Nikon Z 7 dan Z 6 Siap Mengusik Dominasi Sony di Pasar Mirrorless Full-Frame

Yang ditunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang juga. Nikon telah memperkenalkan secara resmi kamera mirrorless full-frame pertamanya. Sesuai rumor sebelumnya, ada dua kamera sekaligus yang dihadirkan, yaitu Nikon Z 7 dan Nikon Z 6.

Keduanya memiliki dimensi beserta wujud fisik yang identik. Perbedaannya hanya di bagian dalam: meski sama-sama bersensor full-frame, resolusinya berbeda, Z 7 mengemas 45,7 megapixel, sedangkan Z 6 ‘cuma’ 24,5 megapixel. Pendekatannya kurang lebih mirip seperti yang Sony ambil dengan seri a7 dan a7R.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 7 sebagai model flagship mewarisi banyak fitur salah satu DSLR terunggul Nikon saat ini, D850. Sensor masif dengan ISO 64 – 25600 tersebut datang bersama performa yang sangat mumpuni. Utamanya adalah sistem hybrid autofocus 493 titik yang mencakup 90% bentang horizontal dan vertikal, dan burst shooting dalam kecepatan 9 fps.

Urusan video, Z 7 siap merekam dalam resolusi 4K 30 fps langsung di memory card, atau dengan bantuan external recorder via HDMI jika memerlukan bitrate yang lebih tinggi lagi. Uniknya, Z 6 justru bisa dibilang lebih superior soal video ketimbang Z 7.

Ini dikarenakan resolusi sensornya yang lebih kecil, sehingga Z 6 dapat merekam video yang oversampled (karena memakai penampang sensor secara menyeluruh), yang akhirnya bisa kelihatan lebih tajam ketika resolusinya diturunkan menjadi 4K. Untuk Z 7, kualitas yang sama hanya bisa didapatkan kalau merekam dalam format Super 35. Kasusnya sama seperti Sony a7 III dan a7R III, di mana a7 III yang resolusi sensornya lebih kecil justru lebih bagus hasil rekaman videonya.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 6 rupanya juga lebih sensitif terhadap cahaya, dengan rentang ISO 100 – 51200. Sistem hybrid autofocus-nya tidak secanggih Z 7 dengan 273 titik saja, akan tetapi kemampuan menjepret tanpa hentinya berada di kecepatan 12 fps (lebih ngebut karena resolusi yang lebih kecil tentu saja).

Untuk pertama kalinya, Nikon juga menerapkan sistem image stabilization 5-axis di dalam kamera, baik untuk Z 7 maupun Z 6. Sistem ini juga dapat dipadukan dengan image stabilization bawaan deretan lensa Nikon yang mengusung label “VR” (Vibration Reduction).

Bicara soal lensa, Z 7 dan Z 6 menggunakan dudukan baru bernama Z-mount. Diameter dudukannya ini mencapai 55 mm – terbesar di kelas mirrorless full-frame – memungkinkan akomodasi terhadap lensa dengan aperture yang sangat besar, hingga sebesar f/0.95.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Kedua kamera sama-sama menggunakan sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem, lagi-lagi sama seperti Nikon D850. Berhubung ini mirrorless, jendela bidiknya sudah menganut model elektronik, akan tetapi resolusinya sangat tinggi di angka 3,6 juta dot, dengan tingkat perbesaran 0,8x.

Di bawah viewfinder tersebut ada layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang bisa di-tilt. Di panel atas, terdapat layar OLED kecil untuk menampilkan sejumlah parameter kamera. Seperti yang bisa kita lihat, hand grip-nya pun juga sangat gemuk sehingga pasti nyaman sekali untuk digenggam.

