Pemain Amatir Juga Cari Tutor untuk Bisa Bermain Game Lebih Baik

Esports kini tengah menjadi primadona. Semakin banyak investor dan merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke industri esports. Menjadi pemain esports profesional pun tak lagi hanya mimpi. Tim seperti RRQ juga menyediakan pelatihan khusus bagi pemain yang ingin menjadi profesional. Namun, tak semua gamer ingin menjadi profesional. Ada juga gamer yang sudah puas dengan menjadikan bermain sebagai hobi. Itu bukan berarti para pemain ini tak ingin bisa bermain dengan lebih baik. Sebagian dari mereka bahkan rela untuk mencari tutor untuk meningkatkan performa mereka dalam game.

Ialah Anthony Yeo, pria berumur 46 tahun yang ingin bisa menjadi pemain Fortnite yang lebih baik demi bisa menghabiskan waktunya bersama keponakannya, Poppy Ford. Yeo tinggal di Los Angeles sementara Ford tinggal di Australia. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain Fortnite. Sayangnya, Yeo mudah panik ketika karakternya ditembak musuh. Dia lalu memutuskan untuk mencari seorang tutor yang bisa mengajarkannya menembak dengan lebih akurat dan membangun cover dengan lebih baik. Dia menemukan Cody Lefevre, guru olahraga SD di Colorado. Untuk berlatih dengan Lefevre, Yeo menghabiskan US$175 (Rp2,5 juta) per 90 menit. Menariknya, orang yang tertarik untuk mencari pelatih agar mereka bisa bermain dengan lebih baik bukan hanya orang dewasa. Orangtua juga mencari pelatih bagi anaknya agar sang anak bisa bermain lebih baik.

Sumber: The Washington Post
Anthony Yeo bersama Poppy Ford yang tengah bermain | Sumber: The Washington Post

Menurut laporan The Washington Post, para pelatih yang mereka wawancara berkata, orangtua ingin agar anaknya bisa bermain dengan lebih baik untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Sama seperti ketika seorang anak memiliki prestasi di bidang olahraga atau seni, anak juga memiliki kebanggaan tersendiri jika mereka mahir dalam bermain game. Tugas pelatih adalah membantu murid untuk belajar dengan lebih efisien dan mengajarkan perilaku yang positif dalam bermain game. “Sebagian orang mungkin berpikir bahwa game hanyalah untuk main-main, tapi bermain game bisa mengembangkan karakter anak. Saya bisa membantu mereka untuk menjadi lebih baik,” kata Lefevre. Salah satu hal yang dia ajarkan pada Yeo dan Ford adalah untuk tetap tenang bahkan ketika musuh menyerang.

Yeo menemukan Lefevre di situs Fiverr, marketplace untuk jasa freelance. Selain Fiverr, ada juga berbagai startup yang menyediakan jasa untuk mempertemukan para pelatih game dengan calon murid, seperti G-pprentice. Tak hanya itu, juga ada platform khusus untuk mencari pelatih game seperti Gamer Sensei dan ProGuides. Sistem yang digunakan oleh situs-situs ini serupa seperti layanan ride-hailing yang mempertemukan penumpang dengan pengendara. Harga yang ditawarkan oleh para pelatih juga beragam. Sebagian pelatih menawarkan jasanya dengan harga US$7,5 (sekitar Rp105 ribu) per jam, sementara pelatih yang namanya sudah dikenal, seperti Dmitry “Redmercy” Garanin, bisa mendapatkan lebih dari US$2 ribu (sekitar Rp28 juta) per bulan. Menjadi pelatih juga bisa menjadi opsi karir bagi gamer profesional yang telah mengundurkan diri. Dengan menjadi pelatih, mereka tetap bisa mendapatkan uang dengan memainkan game yang mereka sukai.

Sumber; Theresa Mertens via The Washington Post
Cody Lefevre | Sumber: Theresa Mertens via The Washington Post

“Saya memilih menjadi pelatih di ProGuides dan bukannya menjadi streamer karena bisa mendapatkan pendapatan lebih dan saya merasa lebih senang saat bermain,” kata mantan pemain League of Legends profesional, Andres Zamora, yang kini menjadi CEO dari Dark Horse, tim esports asal Chili. “Saya membantu para murid dengan apa yang saya tahu dan mereka tetap merasa senang dan bisa belajar, tak peduli apakah mereka menang atau kalah.” Menariknya, tak semua orang menjadi pelatih untuk bisa mendapatkan uang. Misalnya, Kevin Tolin dari Alabama, Amerika Serikat yang mengaku dia menjadi tutor agar bisa bermain bersama dan bersenang-senang dengan murid yang dia ajarkan.

