Glorious Model O Wireless Diklaim Punya Click Latency Paling Rendah di Antara Mouse Gaming Lain

Saat mencari referensi di internet mengenai mouse gaming berbobot ringan terbaik yang ada di pasaran saat ini, nama Glorious Model O mungkin adalah salah satu yang paling sering disebut. Selain memang performanya terbukti bagus, mouse ambidextrous dengan desain honeycomb alias bolong-bolong ini juga luar biasa ringan di angka 67 gram.

Kalau ternyata masih kurang ringan, ada Glorious Model O- dengan bobot 59 gram dan dimensi yang lebih kecil. Sayang keduanya masih mengandalkan kabel, tidak seperti penawaran serupa dari Razer yang punya versi standar, versi mini, sekaligus versi wireless.

Well, Glorious tahu ada demand yang lumayan terhadap mouse gaming wireless yang enteng, dan itulah mengapa mereka sudah menyiapkan Model O Wireless. Sesuai namanya, ini merupakan versi nirkabel dari Model O standar. Di angka 69 gram, bobotnya memang tidak identik dengan versi standarnya, akan tetapi masih lebih ringan ketimbang Razer Viper Ultimate yang sama-sama wireless.

Glorious Model O Wireless

Wujudnya boleh sama, akan tetapi jeroan Model O Wireless rupanya cukup berbeda. Sensor yang digunakan bukan lagi sensor Pixart 3360 dengan sensitivitas maksimum 12.000 DPI, melainkan sensor baru yang sensitivitasnya bisa mencapai angka 19.000 DPI, serta menawarkan kecepatan tracking 400 IPS.

Sebagai perbandingan, Razer Viper Ultimate mengusung sensor Focus+ dengan sensitivitas 20.000 DPI dan tracking speed 650 IPS. Namun Model O Wireless rupanya masih punya satu senjata tambahan: click latency-nya diklaim cuma 2,08 milidetik, alias paling rendah dibandingkan mouse gaming lain kalau berdasarkan hasil pengujian Glorious sendiri – dan yang bisa kita buktikan sendiri nantinya menggunakan Nvidia Reflex.

Tanpa harus terkejut, pencahayaan RGB di bagian samping mouse dan scroll wheel tetap dipertahankan oleh Model O Wireless. Namun kalau lampu warna-warni ini dimatikan, perangkat diklaim bisa beroperasi sampai 71 jam nonstop sebelum baterainya perlu diisi ulang.

Rencananya, Glorious Model O Wireless akan dipasarkan mulai 23 September seharga $80. Selisihnya cukup jauh jika dibandingkan dengan Razer Viper Ultimate yang dibanderol $130.

Sumber: PC Gamer.

Razer Naga Pro Adalah Mouse Wireless dengan Panel Modular untuk Semua Jenis Gamer

Setelah lama menjadi salah satu mouse kepercayaan para pemain MMORPG, sekitar tiga tahun lalu Razer Naga berevolusi menjadi mouse multi-fungsi untuk semua jenis gamer. Sekarang, mouse tersebut telah disempurnakan lebih lanjut menjadi sebuah mouse wireless yang sangat adaptif.

Dijuluki Razer Naga Pro, ia kembali hadir dengan panel samping yang modular. Seperti halnya Naga Trinity, ada tiga buah panel yang dapat dilepas-pasang secara magnetis. Panel yang pertama dilengkapi 12 tombol dengan layout ala kalkulator, didesain spesifik untuk mengakomodasi kebutuhan para penggemar game MMO maupun RTS.

Panel yang kedua adalah yang paling berbeda dari sebelumnya. Ketimbang mengemas 7 tombol dengan formasi melingkar, panel keduanya memiliki enam tombol yang dibagi menjadi dua baris, cocok untuk permainan MOBA maupun battle royale. Di bawah keenam tombol tersebut, ada lapisan karet untuk membantu memantapkan genggaman.

Terakhir, ada panel berisikan dua tombol besar layaknya milik Razer DeathAdder. Kalau ditotal, jumlah tombol yang programmable pada Naga Pro bisa mencapai 20 buah jika memakai panel pertamanya. Bahkan scroll wheel-nya pun bisa merangkap peran sebagai tiga tombol yang berbeda layaknya Razer Basilisk V2.

