Ambisi Rangkai Berdayakan Sineas Lokal Melalui Platform Video-On-Demand

Setelah sempat terpukul ketika pandemi melanda, industri perfilman Indonesia kembali bangkit. Berbagai judul film mulai diproduksi dan tayang, baik di bioskop maupun platform digital. Meskipun begitu, jumlah penonton masih terbilang di bawah standar (sebelum pandemi).

Menurut penelitian, terdapat lebih dari 3000 film Indonesia yang bernasib idle, dibuat namun hanya disimpan. Salah satu penyebabnya ditengarai belum sempurnanya infrastruktur perfilman, terutama ekshibisi atau akses menonton. Hanya ada 517 bioskop di Indonesia, lebih dari 60% berada di wilayah Jabodetabek. Hal ini membatasi akses bagi penonton di kota tier 2 dan 3.

Hal ini menginspirasi Rangkai untuk membuat platform yang bisa mempertemukan film Indonesia dengan penonton baru. Selain itu, rendahnya aksesibilitas tayangan lokal berkualitas dengan harga terjangkau juga menjadi alasan lain hadirnya platform video-on-demand ini. Rangkai memiliki visi untuk menjadi ekosistem digital yang menumbuh-kembangkan ekonomi kreatif Indonesia.

Tidak hanya sekadar layanan platform film online, Rangkai memiliki aspirasi untuk turut membangun dan merangkai sektor perfilman Indonesia, dimulai dari film dan komunitas lokal. Sebagai ekshibitor film, pihaknya berkolaborasi dengan sineas dari berbagai kota di Indonesia. Sehingga, karya lokal dapat ditonton dan dinikmati secara nasional.

Founder & CEO Rangkai Redemptus Rangga mengungkapkan, “Kami tidak membatasi film kami menjadi hanya film naratif yang populer. Kami ingin memberikan wadah pada sineas muda sedari mereka di sekolah menengah untuk dapat menunjukan karyanya. Kami menyimpannya sebagai aset yang dapat terus bergulir sebagai pemasukan pasif sineas.”

Dari sisi pengguna, Rangga juga melihat adanya penurunan minat kepada sistem langganan bulanan. Film-film unggulan tersebar di berbagai OTT dengan sistem langganan bulanan. Hal ini memberatkan pengguna karena mereka harus mengeluarkan dana berlangganan yang lebih besar ketika mereka hanya ingin menonton beberapa film saja di sebuah platform.

Maka dari itu, Rangkai.id menggunakan sistem pay-per-view. Pengguna memiliki keleluasaan untuk memilih dan membayar film-film yang ingin mereka tonton – seperti di bioskop – dengan harga yang terjangkau. Tiket film yang mereka beli berlaku selama 24 jam. Perusahaan juga telah bermitra dengan provider dompet digital untuk menambah opsi pembayaran pengguna.

Rangga juga menambahkan bahwa keberdayaan ekonomi para sineas juga menjadi fokus selanjutnya dalam mengembangkan ekosistem. Oleh karena itu, Rangkai menerapkan sistem bagi hasil, tiap tiket yang terjual akan dibagi 50:50 antara platform dan sineas setelah dipotong pajak.

Perusahaan juga membangun sistem metadata untuk sistem pencaharian pengguna yang lebih akurat. Semakin banyaknya film, semakin sulit pengguna mengingat judulnya. Sistem pencaharian film di Rangkai.id dapat mencari momen spesifik di film tersebut meskipun tidak ada di judul. Misalnya, jika ingin mencari kata “Mobil” di kolom search akan keluar film-film dengan adegan mobil dalam filmnya.

Rangkai juga telah melakukan beberapa kerja sama dengan program pemerintah, festival, komunitas, dan akademisi. Film hasil kurasi dalam program kerjasama dapat ditayangkan di program kami. Sehingga, audiens dari masing-masing program kerjasama diharapkan akan tertarik menjadi pengguna Rangkai untuk dapat menonton karya tersebut.

Dari segi kurasi, Rangkai memastikan bahwa tiap produk film atau konten yang tayang memiliki kualitas yang baik dan mengutamakan inklusivitas dari berbagai kota di Indonesia. Hingga saat ini, Rangkai telah berhasil menjual lebih dari 25 ribu tiket dengan lebih dari 111 koleksi film lokal pilihan.