Sumber header: TechSpot

Pemain Profesional Fortnite Buat Asosiasi untuk Dialog dengan Developer

Ketika mencari pekerjaan, biasanya seseorang akan berusaha untuk masuk ke perusahaan besar. Alasannya sederhana, karena perusahaan besar memiliki kemungkinan lebih kecil untuk bangkrut. Lalu, bagaimana dengan pemain esports, yang hidupnya tergantung pada sebuah game? Sama seperti atlet olahraga tradisional, pemain esports profesional juga berlatih secara rutin. Hanya saja, berbeda dengan basket atau sepak bola yang cara bermainnya takkan berubah, dalam esports, game yang dimainkan pasti akan mendapatkan update. Terkadang, update tersebut memengaruhi gameplay. Dan ini bisa menyebabkan masalah bagi pemain profesional.

Inilah alasan mengapa para pemain Fortnite profesional membentuk Fortnite Professional Players’ Association (FNPPA). Dalam pernyataan resminya, FNPPA menyebutkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menjadi wadah bagi para pemain Fortnite profesional untuk berdialog dengan pihak developer dan membantu pemain Fortnite profesional menyampaikan aspirasinya terkait masa depan Fortnite sebagai esports. Saat ini, organisasi tersebut memiliki 16 anggota, 8 pemain berasal dari Amerika Utara dan 8 lainnya berasal dari Eropa. Salah satunya adalah Kyle “Bugha” Giersdorf, remaja berumur 16 tahun yang memenangkan kompetisi Solo dalam Fortnite World Cup. Pemain-pemain profesional dari tim ternama seperti NRG Esports, 100 Thieves, FaZe Clan, Fnatic, dan Team SoloMid juga ikut tergabung dalam organisasi itu, menurut laporan The Esports Observer.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Popularitas Fortnite membuat developer dan publisher Epic Games tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game tersebut. Epic mengumumkan keberadaan Fortnite World Cup pada Februari 2019. Dengan total hadiah US$30 juta, Fortnite World Cup menarik perhatian banyak orang. Popularitas Fortnite sebagai game esports meroket. Namun, itu bukan berarti tidak ada masalah dalam scene esports Fortnite. Salah satu keluhan para pemain profesional terkait integritas Fortnite sebagai game esports. Sebelum ini, Epic pernah merilis patch yang berdampak pada gameplay tepat sebelum pertandingan. Selain itu, belum lama ini, Epic juga memperkenalkan B.R.U.T.E mech suit, yang membuat para streamer dan juga pemain profesional frustasi karena mech suit itu dianggap membuat game menjadi tidak seimbang.

Alasan lain FNPPA dibentuk adalah untuk mencegah muncul masalah serupa konflik antara FaZe Clan dan streamer Turner “Tfue” Tenney. Tenney menuntut FaZe Clan pada Mei 2019. Ketika itu, salah satu tuduhan Tenney adalah FaZe Clan telah melanggar regulasi buruh di California. Sebagai jawaban, FaZe Clan balas menuntut Tenney atas tuduhan pelanggaran kontrak. Sejak saat itu, masalah ini belum terselesaikan. FNPPA bukanlah organisasi pemain profesional pertama. Pada 2018, Counter-Strike Professional Players’ Association (CSPPA) didirikan dengan bantuan dari Scott “SirScoots” Smith dan Danish Elite Athletes Association. CSPPA dapat membantu pemain untuk menyelesaikan masalah terkait gaji pemain atau jadwal pertandingan.

Pringles Turut Meriahkan DreamHack Winter 2019 Sebagai Festival Partner

Popularitas esports dewasa ini mendorong banyak brand non-endemic untuk terjun ke dalamnya dan menunjukkan dukungan. Menurut laporan Nielsen, partisipasi brand non-endemic bahkan mencapai hampir 50% dari keseluruhan sponsorship esports pada tahun 2018. Mereka datang dari berbagai macam cabang industri, dari otomotif, e-commerce, bank, hingga mungkin yang paling umum, industri makanan dan minuman.

Di antara sponsor-sponsor non-endemic itu, ada satu brand yang punya posisi cukup menarik, yaitu Pringles. Brand keripik kentang yang berada di bawah naungan Kellogg’s itu sangat gencar mendukung esports, bahkan mereka ingin dipandang sebagai sebuah brand endemic. Pringles ingin menjadi bagian natural dari komunitas esports, sebagaimana diungkapkan oleh Toan Nguyen pada bulan Maret 2019 lalu.

Untuk mewujudkan hal itu, Pringles telah menjalin kerja sama dengan ESL yang meliputi berbagai event sepanjang tahun 2019. Tapi sebetulnya tidak hanya ESL, Pringles juga berkolaborasi dengan pihak organizer lain, misalnya DreamHack. Baru-baru ini, organizer yang berbasis di Swedia tersebut mengumumkan bahwa Pringles akan menjadi Festival Partner dalam acara DreamHack Winter 2019.