Konektivitas Wi-Fi sudah pasti tersedia, demikian pula Bluetooth, yang mewujudkan sistem Nikon SnapBridge yang inovatif. Satu hal yang menurut saya kurang adalah, baterainya kecil, dengan klaim daya tahan hingga 330 jepretan saja.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Secara keseluruhan, bisa kita lihat kalau Nikon tidak mau mengulangi kesalahannya dengan ‘almarhum’ Nikon 1, yang terkesan setengah-setengah dalam menghadapi persaingan di pasar mirrorless. Kedua kamera baru ini siap mengusik dominasi lini Sony a7 dan a7R, yang selama ini memang tidak mempunyai lawan sepadan.

Soal harga, Nikon Z 7 dibanderol $3.400 untuk bodinya saja saat dipasarkan mulai 27 September mendatang, atau $4.000 bersama lensa Nikkor Z 24–70mm f/4 S. Nikon Z 6 baru akan menyusul di akhir bulan November. Harganya jauh lebih bersahabat: $2.000 body only, atau $2.600 dengan lensa 24–70mm yang sama.

Sumber: DPReview 1, 2.

Canon PowerShot SX740 HS Kecil Tapi Andalkan 40x Optical Zoom dan Perekaman Video 4K

Canon baru saja meluncurkan kamera compact baru, PowerShot SX740 HS, menggantikan PowerShot SX730 HS yang dirilis tahun lalu. Tampang luarnya terlihat mirip, sangat mirip bahkan, dan spesifikasinya pun sepintas juga sama persis.

Keunggulan utama kamera ini terletak pada lensanya, dengan focal length setara 24–960mm (40x optical zoom) dan bukaan f/3.3–6.9. Memang belum seekstrem Nikon Coolpix P1000 yang dirilis belum lama ini, tapi toh dimensinya juga jauh lebih ringkas. Sensor 1/2,3 inci beresolusi 20 megapixel milik pendahulunya juga masih ada di sini.

Canon PowerShot SX740 HS

Yang berbeda adalah penggunaan prosesor Digic 8, yang sanggup menggenjot performa kamera secara signifikan. Hasilnya, SX740 HS mampu merekam video dalam resolusi 4K 30 fps (pendahulunya cuma 1080p), dan burst shooting dengan continuous AF bisa dilakukan dalam kecepatan 7,4 fps. Mode time lapse 4K juga tersedia buat yang membutuhkan.

LCD 3 inci yang tertanam di belakangnya bisa dilipat ke atas sampai menghadap ke depan, membuat kamera ini ideal untuk para vlogger. Hal itu semakin diperkuat oleh sistem image stabilization 5-axis yang diklaim mampu mengompensasi guncangan sampai 3-stop.

Canon PowerShot SX740 HS

Wi-Fi, NFC, beserta Bluetooth merupakan fitur standar pada Canon PowerShot SX740 HS. Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan pada bulan Agustus seharga $399.

Sumber: DPReview dan TechRadar.

Bukan Sembarang Kamera 360 Derajat, Vuze XR Juga Dapat Difungsikan Sebagai Kamera VR180

Coba Anda perhatikan sejumlah kamera 360 derajat terkini yang populer, katakanlah GoPro Fusion, Rylo dan Insta360 One, lalu cari kesamaan di antara ketiganya. Rupanya, ketiganya sama-sama menawarkan fitur untuk ‘mengekstrak’ video standar dengan aspect ratio 16:9 dari hasil rekaman 360 derajat.

Fitur ini dinilai penting karena tidak selamanya konsumen perlu mengabadikan momen dalam sudut pandang 360 derajat. Dan ini juga yang memicu kemunculan kategori baru kamera VR180 yang dicanangkan Google, macam keluaran Lenovo dan Yi Technologies, yang pada dasarnya bisa dianggap sebagai kamera super wide-angle.

Pertanyaannya, apakah Anda memerlukan beberapa kamera yang berbeda untuk semua itu? Tidak kalau menurut HumanEyes Technology, pengembang kamera 360 derajat bernama Vuze. Mereka baru saja mengumumkan Vuze XR, sebuah kamera 360 derajat yang amat fleksibel.

