio dan Lifelike Pictures untuk menghadirkan karakter tersebut sebagai sarana promosional film Wiro Sableng. Bukan cuma karakternya saja, Voice Line Wiro Sableng di AOV Indonesia juga diisi oleh Vino G. Bastian yang merupakan pemeran dari karakter tersebut di dalam film.

Namun memang kehadiran konten ini kembali memunculkan tanda tanya kembali di kalangan komunitas terkait distribusi update yang tidak merata. Apalagi mengingat Hero tersebut cukup kuat untuk digunakan di dalam kompetisi, komunitas jadi bertanya “Apakah Wiro Sableng akan hadir di server lain dan bisa digunakan di turnamen internasional?” Untungnya Hero tersebut didistribusikan ke server AOV lain secara bertahap. Server Taiwan pun menjadi server kedua yang menerima Hero Wiro Sableng setelah Indonesia.

 

“Main AOV Dapat 7M” dan Kesuksesan EVOS Esports di SEA Games 2019

Arena of Valor mungkin cukup tertatih dari segi penyajian game. Walaupun begitu game tersebut ternyata cukup berhasil sebagai esports jika melihat inisiatif Garena Indonesia untuk skena lokal. Usaha Garena Indonesia menyajikan esports AOV untuk pasar lokal sudah terlihat sejak dari awal perilisan game tersebut. Ketika pertama dirilis dengan nama Mobile Arena, Garena Indonesia mulai menginisiasi skena kompetitif lokal lewat sajian turnamen terbuka bertajuk MO-Cup pada Juni 2017.

Mobile Arena berganti nama menjadi Arena of Valor pada bulan Agustus 2017 dan MO-Cup berganti nama menjadi VO-Cup. Pergantian nama tersebut juga dimanfaatkan untuk menginisiasi skena kompetitif AOV Indonesia jadi lebih besar lagi lewat sajian turnamen nasional perdana bertajuk Battle of Valor pada bulan September 2017. Turnamen tersebut dipromosikan lewat sebuah jargon “Main AOV dapat 7M” yang mungkin masih terngiang di kepala Anda hingga sekarang.

Battle of Valor terbilang jadi awal dari semua sejarah esports AOV hingga kini. Battle of Valor menjadi turnamen nasional perdana yang dimenangkan oleh EVOS Esports. Selain itu Battle of Valor juga menjadi turnamen AOV pertama yang mengutus pemenangnya ke turnamen internasional bertajuk Arena of Valor International Championship.

Pasca Battle of Valor, Garena Indonesia lalu membuat skena kompetitif AOV jadi lebih konsisten lewat sajian Arena of Valor Star League (ASL). Liga ASL sudah berjalan selama 4 musim selama dua tahun ke belakang. Musim pertamanya diselenggarakan Januari 2018 dengan musim terakhirnya selesai pada September 2020 lalu.

Selama perjalanannya, liga ASL mengalami berbagai pasang surut. Walau demikian ada satu cerita yang sama pada turnamen BoV dan 4 kali liga ASL. Kisah tersebut adalah kemenangan EVOS Esports di setiap pertandingan tingkat nasional. Walaupun EVOS Esports memenangkan semua turnamen nasional tapi persaingan antar tim tetap berjalan dengan ketat. EVOS Esports selalu dihalau oleh GGWP.ID di babak Grand Final dua musim awal ASL. Lucunya dua pertandingan Grand Final tersebut menghasilkan skor yang sama yaitu 3-1 dengan kemenangan untuk EVOS Esports di ASL Season 1 dan 2.

Musim ketiga ASL sempat memunculkan sedikit tanda tanya karena ada sedikit perbedaan dari sisi penyelenggaraan. Garena Indonesia mengurus liga ASL secara mandiri pada dua musim awal. Pada musim ketiga, Garena Indonesia memilih bekerja sama dengan ESL Indonesia untuk menyelenggarakan liga ASL sejak dari babak Regular Season.