“Kami bangga Pringles memutuskan untuk berpartner dengan kami seiring mereka mengincar perkembangan aktivasi gaming dan esports. Tidak ada keraguan bahwa Pringles adalah brand yang kuat di wilayah makanan ringan, menjadikan dua perusahaan kami pasangan yang sangat cocok, dan kami yakin para pengunjung DreamHack Winter akan sama senangnya,” demikian ujar Marcus Lindmark, Co-CEO DreamHack, dilansir dari Esports Insider.

https://twitter.com/DreamHack/status/1177606378275426304

Sebagai hasil kolaborasi itu, DreamHack meluncurkan landing page berisi kompetisi bernama Fan Can Art. Para penggemar bisa mengunduh sebuah template untuk merancang desain kaleng Pringles mereka sendiri dan mengikutkannya dalam kompetisi. Pemenang kompetisi itu akan memperoleh hadiah berupa PS4 serta seperangkat produk. Seluruh partisipan juga akan mendapat diskon 10% untuk tiket Day Pass di DreamHack Winter.

Secara fisik, Pringles akan hadir dalam acara DreamHack Winter 2019 dengan booth bernama “Pop, Play, Eat”. Para pengunjung bisa mendapatkan berbagai macam hiburan di sana. Menurut Hend Hassona, Market Activation Manager di Pringles, kolaborasi dengan DreamHack Winter ini menunjukkan betapa pentingnya komunitas esports dan gaming di mata Pringles.

DreamHack Winter 2019 - BYOC Tournaments
DreamHack Winter 2019 memfasilitasi sejumlah turnamen BYOC (Bring Your Own Computer) | Sumber: DreamHack

DreamHack Winter 2019 itu sendiri akan digelar pada tanggal 29 November – 1 Desember 2019 di Jönköping, Swedia. Termasuk di dalamnya adalah kompetisi Fortnite berhadiah US$250.000, turnamen CS:GO DreamHack Open 2019, turnamen Super Smash Bros. Ultimate European Circuit, dan lain-lain. Di samping itu event ini juga memfasilitasi turnamen BYOC (Bring Your Own Computer) untuk sejumlah game populer, seperti Rocket League, Magic the Gathering: Arena, hingga Minecraft. Anda dapat membaca info lebih lengkap tentang event ini di situs resmi DreamHack Winter 2019.

Sumber: Esports Insider, DreamHack

DreamHack Bakal Adakan Dua Turnamen Fortnite, Total Hadiah Rp7,1 Miliar

DreamHack akan membuat dua turnamen Fortnite. Turnamen pertama, DreamHack Winter, akan diadakan di Jönköping, Swedia pada 29 November sampai 1 Desember. Sementara turnamen kedua, DreamHack Anaheim, akan diadakan di Anaheim, California pada 21 Februari sampai 23 Februari tahun depan. Masing-masing turnamen tersebut memiliki total hadiah US$250 ribu (sekitar Rp3,55 miliar).

Satu hal yang menarik, DreamHack tidak akan mengadakan babak kualifikasi untuk menyaring peserta yang ikut dalam dua turnamen tersebut. Sebagai gantinya, semua orang yang membeli tiket Bring Your Own Computer (BYOC) berhak untuk ikut serta dalam turnamen. DreamHack menawarkan empat jenis tiket untuk turnamen DreamHack Winter. BYOC 20+ Premium, tiket yang paling mahal, telah terjual habis meski penjualan tiket dibuka sampai 20 Oktober. Harga tiket untuk DreamHack Winter beragam, dari 990 SEK (sekitar Rp1,4 juta) untuk tiket berharga paling murah sampai 2.290 SEK (sekitar Rp3,3 juta) untuk BYOC Premium. Selain bisa ikut dalam turnamen, para pemegang tiket juga akan mendapatkan meja dan kursi. Pemegang tiket premium juga bisa mendapatkan makanan dan minuman.

“Kami sangat senang karena bisa membawa turnamen besar ini ke acara festival kami. Hal ini memungkinkan para pengunjung — bagian paling penting dari DreamHack festival — untuk bertanding memperebutkan hadiah uang dalam jumlah besar,” kata Co-CEO DreamHack, Marcus Lindmark, seperti dikutip dari Esports Insider. “Berkat dukungan Epic Games, kami bisa membuat sejarah dengan mengadakan turnamen untuk komunitas paling besar. Ini terjadi pada waktu yang sangat tepat, bersamaan dengan perayaan ulang tahun DreamHack yang ke-25.”

Format yang akan DreamHack gunakan adalah solo. Ini cukup menarik karena Epic Games memutuskan untuk menggunakan format skuad empat orang dalam Fortnite Championship Series. Keputusan Epic Games sempat menuai protes. Beberapa pemain profesional khawatir bahwa penggunaan format empat orang akan menyebabkan game mengalami lag. Belakangan, antusiasme pemain akan Fortnite memang agak menurun. Namun, kesuksesan Fortnite World Cup menunjukkan bahwa masih cukup banyak orang yang tertarik dengan game battle royale tersebut.