Vuze XR

Vuze XR dibekali sepasang kamera untuk merekam video 360 derajat dalam resolusi 5,7K. Uniknya, dengan menekan satu tombol, kedua kamera yang tadinya saling membelakangi itu dapat dibuka dan disejajarkan posisinya, sehingga kamera pun siap digunakan untuk merekam dalam format stereoscopic VR180. Tentu saja, opsi mengekstrak video 16:9 itu tadi juga tersedia.

Fleksibilitas inilah yang dijadikan nilai jual utama oleh Vuze XR. Jadi ketimbang mengharuskan kreator membeli dan membawa dua kamera yang berbeda untuk dua keperluan (360º dan VR180), mereka cukup mengandalkan satu unit Vuze XR saja, yang memang dikemas dalam wujud yang ringkas dan ergonomis.

Sejauh ini belum ada kepastian mengenai jadwal rilisnya selain “kuartal keempat tahun 2018”. Meski begitu, banderol harganya sudah dipastikan di angka $400.

Sumber: DPReview dan HumanEyes.

Lini Kamera Mirrorless Nikon 1 Resmi Dipensiunkan

Rumor mengenai kamera mirrorless full-frame Nikon perlahan semakin menjurus ke arah kenyataan. Setelah bocoran spesifikasinya beredar, sekarang muncul laporan bahwa lini kamera mirrorless Nikon 1 telah di-discontinue, dan ini telah dikonfirmasi langsung oleh Nikon kepada DPReview.

Nikon 1, bagi yang tidak tahu, sudah eksis sejak tahun 2011, dan sampai detik ini terdiri dari 11 kamera dan 12 lensa yang berbeda. Model terakhirnya, Nikon 1 J5, dirilis lebih dari tiga tahun yang lalu, dan ini sejatinya bisa menjadi indikasi bahwa Nikon tak lagi tertarik untuk meneruskannya.

Salah satu alasan mengapa lini Nikon 1 kurang populer dibanding penawaran dari produsen lainnya adalah ukuran sensornya yang kecil; cuma 1 inci, setara dengan kamera saku kelas atas macam Sony RX100. Sensor ini bahkan lebih kecil ketimbang sensor Micro Four Thirds yang digunakan Panasonic dan Olympus, yang sudah termasuk mini jika dibandingkan sensor APS-C.

Ini juga sepertinya yang menjadi alasan mengapa Nikon memutuskan untuk beralih ke sensor full-frame buat kamera mirrorless berikutnya. Mereka tampaknya tidak mau mengulangi kesalahan sebelumnya, dan lagi kamera mirrorless full-frame Sony terbukti laris manis di pasaran terlepas dari harganya yang mahal.

Beberapa model dari lini Nikon 1 masih akan dipasarkan selama stoknya masih ada. Namun seumpama saya sedang berburu kamera mirrorless sekarang, lini Nikon 1 pasti tak akan masuk pertimbangan sama sekali, kecuali diskonnya benar-benar luar biasa miring.

Sumber: DPReview.

Kamera Atau Teropong Bintang? Nikon Coolpix P1000 Unggulkan Optical Zoom 125x

Sekitar tiga tahun lalu, Nikon meluncurkan Coolpix P900, sebuah kamera superzoom yang sanggup meneropong bulan. Sekarang, Nikon sudah siap merilis penerusnya, Coolpix P1000, dengan kemampuan meneropong yang lebih mencengangkan lagi.

Kalau P900 mengandalkan lensa 24-2000mm f/2.8-6.5, P1000 membawanya ke level yang lebih jauh lagi lewat lensa 28-3000mm f/2.8-8. Ya, kalau P900 dengan optical zoom sejauh 83x saja sudah bisa menyuguhkan permukaan bulan, P1000 dengan optical zoom 125x jelas mampu menyajikan detail permukaan bulan yang lebih bagus lagi.

