Sektor Digital Membawa Optimisme Perkembangan Ekonomi Indonesia

Di sela-sela pertemuan IMF-WB Annual Meeting beberapa waktu lalu di Bali, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan banyak hal seputar hasil diskusi di forum. Salah satunya tentang bagaimana teknologi digital berperan dalam perkembangan ekonomi Indonesia, sekaligus mendisrupsi berbagai bidang. Ia mencontohkan, bagaimana usaha rumahan atau UMKM kini dapat menjangkau pasar di seluruh Indonesia berkat platform seperti Bukalapak atau Tokopedia. Dengan dukungan finansial dan teknologi yang kuat sebagai platform, para unicorn memberikan solusi yang sangat riil.

Pendapat tersebut makin memantapkan Menkominfo Rudiantara, melalui lembaganya ia ingin mendukung perkembangan startup digital secara lebih optimal. Salah satunya melalui Nexticorn, sebuah forum mempertemukan pelaku startup dengan calon investor potensial dari dalam dan luar negeri. Dengan demikian regulator sepakat untuk mengarahkan regulasi yang memperlancar akselerasi pertumbuhan industri digital di tanah air, khususnya yang menggarap sektor riil seperti perdagangan, keuangan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Kendati demikian, mereka juga sadar betul bahwa hadirnya teknologi juga memberikan implikasi buruk. Salah satu yang disampaikan berkaitan dengan kemungkinan hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Misalnya, jika nanti beli barang di toko sudah menggunakan konsep “New Retail” dengan pengalaman yang seamless digital, maka pekerja seperti kasir sudah tidak diperlukan lagi. Terlebih saat berbicara tentang implementasi tingkat lanjut dari teknologi seperti Artificial Intelligence dan Internet of Things.

Tidak hanya regulator saja, namun para pemain di industri digital cukup optimis. Hal ini seperti yang disampaikan Teddy Oetomo (CSO Bukalapak) saat menjawab pertanyaan tentang Indonesia di masa depan. Ia meyakini bahwa akan banyak hal yang mengejutkan terkait growth di industri, khususnya berkaitan dengan inklusi ekonomi dari sektor digital. Aldi Haryopratomo (CEO GO-PAY & Founder Mapan) turut menyampaikan hal serupa. Ia mengatakan kolaborasi yang ada saat ini, baik antar startup, regulator, hingga investor akan menjadi awal yang baik dalam membentuk kematangan ekonomi digital di Indonesia.

“Pemikiran founder sekarang sudah bagus. Melahirkan startup bukan semata-mata untuk menjadi unicorn, tapi fokus untuk terus berinovasi menghasilkan pemecahan masalah,” ujar Teddy sesi panel pembuka di Nexticorn 2018.

Nexticorn 2018
Sesi panel yang menyuguhkan perspektif dari para startup unicorn Indonesia / DailySocial

Sukarela Batunanggar, Komisioner OJK, di sesi panel lain mengungkapkan. Startup tidak lagi selalu “lemah” ketika berhadapan dengan regulasi. Karena startup digital itu memiliki model bisnis yang unik, dengan mengadopsi strategi yang tangkas dan fleksibel. Hal tersebut dinilai membuat akhir-akhir ini otoritasnya memang mengeluarkan cukup bayak izin untuk fintech, kendati dengan persyaratan yang cukup ketat.

Lantas bagaimana dengan kesiapan persaingan global

Boleh saja kita optimis melihat perkembangan yang ada, namun yang harus dipastikan kita tidak boleh lengkah terhadap persaingan global. Terlebih di era teknologi nantinya sekat-sekat pembatas tersebut akan semakin samar, inovasi tidak hanya bisa mendisrupsi negara asalnya, melainkan bisa juga ke berbagai belahan dunia. Melihat tren teknologi yang berkembang, hampir setiap pelaku di sektor teknologi sepakat, bahwa AI akan mendominasi ke depannya. Banyak transformasi yang akan disebabkan dari aplikasi berbasis AI. Lantas pertanyaannya, sesiap apa Indonesia menghadapi era tersebut?

Dalam sebuah data yang diterbitkan World Economic Forum, disajikan tentang peringkat negara dengan kemampuan AI tertinggi. Amerika, Tiongkok, dan India berada di peringkat teratas. Sayangnya Indonesia belum masuk peringkat besar yang digambarkan. Talenta menjadi penting, pasalnya akan mendorong perkembangan di negara terkait. Lalu untuk meningkatkannya perlu sinergi yang baik antara berbagai pihak, tidak hanya industri saja, melainkan perlu peran dominan dari regulator hingga sektor akademik.

Peringkat AI
Peringkat negara dengan kemampuan AI / WEF

Sehingga sampai sini dapat diambil sebuah kesimpulan. Perkembangan digital yang ada boleh jadi membuat kita sangat optimis menyambut kemajuan – menggenggam visi menjadi digital energy of Asia – melihat ke luar untuk menilik seberapa jauh negara lain sudah berkembang juga diperlukan. Tujuannya agar dapat belajar, mengidentifikasi kekurangan, dan mempersiapkan diri, agar populasi masyarakat digital yang besar tidak hanya menjadi pangsa pasar produk luar negeri.

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.