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider, Dot Esports

All-Star eSports League Mau Adakan Liga Esports Gratis untuk Siswa SMA

Esports kini semakin diakui sebagai olahraga. Pada Desember lalu, esports diumumkan sebagai salah satu cabang resmi SEA Games 2019. Sama seperti olahraga tradisional, regenerasi adalah hal yang sangat penting di esports. Para atlet esports berbakat tak serta-merta muncul begitu saja. Di Indonesia, ada High School League (HSL) yang ditujukan untuk siswa SMA dan setingkat serta Indonesia eSports League (IEL) untuk tingkat mahasiswa. Jordan Zietz melihat perkembangan esports sebagai kesempatan untuk berbisnis. Dia membuat All-Star eSports League, yang bertujuan untuk mengadakan turnamen esports di tingkat SMA di Amerika Serikat. Liga ini menawarkan tiga game, yaitu Fortnite, Overwatch, dan Super Smash Bros. Ultimate.

Zietz baru saja mendapatkan kucuran dana dari Eric Bensussen, President PowerA, perusahaan pembuat game controller. Meski tidak disebutkan berapa jumlah investasi itu, menurut laporan VentureBeat, dana investasi tersebut mencapai jutaan dollar. Dana itu akan digunakan untuk mempublikasikan keberadaan liga SMA ini dan juga meningkatkan jumlah partisipan. Selain itu, dana ini juga akan digunakan untuk menambah total hadiah yang ditawarkan All-Star eSports League. Zietz mengatakan, total hadiah liga tersebut mencapai US$1 juta dalam bentuk beasiswa, komputer, perangkat gaming, dan hadiah lainnya.

“Banyak sekolah yang bertanya tentang cara untuk mendorong siswa mereka terlibat dalam esports, terutama siswa yang saat ini tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun,” kata Zietz, dikutip dari VentureBeat. “Sebagian orang yang tak terlalu kuat secara fisik tak bisa sukses di olahraga. Dulu, saya sering mengalami cedera di SMA. Saya mencoba untuk bermain american football, lacrosse, dan saya juga mencoba mendayung. Dengkul, mata kaki, dan punggung saya pernah patah. Saya pernah mengalami berbagai cedera. Jadi, pada akhirnya saya memutuskan bahwa olahraga tidak cocok untuk saya.” Beberapa awktu lalu, Extreme Networks dan eCampus News membuat laporan yang menyebutkan, keberadaan program esports di sekolah mendorong para siswa untuk lebih rajin ke sekolah.

Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat
CEO Jordan Zietz. Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat

Zietz berkata, All-Star eSports League tumbuh dengan cepat dalam waktu enam bulan belakangan. Saat ini, dia menyebutkan, telah ada 5.000 tim yang ikut serta dalam platform buatannya. “Tujuan utama saya sekarang adalah menjangkau sekolah sebanyak-banyaknya,” ujarnya. Keluarga Zietz memang terbiasa berwirausaha. Sang kakak, Rachel Zietz, membuat perusahaan pertamanya ketika dia berumur 13 tahun. Sementara Jordan Zietz membuat perusahaan pertamanya, sebuah perusahaan persewaan game, saat dia berumur 12 tahun. Dia juga sempat untuk membuat perusahaan virtual reality sebelum dia memutuskan untuk fokus di esports.

“Saya selalu tertarik dengan olahraga dan gaming, tapi saya senang bisa bekerja sama dengan Jordan karena dia membawa semangat ini ke tingkat yang lebih serius. Dia benar-benar peduli dengan apa yang dia lakukan, dan saya pikir, inilah yang membuat perusahaan terus sukses,” kata Bensussen.

Zietz bukan satu-satunya orang yang tertarik untuk menyelenggarakan liga esports di tingkat SMA. Ialah Delane Parnell, yang membuat platform PlayVS. Belum lama ini, PlayVS mengumumkan bahwa mereka juga telah mendapatkan kucuran dana. Namun, Zietz mengatakan, platform-nya berbeda dengan PlayVS, yang mengharuskan para peserta membayar untuk bisa bertanding. All-Star eSports League milik Zietz gratis. “Mereka meminta bayaran pada para peserta, sementara kami tidak. Karena kami percaya, hal ini membuat pemain berbakat tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka,” kata Zietz. “Sebagai siswa dan gamer, saya percaya, semua orang harus bisa berpartisipasi dan sistem PlayVS itu diskriminatif.”

Adidas Gaet Tyler “Ninja” Blevins untuk Kolaborasi Produk Fisik dan Virtual

Tyler Blevins alias Ninja boleh saja sudah tidak berafiliasi dengan Twitch. Namun itu tidak mementahkan statusnya sebagai salah satu figur paling populer di dunia game streaming. Sejak bergabung secara eksklusif dengan platform streaming milik Microsoft yaitu Mixer, Ninja sudah memiliki lebih dari dua juta follower. Ia juga memiliki proyek-proyek lain seperti rencana untuk menerbitkan beberapa buah buku.