Dari segi kompetisi, liga ASL Season 3 mungkin bisa dibilang sebagai liga AOV paling kompetitif sepanjang perjalannya. Hal tersebut salah satunya terlihat pada laga Grand Final ASL Season 3 yang mempertemukan Saudara e-Sports (SES) dengan EVOS Esports. Ketika itu SES berhasil mendesak EVOS Esports dengan sangat keras sampai skor menjadi 2-2. Namun sayang SES tidak dapat mempertahankan momentumnya sehingga Game ke-5 diambil EVOS Esports yang sekaligus membuat mereka menjadi juara ASL selama 3 musim berturut-turut.

Liga ASL Season 4 terjadi pada masa-masa pandemi di tahun 2020 ini. Diselenggarakan mulai April 2020, babak Regular Season memunculkan kejutan tersendiri karena ada dua tim yang muncul secara tidak terduga. Pada musim ini DG Esports dan XcN Gaming mencuat sebagai pengisi peringkat 1 dan 2 klasemen babak Regular Season ASL Season 4. EVOS Esports sebagai juara bertahan ASL finis di peringkat 3 babak Regular Season ASL Season 4.

Walaupun demikian EVOS Esports ternyata langsung mendominasi ketika memasuki babak Playoff. Mereka melibas semua lawan-lawannya dengan cukup meyakinkan. Mereka mengalahkan ArchAngel (peringkat 4 Regular Season) dan XcN Gaming (peringkat 2 Regular Season) dengan skor 3-1. Pada babak final, EVOS Esports malah melibas sang pemuncak klasemen babak Regular Season (DG Esports) dengan skor 4-0 dalam seri pertandingan best-of-7.

Sumber: YouTube Channel Garena AOV Indonesia.
Sumber: YouTube Channel Garena AOV Indonesia.

Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri adalah tren viewership ASL yang cenderung menurun apabila kita membandingkan jumlah views antar tayangan pertandingan Grand Final ASL. ASL Season 1 menjadi tayangan dengan jumlah views tertinggi dengan total sebanyak 381.822 views. Setelahnya jumlah views naik turun di kisaran angka 200 ribu dan tidak pernah menyentuh angka 300 ribu lagi.

Secara internasional Arena of Valor sebenarnya mendapat pengakuan yang cukup positif. Salah satu pengakuan terbaik atas game tersebut mungkin bisa dibilang terjadi pada tahun 2018 dan 2019. Pada masa itu, esports dipertandingkan pada festival olahraga tingkat Asia untuk pertama kalinya. Arena of Valor terpilih sebagai salah satu cabang pertandingan pada eksibisi esports di Asian Games 2018 dan pertandingan bermedali di SEA Games 2019.

Perolehan Indonesia pada Asian Games 2018 terbilang kurang memuaskan karena timnas kita harus terhenti di awal. Indonesia yang berisikan roster campuran pemain dari beberapa tim menghadapi dua lawan yang berat ketika itu yaitu Taiwan di Upper-Bracket dan Thailand di Lower Bracket.

Sumber: IESPA - Edit: Akbar Priono
Sumber: IESPA – Edit: Akbar Priono

Indonesia tampil lebih menjanjikan pada SEA Games 2019. Timnas Indonesia yang kali ini diwakili oleh pemain-pemain EVOS Esports hampir saja berhasil meraih medali emas di SEA Games 2019. Sayang skuad Thailand berhasil menghentikan Wiraww dan kawan-kawan dengan skor 3-0 di babak perebutan medali Emas. Skuad AOV Indonesia pun akhirnya harus puas pulang hanya dengan membawa medali perak saja di SEA Games 2019.

 

Ada Apa Dengan AOV dan Persaingan Ketat di Masa Depan

Dengan segala inisiatif yang dilakukan oleh Garena Indonesia, Arena of Valor terbilang tidak pernah mengenyam kesuksesan di tingkat tertinggi. Dari segi penyajian game, Anda bisa lihat sendiri bagaimana AOV dihinggapi berbagai keluhan sejak awal perilisan. Tren viewership liga ASL yang menurun juga bukan pertanda baik bagi masa depan esports AOV. Apalagi kalau misalnya mau dibandingkan, jumlah views ASL yang hanya 200 ribuan terpaut cukup jauh dari jumlah views liga MPL (MLBB) yang mencapai angka 2 jutaan.

