Fujifilm X-S10 Adalah Penerus X-T30 dalam Bahasa Desain yang Berbeda

Dari sekian banyak kamera mirrorless bikinan Fujifilm, hampir semuanya memang mengadopsi desain yang terinspirasi oleh kamera analog. Namun ketika menggarap kamera terbarunya yang bernama X-S10 berikut ini, filosofi tersebut seakan tidak lagi berlaku.

Hasilnya adalah sebuah kamera yang fisiknya menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan. Memang X-S10 bukan yang pertama menerapkan arahan desain seperti ini, sebab sebelumnya sudah ada X-T200 yang mengambil jalur yang sama.

Bentuk grip X-S10 juga sangat berbeda dari biasanya, dan lebih menyerupai grip gemuk milik X-H1. Singkat cerita, kalau Anda mengincar desain retro khas Fujifilm biasanya, kamera ini bukan untuk Anda. Namun tentu saja desain baru sebagian dari cerita utuhnya.

Soal spesifikasi, X-S10 menambah jumlah kamera Fujifilm yang mengemas sensor X-Trans generasi ke-4 beserta chip X-Processor 4. Sensor tersebut masuk kategori APS-C, dengan resolusi 26,1 megapixel dan phase detection pixel sebanyak 2,16 juta. Fuji bilang kinerja autofocus X-S10 sangatlah mengesankan, mampu mengunci fokus dalam waktu 0,02 detik saja, serta sudah dibekali dengan kemampuan tracking mata yang amat presisi.

Berbeda dari X-T30 yang tidak dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS), X-S10 justru mengemas IBIS 5-axis terlepas dari wujudnya yang ringkas, yang bobotnya tak lebih dari 465 gram. Fuji bilang mereka harus merombak ulang IBIS milik X-T4, menyusutkan volumenya hingga sekitar 30% agar cukup dijejalkan ke bodi X-S10.

Sistem IBIS ini juga bisa bekerja selagi X-S10 merekam video. Kebetulan kapabilitas video X-S10 cukup mengesankan; video 4K 30 fps yang dihasilkannya merupakan hasil penerapan teknik oversampling. Ini berarti secara internal X-S10 sebenarnya merekam dalam resolusi 6K, sebelum akhirnya mengonversikan output-nya ke 4K tapi dengan tingkat detail yang lebih baik dan noise yang lebih rendah.

Di panel belakang, pengguna lagi-lagi akan menjumpai layar sentuh 3 inci yang fully-articulating, menjadikannya sebagai alternatif yang cukup menarik buat para vlogger. Di atas layarnya, ada viewfinder elektronik dengan resolusi 2,36 juta dot; standar dan belum setajam milik X-T4.

Kalau saya ditanya di mana posisi X-S10 di lini kamera Fujifilm X-Series, maka saya akan menjawab persis di tengah-tengah X-T30 dan X-T4. Rekan saya, Lukman, yang sempat mengulas X-T30 secara mendalam, bahkan heran kenapa Fujifilm tidak menamai kamera ini X-T40 saja, tapi bisa jadi memang karena bahasa desainnya yang berbeda sendiri.

Kabar baiknya, Fujifilm X-S10 bakal mulai dipasarkan di tanah air pada akhir November 2020, berdasarkan keterangan resmi dari Fujifilm Indonesia. Harga jual resminya di sini belum ditetapkan, tapi di Amerika Serikat kamera ini dibanderol $1.000 (body only). Di AS, X-S10 juga dibundel bersama lensa XF 18-55mm f/2.8-4 seharga $1.400, atau bersama lensa XF 16-80mm f/4 R OIS WR seharga $1.500.

Sumber: PetaPixel.

Nikon Z 7II dan Z 6II Diluncurkan, Bawa Prosesor Sekaligus Slot Memory Card Ganda

Menyusul kesuksesan Nikon Z 7 dan Z 6 dua tahun silam, Nikon pun memperkenalkan penerusnya, yakni Nikon Z 7II dan Z 6II. Label “II” pada namanya mengindikasikan pembaruan yang iteratif, dan ini juga pertama kalinya Nikon memakai model penamaan seperti itu pada lini kamera digitalnya.