Kabar terbaru dari Ninja adalah jalinan kerja sama antara dirinya dengan brand apparel dan perlengkapan olahraga ternama, Adidas.  Dalam sebuah kampanye bertajuk “Time In”, Adidas dan Ninja menunjukkan adanya sebuah kemiripan antara olahraga dengan gamer profesional. Yaitu bahwa keduanya memerlukan usaha keras, mengharuskan pelakunya untuk menghabiskan banyak waktu sebelum bisa mencapai kesuksesan. Atau bila diungkapkan dalam bahasa Inggris, “Putting the time in.”

Adidas bukanlah brand pertama yang melakukan kerja sama dengan Ninja. Sebelumnya, Ninja sudah pernah tampil di salah satu iklan Samsung Galaxy S10, bersama dengan Jung Chanwoo dari grup boyband K-Pop iKON. Ninja juga disponsori oleh Red Bull, dan memiliki ikatan dengan brand kursi gaming Maxnomic serta brand PC gaming NZXT BLD. Sebelum bekerja sama dengan Adidas, Ninja sudah memiliki produk fashion sendiri hasil kerja sama dengan Red Bull dalam wujud ikat kepala (official gameplay headband).

Dalam video kolaborasi singkat yang diluncurkan, Ninja mengaku merasa terhormat bisa menjalin kerja sama dengan Adidas. Akan tetapi kedua pihak masih belum mengumumkan produk apa yang mereka hasilkan dari kolaborasi ini. Menurut keterangan yang disampaikan Adidas kepada The Verge, kerja sama ini merupakan kerja sama jangka panjang dengan waktu berlaku beberapa tahun.

Ninja x Adidas - Hoodie
Hoodie bertuliskan “Ninja”, produk baru Adidas? | Sumber: Ninja

“Saya tidak bisa mengatakan secara spesifik apa yang sedang saya kerjakan bersama Adidas, tapi silahkan gunakan imajinasi Anda,” ujar Ninja dalam sebuah tayangan streaming di Mixer. Menurut Adidas, kolaborasi ini berpotensi menghasilkan produk dalam wujud digital ataupun fisik. Di video Time In sendiri, Ninja terlihat mengenakan hoodie Adidas dengan tulisan “Ninja” di lengannya, tapi belum diketahui apakah hoodie tersebut merupakan produk yang mereka maksud atau bukan.

Ninja berkata bahwa informasi lebih lanjut tentang kerja sama dengan Adidas ini akan diungkap dalam waktu dekat. Bila Anda berminat untuk menyaksikan tayangan streaming Ninja, Anda bisa mengunjungi channel Mixer miliknya setiap hari pada pukul 21:30 – 06:00 WIB (9:30 – 18:00 CST). Game utama yang ia mainkan sudah pasti Fortnite, tapi Ninja juga memainkan judul lain sesekali seperti Minecraft.

Sumber: The Verge, Adidas

Gandeng Dating App Bumble, Gen.G Bentuk Tim Esports Khusus Para Srikandi

Organisasi esports internasional Gen.G baru saja mengumumkan wujud kerja sama dengan pihak yang cukup unik, yaitu Bumble. Untuk Anda yang tak familier dengan nama ini, Bumble adalah aplikasi kencan berbasis lokasi yang didirikan oleh co-founder Tinder, Whitney Wolfe Herd. Dengan visi yang mendukung feminisme, Bumble telah berhasil merangkul lebih dari 55 juta pengguna di 150 negara dan kini perusahaannya memiliki valuasi senilai US$1 miliar.

Kolaborasi antara Gen.G dengan Bumble akan berjalan selama tiga tahun, dan mencakup berbagai macam program, event, serta merchandise. Dikutip dari Esports Insider, VP of Marketing Bumble Chelsea Maclin berkata, “Misi kami di Bumble adalah untuk memberdayakan kaum perempuan di seluruh dunia, dan kami bangga dapat berpartner dengan Gen.G untuk terus melebarkan sayap ke komunitas esports dan gaming. Kami berusaha mendukung kaum perempuan yang telah membangun komunitas-komunitas luar biasa di dunia gaming.

Kami telah membangun komunitas yang kuat lewat Bumble dan Gen.G, dan kami gembira bisa bekerja sama untuk membantu menyatukan komunitas gamer di dunia nyata. Bersama dengan Gen.G, kami ingin memberdayakan para perempuan perintis, dan memudahkan mereka terhubung dengan komunitas mereka baik lewat kencan, pertemanan, atau networking.”

