Fujifilm Siapkan Kamera Mirrorless Medium Format Ketiga dengan Resolusi 102 Megapixel

Fujifilm GFX 50R bukan satu-satunya kamera mirrorless medium format yang diumumkan Fuji di ajang Photokina 2018. Mereka rupanya juga tengah menyiapkan kamera GFX yang ketiga. Kamera ini belum bernama, tapi saya yakin nantinya bakal ada label angka “100” pada namanya sebagai penanda resolusi sensornya yang mencapai 102 megapixel (dengan dimensi fisik sensor yang sama: 43,8 x 32,9 mm).

Resolusi setinggi itu sebenarnya bukanlah hal baru di industri fotografi digital. Hasselblad H6D yang dirilis di tahun 2016 juga mengemas sensor medium format semasif itu, akan tetapi ia tidak masuk kategori mirrorless. Fujifilm GFX 100 (sementara kita juluki itu dulu supaya gampang) di sisi lain merupakan kamera mirrorless.

Dimensinya memang lebih besar daripada GFX 50S yang sudah termasuk bongsor. Ini dikarenakan ada battery grip yang tertanam langsung ke bodi GFX 100. Kalau dilihat sepintas, wujudnya memang mirip GFX 50S yang sedang dipasangi aksesori battery grip.

Fujifilm GFX lineup

Namun resolusi tinggi rupanya belum menceritakan kapabilitas GFX 100 selengkapnya. Kamera ini turut membawa sejumlah peningkatan signifikan dibanding dua pendahulunya. Utamanya adalah sistem phase-detection autofocus (PDAF), dengan PDAF pixel yang tersebar di seluruh penampang sensor, menjadikannya lebih cekatan mengunci fokus pada subjek bergerak, sekaligus lebih akurat dalam mode continuous autofocus.

GFX 100 juga bakal menjadi kamera medium format pertama yang dilengkapi sistem image stabilization internal, sehingga penggunanya nanti tidak harus selalu bergantung pada tripod. Juga baru pada GFX 100 adalah kemampuan merekam video dalam resolusi 4K 30 fps – baik GFX 50S maupun GFX 50R hanya bisa 1080p 30 fps.

Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm
Keluarga kamera dan lensa GFX / Fujifilm

Fuji bilang bahwa kemampuan 4K ini dimungkinkan berkat penggunaan chip quad-core X Processor 4, seperti yang ada pada Fujifilm X-T3. Selain itu, chip yang sama rupanya juga berjasa menghadirkan fitur Film Simulation pada GFX 100, yang sudah menjadi ciri khas lini X-Series sejak lama.

Kamera ini baru akan diresmikan dan dipasarkan tahun depan. Pastinya kapan tidak diketahui, akan tetapi harganya diestimasikan berada di kisaran $10.000. Kalau saya boleh menyimpulkan, pengumuman kamera GFX yang ketiga ini semakin memperkuat anggapan bahwa Fuji memang tidak tertarik dengan mirrorless full-frame.

Sumber: PetaPixel.

Kamera Mirrorless Medium Format Kedua Fujifilm Punya Dimensi Jauh Lebih Ringkas

Satu per satu produsen kamera bergantian menantang Sony di pasar kamera mirrorless full-frame. Setelah Nikon dan Canon, tidak lama lagi datang giliran Panasonic. Bagaimana dengan Fujifilm? Rupanya mereka tidak latah dan masih teguh pada pendiriannya. Daripada full-frame, Fujifilm lebih memilih lompat lebih jauh ke medium format.

Prototipe Fujifilm GFX 50S yang dipamerkan di tahun 2016 pada akhirnya menjadi kamera mirrorless medium format kedua setelah Hasselblad X1D. Tahun ini, Fuji rupanya telah menyiapkan model lain untuk lini medium format mereka, yakni Fujifilm GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

GFX 50R pada dasarnya merupakan versi lebih ringkas dari GFX 50S. Spesifikasinya nyaris identik dengan GFX 50S, dan yang sangat berbeda cuma desainnya saja. Sepintas, GFX 50R dengan desain ala rangefinder-nya kelihatan seperti Fujifilm X-E3 sehabis fitness selama setahun.