Sebagian besar fitur maupun spesifikasi yang ditawarkan tidak berubah sedikit pun. Nikon bahkan tidak mengutak-atik desainnya, yang berarti kalau Anda senang dengan ergonomi Z 7 dan Z 6 sebelumnya, sudah pasti Z 7II dan Z 6II bakal terasa nyaman di tangan Anda. Sensor full-frame yang digunakan pun juga masih sama; Z 7II dengan resolusi 45,7 megapixel, Z 6II dengan 24,5 megapixel.

Yang berubah cukup drastis adalah performanya. Itu dikarenakan Nikon sudah menyematkan satu prosesor Expeed 6 ekstra. Ya, baik Z 7II maupun Z 6II sama-sama mengemas dua buah prosesor, dan itu pada akhirnya mampu mendongkrak kemampuan burst shooting Z 7II menjadi 10 fps dan Z 6II menjadi 14 fps.

Bukan cuma itu, kinerja autofocus kedua kamera pun juga diklaim lebih baik daripada masing-masing pendahulunya, baik untuk urusan tracking maupun untuk mengunci fokus di kondisi minim cahaya. Pada Z 7II dan Z 6II, fitur eye/face detection dapat digunakan selagi dalam mode AF wide-area maupun ketika merekam video.

Keberadaan prosesor kedua juga memungkinkan Z 7II dan Z 6II untuk merekam video dalam resolusi maksimum 4K 60 fps setelah sebelumnya cuma terbatas di 30 fps. Satu hal yang mungkin perlu dicatat adalah, opsi 4K 60 fps ini akan tersedia di Z 7II secara langsung, sedangkan di Z 6II baru menyusul di bulan Februari 2021 melalui sebuah firmware update.

Lalu mungkin pembaruan yang paling dinanti-nanti oleh konsumen Z 7 dan Z 6 adalah slot SD card ekstra. Jadi selain slot untuk kartu XQD/CFexpress Type B, Z 7II dan Z 6II turut mengemas slot SD card yang kompatibel dengan kartu tipe UHS-II. Penambahan ini pastinya bakal membuat kedua kamera jadi lebih fleksibel dalam mengakomodasi workflow masing-masing penggunanya.

Perubahan lain yang tidak kalah bermanfaat adalah, Z 7II dan Z 6II dapat beroperasi dengan mengandalkan suplai tenaga eksternal, dengan catatan ia terhubung via kabel USB-C ke USB-C. Kedengarannya sepele memang, tapi fitur ini jelas sangat berguna terutama buat yang sering mengambil video time-lapse.

Rencananya, Nikon Z 7II akan dipasarkan mulai bulan Desember dengan harga $3.000 (body only), atau $3.600 bersama lensa 24-70mm f/4, jauh lebih terjangkau daripada harga pendahulunya saat diluncurkan pertama kali. Nikon Z 6II di sisi lain akan hadir lebih awal pada bulan November dengan banderol $2.000 (body only), atau $2.600 bersama lensa 24-70mm f/4.


Sumber: DPReview.

Sony a7C Usung Sensor Full-Frame dalam Bodi Seukuran Kamera APS-C

Sony a7S III rupanya bukan satu-satunya kamera mirrorless full-frame yang Sony luncurkan di tahun pandemi ini. Mereka juga baru saja mengumumkan a7C, yang mereka klaim sebagai kamera mirrorless terkecil yang mengusung sensor full-frame.

Oke, sebelum membahasnya lebih jauh, klaim tersebut mungkin perlu agak diluruskan. a7C tercatat memiliki dimensi 124 x 71,1 x 59,7 mm, dengan bobot 509 gram. Bandingkan dengan Sigma fp, yang sama-sama merupakan kamera mirrorless bersensor full-frame, tapi yang dimensinya cuma 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dan beratnya hanya 422 gram.

Sony bukannya bohong, tapi deskripsi terkecil tadi rupanya kurang lengkap. Yang lebih tepat adalah menyebut Sony a7C sebagai kamera mirrorless terkecil yang dibekali sensor full-frame plus in-body image stabilization (IBIS). Sigma fp memang lebih mungil, tapi kamera tersebut sama sekali tidak dilengkapi sistem penstabil.