Nikon Coolpix P1000

Seumpama itu masih kurang jauh, fitur Dynamic Fine Zoom bisa dimanfaatkan untuk mencapai panjang fokal 6000mm, meski kualitas gambarnya dipastikan bakal menurun. Masih kurang juga? Manfaatkan saja fitur Digital Zoom untuk mencapai panjang fokal 12000mm, meski kualitas gambarnya pasti bakal turun drastis.

Sama seperti P900, P1000 juga mengemas sensor 1/2,3 inci, dengan resolusi 16 megapixel dan rentang ISO 100-6400. Yang membedakan, P1000 jauh lebih fleksibel karena dapat memotret dalam format RAW. Untuk video, P1000 siap dipakai untuk merekam video 4K 30 fps ataupun 1080p 60 fps.

Nikon Coolpix P1000

Fisik P1000 cenderung bongsor akibat lensanya. Dalam posisi zoom paling jauh, panjangnya mencapai 36 cm, dan bobotnya pun berkisar di angka 1,4 kg. Jendela bidik elektronik beresolusi 2,36 juta dot telah disematkan ke bagian belakang atasnya, sedangkan di bawahnya bernaung LCD 3 inci yang dapat diubah posisinya sesuka hati.

Nikon Coolpix P1000 rencananya baru akan dilepas di pasaran mulai bulan September mendatang. Harganya tidak murah: $1.000 untuk sebuah kamera bak teleskop.

Sumber: DPReview.

Nikon Dikabarkan Segera Luncurkan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame Sekaligus

Kita semua yang mengikuti perkembangan industri kamera tahu betul bahwa Canon dan Nikon, terlepas dari statusnya sebagai dua produsen DSLR terbesar, tertinggal di segmen mirrorless. Terakhir diberitakan pada bulan September tahun lalu, Nikon sedang menyiapkan kamera mirrorless baru. Bukan sembarang mirrorless, tapi yang bersensor full-frame.

Jelas sekali Nikon membidik Sony sebagai incarannya, yang hingga kini memang masih mendominasi segmen kamera mirrorless full-frame. Beberapa bulan berselang, belum ada kabar lagi terkait rencana Nikon ini, hingga akhirnya situs Nikon Rumors buka suara mengenai rumor terbarunya.

Dilaporkan bahwa Nikon tengah bersiap meluncurkan dua kamera mirrorless sekaligus, dan keduanya semestinya mengusung sensor full-frame. Perbedaannya, yang satu mengemas resolusi antara 24 – 25 megapixel, sedangkan satunya 45 – 48 megapixel. Anggap saja ini seperti cara Sony membedakan antara model a7 dan a7R, meski bisa saja pendekatan yang diambil Nikon berbeda.

Secara fisik, dimensi kedua kamera ini dirumorkan mirip seperti lini Sony a7, yang berarti jauh lebih ringkas ketimbang deretan DSLR full-frame Nikon. Kendati demikian, Nikon dikabarkan juga memprioritaskan faktor ergonomi, di mana hand grip kedua kamera ini seharusnya lebih nyaman digenggam ketimbang milik Sony.

Ilustrasi perbandingan dimensi kamera mirrorless terbaru Nikon dengan DSLR Nikon D850 / PetaPixel
Ilustrasi perbandingan dimensi kamera mirrorless terbaru Nikon dengan DSLR Nikon D850 / PetaPixel

Kemampuan merekam video 4K, burst shooting secepat 9 fps dan sistem image stabilization 5-axis juga bakal menjadi fitur-fitur unggulan kedua kamera baru ini. Perihal kontrol, panel belakangnya bakal dihuni oleh viewfinder elektronik beresolusi 3,6 juta dot, sekali lagi sekelas dengan penawaran Sony.

Kedua kamera dikabarkan juga akan menggunakan dudukan lensa baru, yang sempat bocor pengajuan hak patennya. Rumor lengkapnya juga mengatakan bahwa Nikon sudah menyiapkan tiga lensa guna menemani kedua kamera mirrorless barunya, yakni lensa 24-70mm, 35mm dan 50mm.