Karena lebih kecil, bobotnya jelas lebih ringan, tepatnya 145 gram lebih enteng ketimbang GFX 50S. Bodinya pun juga lebih tipis 25 mm. Kendati demikian, GFX 50R rupanya masih mempertahankan sasis weather-resistant seperti milik kakaknya. Dimensi viewfinder elektroniknya juga lebih kecil, tapi masih tinggi resolusi (3,69 juta dot) dan tingkat perbesarannya (0,77x).

Fujifilm GFX 50R

Di bawah jendela bidik tersebut, ada LCD 3,2 inci yang dilengkapi panel sentuh, yang menggantikan peran tombol empat arah pada GFX 50S. Sayang sekali layarnya ini cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah, tidak bisa ke samping.

Spesifikasi yang sama itu mencakup sensor medium format (43,8 x 32,9 mm) beresolusi 51,4 megapixel dan chip X Processor Pro. Slot SD card-nya ada dua (keduanya mendukung tipe UHS-II), sedangkan baterainya sama-sama berdaya tahan hingga 400 kali jepret seperti GFX 50S. Yang berbeda, tidak ada aksesori battery grip untuk GFX 50R.

Fujifilm GFX 50R

Juga berbeda adalah kehadiran konektivitas Bluetooth (GFX 50S tidak punya) di samping Wi-Fi untuk memudahkan proses pairing sekaligus transfer gambar ke smartphone. Fuji bakal memasarkannya mulai bulan November seharga $4.499, lebih murah $2.000 daripada GFX 50S.

Sumber: DPReview.

Fujifilm Kembangkan AI yang Bisa Mempelajari Selera Fotografi Anda

Bagian yang mungkin paling kurang menyenangkan dari aktivitas fotografi adalah menyimpan baik-baik serta mengelola foto-foto yang Anda miliki. Semakin banyak jumlahnya, maka prosesnya juga kian sulit dan memakan waktu. Para produsen smartphone menyadari hal ini, dan menawar-kan berbagai cara untuk menyederhanakannya. Beberapa brand bahkan memanfaatkan AI.

Kecerdasan buatan juga menginspirasi perusahaan produk imaging asal Jepang, Fujifilm. Belum lama ini, mereka memperkenalkan dua teknologi berbasis AI, yaitu Personalized Select dan Personalized Layout. Keduanya disiapkan untuk memudahkan kita memilih dan merapikan foto dengan cara mempelajari minat serta karakteristik sang pengguna, dan semuanya diimplementasikan secara otomatis.

“Meningkatnya penggunaan smartphone dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong kenaikan aktivitas fotografi,” kata Fuji. “Dan dalam keadaan seperti ini, kami mulai mendengar keinginan para pengguna untuk menciptakan album dari foto-foto yang telah mereka ambil. Namun kendalanya, menentukan layout dan memilah-milih hasil jepretan bisa jadi sangat merepotkan dan menghabiskan waktu.”

Lalu apa itu Personalized Select dan Personalized Layout?

Personalized Select merupakan sistem pintar yang akan menganalisis serta memilih hasil foto terbaik sesuai kebiasaan seseorang. Ia mampu mengkalkulasi aspek-aspek penting dalam foto, misalnya fokus dan warna, kemudian mengombinasikannya bersama preferensi pribadi Anda buat memilih hasil terbaik ‘secara subjektif’. Menurut Fuji, biasanya sistem AI menentukan kualitas foto secara objektif.

Personalized Layout juga sama-sama menggunakan kecerdasan buatan, tapi kali ini disiapkan untuk membantu Anda menciptakan buku/album foto secara otomatis dan personal. Setiap orang dijamin akan mendapatkan layout berbeda yang betul-betul mereka sukai. Menariknya, sistem tersebut memerlukan input dari banyak pengguna. Semakin banyak, ia jadi kian pintar dalam menciptakan layout.

Dengan mengombinasikan kedua teknologi ini, Fujifilm berharap mereka dapat menghasilkan produk-produk terkait fotografi dalam waktu singkat, berpedoman dari foto-foto user yang diambil serta tersimpan di smartphone. Sebagai satu contohnya, jika pengguna punya banyak gambar pemandangan yang diambil saat ia berlibur, maka album tersebut akan didominasi oleh foto-foto traveling.