Ini tentu juga bukan pertama kalinya Sony menyematkan sensor sebesar ini di bodi sekecil ini. Jauh sebelum ini pernah ada seri kamera Sony RX1, akan tetapi bedanya kamera tersebut punya lensa yang fixed, sedangkan a7C bisa dilepas-pasang lensanya. Desainnya sepintas kelihatan mirip seperti Sony a6600, dan ternyata bobot kedua kamera memang hampir sama meski ukuran sensornya berbeda jauh.

Secara teknis, a7C mengusung spesifikasi yang nyaris identik seperti a7 III, yang mencakup sensor full-frame 24 megapixel, IBIS 5-axis, burst shooting dengan autofocus sekencang 10 fps, perekaman video 4K 30 fps dengan dukungan format S-Log2 maupun S-Log3, sampai baterai NP-FZ100 yang berkapasitas besar. Sebagai bagian dari keluarga besar Sony a7, tracking autofocus berbasis AI juga menjadi salah satu suguhan utama di a7C.

Di bagian belakang, Anda akan menemukan touchscreen 3 inci yang bisa dihadapkan ke depan untuk vlogging. Sayang viewfinder elektroniknya lebih inferior ketimbang milik a7 III. Resolusinya memang sama-sama 2,36 juta dot, akan tetapi tingkat perbesarannya lebih kecil di angka 0,59x.

Sony a7C kabarnya akan mulai dipasarkan pada akhir Oktober. Di Amerika Serikat, ia dihargai $1.800 body-only, atau $2.100 bersama sebuah lensa kit. Lensanya kebetulan juga baru: 28-60mm f/4-5.6 dengan model collapsible yang membuatnya jadi lebih ringkas.

Sumber: DPReview.

Panasonic Lumix S5 Diungkap, Lebih Kecil dari GH5 tapi dengan Sensor Full-Frame

Panasonic sejauh ini sudah punya tiga kamera full-frame: Lumix S1, Lumix S1R, dan Lumix S1H yang lebih difokuskan untuk videografi. Hari ini, anggota keluarga Lumix full-frame sudah resmi bertambah satu lagi, yaitu Lumix S5.

Panasonic memosisikan S5 sebagai kamera hybrid yang bisa diandalkan untuk fotografi maupun videografi. Ia mengemas sensor full-frame 24 megapixel yang sama seperti milik S1 dan S1H, dengan sensitivitas ISO 100 – 51200 serta dukungan teknologi Dual Native ISO. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis yang bisa ditandemkan dengan stabilization bawaan lensa.

Satu bagian yang sudah Panasonic benahi adalah autofocus, yang diklaim dapat bekerja lebih cepat dan responsif di S5. Fitur head tracking juga semakin menyempurnakan kinerja sistem autofocus-nya, dan ini bisa digunakan juga selagi merekam video.

Buat penggemar fotografi landscape, S5 juga dilengkapi mode High Resolution untuk menciptakan gambar sebesar 96 megapixel. Lalu untuk kalangan videografer, S5 mendukung perekaman dalam format V-Log atau HLG sehingga mereka bisa lebih leluasa melakukan color grading dalam proses editing.

Resolusi video maksimum yang dapat S5 hasilkan adalah 4K 30 fps, atau 4K 60 fps dengan crop factor setara kamera APS-C. Dari kacamata sederhana, kemampuan merekam video S5 cukup mirip dengan S1H, hanya saja resolusinya mentok di 4K ketimbang 6K. Komponen penting seperti dukungan video 10-bit dengan chroma sub-sampling 4:2:2 tetap tersedia pada S5.

Semua itu dikemas dalam bodi magnesium yang lebih kecil ketimbang trio S1. S5 bahkan sedikit lebih ringkas daripada Lumix GH5, padahal kita tahu ukuran sensor keduanya berbeda jauh (GH5 cuma Micro Four Thirds). Terlepas dari itu, Panasonic memastikan S5 masih dilengkapi sejumlah komponen weather sealing.