Prestasi EVOS Esports yang cukup baik di tingkat internasional mungkin bisa menjadi sedikit titik cerah bagi para penikmat esports AOV. Tapi akhirnya Anda bisa lihat sendiri, EVOS Esports sebagai tim paling sukses di skena AOV lokal pun memutuskan untuk meninggalkan skena esports AOV.

Jadi sebenarnya ada apa dengan AOV? Laporan dari Reuters yang ditulis Pei Li dan Brenda Goh pada bulan Mei 2019 lalu mungkin bisa menjadi sedikit gambaran terhadap apa yang terjadi pada AOV beberapa tahun belakangan. Laporan tersebut lebih menyoroti perkembangan AOV di Eropa dan Amerika Serikat. Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa Tencent sudah “lepas tangan” terhadap perkembangan AOV di Eropa dan Amerika Serikat.

“Saat ini kami cuma bisa pasrah membiarkan AOV hidup atau mati sendiri di dua pasar tersebut (Eropa dan Amerika Serikat),” ucap sumber internal yang tidak bisa disebut namanya kepada Reuters. Sumber tersebut lalu menambahkan bahwa AOV hanya memiliki 100.000 pengguna aktif harian di Eropa dan 150.000 di Amerika Serikat pada tahun tersebut.

Lebih lanjut, sumber internal Reuters mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena ada kesalahan strategi marketing dari pihak Tencent. Setidaknya ada 3 kesalahan strategi marketing yang disebut dalam laporan tersebut. Pertama adalah penyajian superhero DC Comics (Superman, Batman, dsb) yang justru membuat AOV jadi terasa terlalu “unik”. Kedua adalah integrasi AOV dengan platform Facebook yang justru terasa asing bagi gamers barat karena mereka jarang menggunakan platform media sosial tersebut. Ketiga adalah ketegangan antara Riot Games dengan Tencent karena penggunaan pemain bintang League of Legends (Xpeke dan YellowStar) sebagai sarana marketing Arena of Valor.

Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa ketegangan antara Riot Games dan Tencent terjadi karena pihak Riot merasa Honor of Kings (versi lokal Tiongkok dari Arena of Valor) terlalu menjiplak League of Legends. Pada awalnya Riot tidak mempermasalahkan ketika Tencent sukses dengan Honor of Kings di pasar lokal Tiongkok dan berhasil mendapatkan 55 juta pengguna aktif harian.

Namun Riot akhirnya bertindak tegas ketika Tencent berusaha memasarkan Arena of Valor sebagai versi internasional dari Honor of Kings di pasar Eropa. Merasa brand mereka terancam, Riot Games memprotes pihak eksekutif Tencent yang membuahkan pelarangan usaha marketing AOV di Eropa selama 2 bulan. Pasca kejadian tersebut Riot mendapat hak untuk melakukan review terhadap semua rencana marketing, desain poster, bahkan mendapat hak untuk melarang Tencent apabila mereka ingin menggunakan selebriti gamers tertentu sebagai sarana marketing.

Laporan tersebut lalu ditutup dengan kabar bahwa hubungan antara Tencent dengan Riot sudah kembali membaik pasca kejadian tersebut. Narasumber dari Reuters juga mengatakan bahwa mereka (Riot dan Tencent) sedang mengerjakan versi mobile dari League of Legends pada laporan yang terbit tahun 2019 tersebut.

Kini League of Legends Mobile atau Wild Rift telah dirilis ke publik untuk pasar Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand. Jika kita menyambungkan dari apa yang dibahas dalam laporan Reuters dengan kejadian saat ini, sepertinya bukan tidak mungkin bahwa Arena of Valor akan digantikan oleh Wild Rift di masa depan demi menyatukan Riot dan Tencent ke dalam satu pijakan yang sama di ranah MOBA untuk mobile.