Ia juga mengungkap 4 hal yang menjadi tantangan selama menjalani legalitas, pendanaan, kepercayaan industri, kesadaran publik dan penjualan. “Saya rasa selain poin legalitas solusinya adalah waktu dan determinasi kami untuk terus menyebarluaskan informasi terkait Rangkai secara benar dan transparan,” ungkapnya.

Untuk perihal legalitas sendiri ini sifatnya lebih kepada peraturan negara, saya rasa untuk poin ini solusinya adalah untuk tetap terus aktif serta berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan hingga kompetitor, untuk dapat bersama membangun wadah yang berdampak baik dan benar bagi masyarakat luas, khususnya sektor perfilman Indonesia.

Potensi dan fokus ke depan

Tidak bisa dimungkiri bahwa pandemi Covid-19 memberikan banyak dampak negatif dan positif di sektor perfilman Indonesia. Tahun ini disebut sebagai momentum yang tepat untuk dapat mengembangkan dan mendorong ekosistem perfilman bersama. Selama dua tahun ke belakang, ketika membangun Rangkai, Rangga turut mengobservasi sektor perfilman Indonesia.

Ia mengungkapkan bahwa sektor perfilman Indonesia memiliki dinamika yang menarik karena berhubungan erat dengan kesenian dan kebudayaan serta menjadi salah satu poin utama di sektor ekonomi kreatif. Rangga pun melihat kenaikan dari sisi kuantitas dan kualitas film Indonesia. Hal ini menjadi salah satu acuan bahwa kondisi perfilman Indonesia saat ini lebih baik dan memiliki potensi yang besar.

Disrupsi teknologi saat pandemi covid-19 menjadi salah satu pengaruh gaya hidup seseorang khususnya dalam mendapatkan kebutuhan hiburan. Meskipun Rangkai.id hadir di masa pandemi, produk kami tidak meresponx secara langsung akan kebutuhan di masa pandemi saja. Keberlanjutan menjadi fokus utama melihat kebutuhan konsumen akan hiburan digital lokal serta sejalan dengan perkembangan teknologi yang ada.

“Harus kami akui, bahwa disrupsi teknologi saat pandemi covid-19 memberikan dampak percepatan edukasi produk Rangkai.id kepada pengguna kami. Selain itu, saat ini mulai terjadi tren pertumbuhan di sektor ekonomi kreatif Indonesia. Rangkai melihat potensi dan kemajuan produk digital ekonomi kreatif, khususnya di sektor perfilman, sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi secara global,” ungkap Rangga.

Fokus perusahaan di tahun pertama adalah mencari bentuk model bisnis yang menuai profit. Perusahaan memutuskan untuk bermain di ranah profit game. “Dan sangat bersyukur, atas kerja-bersama semua pihak khususnya tim kecil kami yang hebat, Rangkai.id sudah membukukan keuntungan/profit di tahun pertama,” tambahnya.

Di tahun ini perusahaan akan mengarahkan fokus pada peningkatan kapasitas SDM, organisasi dan produk. Kami sudah berencana mencari pendanaan untuk mempercepat serta memperluas pertumbuhan organisasi serta unit bisnis kami, agar dapat menjalankan ekosistem yang sirkuler serta menjadi fondasi infrastruktur digital sektor ekonomi kreatif Indonesia khususnya di perfilman.

“Inisiatif kami untuk lebih hyper-local market, hadir secara langsung dan berjalan bersama dengan sineas, transparansi, sharing economy serta berfokus pada pengembangan infrastruktur digital ekonomi kreatif Indonesia,” tutupnya.

TipTip Resmi Diluncurkan, Bercita-cita Bangun Ekosistem Konten Kreator Indonesia

Platform monetisasi untuk kreator konten, TipTip, meresmikan kehadiran mereka pada Rabu (13/7) setelah sebelumnya telah mengantongi pendanaan yang dipimpin oleh East Ventures. Dalam acara peluncuran yang diadakan di Sheraton Gandaria City ini, turut diumumkan Triawan Munaf sebagai Presiden Komisaris TipTip.