Selain penyempurnaan dari segi desain, jeroannya juga sudah dirombak total kalau dibandingkan sebelumnya. Teknologi HyperSpeed Wireless tentu sudah Razer sematkan pada Naga Pro, mewujudkan koneksi nirkabel yang minim latency sekaligus lebih irit daya daripada biasanya.

Dalam sekali pengisian, baterai Naga Pro diprediksi bisa tahan sampai 100 jam pemakaian kalau tersambung via dongle 2,4 GHz, atau sampai 150 jam kalau terhubung via Bluetooth. Selagi di-charge, Naga Pro tetap bisa digunakan seperti biasa, dan Razer cukup berbaik hati untuk menyertakan kabel SpeedFlex yang sangat lentur pada paket penjualannya.

Perihal akurasi, Naga Pro telah dibekali sensor Focus+, sensor terunggul Razer sejauh ini yang punya sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Razer pun tidak lupa menanamkan optical switch pada Naga Pro, yang tak cuma menawarkan peningkatan responsivitas, tapi juga ketahanan sampai 70 juta kali klik. Kehadiran dua komponen ini sejatinya membuat Naga Pro selevel dengan Razer Viper Ultimate maupun Basilisk Ultimate yang sama-sama wireless.

Razer Naga Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $150, persis di tengah-tengah banderol Viper Ultimate dan Basilisk Ultimate.

Sumber: Razer.

Newzoo: Gamer Gen X Juga Tertarik dengan Aksesori Gaming

Gamer sering diidentikkan dengan generasi muda, seperti generasi Milenial, Gen Z dan Alpha. Jadi, tidak heran jika perusahaan pembuat aksesori gaming menargetkan konsumen di kelompok umur tersebut. Namun, laporan terbaru dari Newzoo menunjukkan bahwa Gen X ternyata juga merupakan target konsumen yang potensial.

Untuk membuat laporan ini, Newzoo mengadakan survei di enam negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Polandia, dan Swedia. Dari survei tersebut, terlihat bahwa jumlah gamer Gen X ternyata juga cukup banyak. Anda bisa melihat jumlah pemain PC dan konsol dari masing-masing generasi pada grafik di bawah.

gamer gen X
Jumlah gamer di masing-masing generasi. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada garfik di atas, jumlah Gen X (39-50 tahun) yang bermain game PC atau konsol mencapai 19 persen, sama seperti jumlah gamer di Gen Alpha (10-15 tahun).

Para responden survei memiliki jumlah pemasukan keluarga yang kurang lebih sama. Sekitar 60 persen dari setiap generasi masuk dalam kelas ekonomi menengah atas. Namun, gaya hidup dari masing-masing generasi berbeda. Saat ini, kebanyakan Gen Z dan Alpha masih mengenyam pendidikan, walau sekitar 51 persen dari mereka telah menjadi pekerja tetap dan 15 persen bekerja paruh waktu. Sementara itu, 61 persen gamer Milenial sudah menjadi pekerja tetap. Sekitar 45 persen dari mereka hidup bersama anak, 19 persen hidup sendiri, dan 17 persen hidup bersama pasangan mereka tanpa anak.

Sebagai perbandingan, gamer Gen X biasanya memiliki karir yang sudah stabil. Memang, lebih dari 50 persen dari mereka memiliki anak. Namun, kebanyakan dari anak gamer Gen X sudah dewasa dan siap untuk hidup mandiri. Hal ini bisa membuat para Gen X merasa kesepian. Untuk mengatasi rasa kesepian tersebut, mereka biasanya lari ke hobi mereka, seperti bermain game.

Dari segi waktu bermain, Gen Z dan Alpha memang menghabiskan waktu paling banyak untuk bermain game. Namun, generasi Milenial dan Gen X juga menghabiskan cukup banyak waktu mereka untuk bermain. Menariknya, jumlah gamer Gen X yang bermain PC setidaknya seminggu sekali mencapai 51 persen, sama seperti gamer PC mingguan di Gen Z dan Alpha. Tingginya minat untuk bermain game akan mendorong seseorang untuk membeli aksesori gaming walau gamer di masing-masing generasi punya alasan yang berbeda untuk membeli perangkat gaming.