Terlebih nasib Arena of Valor juga sudah menjadi semakin tidak pasti di beberapa daerah. Selain Eropa dan Amerika yang tadi disebutkan, India juga jadi negara penerbitan AOV yang nahas nasibnya. Pasca pemblokiran yang dilakukan oleh pemerintah India di bulan September 2020, Tencent akhirnya memutuskan untuk menutup server AOV India pada tanggal 24 September 2020 lalu.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kehadiran Wild Rift kemungkinan besar akan menjadi tantangan tersendiri bagi AOV untuk bisa terus bertahan hidup. Pada sisi lain, Garena Indonesia sepertinya terlihat sedang sibuk dengan Free Fire, game besutan mereka sendiri yang dikabarkan telah mencatat rekor 100 juta pengguna aktif harian di kuartal kedua 2020. Secara esports, Free Fire Master League juga menunjukkan angka viewership yang manis dengan total 9 juta views pada musim keduanya.

Akankah 2020 menjadi akhir cerita Arena of Valor/Honor of Kings setelah Wild Rift resmi meluncur ke pasaran?

Hal tersebut juga menjadi tanda tanya besar lain mengingat posisi Tencent dan Riot Games yang merupakan satu “keluarga”. Pada akhirnya, hanya Tencent, Riot, dan waktu yang tahu jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita terhadap nasib Arena of Valor/Honor of Kings/Wild Rift di masa depan.

Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaming house, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara.” Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin — kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi — tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah — jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada — kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu…

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas — yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang — setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.

Hasil Positif EVOS AOV di Tengah Banyaknya Rintangan Selama AIC 2019

Arena of Valor International Championship (AIC) 2019 telah dimulai sejak 5 November 2019 lalu, dan kini pertandingan sudah hampir mencapai puncaknya. Tinggal tersisa 4 tim, HTVC IGP Gaming, Team Flash, Buriram United Esports, dan Hong Kong Attitude, bertarung memperebutkan total hadiah sebesar US$500.000 (sekitar Rp7 miliar).

Sayangnya, kita tidak bisa melihat wakil Indonesia dari daftar 4 tim yang masuk babak Semifinal. Wakil Indonesia untuk AIC 2019 adalah EVOS Esports, juara ASL Season 3, yang telah berhasil memenangkan liga AOV kasta satu tingkat nasional sebanyak 3 kali berturut-turut.

Sumber: Twitter @AOVWorld
Sumber: Twitter @AOVWorld

Walau tidak berhasil lolos sampai babak Semifinal, namun perjalanan EVOS di AIC 2019 merupakan sebuah kemajuan terbesar bagi Indonesia di kancah AOV internasional. Tahun 2018 lalu Indonesia kalah telak di dua kompetisi AOV internasional. EVOS yang mewakili Indonesia di AOV World Championship 2018 kalah telak, gugur di babak grup dengan tanpa kemenangan satu kali pun. Saudara E-Sports yang jadi wakil Indonesia di AOV International Championship 2018 juga mengulang kisah yang sama, kalah telak, gugur di babak grup dengan tidak mendapat satu kali pun kemenangan.

Tahun ini, perjuangan Satria Adi “Wiraww” Wiratama dan kawan-kawan membuahkan hasil yang cukup manis. Pada babak grup, EVOS Esports berhasil lolos walau harus menghadapi tim-tim kuat, seperti ahq e-Sports Club atau Hong Kong Attitude.

Masuk babak 8 besar, tantangan berat menanti EVOS Esports. Mereka harus menghadapi Buriram United Esports, tim asal Thailand, yang merupakan juara ROV Pro League (RPL) Season 4. Selama ini tim asal liga RPL selalu dianggap sebagai tim terkuat di kancah AOV Internasional, mengingat status RPL yang bisa dibilang sebagai liga paling kompetitif di AOV.

Alhasil Buriram United Esports layaknya ahq e-Sports Club zaman tahun 2018, yang memberi masalah besar kepada lawan yang dihadapinya. “Menurut gue Buriram United Esports memang tim yang sangat kuat, tim calon juara.” ucap Priyagung “RuiChen” Satriono, coach EVOS AOV, kepada redaksi Hybrid.

