Facebook Kembangkan Gelang Pintar untuk Menerjemahkan Gerakan Tangan Menjadi Input dalam AR

Augmented reality (AR) itu bukan sebatas menampilkan objek digital di atas objek nyata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita bisa berinteraksi dengan objek-objek digital tersebut secara intuitif, dan kalau menurut Facebook, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan sebuah gelang pintar berteknologi electromyography (EMG).

Dari perspektif yang paling sederhana, teknologi EMG ini melibatkan sensor yang dapat menerjemahkan aktivitas listrik dari saraf motorik menjadi input untuk sebuah perangkat. Jadi selagi tangan dan jari-jari kita bergerak, sensor akan menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh otak menuju otot.

Salah satu gesture yang paling gampang dibaca dan diterjemahkan menjadi input adalah gerakan mengklik sesuatu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jadi tanpa perlu memegang apa-apa, pengguna kacamata AR dapat mengoperasikan perangkatnya hanya dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya. Seperti Jedi yang mampu mengontrol Force kalau kata Facebook.

Tentu saja ini baru satu contoh yang teramat simpel. Potensi EMG sejatinya sangatlah luas, dan video di bawah ini paling tidak bisa menjadi gambaran apa saja hal-hal yang dimungkinkan ke depannya.

EMG sendiri bukanlah suatu hal yang benar-benar baru di tahun 2021 ini. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2015 pernah ada sebuah perangkat bernama Myo yang mengusung teknologi yang sama persis. Pada kenyataannya, Facebook baru mendapatkan akses ke teknologi ini setelah mengakuisisi startup bernama CTRL-labs di tahun 2019, dan CTRL-labs sendiri mendapatkannya dengan cara membeli paten teknologinya dari pengembang Myo.

Pastinya sudah ada sejumlah penyempurnaan yang diterapkan yang dapat membedakan antara EMG versi sekarang dan versi sebelumnya. Ke depannya, Facebook malah memprediksi bahwa EMG dapat membaca keinginan kita untuk menggerakkan jari sebelum kita betul-betul menggerakkannya.

Selain itu, Facebook juga tertarik untuk menandemkan EMG dengan sistem AI yang sangat advanced yang dapat memahami konteks secara real-time sekaligus interface yang adaptif. Jadi ketimbang harus menavigasikan menu demi menu untuk mengaktifkan fungsi tertentu, seperti misalnya memutar playlist musik ketika hendak berolahraga, AI akan secara proaktif menyuguhkan interface-nya, dan pengguna pun hanya perlu melakukan gesture klik itu tadi sebanyak satu kali.

Facebook neural wristband

Juga tidak kalah penting adalah haptic feedback, sebab ini yang bisa membedakan antara menekan tombol betulan atau bohongan. Perpaduan EMG dan haptic feedback dinilai mampu membuat interaksi-interaksi kita dengan objek digital jadi terasa nyata, dan ini akan terkesan lebih krusial lagi di saat kita menerapkan gesturegesture yang lebih kompleks, seperti misalnya mengetik di atas keyboard virtual.

Perjalanan yang harus ditempuh Facebook untuk mewujudkan visinya masih sangat panjang. Facebook sepertinya tidak mau terburu-buru karena dalam pengembangannya mereka juga harus memperhatikan faktor privasi dan etika. Salah langkah bisa-bisa perangkatnya gagal sebelum dirilis seperti Google Glass.

Sumber: Facebook.

Facebook Andalkan Teknologi Hologram untuk Ciptakan Prototipe VR Glasses yang Amat Ringkas

Sebagai salah satu pemimpin industri virtual reality, Facebook dan Oculus tentu punya ambisi menciptakan VR headset yang jauh lebih ringkas ketimbang yang sudah ada sekarang. Mereka tidak segan memamerkan sejauh apa progres mereka di bidang miniaturisasi teknologi VR ini, dan rumor yang beredar mengindikasikan eksistensi penerus Oculus Quest yang berukuran lebih kecil.

Sekarang, lewat sebuah publikasi ilmiah berjudul “Holographic Optics for Thin and Lightweight Virtual Reality”, divisi Facebook Reality Labs ingin menjabarkan pencapaian terbaru mereka, yakni struktur optik baru yang dapat disematkan ke perangkat sekecil kacamata biasa. Ketimbang memakai lensa refraktif seperti pada VR headset tradisional, struktur optik baru ini melibatkan lensa hologram dan teknologi optical folding berbasis polarisasi sehingga tebal keseluruhannya bahkan bisa kurang dari 9 mm.

Bukan cuma lebih tipis, komponen optik baru ini turut menjanjikan spektrum warna yang lebih luas berkat penerapan teknologi iluminasi LCD berbasis laser. Pun begitu, klaim tersebut belum bisa sepenuhnya dibuktikan, sebab prototipenya sejauh ini hanya bisa menampilkan satu warna (hijau) saja – Facebook punya prototipe lain yang dapat menampilkan warna, tapi bentuknya bukan kacamata.

Facebook holographic optics for VR headset

Prototipe kacamatanya sendiri disebut mempunyai resolusi 1200 x 1600 pixel per mata, dengan field-of-view seluas 93 derajat – setara Oculus Quest dan lebih luas daripada Microsoft HoloLens 2 maupun Magic Leap One yang juga sama-sama memanfaatkan teknologi hologram. Bobot prototipenya disebut berkisar 10 gram, tapi ini dengan satu panel display saja, dan itu juga belum termasuk komponen-komponen esensial lain macam sistem tracking, baterai maupun elektronik lainnya.

Facebook tidak lupa menekankan bahwa semua ini baru sebatas riset dan realisasinya masih cukup jauh. Facebook juga bukan satu-satunya pihak yang ingin mewujudkan visinya perihal miniaturisasi VR. Beberapa bulan lalu, Panasonic sempat memamerkan prototipe VR glasses besutannya, meski teknologi yang digunakan berbeda (micro OLED, bukan hologram). Huawei malah sudah memasarkan perangkat serupa di Tiongkok.

Sumber: 1, 2, 3.