TipTip sendiri memosisikan diri sebagai layanan yang mengisi kesenjangan akan beberapa fitur penting yang dihadapi oleh kreator konten di negara-negara berkembang di wilayah Asia Tenggara, seperti kurangnya peluang monetisasi, pembayaran lokal & integrasi KYC (know-your-customer) yang terbatas, serta tantangan terkait pembuatan & distribusi konten melalui perangkat smartphone.

Albert Lucius selaku Founder & CEO TipTip mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki berbagai talenta dan konten yang berkualitas, namun besarnya potensi dari ekosistem ekonomi kreatif di Indonesia masih belum tersalurkan secara optimal karena sulitnya membangun target audiensi. Platform ini hadir dengan peluang monetisasi untuk para konten kreator tanpa memerlukan audiensi yang besar.

Meskipun platform ini mengedepankan monetisasi, konten yang tersedia bukan berarti tanpa kurasi. Perusahaan mengaku memiliki tim terpisah untuk kurasi para kreator dan memastikan bahwa kualitas konten yang disajikan tidak menyalahi aturan terlebih untuk setiap monetisasi yang berlangsung dalam platform. Hal ini menjadi salah satu proposisi nilai yang ditawarkan TipTip.

Triawan Munaf yang turut hadir dalam kesempatan tersebut juga mengungkapkan bahwa setelah hampir lima tahun ia mencoba membangun ekonomi kreatif bersama Bekraf, ia mengaku bahwa saat ini negara kita membutuhkan sebuah ekosistem lokal.  Menurutnya, TipTip memiliki semua dukungan yang terbaik untuk menciptakan ekosistem kreator yang kuat. “Dari Indonesia untuk Indonesia. Keep creating ideas, keep creating money,” tambahnya.

Selain dari sisi monetisasi, TipTip juga berperan sebagai jembatan untuk supply dan demand para kreator konten. Perusahaan juga sudah bekerja sama dengan beberapa korporasi. “Kuncinya, kita pemain lokal, kita identifikasi solusi lokal yang mengarah ke kominitas. Kita mengedepankan transparansi dari tipping para followers. Para kreator juga diharapkan untuk memperbaiki kualitas. Semakin banyak menyentuh komunitas, maka semakin banyak monetisasi,” tambahnya.

Willson Cuaca yang turut hadir dalam acara ini mengungkapkan bahwa krisis pandemi menimbulkan pergeseran kebiasaan, salah satunya konsumsi masyarakat akan media. Kini terjadi demokratisasi konten yang memungkinkan semua orang yang punya talenta bisa terfasilitasi.

“Namun kebanyakan platform yang hadir adalah dari luar negeri, TipTip bercita-cita ingin menciptakan ekosistem kreator ekonomi yang sudah terlokalisasi. Harapannya, perusahaan juga bisa membangun flywhee effect. Semakin banyak komponen yang dibangun, maka semakin banyak yang terjangkau dan berpartisipasi,” ungkapnya.

Untuk menikmati solusi TipTip, para pengguna baik konten kreator maupun masyarakat hanya perlu mengunjungi websitenya untuk melakukan registrasi. Aplikasi TipTip sendiri sudah tersedia dan bisa diunduh di platform Android, untuk para pengguna iOS bisa segera menikmati layanan ini di bulan Agustus 2022.

Strategi hyperlocal

Ketika disinggung mengenai platform global yang saat ini lebih banyak digunakan, Albert menjelaskan bahwa pihaknya mengedepankan strategi hyperlocal dan menjangkau komunitas. Suatu hal yang sulit untuk bisa dieksekusi oleh para pemain global. Strategi ini diharapkan bisa menjangkau komunitas serta kreator konten yang lebih luas lagi.

Albert mengambil contoh Amazon dengan layanan e-commerce global, namun tetap di tanah air yang merajai adalah platform lokal seperti Tokopedia. “Hal ini bisa terjadi karena mereka eksekusinya lokal. Kita di TipTip tidak hanya terintegrasi dengan sistem KYC dan Dukcapil, dari sisi pembayaran juga terintegrasi dengan bank lokal dan e-wallet. Kita juga menggunakan strategi dari komunitas ke komunitas,” ungkapnya.

Dalam diskusi singkat di sela-sela acara, Albert mengaku bahwa TipTip bukan hanya sekedar layanan live streaming. Lebih dari itu, platform ini menawarkan solusi yang sangat menyeluruh dan spesifik untuk setiap pasar para kreator kontennya. Perusahaan juga terlibat dalam penyediaan supply kreator dan konten untuk korporasi yang membutuhkan jasa (demand).