Priyagung "RuiChen" Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia
Priyagung “RuiChen” Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia

“Kualitas pemain mereka juga terbilang mengerikan, salah satunya adalah FirstOne (Sanpett Marat). Talenta super berbakat, mekanik permainannya apik, bisa command tim, juga bisa draft.” Agung (sapana Priyagung) melanjutkan ceritanya. Mencoba melawan dengan sekuat tenaga, EVOS Esports harus rela tertekuk lutut di hadapan Buriram United Esports. Mereka kalah 4-1 dari seri pertandingan best-of-7.

“Sebetulnya dari awal turnamen, kami merasa mentalitas tanding kami sudah siap. Namun karena menghadapi banyaknya masalah di hari pertama babak grup dan penambahan rules secara mendadak yang cukup merugikan, sedikit banyak mempengaruhi mental para pemain.” tukas Hilmy Khairy, manajer divisi AOV EVOS Esports.

“Harus cepat adaptasi dengan hal baru, mau tidak mau kami harus latihan lagi sambil mengembalikan mentalitas pertandingan para pemain. Sebetulnya cukup berat, karena hitungannya kami hanya punya satu hari untuk mengubah berbagai macam hal. Untungnya satu seri dan satu menang pada hari pertama berhasil memberikan hawa positif kepada tim kami.” Hilmy melanjutkan cerita perjuangan tim EVOS AOV selama AIC 2019.

Terhenti di babak 8 besar EVOS Esports berhak membawa uang tunai sebesar US$16.000 (sekitar Rp200 juta). Dengan semua perjuangan dan hasil positif yang sudah ditorehkan, Agung mengaku kurang puas dengan apa yang didapat selama AIC 2019.

“Sejujurnya kami cukup ambisius dengan AIC 2019. Kami cukup percaya diri dengan segala persiapan yang kami lakukan, jadi ekspektasi saya dan tim adalah setidaknya bisa mendapat 4 besar, atau malah jadi runner-up. Namun apa mau dikata, soal masalah teknis, dan menghadapi Buriram di babak 8 besar, memang merupakan hal-hal terduga yang ada di luar kendali kami.” Agung bercerita soal harapan tim EVOS Esports untuk AIC 2019.

Pertandingan AIC 2019 masih berlanjut sampai tanggal 23-24 November 2019 mendatang, untuk menentukan siapa juaranya. Terlepas dari semua hal yang terjadi, ini adalah perjalanan luar biasa bagi EVOS Esports! Tetap berjuang, semoga EVOS AOV bisa menjadi lebih baik lagi di masa depan!

[VIDEO] Hybrid Talk Ep. 12: Sosok Belakang Layar Dari Kemenangan Tim EVOS AOV

Performa stabil sebuah tim yang berbuah kepada kemenangan beruntun mungkin adalah sesuatu hal yang diidam-idamkan dari sebuah tim esports. Namun tak mudah untuk mencapai hal tersebut. Untuk mencapainya sebuah tim tak hanya harus punya jajaran pemain yang kuat, namun butuh peran belakang layar yang juga sama kuatnya.

EVOS AOV berhasil mencapai hal tersebut. Mereka berhasil menjadi tim AOV terbaik di Indonesia sebanyak tiga kali berturut-turut, yang mereka buktikan dengan memenangkan gelaran Arena of Valor Star League. Kemenangan ini tak hanya serta-merta karena pemainnya saja, tapi juga karena sosok-sosok belakang layar.

Selain dari sosok Priyagung “RuiChen” Satriono, sosok lain yang juga tak kalah penting dari tim ini adalah Hilmy “Hiruma” Khairy, sang manajer tim. Dalam sesi Hybrid Talk kali ini, kita berbincang membicarakan mulai dari alasan seorang Hiruma untuk menjadi manajer, peran manajer di dalam tim, sampai mengulik kepribadian dari masing-masing pemain tim EVOS AOV.