Di Gen Z dan Alpha, 35 responden mengaku, alasan utama mereka membeli perangkat gaming adalah agar mereka bisa bermain dengan lebih baik. Sementara 24 persen lainnya membeli aksesori gaming agar mereka bisa mendapatkan pengalaman bermain yang lebih baik. Bagi kalangan Milenial, dua alasan tersebut sama pentingnya. Sementara bagi Gen X, performa dan pengalaman bermain memang penting. tapi mereka juga peduli pada desain dari perangkat gaming.

gamer gen X
Jumlah gamer yang telah memiliki aksesori, hendak membeli, atau tidak tertarik membeli. | Sumber: Newzoo

Newzoo juga mencari data tentang ketertarikan gamer dari masing-masing generasi untuk membeli headset. Jumlah gamer yang hendak membeli headset dalam waktu dekat di masing-masing generasi tak berbeda jauh, seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas.

Sementara itu, jumlah dana yang disiapkan untuk membeli aksesori gaming oleh gamer di masing-masing generasi juga tak jauh berbeda. Lebih dari sepertiga responden mengatakan bahwa mereka menyiapkan dana lebih dari US$200 untuk membeli hardware dan aksesori gaming setiap tahunnya.

Gamer Gen X juga cenderung membeli perangkat mereka sendiri. berbeda dengan gamer di Gen Z dan Alpha yang cukup sering mendapatkan aksesori gaming sebagai hadiah. Karena itu, jika ingin menarik hati para gamer Gen X, salah satu cara yang perusahaan bisa lakukan adalah dengan melakukan promosi. Gen X juga bisa tertarik membeli sebuah aksesori gaming jika perangkat itu dianggap memiliki fitur yang menarik. Saat mencari aksesori gaming, biasanya para gamer Gen X akan mengutamakan kualitas, ketahanan produk, dan kenyamanan.

Sumber header: Depositphotos.

Logitech Luncurkan G733 Gaming Headset Beserta Seri G Color Collection yang Menyegarkan

Memang ada banyak faktor dalam memilih gaming gear. Menurut beberapa sosok esports Indonesia, yang sempat membahas ini bersama tim redaksi Hybrid, teknologi dan kenyamanan mungkin adalah dua terpenting di dalam sebuah gaming gear. Namun selain dua hal tersebut, bentuk dan tampilan sepertinya juga jadi hal lain yang tak kalah penting.

Melihat adanya kebutuhan akan gaming gear yang tampil gaya, Logitech mencoba menjawab hal tersebut lewat koleksi baru yang disebut sebagai Logitech G Color Collection. Koleksi ini menampilkan G733 Lightspeed Wireless Gaming Headset sebagai daya tarik utama, yang dilengkapi dengan G203 dan G305 Gaming Mice, serta G915 TKL Gaming Keyboard.

Selain G733 Lightspeed Wireless Gaming headset, produk lain yang masuk dalam lini tersebut mungkin bukan yang terbaru. Tapi dengan polesan warna baru yang mencolok, beberapa seri lama tersebut seakan menjadi segar kembali. Mengutip rilis dari blog Logitech, ada 4 pilihan warna dalam Logitech G Color Collection, White, Blue, Lilac Purple, dan Black. Bukan cuma warna yang menjadi daya tarik utama dari koleksi ini, kustomisasi juga menjadi hal lain yang ditonjolkan, terutama untuk headset G733.

Selain warna koleksi ini yang cerah dan mencolok, G733 dalam Logitech G Color Collection juga dapat dikustomisasi, sehingga Anda bisa tampil beda, terutama bagi para game streamer yang ingin tampil mencolok di hadapan para penonton. Bagian yang bisa dikustomisasi termasuk head band straps, dan juga mic covers.

Pada versi Logitech G Color Collection, Anda bisa mengganti warna head band dari headset G733. Jadi, walaupun Anda menggunakan headset berwarna hitam, tali head band masih bisa dikustomisasi dengan warna lain. Head band straps untuk G733 hadir dengan 5 pilihan warna dan pola, yaitu Black Glitch, Purple Glitch, Lime Glitch, Mint Glitch, dan Orange Vector.