Menurut data TipTip, hingga saat ini sudah ada lebih dari 500 kreator yang tergabung. Masing-masing kreator disinyalir bisa membawa sekitar 20 pengikut yang menghasilkan sekitar 10 ribu pengguna. “Kita memproyeksikan pertumbuhan tiga kali lipan di tahun ini. Harapannya beberapa tahun ke depan bisa mencapai puluhan ribu pengguna,” ungkap Albert.

Industri kreator konten di Indonesia

Pertumbuhan konten kreator di Indonesia disebut mengalami pertumbuhan yang cukup besar, pasar industri ini di Indonesia diprediksi mencapai 4 triliun hingga 7 triliun Rupiah pada waktu mendatang. Berdasarkan Opus Creative Economy Outlook 20201, sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi sebesar 1,1 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap 17 juta tenaga kerja.

Selain TipTip, sudah ada beberapa platform yang menyediakan wadah untuk content creator, influencer, dan brand untuk memanfaatkan kegiatan pemasaran dengan konsep tersebut. Mulai dari platform seperti PartipostAnyMind GroupHiip, hingga Lynk.id yang bertujuan memberikan tools terpadu kepada kreator.

Application Information Will Show Up Here

Social Commerce Mendapat Momentum di Indonesia Berkat Pengguna di Daerah

Danik Indriati adalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai agen reseller di aplikasi social commerce Super. Setiap minggu, dia mengumpulkan pesanan bahan makanan dan barang konsumsi harian lainnya di saluran media sosialnya. Dia kemudian memesan produk ini di Super dan secara pribadi mengirimkannya ke pelanggan beberapa hari kemudian.

“Seorang teman memperkenalkan Super kepada saya. Pada awalnya saya tidak tertarik karena operasinya terlihat rumit. Namun ternyata fitur dan petunjuknya mudah diikuti,” ujarnya kepada KrASIA. Saat ini, Indriati memiliki sekitar 120 pelanggan, terutama sesama ibu rumah tangga yang tinggal di lingkungannya—Kabupaten Tegalsari di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

“Super menjual barang dengan harga grosir, jadi saya bisa menjualnya kembali dengan harga sedikit lebih tinggi dan mendapat untung,” katanya. “Pelanggan suka berbelanja melalui saya karena mereka tidak perlu pergi ke pasar atau toko kelontong sehingga mereka dapat menghemat uang yang seharusnya dihabiskan untuk bensin atau transportasi umum,” tambah Indriati.

Didirikan pada tahun 2018, Super yang didukung SoftBank menyediakan barang-barang yang terjangkau bagi penduduk di kota-kota tier-2 dan tier-3 di Indonesia dengan memanfaatkan perdagangan sosial dan rantai logistik yang efisien. Platform tersebut saat ini telah tersedia di 22 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan serta memfasilitasi ribuan reseller seperti Indriati.

Indriati menikmati peran lepasnya sebagai agen reseller karena ia dapat memperoleh penghasilan tambahan tanpa meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah. Dia mendapatkan hingga Rp 2,5 juta (USD 142 hingga USD 177) per bulan, katanya, lebih tinggi dari upah minimum provinsi 2021 di Jawa Timur, Rp 1,86 juta (USD 132).

Danik Indriati, agen reseller Super. Dokumentasi: Super

Mengatasi masalah retail di daerah

Super adalah salah satu dari beberapa platform social commerce yang muncul di Indonesia selama tiga tahun terakhir. Startup lain di sektor ini termasuk Evermos, KitaBeli, Chilibeli, RateS, dan Woobiz, yang terutama menargetkan pelanggan di kota tier-2 dan tier-3. Di wilayah seperti di Indonesia, social commerce menjadi sangat populer karena adopsi e-commerce masih rendah karena biaya pengiriman yang mahal dan penetrasi internet yang lebih rendah.

Sebagian besar konsumen di kota-kota kecil memulai perjalanan belanja online mereka di platform media sosial seperti Facebook Marketplace atau grup WhatsApp, di mana mereka dapat dengan mudah menjangkau penjual yang tinggal di sekitar dan menawarkan pilihan produk hyperlocal.