Dalam keterangan yang ia sampaikan pada Forbes, Maclin juga mengungkap terjadinya satu hal unik di kalangan pengguna Bumble. Yaitu bahwa begitu Bumble meluncurkan fitur BFF (best friends forever, fitur pencarian untuk hubungan pertemanan nonromantis), ternyata banyak pengguna yang membajak platform tersebut untuk mencari teman sesama gamer. Fenomena ini mendorong Bumble untuk menambahkan badge “gaming” di profil pengguna, juga menambahkan “gaming” sebagai salah satu kategori minat bila pengguna ingin melakukan pencarian.

Ini menunjukkan bahwa banyak pengguna Bumble yang juga merupakan gamer, dan Bumble telah membantu mereka untuk membentuk komunitas-komunitas tersendiri. Bila seorang perempuan menggunakan fitur BFF, mereka hanya bisa mendapat match dengan sesama perempuan. Di tengah dunia gaming yang didominasi oleh kaum lelaki, Bumble menjadi ruang alternatif yang aman bagi kaum gamer perempuan ini.

KittyPlays
KittyPlays, streamer populer dan Head of New Gaming Initiatives Gen.G | Sumber: KittyPlays

“Komunitas gaming telah lama berorientasi di sekitar kaum laki-laki dan bahkan terkadang toxic untuk kaum perempuan yang berpartisipasi atau sekadar menonton,” kata CEO Gen.G, Chris Park, kepada Forbes, “Kami ingin mengubah hal itu dan memberikan suara dan mempromosikan bagaimana para perempuan membawa gaming masuk ke kehidupan serta persahabatan mereka. Kami ingin mendorong perempuan menjadi bagian dari olahraga ini.”

Bersama Bumble, Gen.G kini membentuk sebuah tim Fortnite dengan anggota seluruhnya perempuan, yang disebut Team Bumble. Beranggotakan empat orang yaitu Carlee, Hannah, maddiesuun, dan Tinaraes, tim ini diharapkan dapat mengubah posisi kaum perempuan di dunia esports menjadi lebih positif. Bumble juga menjalin kerja sama khusus dengan Kristen “KittyPlays” Valnicek, streamer populer dengan lebih dari 1 juta follower di Twitch yang kini memegang posisi Head of New Gaming Initiatives di Gen.G.

“Saya menghabiskan banyak hidup saya menyembunyikan fakta bahwa saya seorang gamer karena dulu ada sedikit kontroversi seputar ini (gamer perempuan),” ujar KittyPlays, “Saya bangga terhadap sisi gaming diri saya sekarang dan ingin tampil terbuka dengannya. (Gaming) adalah sesuatu yang membuat saya sangat gembira, dan saya ingin lebih banyak perempuan merasakan kebanggaan yang sama.”

Sumber: Esports Insider, Forbes

Epic Games Luncurkan Kompetisi Fortnite Musiman, Fortnite Champion Series

Setelah hype serta ancang-ancang yang cukup panjang, Fortnite World Cup digelar juga pada tanggal 29 Juli lalu. Kyle “Bugha” Giersdorf menjadi juara pertama, dan ajang ini mencetak rekor sebagai turnamen esports berhadiah terbesar di dunia—setidaknya untuk sekarang. Bersamaan dengan berakhirnya Fortnite World Cup, Epic Games juga meluncurkan update baru yang disebut Season X.

Anda mungkin bertanya-tanya, selanjutnya apa? Apa yang akan dilakukan Epic Games sebagai follow-up dari momen kejuaraan dunia ini? Dari pengumuman resmi yang telah beredar, tampaknya Epic Games ingin agar lebih banyak orang bisa merasakan serunya berkompetisi lewat Fortnite dan meraih hadiah. Berikut ini adalah beberapa program kompetisi yang disiapkan oleh Epic Games untuk meluncur dalam waktu dekat.

Fortnite Champion Series

Fortnite Champion Series adalah turnamen in-game yang diluncurkan Epic Games bersamaan dengan Season X. Mulai tanggal 17 Agustus, para pemain dapat membentuk tim terdiri dari tiga orang (Trios) kemudian berkompetisi di server regional masing-masing setiap hari Sabtu dan Minggu. Epic Games menyediakan prize pool tersendiri untuk setiap minggunya.

Turnamen ini akan memiliki leaderboard khusus dalam game yang sifatnya persisten. Kemudian setelah lima minggu, tim-tim terbaik dari setiap region server akan bertarung untuk menentukan siapa yang menjadi juara regional Season X Champions. Pertarungan puncak ini digelar pada tanggal 20 – 22 September 2019.

Epic Games tidak menyebutkan secara pasti jumlah hadiah yang akan didapatkan para peserta. Namun mereka berkata bahwa total hadiahnya mencapai “jutaan dolar” untuk Fortnite Champion Series musim pertama. Saat ini Epic Games juga hanya menyediakan turnamen untuk mode Trios, tapi hal itu bisa saja berubah di masa mendatang.