Sumber: Logitech Official
Sumber: Logitech Official

Mic cover juga jadi gimmick penampilan lain yang tak kalah menarik, dan tentunya mencolok. Headset, baik gaming atau tidak, biasanya hanya menggunakan busa berbentuk bulat hitam untuk menyaring suara di bagian mic. Logitech G Color Collection, menghadirkan koleksi mic cover tambahan yang penampilannya mungkin bisa membuat orang yang melihatnya jadi tergelitik. Mic cover Logitech G Color Collection tak cuma punya variasi warna, tapi juga variasi bentuk, mulai dari gestur jempol ‘like’, bintang, kumis, hati, sampai bibir bergincu.

Mengutip Kompas.com, G733 Lightspeed akan dibanderol seharga 2,4 juta rupiah, dan akan tersedia mulai 7 September 2020 mendatang di Indonesia. Bagi Anda yang merasa bosan dengan peripheral yang warnanya begitu-gitu saja, G733 Lightspeed, dan seri Logitech G Color Collection mungkin bisa masuk ke dalam daftar belanja Anda nantinya.

Turtle Beach Luncurkan Generasi Baru Headset Gaming Wireless-nya

Sekitar tiga tahun yang lalu, Turtle Beach meluncurkan headset wireless pertama yang berlisensi resmi Xbox dan PlayStation, yaitu Stealth 700 dan 600. Keduanya sekarang sudah punya penerus, yakni Stealth 700 Gen 2 dan Stealth 600 Gen 2.

Timing peluncurannya tentu tidak mengejutkan. Microsoft telah mengumumkan bahwa Xbox Series X akan tersedia mulai bulan November 2020, dan kedua headset gaming baru ini memang dirancang supaya kompatibel dengan console next-gen tersebut. Seperti generasi sebelumnya, baik Stealth 700 Gen 2 maupun Stealth 600 Gen 2 juga tersedia dalam varian lain yang kompatibel dengan PS4 ataupun PS5.

Lalu apa saja yang baru dari kedua headset ini? Desainnya baru, meski memang tidak terlalu jauh berbeda dari generasi pertamanya. Mikrofon yang terpasang di earcup sebelah kiri lagi-lagi dapat dilipat kalau sedang tidak digunakan (dan otomatis di-mute dalam posisi terlipat). Bedanya mikrofonnya kini terlipat mengikuti kontur bodi sehingga kelihatan lebih seamless.

Deretan tombol pengoperasiannya kini diposisikan semua di earcup sebelah kiri, demikian pula port USB-C, yang tentu saja absen pada generasi pertamanya. Kedua perangkat sama-sama mengandalkan driver berdiameter 50 mm, akan tetapi driver milik Stealth 700 Gen 2 punya respon frekuensi sedikit lebih tinggi (20 – 22.000 Hz).

Perbedaan selanjutnya berkaitan dengan aspek kenyamanan. Stealth 700 Gen 2 datang membawa bantalan memory foam yang dilengkapi gel pendingin, sedangkan Stealth 600 Gen 2 hanya mengandalkan lapisan kain yang breathable. Konstruksi headband milik Stealth 700 Gen 2 juga melibatkan bahan logam demi menyajikan ketahanan yang lebih baik.

Buat yang berencana memakai headset gaming-nya untuk mendengarkan musik di smartphone, Stealth 700 Gen 2 juga merupakan pilihan yang lebih pas mengingat model inilah yang dibekali konektivitas Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini cukup untuk 20 jam pemakaian, sedangkan Stealth 600 Gen 2 sampai 15 jam.

Meski membawa sejumlah penyempurnaan, harga kedua headset rupanya sama persis seperti pendahulunya: Stealth 700 Gen 2 dibanderol $150, sedangkan Stealth 600 Gen seharga $100. Khusus untuk varian yang kompatibel dengan PlayStation, konsumen juga bisa memakainya dengan Nintendo Switch.

Sumber: Turtle Beach.