“Ritel di pedesaan memiliki dua tantangan besar—harga yang tinggi dan volume transaksi per rumah tangga yang kecil. Di Indonesia, produk harian seringkali lebih mahal di daerah pedesaan dibandingkan dengan kota tier-1 karena kondisi jalan yang buruk di seluruh negeri dan biaya rantai pasokan,” kata CEO Super Steven Wongsoredjo kepada KrASIA.

Community buying bisa menjadi jawaban atas tantangan tersebut, ujarnya. “Kami memanfaatkan tokoh masyarakat dan agen untuk merangsang lebih banyak transaksi di komunitas sehingga mereka mendapat harga yang menarik.” Pengecer lokal juga bertanggung jawab atas pengiriman barang jarak jauh, yang memudahkan logistik Super dan biaya rantai pasokan.

Menurut Steven, model ini telah membantu Super menurunkan harga produk rata-rata sebesar 10–20% untuk pengecer, yang kemudian dapat memperoleh margin dari penjualan mereka sambil tetap menawarkan harga yang kompetitif kepada penduduk kota pedesaan.

Sektor social commerce telah terbukti menjadi target empuk investor pada tahun 2021. KitaBeli mendatangkan USD 10 juta dari Go-Ventures pada Maret, Super mengantongi USD 28 juta dari SoftBank April lalu, dan Evermos mengumpulkan USD 30 juta dari UOB Venture Management pada September .

Bersinggungan dengan ekonomi halal

Perusahaan social commerce yang berfokus pada ekonomi halal Evermos secara khusus menargetkan komunitas Muslim, yang merupakan 86,7% dari seluruh populasi Indonesia. Perusahaan menyediakan produk halal dan barang-barang lainnya untuk pelanggan Muslim sambil mengikuti pendekatan yang sesuai dengan syariah.

Prinsip-prinsip Islam mengharuskan bisnis dilakukan dengan jujur dan benar, salah satu pendiri Evermos Ghufron Mustaqim mengatakan kepada KrASIA. “Artinya reseller wajib menulis deskripsi produk yang jujur dengan gambar yang sesuai, mengatur pengiriman tepat waktu, dan memberikan proses refund yang mudah,” ujarnya.

(ki-ka) Presiden Evermos Arip Tirta, Co-Founder Ghufron Mustaqim, CEO Iqbal Muslimin, dan Co-Founder Ilham Taufiq. Dokumentasi: Evermos.

Dengan mengikuti konsep syariah, masyarakat akan lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam transaksi e-commerce, terutama di masyarakat pedesaan, di mana pengguna masih enggan untuk membeli secara online karena khawatir akan adanya potensi produk palsu atau barang berkualitas rendah. Membangun kepercayaan sangat penting, tambah Ghufron.

“Kami belum 100% syariah, tapi kami sedang menuju ke arah sana dengan menjunjung tinggi prinsip bisnis syariah,” jelas Ghufron . “Komunitas kami sadar akan konsep syariah dan menjaga etika ini. Misalnya, mereka akan mengeluh jika menemukan gambar dengan model mengenakan pakaian tidak pantas yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.”

Sejauh ini, bisnis berjalan baik untuk Evermos. Startup ini telah meningkatkan nilai merchandise brutonya lebih dari 60 kali dalam dua tahun, dan saat ini memiliki lebih dari 100.000 reseller aktif—kebanyakan wanita—di 500 kabupaten di kota tier-2 dan tier-3 di seluruh Jawa. Lebih dari 95% produk di platform tersebut bersumber dari UMKM lokal, dengan kategori busana muslim dan peralatan rumah tangga menjadi yang terlaris, kata Mustaqim.

Dia mencatat bahwa Evermos adalah platform inklusif, karena banyak pengecer dan pemilik mereknya adalah non-Muslim. “Etika dan prinsip dalam bisnis syariah bersifat universal. Kami terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung dengan Evermos.”

Proyeksi pertumbuhan

Baik Steven dari Super maupun Ghufron dari Evermos yakin dengan perkembangan social commerce di Indonesia. Negara ini diperkirakan akan melihat jutaan pengguna internet baru dari daerah setiap tahunnya, social commerce dapat menjadi jembatan bagi para pengguna ini untuk meningkatkan kegiatan belanja online.

Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi kota-kota tier-2 dan tier-3 akan melampaui pertumbuhan di wilayah metropolitan di Indonesia dalam lima tahun ke depan, menurut laporan Alpha JWC dan Kearney. Studi ini menyoroti bahwa pangsa pasar kota-kota yang lebih rendah dari produk domestik bruto nasional akan tumbuh dari 3% menjadi 5% pada tahun 2030, mencapai nilai USD 77 miliar. Jelas sekali bahwa startup yang memanfaatkan konsumen di luar wilayah metro memiliki peluang pasar yang luas.

“Dalam social commerce, satu perusahaan tidak dapat mendominasi semua pasar, karena setiap wilayah memiliki tantangan rantai pasokan yang berbeda. Perusahaan akan memiliki ceruk pasar dan kekuatan masing-masing, yang selanjutnya akan mendorong industri secara keseluruhan,” ujar Ghufron.

Evermos akan terus fokus pada produk halal dengan pendekatan yang sesuai dengan syariah, sebut Ghufron. Pada saat yang sama, Super akan menargetkan ekspansi di luar Jawa, terutama di Indonesia Timur, tambah Steven.

“Sementara sebagian besar startup tumbuh di Jakarta, kami berharap menjadi yang pertama tumbuh besar di Indonesia Timur, yang merupakan permata tersembunyi dengan peluang pertumbuhan yang sangat besar,” ujar Steven.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Dengan Jutaan Orang Mulai Mengakses Internet Setiap Tahunnya, Perubahan Monumental akan Terjadi di Daerah Rural Indonesia

Jakarta adalah kota yang penuh jukstaposisi. Di samping banyaknya masjid terdapat kehidupan malam yang semarak, meskipun banyak juga lingkungan yang tutup setelah gelap. Lebih dari setengah dekade yang lalu, jika Anda ingin menikmati camilan larut malam, pilihannya terbatas—berkreasilah di dapur sendiri atau tunggu hingga fajar menyingsing. Namun, semua hal tersebut telah berubah. Sekarang, Anda bisa mendapatkan makanan yang diantarkan langsung ke depan pintu rumah hampir setiap saat hanya dengan beberapa ketukan di ponsel. Ponsel cerdas dan koneksi internet yang stabil telah mengubah harapan kita dan cara kita membelanjakan uang kita. Urbanites, khususnya, dimanjakan dengan kenyamanan.

Transformasi serupa sedang terjadi di daerah yang tidak terlalu padat di negara ini. Dengan pandemi yang belum berakhir dan pembangunan infrastruktur baru yang berkelanjutan, perkembangan ini hanya terjadi pesat di negara-negara berkembang. Sekitar 40 juta orang di enam negara di Asia Tenggara—Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Thailand—online untuk pertama kalinya pada tahun 2020, menurut laporan Google, Temasek Holdings, dan Bain & Company. Ini jauh lebih tinggi dari jumlah tahun 2018 sebesar 10 juta, atau total 100 juta antara tahun 2015 dan 2019. Tujuh wilayah metropolitan, termasuk Jakarta, menyumbang lebih dari 50% ekonomi internet di kawasan itu, tetapi wilayah di luar kota-kota besar memiliki potensi untuk tumbuh dua kali lebih cepat, sebut penulis laporan.

Dengan semua perkembangan baru ini, masyarakat Asia Tenggara akan lebih terhubung dari sebelumnya. Apa sebenarnya harapan para pendatang baru di dunia maya?

Social media mendominasi

Pada tahun 2019, Amalia yang bekerja di sebuah instansi pemerintah dipindahkan ke provinsi paling timur Indonesia, Papua. Lahir dan besar di Jakarta, kepindahannya membutuhkan banyak penyesuaian. “Koneksi internet cukup stabil di siang hari, tetapi sering tiba-tiba turun di malam hari,” katanya kepada KrASIA.

Pada Q2 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari populasi. Negara ini melihat 25,5 juta orang online untuk pertama kalinya dalam rentang waktu 2019 hingga 2020, menurut sebuah laporan oleh asosiasi penyedia internet Indonesia.

Jumlah pengguna internet di Indonesia

Pengguna internet baru di Pulau Jawa mencapai 56,4%, diikuti oleh Sumatera (22,1%), Pulau Sulawesi (7%), Kalimantan (6,3%), Bali dan Nusa Tenggara (5,2%), dan Maluku-Papua (3%), disebut dalam laporan.