Fortnite Season X
Sumber: Epic Games

Fortnite Cash Cup

Selain Fortnite Champion Series, Epic Games juga meluncurkan kompetisi rutin dengan skala yang lebih kecil, yaitu Fortnite Cash Cup mulai tanggal 21 Agustus. Turnamen ini digelar setiap hari Rabu dan Kamis untuk Solo Cash Cup. Sementara Trios Cash Cup digelar setiap Jumat mulai 23 Agustus.

Solo Cash Cup di hari Rabu terbuka untuk siapa saja yang telah mencapai level Contender di Arena. Sementara turnamen hari Kamis hanya boleh diikuti mereka yang menyandang status Champion.

Fortnite Spotlight

Satu lagi program Epic Games dalam waktu dekat adalah Fortnite Spotlight. Pada dasarnya, Fortnite Spotlight adalah seri turnamen yang digelar dengan melibatkan organizer, kreator konten, dan komunitas Fortnite di seluruh dunia. Sayangnya Epic Games belum memberi info lebih lanjut tentang program ini, tapi melihat deskripsinya, kemungkinan sistem yang digunakan akan seperti Tekken World Tour Dojo.

Epic Games berkata bahwa program-program di atas hanyalah sebuah langkah awal. Mereka masih akan terus mengadakan event bersama para kreator dari berbagai wilayah. Sesuai dengan janji mereka tahun lalu untuk mendukung event dan komunitas di mana semua orang bisa turut berpartisipasi, tampaknya esports Fortnite akan tumbuh semakin pesat dan kuat di level akar rumput.

Sumber: Epic Games

FaZe Clan Rekrut Atlet Esports Tuna Rungu Sekaligus Perempuan Pertama

FaZe Clan, organisasi esports yang terkenal dengan reputasi mereka di cabang-cabang game shooter kompetitif, baru saja mengumumkan perekrutan pemain baru yang cukup spesial. Pemain itu bernama Soleil Wheeler, alias Ewok, gadis berusia 13 tahun yang juga seorang tuna rungu. Ewok bergabung dengan FaZe Clan pada tanggal 28 Juli lalu, tak lama setelah final Fortnite World Cup kategori Duos selesai digelar.

Ewok bukan satu-satunya remaja muda yang direkrut FaZe Clan. Sebelumnya mereka juga merekrut H1ghSky1 yang berusia 12 tahun. Ewok juga menjadi atlet tuna rungu pertama sekaligus merupakan atlet perempuan pertama yang direkrut oleh FaZe Clan. Kehadirannya disambut gembira oleh para pemain FaZe Clan lainnya, salah satunya Ricky Banks (FaZe Banks) yang mengaku bahwa Ewok adalah pemain yang memberikan inspirasi.

Sebelum bergabung dengan FaZe Clan, Ewok telah bergabung sebagai Twitch Partner tuna rungu pertama. Ia tidak ikut bertanding dalam Fortnite World Cup, tapi dirinya sempat tampil dalam kompetisi amal Fortnite Celebrity Pro-Am di kota New York beberapa waktu lalu. Ewok berpasangan dengan penyanyi pop Jordan Fisher dalam acara tersebut dan berdua mereka berhasil mendapatkan hadiah senilai US$20.000 untuk disumbangkan ke lembaga amal yang mereka pilih. Karier Ewok di Twitch terhitung sukses, dengan lebih dari 200.000 follower. Ia juga pernah bermain dengan berbagai streamer besar, seperti Ben “DrLupo” Lupo, Tim “TimTheTatman” Betar, serta sang raja Twitch, Tyler “Ninja” Blevins. Ewok mulai melakukan streaming sejak kurang lebih 7 bulan lalu, dan salah satu video pertamanya adalah ketika ia berhasil mengeliminasi anggota tim Fortnite FaZe Clan, Thang “SpaceLyon” Phan. Kini mereka justru menjadi kawan satu organisasi.

Ewok x Bugha
Ewok (kiri) bersama Bugha, sang juara Fortnite World Cup | Sumber: Ewok

“Biasanya kami memberi kejutan pada para anggota baru, tapi malam ini kami mendapat kejutan berupa berita terbaik,” cuit FaZe Clan di akun Twitter resmi mereka, “Mari bergabung bersama kami menyambut perempuan pertama yang bergabung dengan FaZe Clan: Ewok.” Terlihat dalam video yang mereka unggah bahwa para anggota FaZe pun terkejut dengan kehadiran Ewok. Salah satu anggota FaZe menyebutnya sebagai pemain Fortnite perempuan terbaik yang ada di luar sana. Kemudian Ewok, melalui bantuan penerjemah bahasa isyarat, mengatakan, “Saya sangat gembira bergabung dengan FaZe. Kualitas orang-orang di dalam timnya, semuanya sangat mengagumkan di sini, jadi FaZe Up!”