Berhubung lebih kecil, baterai S5 tidak seawet milik trio S1, dengan klaim daya tahan hingga 440 kali jepretan. Viewfinder elektroniknya juga tidak setajam milik S1, dengan resolusi standar 2,36 juta dot saja. Dimensi layar sentuhnya juga lebih kecil di angka 3 inci dengan resolusi 1,84 juta dot, akan tetapi engselnya bisa memutar ke segala arah sehingga sangat ideal dipakai untuk merekam video.

Juga tidak kalah penting dari layar yang fully-articulated seperti ini adalah kehadiran jack headphone sekaligus mikrofon (bisa juga via sambungan XLR dengan bantuan adaptor), serta dua slot SD card sekaligus. Sayang cuma satu slot saja yang mendukung tipe UHS-II, dan port HDMI-nya juga bukan yang full-size seperti di lini S1.

Panasonic Lumix S5 rencananya akan dipasarkan mulai pertengahan September di Amerika Serikat. Harganya dipatok $2.000 untuk bodinya saja, atau $2.300 jika dibundel bersama lensa 20-60mm f/3.5-5.6.

Sumber: DPReview.

Software Cascable Pro Webcam Siap Ubah Lebih dari 100 Model Kamera Menjadi Webcam

Tren menggunakan kamera biasa sebagai webcam sedang naik daun belakangan ini, apalagi mengingat satu per satu pabrikan – mulai dari Canon, Fujifilm, Panasonic, Olympus, sampai GoPro sekalipun – telah merilis software pendukung supaya masing-masing konsumennya bisa mengikuti tren tersebut tanpa perlu mengandalkan hardware tambahan macam Elgato Cam Link.

Sayangnya inisiatif dari tiap-tiap pabrikan itu masih belum bisa mengakomodasi semua pengguna, terutama mereka yang masih memakai model kamera yang sudah berumur. Saya adalah salah satu yang kurang beruntung. Kamera Fujifilm X-E2 milik saya yang sudah berusia hampir tujuh tahun rupanya sama sekali tidak didukung oleh software webcam yang ditawarkan Fujifilm.

Beruntung ada developer pihak ketiga yang mengembangkan solusi serupa macam Cascable. Mereka baru saja merilis software anyar bernama Cascable Pro Webcam. Fungsinya? Mengubah banyak kamera menjadi webcam tanpa bantuan capture card maupun hardware tambahan lainnya.

Kuncinya ada di kata “banyak” itu tadi. Tercatat ada lebih dari 100 kamera yang kompatibel dengan software ini (dan kamera saya pun termasuk). Entah itu kamera buatan Canon, Nikon, Fujifilm, Sony, Panasonic atau Olympus, asalkan ada tanda centang pada kolom “Control & Automation” di tabel kompatibilitasnya, berarti kamera tersebut bisa dialihfungsikan menjadi webcam menggunakan Cascable Pro Webcam.

Cascable Pro Webcam

Seperti yang bisa kita lihat dari begitu banyaknya kamera yang kompatibel, kelebihan Cascable Pro Webcam terletak pada fleksibilitasnya. Selain via kabel USB, pengguna juga dapat menyambungkan kameranya via Wi-Fi. Pada sejumlah kamera, pengaturan exposure-nya bahkan bisa disesuaikan selagi sesi video call atau streaming sedang berlangsung.

Aplikasi video call maupun streaming yang bisa menerima input gambar dari Cascable juga banyak, mulai dari Google Chrome, Microsoft Edge, Skype (minimal versi 8.59), Zoom (minimal versi 5.0.5), Microsoft Teams, OBS Studio, sampai Twitch Studio. Kekurangannya? Cascable Pro Webcam cuma tersedia di macOS saja.

Lebih menyebalkan lagi, software ini hanya bisa berjalan di macOS versi 10.14.4 (Catalina), sedangkan MacBook Air tua saya masih nyaman menjalankan OS X Yosemite dan saya sama sekali tidak punya niat untuk meng-update-nya demi menghindari absennya dukungan aplikasi 32-bit. Kamera dan software-nya sudah cocok, tapi sekarang giliran laptop-nya yang kelewat jadul.