Penasaran melihat bagaimana dua sistem itu bekerja? Fujifilm punya rencana untuk memamerkan teknologi ini di ajang Photokina 2018 di Cologne pada tanggal 26 sampai 29 September 2018. Di sana, mungkin sang produsen akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara mereka menyajikan Personalized Select dan Layout ke konsumen, serta menginformasikan kapan mereka hadir ke tangan konsumen.

Sumber: Fujifilm.

Fujifilm X-T3 Datang Membawa Sensor Generasi Baru dan Kapabilitas Video Superior

Sebelum Fujifilm X-T2 diluncurkan dua tahun lalu, tidak ada kamera dari lini X-Series yang jago perihal video. Pernyataan ini bukan semata karena X-T2 adalah yang pertama menawarkan opsi perekaman dalam resolusi 4K, tetapi memang hasil rekaman videonya tergolong jelek untuk standar kamera mirrorless.

Kondisinya sudah berubah drastis sekarang. Fujifilm X-H1 yang dirilis di bulan Februari kemarin sejatinya didedikasikan bagi kalangan videografer selagi masih menawarkan kualitas foto khas lini X-Series. Formula ini terus dimatangkan sampai akhirnya lahir Fujifilm X-T3.

Kalau hanya mengamati fisiknya secara sepintas, sulit rasanya membedakan antara X-T3 dan pendahulunya. Fujifilm memang tidak banyak mengubah desainnya, kecuali memperbesar ukuran kenop-kenop di panel atas serta tombol-tombol di panel belakang. Yang berubah signifikan adalah jeroan alias bagian dalamnya.

Fujifilm X-T3

X-T3 merupakan kamera pertama yang mengemas sensor X-Trans 4; masih APS-C, tapi kini beresolusi 26 megapixel dan sudah menganut desain backside-illuminated demi semakin meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Native ISO terendah yang bisa dipilih sekarang ISO 160, bukan lagi ISO 200 seperti pada sensor X-Trans generasi sebelumnya.

Sensor ini hadir bersama chip X-Processor 4 yang berinti empat (quad-core) dan menjanjikan kinerja tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Prosesor baru ini juga merupakan salah satu alasan terbesar mengapa X-T3 semakin cekatan untuk urusan perekaman video.

Selain menawarkan resolusi maksimum 4K 60 fps, X-T3 juga sanggup menghasilkan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card yang terpasang (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder via HDMI. Barisan angka ini mungkin terdengar membingungkan bagi konsumen secara luas, tapi sangat penting di mata videografer.

Sepintas kapabilitas video X-T3 terdengar lebih superior ketimbang X-H1, akan tetapi X-H1 masih lebih unggul soal satu hal, yaitu image stabilization 5-axis. Kalau merekam tanpa bantuan tripod atau gimbal, X-H1 yang memang video-oriented pasti dapat menghasilkan video yang lebih bagus ketimbang X-T3.

Fujifilm X-T3

Sistem autofocus-nya juga ikut disempurnakan, kini mengandalkan 2,1 juta phase detection pixel dengan coverage 100% (jumlah total titik fokusnya 425). Fujifilm mengklaim kinerja sistem AF milik X-T3 1,5 kali lebih cepat dari X-T2, plus mampu mengunci fokus pada tingkat pencahayaan serendah –3EV (X-T2 cuma sampai –1EV). Lebih lanjut, fitur Eye Detection AF di X-T3 dapat diaktifkan dalam mode AF-C maupun ketika merekam video.

Untuk memotret tanpa henti, X-T3 mencatatkan angka 11 fps menggunakan shutter mekanis, atau 20 fps dengan shutter elektronik. Andai perlu lebih ngebut lagi, pengguna bisa mengaktifkan mode “Sports Finder” yang akan meng-crop gambar sebesar 1,25x, tapi mendongkrak kecepatannya menjadi 30 fps.

Fujifilm X-T3

Beralih ke aspek pengoperasian, X-T3 dibekali viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,75x, serta yang cukup langka, refresh rate setinggi 100 fps tanpa harus mengandalkan bantuan aksesori opsional vertical grip seperti sebelumnya. Tidak seperti pendahulunya, X-T3 kini dilengkapi layar sentuh, dan layar ini masih bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

Soal konektivitas, X-T3 pun juga lengkap. Jack headphone maupun mikrofon semuanya ada, demikian pula HDMI dan USB-C, serta Wi-Fi dan Bluetooth. Baterainya diklaim bisa bertahan sampai 390 jepretan, sedikit lebih awet ketimbang kamera mirrorless full-frame Nikon dan Canon yang diumumkan baru-baru ini.