Kalau benar, kabarnya dua kamera ini bakal diumumkan secara resmi menjelang akhir bulan Juli ini juga. Harganya diperkirakan berada di kisaran $4.000 untuk model 45 megapixel, sedangkan model 25 megapixel di bawah $3.000. Harga tersebut sudah termasuk lensa 24-70mm untuk masing-masing kamera.

Semoga saja rumor ini banyak benarnya, dan yang paling penting menurut saya adalah jadwal perilisannya jangan sampai meleset jauh, sebab sudah waktunya Nikon melawan secara serius di persaingan kamera mirrorless yang semakin hari semakin memanas.

Sumber: Nikon Rumors via PetaPixel.

Sony RX100 VI Datang Membawa Lensa Zoom yang Amat Jauh dan Performa Lebih Gegas

Setelah dirilis hampir dua tahun silam, Sony RX100 V akhirnya punya penerus. Generasi terbarunya, RX100 VI, membawa peningkatan yang cukup signifikan, meski desain dan dimensi bodinya kurang lebih masih sama seperti ketika generasi pertamanya diperkenalkan di tahun 2012.

Sensor berukuran besar (1 inci) sudah menjadi ciri khas seri RX100 sejak lama. Hal itu tidak berubah di generasi keenamnya, dan resolusinya tetap berada di kisaran 20,1 megapixel. Yang istimewa, sensor ini merupakan tipe stacked yang menyatu dengan chip DRAM, dan image processor-nya juga sudah ditemani oleh front-end LSI.

Sony RX100 VI

Anda tak perlu memusingkan istilah-istilah tersebut. Intinya, performa RX100 VI meningkat pesat dibanding pendahulunya: burst shooting dengan kecepatan 24 fps dalam posisi AF menyala dan buffer rate hingga 233 gambar (naik dari 150), phase-detection autofocus dengan kemampuan mengunci fokus dalam 0,03 detik saja, dan kinerja EyeAF Tracking dua kali lebih kencang.

Untuk video, RX100 VI masih mempertahankan opsi perekaman 4K 30 fps yang sangat mendetail (karena memanfaatkan seluruh penampang sensor). Slow-motion dalam kecepatan ekstrem 960 fps juga masih tersedia, tapi mungkin yang lebih ideal untuk sehari-hari adalah dalam kecepatan 120 fps dengan resolusi 1080p.

Sony RX100 VI

Namun yang mungkin lebih menarik justru adalah lensanya. Kalau sebelum-sebelumnya RX100 tergolong terbatas perihal zooming, RX100 VI berbeda sebab ia telah dibekali lensa 24-200mm (sebelumnya cuma 24-70mm). Sayangnya, aperture-nya jadi menurun dari f/1.8-2.8 menjadi f/2.8-4.5, dan kamera tak lagi dilengkapi ND filter terintegrasi.

Viewfinder elektronik dengan mekanisme pop-up masih tersedia, bahkan semakin sempurna karena tak lagi harus ditarik ujungnya secara manual (setelah nongol ke atas) ketika hendak digunakan. Di bawahnya, ada LCD yang bisa dimiringkan 90 derajat ke bawah, atau 180 derajat ke atas untuk memudahkan pengambilan selfie.

Sony RX100 VI

Menariknya, untuk pertama kalinya di seri RX100 LCD ini merupakan layar sentuh. Sudah sejak menjajal RX100 generasi pertama di tahun 2012 saya mengimpikan kehadiran touchscreen, dan akhirnya Sony mengabulkannya lewat RX100 VI, sehingga mengatur titik fokus bakal jauh lebih mudah mulai sekarang.

Di Amerika Serikat, Sony RX100 VI bakal dilepas ke pasaran mulai bulan depan dengan harga $1.200, $200 lebih mahal ketimbang RX100 V saat pertama kali diluncurkan.