Bagi yang tertarik mencoba, Cascable Pro Webcam juga menawarkan versi free trial dengan fitur-fitur yang dibatasi. Versi penuhnya bisa dibeli seharga $40, atau $30 kalau membelinya sebelum 24 Juli.

Sumber: DPReview.

Leica M10-R Unggulkan Sensor Full-Frame 40 Megapixel dan Kapabilitas Low-Light yang Superior

Entah kebetulan atau tidak, huruf “R” nampaknya punya kesan superior tersendiri di industri kamera. Lihat saja seri Sony a7R, yang selama empat generasi selalu menjadi varian yang lebih unggul ketimbang a7 biasa. Di kubu lain, Canon bahkan menamai kamera mirrorless full-frame pertamanya EOS R – yang baru-baru ini sudah diteruskan jejaknya oleh EOS R5 dan R6.

Kalau perlu bukti lebih terkait teori kebetulan saya ini, coba kita lihat penawaran terbaru Leica. Melalui sebuah livestream, dedengkot kamera asal Jerman itu memperkenalkan anggota terbaru dari salah satu seri kamera mirrorless terpopulernya, Leica M10. Nama anggota terbaru tersebut? Leica M10-R, dan kebetulan ia merupakan yang paling superior di antara Leica M10 lainnya.

Leica M10-R

Keunggulan utamanya terletak pada sensor yang digunakan: full-frame 40,89 megapixel, naik sekitar 16 megapixel dibanding sensor milik M10 orisinal. Secara teknis, sensor ini sebenarnya sama seperti yang tertanam pada M10 Monochrom, hanya saja di sini Leica sudah menambahkan filter Bayer sehingga hasil tangkapan M10-R bisa berwarna.

Leica percaya bahwa peningkatan resolusi yang signifikan ini tak hanya ideal disandingkan dengan lensa-lensa M yang baru saja, melainkan juga mampu menonjolkan karakteristik unik dari koleksi lensa M lawas. Bagi peminat fotografi long exposure, mereka bakal tersenyum mengetahui M10-R punya durasi exposure maksimum 16 menit.

Namun peningkatan resolusi belum menceritakan kelebihannya secara utuh, sebab sensor baru ini turut menjanjikan dynamic range yang lebih luas sekaligus noise yang lebih minimal meski rentang ISO-nya tidak berubah (100 – 50000). Jadi untuk pemotretan di kondisi low-light, Leica yakin hasil tangkapan M10-R bakal sangat mendekati kualitas yang dihasilkan M10 Monochrom.

Leica M10-R

Dari perspektif sederhana, kita boleh saja menganggap M10-R ini sebagai M10 Monochrom versi berwarna. Namun pada kenyataannya ia juga mewarisi banyak keunggulan Leica M10-P, spesifiknya bunyi shutter mekanis yang sangat halus dan nyaris tidak terdengar di tempat umum, serta LCD yang sudah dibekali panel sentuh. Desain maupun jeroannya (prosesor, baterai) pun sama persis, dan yang berbeda cuma sensornya itu tadi.

Rencananya, Leica M10-R akan dipasarkan secara global mulai 20 Juli seharga $8.295 (body only), banderol yang sama persis seperti ketika M10 Monochrom pertama diluncurkan Januari lalu. Konsumen bisa memilih antara warna hitam atau silver.

Sumber: PetaPixel dan Leica.

Susul Canon dan Fujifilm, Panasonic Kini Juga Punya Software untuk Ubah Kamera Jadi Webcam

Webcam semakin laris selama pandemi. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita selalu melangsungkan sesi video conference, dan itu pada akhirnya memicu sejumlah pabrikan untuk lebih kreatif lagi.

Adalah Canon yang memulai. Akhir April lalu, mereka merilis software PC yang berfungsi untuk mengubah beberapa kamera besutannya menjadi webcam. Satu bulan setelahnya, Fujifilm langsung menyusul dengan solusi serupa, mempersilakan konsumen untuk terlihat lebih profesional selama video conference berkat kualitas video dari kamera mirrorless yang jauh lebih superior ketimbang webcam standar.