Fujifilm berniat memasarkan X-T3 mulai 20 September mendatang seharga $1.500 (body only) atau $1.900 bersama lensa XF 18–55mm f/2.8–4. Seperti biasa, pilihan warna yang tersedia ada dua: serba hitam atau kombinasi silver dan hitam.

Sumber: DPReview.

Memulai Hobi Kamera Film Instan untuk Keluarga, Berapa Modal yang Dibutuhkan?

Hobi fotografi saya sedang bergelora dan saya ingin istri saya turut merasakannya. Kebetulan dalam waktu dekat ini putri saya akan merayakan ulang tahun pertama dan saya sedang mempertimbangkan untuk membeli kamera film instan.

Lucunya ide ini terlintas saat bermain game Life is Strange, ketika Maxine Caulfield – seorang siswa jurusan fotografi sedang memandang foto-foto yang ditempel dengan gaya acak-acakan namun terlihat artistik.

memulai-hobi-kamera-film-instan-untuk-keluarga-3

Selain itu, desain kamera instan yang stylish dengan berbagai pilihan warna ceria tentunya bakal menarik anak dan istri saya. Hasil fotonya juga lebih unik dibanding kamera smartphone dan tentu saja tercetak langsung. Tetapi, berapa banyak modal yang dibutuhkan?

Memilih Tipe Kamera Instan

memulai-hobi-kamera-film-instan-untuk-keluarga-2
Foto: Fujifilm

Pilihan saya langsung jatuh ke Fujifilm, meski ada pula merek lain seperti Polaroid, Kodak, Leica, dan lainnya. Alasannya sederhana, harganya relatif terjangkau, modelnya banyak, dan kertas filmnya mudah didapat. Pilihannya:

  • Fujifilm Instax Mini 9 – Rp945.000
  • Fujifilm Instax Wide 300 – Rp1.599.000
  • Fujifilm Instax Mini Neo 90 – Rp1.999.000
  • Fujifilm Instax SQ6 – Rp2.049.000
  • Fujifilm Instax SQ10 – Rp3.999.000

Paling terjangkau adalah Fujifilm Instax Mini 9, bentuk dan pilihan warnanya sangat menggemaskan. Kamera ini menggunakan lensa Fujinon 60mm f/12.7 – f/32 dengan output foto seukuran kartu kredit.

memulai-hobi-kamera-film-instan-untuk-keluarga-4
Foto: Fujifilm

Tapi yang paling terbaru adalah Fujifilm Instax SQ6. Desainnya terlihat lebih kekinian dan menghasilkan jepretan dalam rasio aspek 1:1 atau persegi dengan ukuran 2,4×2,4 inci.

Lalu, yang paling canggih adalah Fujifilm Instax SQ10 dengan mengombinasikan digital dan analog. Jadi, hasil foto-fotonya tersimpan di kamera dan tak langsung tercetak.

Harga Kertas Film

Fujifilm-Instax-SQ10
Foto: Fujifilm

Satu pack kertas film berisi 10 lembar, dengan harga Rp95.000 untuk yang persegi panjang, kertas film yang wide Rp125.000, dan persegi Rp150.000.

Terbilang cukup mahal, hasil foto yang diambil akan langsung tercetak dari kamera dan tidak bisa memilih. Jadi, mungkin akan ada beberapa foto yang hasilnya tak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Ya, namanya juga kamera analog, fitur-fiturnya juga tak secanggih kamera digital. Bahkan, untuk baterainya sendiri menggunakan baterai jenis AA dan tidak bisa diisi ulang. Atau Anda bisa juga menggunakan baterai jenis AA yang bisa di-charge ulang, mirip yang biasa digunakan untuk mainan, tentu saja akan bertambah biaya untuk membeli beterai serta charger-nya.

Verdict

memulai-hobi-kamera-film-instan-untuk-keluarga-5
Foto: Fujifilm

Saya masih ingat betul, bagaimana orang tua menunjukkan album foto-foto kenangan dan hal tersebut sangat berkesan. Kini zaman telah berubah, kita cenderung membagikan foto ke media sosial.