Sumber: DPReview.

Sony Ungkap Panel Viewfinder Elektronik Beresolusi 5,76 Juta Dot

Sudah menjadi rahasia umum apabila Sony memasok sejumlah komponen kamera ke pabrikan lain, termasuk ke para pesaingnya, mulai dari sensor sampai panel OLED untuk viewfinder elektronik (EVF). Untuk komponen yang terakhir itu, Sony sudah menyiapkan versi baru yang lebih canggih.

Perkembangan teknik miniaturisasi merupakan kunci di balik panel EVF baru ini. Bagaimana tidak, bentang diagonal penampangnya cuma 12,6 milimeter, akan tetapi resolusinya mencapai 5,76 juta dot (1600 x 1200 pixel). Angka ini 1,6 kali lebih tinggi dibanding EVF milik Sony a7R III maupun Panasonic Lumix GH5 yang ‘hanya’ beresolusi 3,69 juta dot.

Sony 5.76 million dot OLED viewfinder display

Secara default, panel EVF ini dapat menampilkan live view dalam kecepatan 120 fps, tapi ada juga mode yang lebih responsif di angka 240 fps. Meski lebih superior hampir di segala aspek, Sony mengklaim konsumsi energinya sama kecilnya seperti panel EVF generasi sebelumnya.

Perbandingan ketajaman panel OLED baru (kiri) dan versi sebelumnya (kanan) / Sony
Perbandingan ketajaman panel OLED baru (kiri) dan versi sebelumnya (kanan) / Sony

Sony berencana memproduksi panel EVF baru ini secara massal di bulan November nanti. Yang bakal kebagian jatah pertama kali sudah pasti merupakan kamera bikinan Sony sendiri, namun saya yakin pabrikan lain juga bakal cepat menyusul, dengan catatan mereka bersedia harga kameranya naik secara cukup drastis, atau laba yang didapat lebih sedikit kalau kepuasan konsumen yang menjadi prioritas.

Alasannya, harga panel EVF ini tidak murah. Sony mematok harga 50.000 yen (± Rp 6,4 juta) untuk unit sampelnya, meski pabrikan yang membeli dalam jumlah besar tentunya bakal mendapat potongan harga. Dengan banderol semahal itu untuk viewfinder-nya saja, sudah pasti kamera yang bakal mengusung panel EVF ini masuk di kategori premium.

Sumber: DPReview.

RED Sederhanakan Lineup Kameranya Sekaligus Pangkas Harganya Secara Drastis

Memahami lineup kamera sinema yang ditawarkan RED itu gampang-gampang susah. Kuncinya ada pada penamaannya, yang berarti kita harus hafal mana yang merujuk ke tipe bodi dan mana yang untuk tipe sensor. Situasinya memang jauh dari kata ideal, dan RED sendiri rupanya menyadari akan hal itu.

Mereka pun memutuskan untuk menyederhanakan lineup-nya menjadi tiga model saja: DSMC2 Monstro 8K VV, DSMC2 Helium 8K S35, dan DSMC2 Gemini 5K S35. DSMC sendiri merupakan singkatan dari Digital Stills and Motion Capture, dan ini merujuk pada jenis bodi kamera yang digunakan.

RED DSMC2 cameras

Ketiga kamera di atas menggunakan bodi yang sama persis, sehingga perbedaannya hanya terletak pada sensornya, yang diwakili oleh masing-masing namanya. Cinema5D punya cara mudah untuk memahami perbedaannya. Berikut rangkumannya:

  • Monstro bisa kita anggap sebagai versi full-frame, sebab sensor ini mampu merekam video 8K 60 fps dalam format VistaVision (VV). Ukuran sensornya adalah yang paling besar, dan kalau diukur panjang diagonalnya, sangat mirip dengan sensor full-frame (Monstro 46,31 mm, full frame 43,27 mm).
  • Sama seperti Monstro, Helium juga bisa merekam video 8K 60 fps, hanya saja dalam format Super 35 yang lebih umum. Kalau diamati, dimensi fisik sensornya juga lebih kecil ketimbang Monstro.
  • Gemini punya dimensi yang tak jauh berbeda dari Helium (sedikit lebih besar), hanya saja resolusinya terbatas di 5K 96 fps, juga dalam format Super 35. Bukan cuma itu perbedaannya, Gemini juga mengemas teknologi Dual ISO yang membuatnya superior di kondisi minim cahaya.