Sekarang, giliran Panasonic yang meluncurkan software sejenis bernama Lumix Tether for Streaming. Premisnya mirip seperti yang Canon dan Fuji tawarkan; pasca instalasi software, cukup sambungkan kamera ke PC via USB, maka pengguna dapat memilihnya sebagai kamera input di aplikasi video conference.

Sayangnya, berhubung software ini masih beta, kekurangannya sejauh ini adalah, pengguna juga perlu meng-install software broadcasting macam OBS supaya PC dapat mendeteksi output tampilannya, sebelum akhirnya diteruskan ke Zoom, Google Meet, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, pengguna juga perlu menggunakan mikrofon eksternal untuk menangkap audio.

Sebelum ini, Panasonic sebenarnya sudah punya software Lumix Tether standar yang dapat dipakai untuk keperluan serupa. Yang berbeda, versi barunya ini dapat menghapus tampilan elemen-elemen UI seperti kotak autofocus dan lain sejenisnya, sehingga yang kolega Anda lihat sama persis seperti yang kamera lihat.

Bagi para pemilik Lumix G9, GH5, GH5S, S1, S1R dan S1H, Lumix Tether for Streaming saat ini sudah bisa diunduh lewat situs Panasonic. Pastikan PC Anda menjalankan Windows 10, sebab software ini tidak kompatibel dengan versi sistem operasi lain.

Sumber: DPReview dan Panasonic.

Kamera Mirrorless Fujifilm Sekarang Bisa Dipakai Sebagai Webcam

Bulan lalu, Canon merilis software yang dapat menyulap kamera buatannya menjadi webcam. Jika Anda bukan pengguna kamera Canon seperti saya, reaksi paling wajar saat mendengar kabar tersebut adalah berharap supaya pabrikan-pabrikan kamera lain segera mengikuti jejak Canon.

Harapan itu akhirnya terkabul, terutama apabila Anda punya kamera bikinan Fujifilm. Ya, pengguna kamera Fuji kini bisa mengunduh software bernama Fujifilm X Webcam Support pada perangkat Windows 10-nya, lalu menyambungkan kamera mirrorless kesayangannya via USB untuk dijadikan webcam di kala mengikuti webinar atau video conference via Zoom, Google Meet, maupun berbagai layanan lainnya.

Sangat disayangkan kamera yang didukung tergolong amat sedikit: X-T2, X-T3, X-T4, X-Pro2, X-Pro3, X-H1, GFX 50S, GFX 50R, dan GFX100. Seri X100 tidak ada sama sekali, demikian pula seri X-E. Sebagai pengguna X-E2, saya turut bersedih, dan bagi para pengguna X-E3, saya maklum kalau Anda heran mengapa kamera tersebut tidak didukung meski usianya lebih muda daripada X-T2.

Terlepas dari itu, instalasi dan cara penggunaan software ini cukup mudah, meski menurut saya agak sedikit lebih ribet daripada penawaran Canon. Silakan ikuti panduan langsung dari Fujifilm, atau tonton video tutorial dari Fuji Guys berikut ini.

Satu hal yang menarik adalah, fitur khas Film Simulation rupanya tetap bisa dipakai selama kamera berfungsi sebagai webcam. Ingin mengikuti video conference dengan tampilan hitam-putih? Silakan saja.

Semoga ke depannya jumlah kamera yang kompatibel bisa bertambah. Juga belum tersedia sejauh ini adalah software webcam versi macOS.

Via: PetaPixel.

Canon EOS R5 Sanggup Hasilkan Video Slow-Motion dalam Resolusi 4K

Meski belum diperkenalkan secara resmi, Canon EOS R5 sudah bisa mencuri perhatian di segmen kamera mirrorless. Bagaimana tidak, kamera ini menjanjikan sejumlah inovasi yang terbilang revolusioner, seperti misalnya perekaman video 8K 30 fps tanpa crop factor.

Andai kamera ini masuk lini EOS C yang memang diprioritaskan untuk video, mungkin hype-nya tidak akan setinggi sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian, EOS R5 adalah kamera still yang kebetulan sangat kapabel untuk merekam video, menjadikannya pantas untuk disebut sebagai penerus spiritual 5D Mark II.