Mungkin saya akan mulai dari model paling basic yaitu Fujifilm Instax Mini 9. Meski modal untuk mencoba kamera Instax lumayan mahal – tapi harus diakui hasil cetaknya sangat unik. Bisa juga saya berubah pikiran, edit saja koleksi foto yang ada dan cetak sendiri dengan biaya lebih terjangkau.

Tapi, memang kalau ‘nostalgia’ adalah alasan utama saya ingin mencetak foto. Namun harus sejalan dengan perkembangan zaman, saya ingin membuat album foto kenangan yang lebih kreatif dan juga ingin menempelnya ke dinding persis seperti game Life is Strange.

Update: Terdapat penambahan keterangan tentang batera AA yang bisa diisi ulang. 

Fujifilm XF10 Usung Sensor APS-C dalam Bodi Sekelas Kamera Saku

Fujifilm kembali meluncurkan kamera baru. Bukan mirrorless kali ini, melainkan yang masuk ke kategori kamera saku premium. Produk terakhir dari Fujifilm di segmen ini adalah Fujifilm X70, yang umurnya sekarang sudah dua tahun lebih.

Dinamai Fujifilm XF10, ia lebih pantas dianggap sebagai versi lebih simpel dari X70 ketimbang penerusnya. Desain keduanya cukup mirip, hanya saja XF10 tak lagi kelihatan retro seperti X70. Kendati demikian, premis utamanya masih sama: bodi kecil, sensor besar, dan dilengkapi lensa prime.

Fujifilm XF10

XF10 memiliki dimensi 113 x 64 x 41 mm, akan tetapi di dalamnya bernaung sensor APS-C 24 megapixel – sebagai perbandingan, Sony RX100 VI mengemas sensor 1 inci dalam bodi sebesar 102 x 58 x 43 mm. Resolusinya lebih tinggi dibanding sensor milik X70, akan tetapi yang dipakai oleh XF10 bukanlah sensor X-Trans, melainkan yang mengemas filter warna Bayer standar.

Menemani sensor tersebut adalah lensa fixed 18,5mm f/2.8 (setara lensa 28mm pada kamera full-frame). Focal length seperti ini jelas sangat menarik di mata street photographer – salah satu target pasar X70 – sayangnya XF10 tak lagi dilengkapi tuas untuk mengubah mode fokus dan tilting LCD seperti X70 dulu. Juga berubah adalah kenop shutter speed yang telah digantikan oleh mode dial

Sektor video rupanya juga bukan spesialisasi XF10. Ia memang bisa merekam dalam resolusi 4K, akan tetapi hanya pada kecepatan 15 fps saja. 15 fps menurut saya sangat tidak watchable dan lebih mirip deretan foto yang diputar dalam mode slideshow secara cepat. 1080p 60 fps adalah opsi yang lebih bijak bagi konsumen XF10.

Fujifilm XF10

Satu peningkatan yang dibawa XF10 dibanding X70 adalah joystick mini di bagian belakang, yang sangat praktis digunakan untuk mengubah titik fokus. XF10 juga mengusung layar sentuh, dan lewat layar ini pengguna juga dapat mengaktifkan Square Mode, alias pemotretan dalam aspect ratio 1:1 ala Instagram (pertama kalinya di lini Fuji X-Series).

Berita baiknya, XF10 tidak semahal X70 ketika pertama dirilis. Fujifilm mematok harga $500 untuk XF10, dan pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai Agustus mendatang di Amerika Serikat.

Sumber: DPReview.

Sensor Kamera ISOCELL Plus Buatan Samsung Janjikan Kualitas Gambar yang Lebih Baik Lagi

Pengalaman Samsung memproduksi sensor kamera smartphone memang belum sepanjang Sony, tapi hal itu rupanya tak menghalangi upaya inovasi mereka di bidang ini. Salah satu buktinya adalah teknologi ISOCELL yang pertama diumumkan di tahun 2013, yang menerapkan teknik isolasi pixel guna memaksimalkan reproduksi warna dan penyerapan cahaya.

Kunci dari teknologi ISOCELL adalah adanya sekat pemisah di antara setiap pixel, sehingga pada akhirnya masing-masing pixel bisa menyerap lebih banyak cahaya dan menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik. Problemnya, sekatnya ini terbuat dari logam, sehingga terkadang cahaya yang semestinya masuk ke pixel malah jadi dipantulkan atau diserap sendiri oleh sekat tersebut.

