Aplikasi Raiz Invest Mudahkan Investasi Reksa Dana dari Sisa Uang Belanja

Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), sampai Juli 2018 jumlah investor reksa dana di Indonesia baru mencapai 820 ribu orang. Minimnya angka ini sekaligus menjadi peluang untuk digarap pemain fintech, salah satunya adalah Raiz Invest.

Raiz Invest, sebelumnya bernama Acorns, adalah perusahaan fintech dari Australia, sudah hadir sejak Februari 2016. Kemudian berganti nama jadi Raiz Invest pada April 2018. Ekspansi ke Indonesia adalah bagian dari rencana perusahaan pasca IPO di bursa Australia tahun lalu.

CEO Raiz Invest George Lucas mengatakan kehadiran perusahaan dalam rangka ekspansi ke luar Australia. Indonesia dipilih menjadi negara pertama yang disasar karena banyak faktor pendukungnya, selain kondisi geografisnya yang berdekatan.

Indonesia adalah pasar yang bagus untuk mengembangkan ekonomi. Raiz ingin membantu masyarakat Indonesia yang ingin belajar tentang literasi keuangan dan inklusi keuangan lewat smartphone.

“Di Australia, Raiz telah menjadi game changer khususnya bagi kaum milennial dalam menciptakan kebiasaan berinvestasi. Aplikasi Raiz cocok untuk siapapun yang belum memahami investasi atau tidak tahu bagaimana caranya untuk berinvestasi,” katanya, Rabu (6/3).

Tim lokal Raiz disebutkan ada lima orang. Sepenuhnya sistem Raiz di sini akan mengikuti negara asalnya yang menganut open system dan terhubung antar satu pihak dengan API.

Model bisnis Raiz Invest

CMO Raiz Invest Indonesia Fahmi Arya menjelaskan, seluruh transaksi di Raiz nantinya akan berbasis aplikasi. Raiz bekerja dengan mengumpulkan uang pengguna yang diambil dari selisih pembelanjaan. Dana tersebut diambil dari kartu debit atau dompet elektronik yang mereka sambungkan ke aplikasi Raiz.

Nantinya setiap pengguna belanja dengan metode pembayaran tersebut, Raiz akan melakukan pembulatan ke atas untuk setiap transaksi kelipatan Rp5 ribu ke atas. Ketika pembulatan mencapai Rp10 ribu, maka dana tersebut akan diinvestasikan secara otomatis ke produk reksa dana.

Ambil contoh, apabila pengguna belanja sebesar Rp23 ribu, akan dibulatkan menjadi Rp25 ribu sehingga dana yang diambil untuk membeli produk reksa dana adalah Rp2 ribu. Fitur ini disebut cicilan investasi (recurring investment).

Fahmi memastikan dana tidak akan langsung dibelikan satu unit reksa dana apabila belum sampai Rp10 ribu, melainkan baru sekadar dicatatkan saja. Fitur lainnya adalah pembelian secara seketika (lump sum).

Tersedia tiga jenis produk reksa dana yang sudah disesuaikan dengan profil risiko, yakni agresif (reksa dana saham), moderat (reksa dana pendapatan tetap), dan konservatif (reksa dana pasar uang).

Raiz sedang mempersiapkan diri dengan satu bank yang memiliki mobile banking dan dua pemain e-wallet. Apabila tidak ada aral melintang, aplikasinya direncanakan meluncur paling lambat kuartal III/2019.

“Kami ingin pas meluncur nanti aplikasinya sudah benar-benar siap agar pengguna tidak kecewa karena semua transaksi dalam aplikasi ini pakai API, jadinya serba otomatis tidak ada yang manual,” kata Fahmi.

Selain menjadi aplikasi investasi, ke depannya pengguna dapat menjadikan Raiz sebagai media untuk memantau tingkat belanjanya sehingga dapat dievaluasi lebih jauh. Antar pengguna bisa saling berdiskusi mengenai pilihan investasi, atau kebiasaannya itu sudah lebih baik atau belum.

Rencana jangka panjang

Fahmi melanjutkan fokus Raiz Invest adalah menjangkau orang-orang yang belum pernah belum pernah berinvestasi ke reksa dana. Setelah aplikasi dirilis, ditargetkan nilai transaksi (AUM) dapat tembus Rp400 juta setiap harinya sampai akhir tahun ini.

Perkiraan ini diambil dari target pengguna Raiz sebanyak 40 ribu orang. Sedangkan dana yang terkumpul per harinya dari satu pengguna diperkirakan sebesar Rp10 ribu. Secara jangka panjang, Raiz menargetkan dapat menjangkau 400 ribu pengguna pada 2020.

“Bisnis model kami bukan di-drive oleh penerimaan AUM karena minimal investasi di Raiz itu Rp10 ribu saja. Jadi kami bidik target pengguna sebanyak-banyaknya.”

Sembari menunggu aplikasi dirilis, Raiz menyediakan pendaftaran e-mail untuk siapapun yang ingin mendapat info terbaru dari perusahaan. Raiz telah mengantongi izin usaha sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana (APERD) dari OJK per 10 Desember 2018.

Di Australia saja, Raiz melayani 30 juta transaksi dengan nilai per transaksi AUD $1. Hingga Januari 2019, aplikasinya sudah diunduh lebih dari satu juta kali dan memiliki lebih dari 175 ribu pengguna aktif, 75% diantaranya adalah milenial.

 

Perusahaan Gaming Gear Razer Mengakuisisi THX, Apa Motivasi Mereka?

Mereka yang gemar menikmati film layar lebar sudah pasti tidak asing dengan THX. Perusahaan Amerika ini merupakan spesialis audio, terkenal berkat pengembangan standar reproduksi audio/video hi-fi untuk bioskop, home theater, console sampai speaker. Tapi George Lucas mungkin tak pernah membayangkan THX akan jadi bagian dari perusahaan gaming gear ternama.

Betul sekali, THX dan Star Wars punya hubungan erat. THX yang saat ini kita kenal didirikan di tahun 2002 sebagai spin-off dari Lucasfilm. Namanya sendiri ada sejak tahun 1983, waktu itu dimanfaatkan untuk memastikan soundtrack Return of the Jedi tersaji sempurna. Dan di awal minggu ini, muncul sebuah berita mengejutkan. Mayoritas aset dan kekayaan intelektual THX kabarnya telah jadi milik Razer.

Sejauh ini belum diketahui seberapa besar uang yang dikeluarkan oleh Razer, namun beralihnya kepemilikan aset membuka probabilitas baru pemanfaatan sistem ‘quality assurance‘ THX. Secara tertulis CEO Min-Liang Tan menuturkan bahwa Razer mempunyai visi untuk menyajikan inovasi di berbagai level hiburan. Visi tersebut juga menjadi kebanggaan THX sejak didirikan. Akuisisi ini memungkinkan Razer menjaga kepemiminan mereka di ranah gaming gear serta segmen hiburan secara umum.

Kabar gembirannya, tim THX akan bekerja secara normal sebagai entitas independen dengan tim management-nya sendiri bersama para partner. Dari penjelasan mereka, Razer membeli THX tepat saat perkembangan bisnisnya menunjukkan kenaikan. Dalam beberapa bulan ke belakang, THX diketahui tengah memperluas program sertifikasi ke jenis hiburan live dan konser-konser musik.

Misi THX sendiri tidak berubah, yaitu menyediakan pengalaman hiburan berkualitas baik di bioskop, rumah atau on-the-go. Namun dengan kesempatan ini, THX percaya diri mereka dapat menggapai kategori-kategori baru, dibantu Razer dalam upaya mengoptimalkan mutu audio visual di semua segmen.

“Memastikan tiap orang memperoleh hiburan bermutu tetap menjadi fokus utama kami, terlepas dari apapun medium yang mereka gunakan,” tutur CEO THX Ty Ahmad-Taylor di press release. “Bersama Razer, kami bisa memperkuat lini bisnis utama sembari memenuhi kebutuhan konsumen yang terus berubah.”

Saat ditanya oleh Venture Beat mengenai apa alasan Razer membeli THX, Tan bilang bahwa ia adalah penggemar berat THX. Brand ini menawarkan program sertifikasi audio video terbaik di kelasnya, didukung oleh teknisi-teknisi berbakat; lalu kekayaan intelektual dan teknologi THX juga relevan bagi konsumen utama Razer.

Dan Anda harus ingat, Razer bukan hanya fokus pada penyediaan gaming gear semata. Mereka juga merupakan salah satu ujung tombak dan penggagas proyek Open Source Virtual Reality (OSVR), jadi jangan kaget jika teknologi THX turut diterapkan ke ranah VR…

5 Hal Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Star Wars: The Force Awakens

Satu hal yang paling dinanti jutaan fans di ajang Star Wars Celebration Anaheim 2015 adalah info dan bocoran mengenai Star Wars: The Force Awakens. Setelah sekian lama, serta periode peralihan kepemiliki Lucasfilm ke Disney di tahun 2012, akhirnya kita dipersilakan mengintip lebih jauh kisah penerus saga ciptaan George Lucas itu melalui teaser trailer kedua. Continue reading 5 Hal Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Star Wars: The Force Awakens