Baru-baru ini, Canon kembali mengonfirmasi sejumlah keunggulan yang bakal dihadirkan EOS R5. Di samping perekaman video 8K dalam format RAW, perangkat juga siap dipakai untuk merekam video 8K dalam format HDR maupun C-Log dengan warna 10-bit 4:2:2. Semuanya menggunakan seluruh penampang sensor dan disimpan langsung ke memory card.

Canon EOS R5

Alternatifnya, EOS R5 sanggup merekam video 4K 120 fps secara internal, juga dalam format HDR ataupun C-Log. 120 fps berarti pada dasarnya kamera ini bisa menciptakan video slow-motion dalam resolusi 4K. Lebih lanjut, semua mode perekaman 8K maupun 4K-nya bisa dilangsungkan dengan fitur Dual Pixel AF menyala.

Hal lain yang dibanggakan oleh EOS R5 adalah perkara image stabilization. Sistem image stabilization 5-axis yang terdapat pada kamera ini dapat ditandemkan dengan stabilization bawaan lensa demi menghasilkan video yang lebih mulus lagi.

Semua itu tanpa melupakan kapabilitas fotografinya. Berbekal sensor full-frame dan kemampuan menjepret tanpa henti dalam kecepatan 12 fps menggunakan shutter mekanis, Canon EOS R5 semestinya bakal menjadi rival berat terhadap Sony a7 atau bahkan a9.

Sayang sampai saat ini Canon masih belum mengungkap jadwal peluncuran EOS R5. Semoga saja ini merupakan teaser terakhir sebelum ia dirilis secara resmi.

Sumber: PetaPixel.

Canon EOS R5 Bakal Tawarkan Perekaman Video 8K 30 fps Tanpa Crop Factor

Bulan lalu, Canon mengumumkan bahwa mereka tengah menggarap kamera mirrorless full-frame baru, yakni EOS R5. Tidak banyak yang dibeberkan ketika itu, dan ini mendorong publik untuk berspekulasi terkait kapabilitas EOS R5, terutama mengenai kemampuannya merekam video.

Mungkin agak geregetan mendengar rumor yang simpang siur, Canon memutuskan untuk sedikit menguak EOS R5 lebih jauh sebelum peluncuran resminya. Lewat sebuah siaran pers, Canon mengonfirmasi dua fitur yang bakal diunggulkan kamera barunya tersebut: perekaman video 8K dan “Advanced Animal AF”.

Bukan sembarang 8K, EOS R5 siap melakukannya dengan memanfaatkan seluruh penampang sensor, alias tanpa sedikitpun crop factor. Video beresolusi 7680 x 4320 pixel 30 fps itu dapat direkam dan disimpan langsung ke memory card tanpa perlu mengandalkan bantuan external recorder.

Lebih istimewa lagi, Canon mengklaim fitur Dual Pixel AF tetap bisa dipakai selama merekam video dalam resolusi 8K. Singkat cerita, EOS R5 menawarkan kapabilitas video yang nyaris tanpa kompromi, dan ini merupakan sesuatu yang cukup langka di luar lini kamera sinema Canon.

Canon EOS R5

Mungkin Canon akhirnya sadar betapa besar pengaruh lini kamera mirrorless Sony a7 di bidang videografi dalam beberapa tahun terakhir, dan mereka memutuskan sudah waktunya bagi mereka untuk ikut menyeriusi bidang ini lewat lini kamera mirrorless-nya.

Fitur unggulan yang kedua sebenarnya juga tidak kalah menarik. Berkat Advanced Animal AF, Canon mengklaim EOS R5 mampu mengenali beragam jenis hewan (anjing, kucing, dan burung). Secara default yang dideteksi adalah matanya, tapi Canon bilang EOS R5 juga mampu mengenali wajah dan tubuh binatang di situasi-situasi tertentu, semisal ketika matanya tidak kelihatan.

Lalu kapan Canon EOS R5 akan hadir? Sayangnya itu belum diketahui. Kemungkinan kita masih harus bersabar menunggu lebih lama lagi jika melihat kondisi terkini terkait penyebaran virus corona yang telah ‘melumpuhkan’ banyak industri.

Sumber: DPReview.