Samsung ISOCELL Plus

Namun masalah ini sudah terselesaikan dengan hadirnya ISOCELL Plus, di mana Samsung telah memanfaatkan material baru ciptaan Fujifilm yang inovatif. Kedua pihak enggan menjelaskan material misterius ini, tapi yang pasti ini adalah pertama kalinya material tersebut masuk tahap komersialisasi.

Hasilnya, sensor ISOCELL Plus mengusung peningkatan sebesar 15 persen dalam hal sensitivitas cahaya, dan reproduksi warnanya pun dijamin juga lebih akurat. Di samping itu, ISOCELL Plus juga memungkinkan ukuran masing-masing pixel pada sensor yang begitu kecil (0,8 mikrometer), sehingga resolusi totalnya bisa melampaui angka 20 megapixel tanpa risiko pengurangan kualitas gambar yang drastis.

Teknologi ini sekarang sedang dipamerkan di acara Mobile World Congress Shanghai, namun sejauh ini belum ada informasi terkait smartphone apa ke depannya yang akan dibekali sensor ISOCELL Plus.

Sumber: Samsung.

Diana Instant Square, Kamera Film Instan dengan Lensa Dapat Ditukar Meluncur di Kicstarter

Bagi penggemar kamera film cetak instan, tentunya Anda sudah amat familier dengan seri Instax dari Fujifilm.

Perusahaan kamera asal Jepang itu belum lama ini meluncurkan kamera Instax Square SQ6 ke Indonesia yang dibanderol Rp2,049 juta.

Diana-Instant-Square

Namun bagi yang mendambakan kamera analog dengan format square seperti Fujifilm Instax SQ6 tapi dengan fasilitas lebih lengkap, jawabannya datang dari Lomography.

Mereka baru-baru ini telah merilis sebuah kampanye di Kickstarter untuk pembiayaan produksi kamera Diana Instant Square.

Sebuah kamera Instax pertama di dunia yang mendukung lensa yang dapat ditukar (interchangeable) dan memiliki hot shoe atau dudukan untuk untuk memasang lampu flash pada kamera.

Ya, Diana Instant Square kompatibel dengan square film Fujifilm Instax dan juga kompatibel dengan semua lensa milik kamera instant Diana F+.

Diana-Instant-Square-2

Dalam paket penjualannya sendiri, kita bisa memilih jenis lensa yang berbeda, seperti:

  • 20mm fisheye
  • 38mm super-wide-angle
  • 55mm wide-angle (+ close-up attachment)
  • 75mm kit lens
  • 110mm telephoto

Selain itu, Diana Instant Square juga dilengkapi dengan cermin untuk selfie, viewfinder yang bisa dilepas, dan dukungan aksesori lainnya.

Diana-Instant-Square-3

Diana-Instant-Square-1

Dalam proses pengambilan gambarnya Anda memiliki kontrol untuk mengatur fokus secara manual dan nilai aperture misalnya ke F11, F19, atau F32.

Bila tertarik, harga normal Diana Instant Square akan dibanderol US$100 atau sekitar Rp1,4 juta. Namun bila Anda membantu program crowdfunding yang digelar di Kickstarter, Anda cukup membayar US$65 atau Rp900 ribuan untuk versi klasik.

Sementara untuk versi edisi khusus dibanderol US$77 atau Rp1 jutaan. Rencananya unit akan dikirim mulai bulan Desember untuk versi klasik dan bulan Januari 2019 untuk edisi khusus.

Berikut spesifikasi lebih lengkapnya:

  • Film Format: Fujifilm Instax Square Film
  • Film Size: 86 mm x 72 mm
  • Dimensions: (WxHxD) 140 mm x 115 mm x 98 mm
  • Exposure Area: 62 mm x 62 mm
  • Shutter Speed: N (1/60), B (Bulb Mode, Unlimited)
  • Aperture: Manual settings, cloudy (f/11), partlysunny (f/19), sunny (f/32)
  • Film Ejection Mechanism: Motorized
  • Multiple Exposures: Unlimited
  • Flash: Diana F+ Flash (with adapter, included in package),hot shoe (with adapter, included in package)
    Interchangeable Lens Mount: Diana F+ bayonet mount
    Focal Length of Kit Lens: 75 mm
  • Zone Focusing Setting (kit lens): 1-2 m / 2-4 m / 4 m-infinity
  • Viewfinder: Reverse-Galilean, detachable
  • Battery Supply: 4x AAA batteries
  • Filter Thread Diameter on 75 mm kit lens: 30.5 x 0.75