Hasil Akhir IVPL Rise 2019: EVOS Juara AOV dan Icanbutsky Juara FIFA 19

Indonesia Virtual Pro League atau IVPL beberapa waktu lalu baru saja menyelesaikan sebuah kompetisi akbar yang disebut sebagai IVPL Rise 2019. Berlangsung di empat kota besar yaitu Surabaya, Bandung, Depok, dan Jakarta, kompetisi ini mengundang ratusan tim amatir maupun profesional untuk bertanding dalam dua cabang esports yaitu Arena of Valor (AOV) dan FIFA 19. Total hadiah diperebutkan sejumlah Rp150.000.000, terdiri dari Rp115.000.000 hadiah untuk AOV dan Rp35.000.000 hadiah untuk FIFA 19.

Dimulai sejak tanggal 1 Juli 2019, IVPL Rise 2019 akhirnya telah menyelesaikan seluruh pertandingannya. Babak Grand Final berlangsung pada hari Sabtu, 29 September di Epicentrum Walk (Epiwalk), Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Di cabang FIFA, ada delapan pemain yang dipertemukan terlebih dahulu dalam babak Rookie Final seminggu sebelumnya, terdiri dari empat pemain profesional dan empat pemain amatir (rookie) terbaik. Mereka adalah:

  • RRQ | Eggsy
  • SFI | Kenny Prasetyo
  • XCN Gaming | Dedic
  • PG.Barracx | Icanbutsky
  • Dwigameyza
  • Yogaharahap1717
  • Netralsquad
  • Andremunich

Dari babak Rookie Final tersebut kemudian diambil dua orang untuk maju ke Grand Final, dan ternyata yang terpilih adalah dua orang pemain profesional. Mereka adalah Dedic dari XCN Gaming dan Icanbutsky dari PG.Barracx. Pada akhirnya, Icanbutsky berhasil menjadi juara 1. Sementara itu di peringkat tiga ada Netralsquad yang mengalahkan Eggsy dari tim RRQ.

Di cabang AOV, ada empat tim yang terpilih untuk maju ke babak Grand Final, yaitu:

  • EVOS Esports
  • SES Alfaink
  • BOOM Esports
  • Bigetron Esports

EVOS Esports sepanjang kompetisi sudah menunjukkan performa yang menonjol dibandingkan tim-tim lainnya. Hal itu wajar saja mengingat divisi AOV EVOS memang memiliki prestasi yang hebat. Pertengahan September lalu pun EVOS baru saja menjadi juara AOV Star League (ASL) untuk ketiga kalinya berturut-turut. Kini, di IVPL Rise 2019, EVOS semakin memantapkan posisi mereka sebagai raja AOV dengan meraih gelar juara.

Lawan yang dihadapi oleh EVOS di Grand Final adalah BOOM Esports yang akhirnya menjadi runner-up, disusul oleh SES Alfaink di peringkat ketiga. Anda dapat menonton pertandingan-pertandingan final lengkapnya lewat video di bawah.

Selamat kepada Icanbutsky dan EVOS Esports yang telah berhasil meraih juara di cabang FIFA 19 dan AOV. Ke depannya, IVPL masih berencana untuk mengadakan kompetisi IVPL Rise lagi, mudah-mudahan dengan penyelenggaraan yang lebih baik serta hadiah yang lebih besar lagi. Untuk informasi terbaru seputar IVPL dan kompetisi yang mereka adakan, Anda dapat mengikuti media sosial mereka melalui Facebook Page IVPL.

Sumber: IVPL, EVOS Esports

EVOS AOV di AWC 2019, Usaha Merengkuh Asa Menghadapi Para Jawara

Hal yang ditunggu-tunggu oleh para penikmat esports AOV akhirnya tiba, yaitu drawing day untuk fase grup dari AOV World Cup 2019. Diselenggarakan mulai dari 27 Juni 2019 mendatang, kompetisi AWC 2019 dibuka dengan pertandingan grup dengan seri round-robin antar negara peserta.

Dua belas tim peserta dibagi ke dalam dua grup yang masing-masing berisikan enam tim. Indonesia, yang diwakili EVOS Esports, tergabung ke dalam Grup B, grup yang banyak orang bilang sebagai grup neraka. Memang, isi grup tersebut adalah tim yang sudah cukup pengalaman di scene esports AOV, dan merupakan regional yang dianggap sebagai kiblat kancah kompetitif AOV internasional. Berikut hasil pembagian grup dari drawing day AWC 2019.