Logitech G923 Siap Sajikan Pengalaman Sim Racing yang Lebih Realistis dari Sebelumnya

Penggemar sejati game balap tentu paham mengapa gamepad saja tidak cukup untuk memenuhi hasrat kebut-kebutan virtual mereka. Dalam menekuni hobi sim racing, mereka biasanya memulai dengan membeli racing wheel beserta pedalnya, dan sering kali pilihannya jatuh pada bikinan Logitech (atau Thrustmaster).

Logitech sendiri baru saja meluncurkan racing wheel dan pedal baru, yakni G923. Secara fisik, bagian setir maupun pedalnya kelihatan identik dengan Logitech G29 maupun G920 dari beberapa tahun sebelumnya. Tentu saja G923 hadir dalam dua versi yang berbeda; satu untuk Xbox, satu untuk PlayStation, tapi keduanya sama-sama bisa digunakan di PC.

Yang baru dari G923 justru tersembunyi di dalam, yakni sistem force feedback generasi anyar yang Logitech juluki dengan istilah “TrueForce”. Secara garis besar, TrueForce dirancang untuk menyajikan sensasi yang lebih realistis sekaligus pengalaman keseluruhan yang lebih immersive.

Dibandingkan dengan sistem generasi sebelumnya, yang Logitech bilang tidak bisa berbuat banyak karena harus terbatasi oleh kapabilitas USB generasi lawas beserta prosesor single-core, TrueForce membawa banyak perubahan. Yang paling utama adalah kemampuannya untuk mengakses langsung physics engine sekaligus audio engine milik masing-masing game balap, melakukan kalkulasi secara real-time hingga sebanyak 4.000 kali per detik, sebelum akhirnya diterjemahkan menjadi feedback yang realistis.

Singkat cerita, G923 bukan sekadar bergetar atau diam begitu saja. Dari getaran halus yang ditimbulkan oleh mesin, sampai sensasi ban mobil yang kehilangan cengkeramannya, semuanya bisa dirasakan oleh para pengguna G923. Logitech bahkan tidak segan menyamakan perpindahan dari teknologi force feedback lama ke TrueForce seperti beralih dari TV lawas ke TV beresolusi HD.

Berhubung TrueForce berhubungan langsung dengan engine game, itu berarti setiap game harus di-update terlebih dulu oleh masing-masing pengembangnya agar kompatibel. Sejauh ini, game yang sudah siap memanfaatkan TrueForce adalah GRID, Assetto Corsa Competizione, dan Gran Turismo Sport. Judul lain seperti iRacing, F1 2020, dan Dirt Rally 2.0 baru akan menyusul pada bulan September.

Di Amerika Serikat, Logitech G923 saat ini telah dipasarkan seharga $400, cukup terjangkau bila dibandingkan dengan racing wheel bikinan brand seperti Fanatec atau AccuForce.

Sumber: Logitech dan The Verge.

Razer BlackShark V2 Padukan Desain Klasik ala Headset Pilot Helikopter dengan Sejumlah Fitur Modern

Razer punya headset gaming baru, atau lebih tepatnya versi baru dari salah satu headset lawasnya. BlackShark V2 merupakan penerus langsung dari headset bernama sama yang Razer luncurkan sekitar 8 tahun silam, dan kalau Anda ingat dengan perangkat tersebut, bisa kita lihat bahwa Razer masih mempertahankan desain ala headset pilot helikopter pada BlackShark V2.

Desainnya tentu sudah disempurnakan. Dari segi visual, saya pribadi lebih suka generasi pertamanya yang kelihatan klasik, akan tetapi versi barunya ini sepintas terkesan lebih nyaman berkat bantalan kepala yang lebih tebal. Rangkanya terbuat dari bahan stainless steel, dan bobotnya cukup ringan di angka 262 gram.

Lapisan breathable yang membalut bantalan memory foam-nya diyakini dapat meminimalkan panas di sekitar telinga. BlackShark V2 tidak dilengkapi fitur active noise cancelling (ANC), tapi earcup-nya yang besar setidaknya bisa memberikan isolasi suara secara pasif. Satu hal yang paling saya suka dari desainnya adalah adanya kenop untuk mengatur volume di earcup sebelah kiri.