Namun yang lebih menarik lagi justru adalah pemangkasan harga atas ketiga kamera tersebut. Monstro kini dibanderol $54.500, Helium $24.500, dan Gemini $19.500. Dibandingkan harga lamanya, konsumen bisa menghemat lebih dari $25.000 untuk Monstro dan Helium, atau $5.000 untuk Gemini. Berbahagialah Anda yang dulu belum tertarik membeli, atau yang masih menabung.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-T100 Adalah Fujifilm X-A5 dengan Desain yang Lebih Pro

Baru tiga bulan yang lalu, Fujifilm meluncurkan kamera mirrorless kelas entry baru bernama X-A5. Sekarang, mereka kembali memperkenalkan kamera baru lagi untuk segmen yang sama, yang mereka namai X-T100.

X-T100 boleh dibilang merupakan X-A5 dalam kemasan yang berbeda. Spesifikasinya nyaris sama persis, dari mulai sensor sampai baterainya. Seperti X-A5, X-T100 turut menggunakan sensor APS-C 24 megapixel biasa, bukan yang berlabel X-Trans seperti kamera-kamera lain Fujifilm yang menduduki segmen menengah ke atas.

Sensor ini ditemani oleh sistem phase-detection autofocus (PDAF) 91 titik, dan kinerja burst shooting-nya mencapai angka 6 fps. Resolusi video maksimum yang dapat direkam adalah 4K, hanya saja dalam kecepatan 15 fps. Sekali lagi, sama persis seperti X-A5, bahkan baterainya juga diklaim tahan sampai 430 jepretan.

Fujifilm X-T100

Yang berbeda, seperti kelihatan jelas dari gambar, adalah desainnya. X-T100 mengadopsi gaya ala DSLR, macam yang diusung X-T20 maupun X-T2, dan itulah alasan di balik penamaannya. ‘Punuk’ di atas lensanya itu merupakan rumah untuk viewfinder elektronik, dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot untuk membantu pengguna mengatur komposisi selagi matahari sedang terang-terangnya.

Kalau Anda perhatikan, panel depannya tampak begitu bersih, sampai-sampai hand grip pun tidak ada. Namun tak usah khawatir, sebab Fujifilm berbaik hati menyediakan aksesori hand grip yang bisa dilepas-pasang pada paket penjualannya. Lalu ketika menengok ke panel atasnya, tampak superioritas X-T100 dalam hal kontrol dibanding X-A5.

Fujifilm X-T100

X-T100 mempunyai satu kenop putar ekstra di bagian ini, diposisikan bersama tuas untuk memunculkan LED flash di sebelah kiri. Beralih ke panel belakang, tampak layout yang cukup mirip, namun ternyata layar sentuh 3 incinya sudah fully articulated, alias dapat dibuka ke samping kiri, lalu diputar-putar 360 derajat.

Selebihnya, Anda bakal mendapat fitur yang sama seperti X-A5, termasuk konektivitas Bluetooth di samping Wi-Fi. Itulah mengapa harganya tidak berbeda jauh. Fujifilm X-T100 dibanderol $599 tanpa lensa, atau $699 bersama lensa 15-45mm f/3.5-5.6 OIS tipe power zoom, saat mulai dipasarkan pada pertengahan Juni mendatang. Pilihan warnanya sendiri ada tiga: full hitam, kombinasi silver-hitam, dan yang paling gres, kombinasi emas-hitam.

Sumber: DPReview.