Sumber: Dpreview

Fujifilm X-T100 Bidik Pengguna Kamera DSLR untuk Beralih ke Mirrorless

Di tengah perkembangan teknologi kamera smartphone yang begitu pesat. Mungkin Anda bertanya-tanya, apakah kita masih membutuhkan kamera digital?

Saya juga pernah berpikir demikian dan pengalaman yang memberikan jawaban kepada saya. Saya merasa kurang puas dengan hasil foto saat traveling dan saya juga kesulitan memotret dalam cahaya temaram saat menghadiri acara peliputan bila hanya bermodalkan ponsel pintar.

Tapi saya tak mau juga dibuat repot, dari situ saya paham betul bahwa yang dibutuhkan ialah sebuah kamera mirrorless. Bentuknya ringkas dan punya kemampuan fleksibilitas lensa yang bisa diganti-ganti seperti kamera DSLR.

Bicara mengenai mirrorless, perusahaan kamera asal Jepang yakni Fujifilm telah meluncurkan kamera mirrorless terbaru ke Indonesia – Fujifilm X-T100 dalam acara yang bertajuk ‘show me your world‘ di Suasana Restaurant, Aston Jakarta (28/05/2018).

Menurut Johannes J. Rampi, General Manager Electronic Imaging & Consumer Printing Division Fujifilm, produk ini masuk ke kategori low to mid. Konsepnya adalah kamera mirrorless yang terbentuk dari desain ala kamera DSLR dengan jendela bidik.

“Dengan fitur utama seperti adanya electronic view finder, perangkat ini ditunjukkan untuk mereka yang masih menggunakan kamera DSLR agar beralih ke kamera mirrorless,” ujarnya.

Fitur dan Spesifikasi Fujifilm X-T100

Di jantung Fujifilm X-T100 tertanam sensor APS-C ukuran 24,2-megapixel yang dikombinasikan dengan teknologi reproduksi warna milik Fujifilm. Terdapat 11 variasi mode film simulation dan 17 variasi advanced filters.

Fujifilm X-T100 juga telah dilengkapi RAM 8GB, serta sistem deteksi gerakan autofokus dan algoritma autofokus terbaru yang membuatnya jadi lebih cepat dan lebih akurat dalam mencari titik fokus.

Di seri ini, SR+ Auto Mode telah mengombinasikan teknologi pengenal subjek dan gambar. Fungsi otomatis ini membuat X-T100 lebih simpel dan mudah dipakai oleh siapapun.

Kamera ini menawarkan pengaturan ISO dari ISO 200 hingga ISO 12800 yang bisa diekspansi dari ISO 100 hingga ISO 51200 dan mampu melakukan shooting 6fps pada 26 frame.

Hands-on Fujifilm X-T100

Dalam acara peluncuran, saya berkesempatan mencicip kecanggihan Fujifilm X-T100. ‘Berkelas’ itulah kesan pertama yang saya dapat sesaat setelah menyentuhnya.

Kamera mirrorless ini memiliki dimensi yang ringkas (121x83x47,4 mm) dengan desain stylish bergaya retro yang identik dengan seri X-T, di mana punya tiga tombol kontrol di bagian atas. Bobotnya sendiri mencapai 448 gram dan dibuat dengan rangka alumunium anti-karat.

Bagi saya lumayan berat tapi dengan build quality yang sangat baik, hal tersebut sepertinya bukan kekurangan. Bobot tersebut justru memberikan kesan padat, solid, serta feel yang mantap dalam genggaman tangan dan nyaman saat digunakan untuk memotret.

Kamera ini dilengkapi layar LCD sentuh 3 inci yang dapat digerakkan secara horizontal hingga 177 derajat, memiliki port 2.5mm dan hotshoe. Sehingga memudahkan untuk membuat vlog, Anda menggunakan external microphone untuk mendapat kualitas audio yang lebih baik.