Terkait kualitas suara, BlackShark V2 mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm rancangan Razer sendiri. Namanya merujuk pada tuning yang dilakukan secara terpisah di tiap-tiap rentang frekuensi (low, mid, high), dan menurut Razer desain semacam ini mampu bertindak seperti tiga unit driver yang terpisah.

Hadir sebagai pelengkap tentu saja adalah dukungan THX Spatial Audio seperti sejumlah headset Razer yang lain. Pun demikian, yang baru di sini adalah fitur spesifik bernama THX Game Profiles, yang dirancang untuk mengoptimalkan audio di tiap-tiap game yang berbeda. Sejauh ini, Razer bilang sejauh ini sudah ada 18 judul permainan kompetitif yang didukung oleh fitur ini.

THX Game Profiles sendiri dapat diaktifkan dengan dua mode yang berbeda: Environmental Mode atau Competitive Mode. Environmental dirancang untuk meningkatkan kesan immersive yang timbul, kedengarannya cocok untuk permainan singleplayer yang santai macam Red Dead Redemption 2, sedangkan Competitive dimaksudkan untuk positioning suara yang lebih akurat.

Untuk input-nya, BlackShark V2 datang membawa mikrofon tipe cardioid yang dapat dilepas-pasang. Karakter suara yang ditangkap mikrofonnya ini bisa diatur lebih lanjut via software, sebab BlackShark V2 turut dilengkapi sound card USB dalam paket penjualannya. Sayangnya komponen ini cuma kompatibel dengan PC, dan untuk perangkat lain BlackShark V2 cuma bisa disambungkan via jack 3,5 mm.

Razer BlackShark V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100. Kalau itu terlalu mahal, Razer juga menyediakan BlackShark V2 X yang dihargai $30 lebih murah di Amerika Serikat. Desain keduanya cukup identik, hanya saja BlackShark V2 X tidak dilengkapi lapisan bantalan yang breathable seperti versi standarnya, dan kabelnya juga terbuat dari bahan karet biasa ketimbang yang sangat fleksibel (SpeedFlex) seperti di BlackShark V2.

Beberapa fitur versi standarnya juga sudah dipangkas. Yang paling utama, BlackShark V2 X tidak dilengkapi sound card USB, dan ia hanya menawarkan fitur virtual surround 7.1 generik ketimbang THX Spatial Audio. Unit driver-nya pun agak sedikit berbeda, tetap TriForce tapi tanpa balutan titanium.

Sumber: Razer.

Audeze Luncurkan Headset Gaming Wireless Baru, Kali Ini Tanpa Gimmick Head Tracking

Produsen headphone yang populer di kalangan audiophile, Audeze, kembali meluncurkan sebuah headset gaming anyar bernama Penrose. Ini merupakan headset gaming ketiga Audeze setelah Mobius di tahun 2018 dan LCD-GX di tahun 2019.

Secara fisik, Penrose kelihatan mirip seperti Mobius, akan tetapi ada satu faktor pembeda yang sangat signifikan: Penrose tidak mewarisi teknologi head tracking yang dimiliki Mobius. Sebagai gantinya, Penrose lebih berfokus menyajikan performa wireless terbaik dengan latency yang rendah.

Meski kesannya Penrose kalah canggih atau kalah inovatif dibanding Mobius, sebagian konsumen mungkin justru menilai head tracking terlalu gimmicky. Penrose sepertinya juga tidak dimaksudkan untuk menggantikan Mobius, sebab Mobius sampai sekarang masih terpampang di situs Audeze dengan banderol $399, $100 lebih mahal ketimbang Penrose.

Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze
Penrose dengan aksen biru, Penrose X dengan aksen hijau / Audeze

Penrose hadir dalam dua varian: Penrose untuk PS4, PS5, PC dan Mac; Penrose X untuk Xbox One, Xbox Series X dan PC. Kedua varian menawarkan fitur dan spesifikasi yang sama persis, dengan perbedaan hanya pada dongle wireless 2,4 GHz-nya, serta aksen warna yang mengitari bagian earcup-nya.