Game bergenre battle royale seperti Fortnite sangat menuntut keahlian spasial yang tinggi, sebab perubahan visual atau audio sekecil apa pun bisa menjadi petunjuk akan keberadaan musuh di medan pertempuran yang begitu luas. Oleh karena itu kemampuan Ewok untuk tetap dapat bermain dengan baik meski tuna rungu benar-benar merupakan bakat yang spesial. Belum jelas apakah Ewok akan bergabung sebagai bagian dari tim kompetitif FaZe Clan ataukah sebagai streamer saja. Tapi yang mana pun hasilnya, Ewok adalah salah satu bukti bahwa pemain difabel pun punya kans bersaing di dunia battle royale.

Sumber: Ewok, FaZe Clan, Polygon

Pemuda 16 Tahun Ini Borong Rp42 Miliar Setelah Jadi Juara Fortnite World Cup

Fortnite World Cup baru saja selesai digelar, menyisakan sejumlah aksi berkesan dari para pemain yang tak terduga. Game battle royale yang sangat populer itu menjadi ajang peraihan prestasi bagi banyak anak muda dari berbagai belahan dunia, bahkan mereka yang masih belia. Dalam kejuaraan dunia pertamanya, Fortnite World Cup dimenangkan oleh remaja berusia 16 tahun!

Menawarkan hadiah total US$30.000.000 (sekitar Rp420 miliar), Fortnite World Cup kini memegang rekor sebagai kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Rekor tersebut memang akan segera terpecahkan karena turnamen Dota 2 The International 2019 sudah mencapai prize pool US$31.000.000 lebih, tapi untuk kejuaraan dunia pertama pencapaian Fortnite ini tetaplah signifikan.

Epic Games selaku penerbit Fortnite menyelenggarakan kompetisi di empat kategori. Dua kategori utama yaitu Solo dan Duos, ditambah dua kategori sampingan yaitu Pro-Am dan Creative. Juara di kategori Solo adalah Kyle “Bugha” Giersdorf, remaja 16 tahun asal Amerika Serikat. Dengan performanya itu, Bugha berhak membawa pulang hadiah senilai US$3.000.000 sendiri, atau setara dengan kurang lebih Rp42 miliar.

Bugha bukan satu-satunya remaja yang meraih prestasi di ajang Fortnite World Cup. Remaja lain, Jaden “Wolfiez” Ashman yang berusia 15 tahun, berhasil menjadi juara 2 di kategori Duos. Ia berhak atas hadiah US$2.250.000 (sekitar Rp31,5 miliar), namun dibagi dua dengan kawan setimnya Dave “Rojo” John. Ada juga remaja 14 tahun Kyle “Mongraal” Jackson, peraih peringkat Top 6 Duos yang meraih hadiah US$375.000. Bahkan yang lebih muda, Thiago “k1nGOD” Lapp dengan usia 13 tahun, membawa pulang hadiah US$900.000 setelah finis di peringkat 5 kategori Solo.

Lucunya, ketika ditanya oleh BBC akan digunakan untuk apa hadiah tersebut, Bugha berkata, “Saya hanya ingin beli meja baru, dan mungkin satu meja lagi untuk menaruh piala.” Sementara sisa hadiahnya akan ditabung. Cukup menarik melihat bahwa ketika memperoleh rejeki nomplok demikian ternyata Bugha tetap tidak terlena atau ingin berfoya-foya.

Prestasi para remaja di ajang Fortnite World Cup ini menunjukkan bahwa dunia esports adalah dunia di mana setiap orang berpeluang menjadi juara, tanpa terikat keterbatasan usia. Mereka yang masih 13 tahun bisa saja bertanding melawan pemain usia 20 atau 30 tahun, asal punya keahlian yang mumpuni.

Dukungan dari orang tua juga jadi faktor pendorong yang penting, sebagaimana ditunjukkan oleh pemain seperti Wolfiez dan k1nGOD. Dulu ibu Wolfiez sempat menentang kegiatan gaming anaknya karena ia mengira itu hanya membuang-buang waktu. Namun lambat laun ia dapat menerima keinginan Wolfiez untuk menjadi pemain esports profesional dan kini memberinya dukungan penuh. Sementara k1nGOD, Anda bisa lihat sendiri ekspresi ayahnya dalam klip Twitter di bawah.

Bentuk dukungan dari orang tua tentu tidak sebatas “membiarkan anaknya bermain”. Sama seperti berbagai jenjang karier lainnya, menjadi atlet esports pun butuh kerja keras, latihan, serta bimbingan. Memfasilitasi semua itu serta mengarahkan anak ke jalur yang tepat adalah bentuk dukungan yang lebih nyata untuk membantu mereka meraih mimpi. Semoga saja di masa depan lebih banyak orang tua yang dapat mengerti itu, sehingga stigma negatif esports bisa hilang dari masyarakat dan anak-anak muda semakin bersemangat meraih prestasi.

Sumber: BBC, The GuardianFortnite Competitive