Untuk kualitas perekaman videonya, kamera ini mampu merekam video format 4K pada 15fps hingga sekitar 30 menit, video Full HD hingga 59,94fps, dan video slow motion hingga 4x di resolusi HD 720p.

Daya tahan baterai sendiri diklaim tahan lama, di mana sekali charge bisa digunakan untuk memotret hingga sekitar 430 foto. Berkat konektivitas WiFi dan Bluetooth yang dimilikinya, hasil foto dan video dapat dipindahkan dengan mudah ke smartphone.

Harga Fujifilm X-T100

fujifilm-x-t100-9

Bila tertarik dengan Fujifilm X-T100, keran pre-order telah dibuka mulai pada tanggal 30 Mei 2018 hingga 8 Juni 2018 di website resmi Fujifilm Indonesia dengan bonus menarik. Serta, tersedia dalam berbagai pilihan warna yakni dark silverblack, dan champagne gold.

Untuk body only, Fujifilm X-T100 dibanderol Rp9 juta dan Rp10,5 juta dengan lensa Kit XC 15-45mm f/3.5-5.6 power zoom. Lensa tersebut dapat digunakan untuk berbagai subjek fotografi dengan jangkauan fokus dari 15mm hingga 1200mm (ekuivalen 35mm).

Fujifilm X-T100 Adalah Fujifilm X-A5 dengan Desain yang Lebih Pro

Baru tiga bulan yang lalu, Fujifilm meluncurkan kamera mirrorless kelas entry baru bernama X-A5. Sekarang, mereka kembali memperkenalkan kamera baru lagi untuk segmen yang sama, yang mereka namai X-T100.

X-T100 boleh dibilang merupakan X-A5 dalam kemasan yang berbeda. Spesifikasinya nyaris sama persis, dari mulai sensor sampai baterainya. Seperti X-A5, X-T100 turut menggunakan sensor APS-C 24 megapixel biasa, bukan yang berlabel X-Trans seperti kamera-kamera lain Fujifilm yang menduduki segmen menengah ke atas.

Sensor ini ditemani oleh sistem phase-detection autofocus (PDAF) 91 titik, dan kinerja burst shooting-nya mencapai angka 6 fps. Resolusi video maksimum yang dapat direkam adalah 4K, hanya saja dalam kecepatan 15 fps. Sekali lagi, sama persis seperti X-A5, bahkan baterainya juga diklaim tahan sampai 430 jepretan.

Fujifilm X-T100

Yang berbeda, seperti kelihatan jelas dari gambar, adalah desainnya. X-T100 mengadopsi gaya ala DSLR, macam yang diusung X-T20 maupun X-T2, dan itulah alasan di balik penamaannya. ‘Punuk’ di atas lensanya itu merupakan rumah untuk viewfinder elektronik, dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot untuk membantu pengguna mengatur komposisi selagi matahari sedang terang-terangnya.

Kalau Anda perhatikan, panel depannya tampak begitu bersih, sampai-sampai hand grip pun tidak ada. Namun tak usah khawatir, sebab Fujifilm berbaik hati menyediakan aksesori hand grip yang bisa dilepas-pasang pada paket penjualannya. Lalu ketika menengok ke panel atasnya, tampak superioritas X-T100 dalam hal kontrol dibanding X-A5.

Fujifilm X-T100

X-T100 mempunyai satu kenop putar ekstra di bagian ini, diposisikan bersama tuas untuk memunculkan LED flash di sebelah kiri. Beralih ke panel belakang, tampak layout yang cukup mirip, namun ternyata layar sentuh 3 incinya sudah fully articulated, alias dapat dibuka ke samping kiri, lalu diputar-putar 360 derajat.

Selebihnya, Anda bakal mendapat fitur yang sama seperti X-A5, termasuk konektivitas Bluetooth di samping Wi-Fi. Itulah mengapa harganya tidak berbeda jauh. Fujifilm X-T100 dibanderol $599 tanpa lensa, atau $699 bersama lensa 15-45mm f/3.5-5.6 OIS tipe power zoom, saat mulai dipasarkan pada pertengahan Juni mendatang. Pilihan warnanya sendiri ada tiga: full hitam, kombinasi silver-hitam, dan yang paling gres, kombinasi emas-hitam.

Sumber: DPReview.