Varian manapun yang konsumen pilih dipastikan kompatibel dengan Nintendo Switch, dan keduanya turut mengemas Bluetooth 5.0 yang mendukung codec SBC maupun AAC sebagai pelengkap. Istimewanya, koneksi 2,4 GHz dan Bluetooth ini bisa berjalan secara bersamaan, yang artinya pengguna bisa mendengarkan audio dari console sekaligus dari smartphone, sangat cocok buat yang rutin berbincang di Discord selama sedang bermain, atau buat yang ingin menyambi mendengarkan podcast.

Audeze Penrose

Sesuai dengan tradisi Audeze selama ini, Penrose hadir mengusung driver planar magnetic berdiameter 100 mm. Mikrofonnya berwujud fleksibel dan bisa dilepas-pasang, serta dilengkapi filter terintegrasi yang diyakini mampu mengeliminasi suara di sekitar pengguna sampai 20 dB. Secara keseluruhan, bobot Penrose tercatat di angka 320 gram.

Dalam sekali pengisian, baterainya diklaim bisa bertahan sampai sekitar 15 jam pemakaian. Charging-nya sudah mengandalkan sambungan USB-C, dan Penrose rupanya tetap bisa dipakai seperti headset biasa menggunakan kabel 3,5 mm.

Audeze Penrose rencananya akan dipasarkan pada bulan September mendatang dengan harga $299. Namun Audeze sudah membuka gerbang pre-order mulai sekarang, dan para pemesan dapat menerima potongan harga senilai $50.

Sumber: Trusted Reviews.

Razer Huntsman Mini Ramaikan Tren Keyboard 60%

Keyboard 60% merupakan salah satu topik terhangat di industri periferal belakangan ini. Baik di kalangan enthusiast maupun gamer, keyboardkeyboard dengan ukuran mini itu sedang ramai diburu oleh konsumen, dan produsen periferal kenamaan macam Razer tentunya tak mau kehilangan momentum.

Mereka baru saja memperkenalkan Razer Huntsman Mini, versi ringkas dari keyboard inovatif bernama sama yang mereka rilis dua tahun silam. Istilah “keyboard 60%” sendiri datang dari ukuran fisiknya yang cuma 60% dari keyboard normal, dan itu juga berlaku pada Huntsman Mini. Ia bahkan lebih mungil ketimbang Razer Huntsman Tournament Edition yang masuk kategori tenkeyless (TKL) alias tanpa numpad.

Seperti seabrek keyboard 60% lain yang ada di pasaran, tentunya banyak tombol yang dieliminasi pada Huntsman Mini. Tombol arah panah, tombol F1 – F12, tombol Home, Print Screen dan kawan-kawannya sudah diubah menjadi function key, yang artinya Anda butuh kombinasi tombol tertentu untuk mengaksesnya.

Contoh yang paling gampang adalah, kombinasi tombol “fn + 1” sama saja dengan mengklik tombol “F1”, demikian pula untuk tombol-tombol lain, menyesuaikan dengan label yang ada di bagian sisi masing-masing tombol. Akses ke tombol pengontrol media pun masih tersedia; kombinasi “fn + Tab” misalnya, sama saja dengan mengklik tombol “Mute”.

Razer Huntsman Mini

Sebagai bagian dari seri Huntsman, tentu saja keunggulan utama Huntsman Mini terletak pada jenis switch yang digunakan, yakni optical switch yang diyakini lebih responsif ketimbang mechanical switch, plus memiliki ketahanan hingga 100 juta klik. Konsumen bisa memilih antara varian switch yang bersifat clicky atau linear, dan Razer mengklaim varian linearnya ini lebih senyap ketimbang yang ada pada Huntsman Tournament Edition.

Setiap switch dibungkus oleh keycap berbahan doubleshot PBT, bahan yang lebih tangguh ketimbang ABS yang umum dipakai di banyak keyboard, dan yang tidak mudah menyisakan bekas minyak dari jari-jari pengguna. Rangka keyboard-nya sendiri terbuat dari material aluminium, dan Razer tak lupa menyertakan kabel USB-C berwujud braided untuk Huntsman Mini (bisa dilepas-pasang).

Razer Huntsman Mini

Pertanyaannya, untuk siapa keyboard kecil seperti Huntsman Mini ini? Untuk gamer yang punya space terbatas di atas mejanya, untuk mereka yang memerlukan area pergerakan mouse yang lebih luas dari biasanya. Keyboard 60% pada dasarnya merupakan tandem yang sangat pas bagi para pemain game FPS kompetitif yang terbiasa menggunakan setting DPI rendah pada mouse-nya, yang kerap terlihat lebay saat menyapukan mouse-nya.

Daripada harus memiringkan salah satu sisi keyboard supaya tidak terbentur mouse (‘teknik’ yang umum saya jumpai pada banyak gamer kompetitif), menggunakan keyboard 60% jelas merupakan solusi yang lebih ideal, bahkan lebih ideal lagi ketimbang keyboard TKL.

Di Amerika Serikat, Razer Huntsman Mini saat ini telah dipasarkan seharga $120 untuk versi clicky-nya. Versi linearnya akan menyusul di bulan Agustus dengan banderol $130, sama persis seperti harga Huntsman Tournament Edition. Pilihan warnanya sendiri ada hitam atau putih.

Sumber: Razer.

Razer DeathAdder V2 Mini Ramaikan Pasar Mouse Gaming Super-Ringan

Salah satu tren terbaru di industri gaming peripheral adalah mouse yang masuk kategori ultra-lightweight alias lebih ringan dari biasanya. Sejumlah pabrikan memenuhi demand di kategori ini dengan mengadopsi desain bolong-bolong alias honeycomb. Buat Razer, arahan yang mereka ambil rupanya cukup berbeda.

Ketimbang ikut latah menciptakan mouse berdesain honeycomb, Razer memilih untuk menciutkan sejumlah mouse besutannya yang memang sudah mendapat respon positif dari konsumen. Hasil eksekusi idenya pertama kali melahirkan Razer Viper Mini, dan sekarang giliran salah satu mouse terlarisnya yang dibuat mengecil, yakni Razer DeathAdder.

Dinamai DeathAdder V2 Mini, ia merupakan versi yang lebih ringkas dari DeathAdder V2 yang dirilis di bulan Januari lalu. Wujud ergonomisnya sama sekali tidak berubah, demikian pula layout tombolnya yang sederhana. Yang berbeda hanyalah ukurannya; panjangnya menyusut menjadi 114,2 mm, lebarnya 65,4 mm, dan tingginya 38,5 mm, menjadikannya lebih cocok untuk konsumen yang bertangan kecil, atau yang terbiasa menggenggam dengan teknik claw grip.

Bobotnya pun otomatis turun menjadi 62 gram (belum termasuk bobot kabel), atau sekitar 3/4 bobot versi standarnya. Satu hal yang juga perlu dicatat adalah, tombol di bawah scroll wheel-nya (yang secara default berfungsi untuk mengganti DPI) cuma satu seperti DeathAdder versi lawas, bukan dua. Total ada 6 tombol di mouse ini yang semuanya dapat diprogram sesuai kebutuhan.

Bicara soal DPI, sensor optik milik DeathAdder V2 Mini menawarkan sensitivitas maksimum 8.500 DPI, bukan 20.000 DPI seperti versi standarnya, dan kecepatan tracking-nya juga lebih lamban di angka 300 IPS. Beruntung Razer tetap menyematkan switch optiknya di sini, switch yang sama persis seperti milik DeathAdder V2 maupun Basilisk V2.

Juga ikut diwariskan adalah kabel braided yang fleksibel (Speedflex), serta mouse feet dari bahan PTFE murni guna memastikan pergerakan mouse yang mulus. Untuk semakin memantapkan genggaman, Razer turut menyertakan semacam stiker bertekstur dalam paket penjualannya, yang dapat konsumen tempelkan pada sisi kiri dan kanan mouse, serta pada kedua tombol utamanya.

Di Amerika Serikat, Razer DeathAdder V2 Mini sekarang telah dipasarkan seharga $50, selisih $20 dari versi standarnya. Semoga saja ia bisa segera masuk ke pasar Indonesia, sebab sebagai eks pengguna DeathAdder Chroma yang merasa mouse itu agak kebesaran, saya tidak sabar untuk bisa mencoba versi mungil dari mouse paling nyaman buat saya ini.

Sumber: The Verge.