Seperti yang biasa terjadi di negara berkembang, banyak orang Indonesia telah melalui komputer pribadi dan mengakses internet terutama melalui ponsel cerdas mereka. Motivasi utama adalah untuk mengakses media sosial, aplikasi perpesanan, serta konten informasi dan rekreasi.

Penetrasi internet (%) di Indonesia dari 2019 hingga Q2 2020

“Ada beberapa hotspot publik yang tersedia di daerah perkotaan. Banyak orang “nongkrong” di sekitar hotspot untuk internet gratis. Kebanyakan dari mereka menggunakan internet untuk hiburan, seperti streaming musik, dan untuk mengakses platform media sosial. Orang-orang juga mulai banyak menggunakan alat pembelajaran online selama pandemi,” kata Amalia.

Senada dengan pengamatan Amalia, operating partner East Ventures, David Fernando Audy mengatakan bahwa kebutuhan pengguna internet pemula tentu berbeda dengan kebutuhan masyarakat yang tech-savvy di wilayah metro. Biasanya, mereka mencari akses ke informasi baru, menyerap teks dan gambar melalui kueri di mesin pencari sebelum bergabung dengan jaringan media sosial.

“Begitu mereka memiliki kecepatan internet yang cukup untuk mencari dan berbagi gambar, mereka akan menjadi pengguna aktif platform media sosial seperti Facebook atau Instagram. Mereka juga ingin mengonsumsi konten audio-visual dari platform seperti YouTube. Setelah terbiasa menggunakan internet dan media sosial, mereka akan mulai menjajaki perdagangan online, yang merupakan layanan yang lebih maju,” kata Audy.

Namun, penyedia layanan digital cenderung merancang dan membuat produk berdasarkan kebutuhan masyarakat perkotaan karena mereka sering kali menjadi pengguna pertama dengan pendapatan yang dapat dibelanjakan lebih tinggi, dan pasarnya jauh lebih padat dan lebih besar. Misalnya, mudah untuk mencari informasi tentang restoran di Jakarta, dan ada banyak daftar acara, yang semuanya dapat dicari di aplikasi pesan-antar makanan atau tiket acara. Namun, selangkah saja meninggalkan area metro, keadaannya akan jauh berbeda.

“Kami memiliki Gojek dan Grab di sini, tetapi mereka tidak selalu tersedia seperti di Jakarta,” kata Amalia. “Untuk mendapatkan informasi terbaru, kami biasanya mengikuti akun komunitas lokal seperti Info Jayapura di Facebook dan Instagram—ini adalah dua aplikasi yang harus dimiliki di sini.”

Di luar kota-kota besar, meski sudah tidak asing lagi dengan belanja online, mereka tetap lebih suka menggunakan Facebook daripada Tokopedia atau Shopee. “Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, orang suka membeli barang secara online melalui Facebook Marketplace karena mereka memiliki banyak pilihan lokal, dan lebih mudah untuk menghubungi penjual di sana,” tambah Amelia. Secara garis besar, media sosial merupakan pintu gerbang pertama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam menjalankan bisnisnya secara online. Mereka mulai dengan Facebook dan WhatsApp dan pada akhirnya beralih ke platform e-commerce untuk memperluas jangkauan pasar mereka.

Layanan spesifik untuk pengguna internet baru

Arena yang paling kompetitif—yang hampir tidak ada di kota-kota urban—akan menjadi layanan hyperlocal yang dibangun untuk kota-kota dengan tingkat yang lebih rendah. Ini dapat terwujud dalam pembelian kelompok dan social commerce, di mana jaringan komunitas memindahkan kebiasaan belanja orang secara online, seringkali dengan penduduk setempat yang bertindak sebagai pemimpin atau perwakilan kelompok. Sentuhan manusiawi dalam pengaturan ini menghilangkan keraguan yang mungkin dimiliki beberapa orang tentang melakukan transaksi online.