Sumber: Garena AOV Indonesia
Sumber: Garena AOV Indonesia

Grup A

  • Chinese Taipei – One Team (Wildcard)
  • Thailand – ahq e-Sports Club (Wildcard)
  • Vietnam – Box Gaming (Wildcard)
  • North America – BM Gaming
  • Malaysia – M8HEXA
  • Japan – Blizzard

Grup B

  • Vietnam – Team Flash
  • Chinese Taipei – MAD Team
  • Mainland China – XMan
  • Indonesia – EVOS Esports
  • Thailand – Toyota Diamond Cobra
  • Korea – NewB

Selain menjadi kiblat kancah kompetitif AOV internasional, negara yang menjadi lawan Indonesia di grup B memang terkenal sebagai negara pemain MOBA yang baik. Korea contohnya, masih jadi negara jagoan League of Legends sampai saat ini. Tiongkok baik Taiwan atau Mainland China, adalah dua regional yang terkenal merupakan jagoan di kancah MOBA internasional, termasuk juga kancah AOV.

Menghadapi grup neraka, jalan bagi EVOS untuk setidaknya lolos dari grup tentu tidak mudah. Bagaimana persiapan dan kesiapan mental para pemain dari EVOS AOV? Saya pun mencoba berbincang dengan sang pelatih EVOS AOV, Priyagung “RuiChen” Satriono.

Priyagung "RuiChen" Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia
Priyagung “RuiChen” Satriono, sosok tangan dingin di balik rentetan kemenangan tim EVOS AOV. Sumber: ESL Indonesia

Membicarakan soal grup neraka, ia mengakui bahwa memang grup tempat EVOS AOV bernaung lebih berat daripada grup sebelahnya. “Ambil positifnya aja, anggap saja kita sedang diuji untuk dapat membuktikan diri bahwa Indonesia tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.” jawab Agung, mencoba tidak terlalu memikirkan soal grup neraka.

Bicara soal musuh terberat, RuiChen juga terbilang tak mau terlalu ambil pusing, dan berusaha fokus dengan tim sendiri saja. “Musuh terberat tetap adalah diri sendiri kalau menurut gue. Tinggal gimana cara teman-teman EVOS AOV menghilangkan ego, menghilangkan nafsu untuk dapat kill, dan cari objektif buat menangkan permainan secara tim, bukan personal.”

“Lalu kalau bicara soal tim terkuat, jawabannya jelas MAD Team dari Taiwan. Kenapa? Kalau menurut gue skill gap antara MAD Team dengan penghuni grup lainnya memang terbilang cukup jauh. Malah, menurut gue MAD Team ini mungkin adalah kandidat juara di AWC 2019.” RuiChen menjawab lebih lanjut seputar tim yang akan dihadapinya.

1x
Salah satu tim yang paling diwaspadai dari grup B di AWC 2019. Sumber: MAD Team Official Page

Lalu bagaimana Agung memandang kemampuan EVOS AOV dalam menghadapi AWC yang berisikan jawara-jawara AOV yang punya permainan luar biasa? Ternyata RuiChen terbilang cukup optimis. Ia cukup yakin bahwa Sultandyo “MythR” Raihan dan kawan-kawan bisa lolos dari grup dengan posisi yang cukup meyakinkan. “Kami yakin bisa lolos di peringkat 3, asalkan temen-temen EVOS AOV bisa memberi performa terbaiknya. Bahkan, kalau misal tim lain kepleset, kami mungkin bisa lolos di peringkat 2.” ujar RuiChen.

Pertandingan fase grup AWC 2019 akan berlangsung pada 27 Juni 2019 mendatang. Pertandingan akan terus berlangsung sampai bulan Juli, dengan gelaran final diadakan pada 17 Juli 2019 mendatang. Bagi Anda yang ingin menyaksikan, Anda bisa pantau kanal Youtube Garena AOV Indonesia untuk siaran langsung AWC 2019 berbahasa Indonesia.