Investor telah menggelontorkan cek untuk penyedia layanan hyperlocal dalam mengantisipasi pertumbuhan bisnis yang melonjak. Penyedia perdagangan sosial Super baru-baru ini mengumpulkan USD 28 juta dalam putaran Seri B yang dipimpin oleh SoftBank, dan KitaBeli meraih USD 10 juta dari AC Ventures dan East Ventures pada bulan April. Kedua platform tersebut menjual barang-barang konsumen yang bergerak cepat di daerah-daerah di luar kota-kota besar Indonesia dan seringkali melayani orang-orang yang belum pernah berbelanja online sebelumnya. Di tempat lain di kawasan ini, social commerce masih merupakan sektor baru, dengan kemunculan platform-platform baru dalam beberapa tahun terakhir, seperti Webuy di Singapura dan Mio di Vietnam, yang mengumpulkan pendanaan awal pada bulan Mei.

Selain selera konsumen yang besar, digitalisasi usaha kecil juga akan membentuk kembali lanskap komersial Indonesia. Melalui laporan digital competitiveness report-nya, East Ventures memproyeksikan seluruh wilayah di Tanah Air akan terkoneksi internet tahun depan, dan 18,4 juta UMKM akan go digital pada akhir 2022.

Beberapa startup sudah mewujudkannya. Startup pembukuan seperti BukuWarung dan BukuKas juga tengah naik daun. Mereka berhasil mendapatkan pendanaan besar baru-baru ini, dan keduanya mengklaim telah mendigitalkan jutaan UMKM di kota-kota kecil di seluruh negeri. Sementara itu, Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, GrabKios by Kudo, Warung Pintar, dan Ula telah mengembangkan platform bagi pemilik toko untuk mengelola inventaris dan pesanan mereka secara digital. Sejauh ini, banyak dari layanan ini terbatas di Jawa, tetapi Audy dari East Ventures percaya bahwa jejak mereka dapat menyebar karena UMKM diwariskan kepada anak muda yang mobile-first.

“Usaha kecil seperti warung tetangga dan rumah makan biasanya dimiliki oleh keluarga, dan sekarang telah terjadi regenerasi dimana para milenial mengelola kios tersebut, dan mereka lebih terbuka untuk menggunakan layanan digital,” kata Audy. “Semakin banyak UMKM yang mau berjualan online, namun seringkali mengalami kesulitan dalam mengelola beberapa toko online secara bersamaan, terutama karena sebagian besar usaha mikro dan kecil tidak memiliki karyawan. Oleh karena itu, akan ada lebih banyak permintaan untuk e-commerce enabler. Misalnya, ada Sirclo, yang memungkinkan pemilik usaha kecil untuk membuka dan mengelola beberapa toko online dengan mudah.”

Pentingnya teknologi di daerah terpencil

Ada bermacam-macam konsekuensi dari percepatan transformasi digital yang cepat selama pandemi —akses yang lebih baik ke pendidikan dan keterlibatan yang lebih kuat dalam masyarakat yang lebih luas di luar lingkungan terdekat mereka. Namun, sementara populasi ini sekarang memiliki akses ke jalur baru untuk pertukaran informasi, mereka masih membutuhkan kecepatan internet yang lebih tinggi, koneksi yang stabil, dan layanan lokal.

Dalam pidato yang diberikan tahun lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan pandemi adalah katalis untuk transformasi ekonomi pedesaan. Dia berjanji pemerintah akan memberikan lebih banyak akses ke teknologi, modal, dan peningkatan kapasitas. Salah satu upaya publik adalah pembangunan jaringan kabel serat optik Palapa Ring khususnya di kawasan timur Indonesia.

Pandemi telah memaksa bisnis dan organisasi publik untuk menempatkan karyawan mereka bekerja dari rumah. Banyaknya alat produktivitas dan kolaborasi yang tersedia, ditambah dengan internet dengan kecepatan tinggi, memungkinkan hal ini. Banyak orang yang tinggal dan bekerja di perkotaan kembali ke kampung halamannya untuk menghemat biaya sewa dan biaya hidup. Jika pengaturan ini berlanjut setelah pandemi, urbanisasi mungkin melambat, dan orang-orang yang tinggal di kota-kota kecil akan dapat bekerja dari jarak jauh untuk bisnis di mana pun di negara ini. Ini membuka peluang baru bagi orang-orang di kota tingkat-2 dan tingkat-3 dan bahkan dapat mengubah cara kantor dan kantor pusat perusahaan akan beroperasi dalam waktu dekat.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial