Penipuan Jual Beli Online Tak Kunjung Surut, Inovasi Teknologi Bisa Jadi Solusi

Bertransaksi dan berbelanja online sekarang ini sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia. Barang yang diperjualbelikan pun beragam, baik dari perabotan, elektronik, hingga digital. Inovasi teknologi memberikan ruang baru bagi kegiatan berbelanja. Kendati demikian, tindak penipuan masih sering terjadi. Modusnya pun beragam, mulai dari resi palsu sampai dengan struk pembayaran palsu.

Tindak kejahatan seperti penipuan memang sukar untuk dibasmi. Modus penipuan pun banyak berkembang mengikuti jaman. Meski banyak penyedia situs belanja memanfaatkan teknologi untuk pencegahan, pengguna tetap harus dituntut jeli dan waspada sebelum bertransaksi. Terutama mereka yang bertransaksi langsung melewati akun media sosial penjual.

Ada beberapa jenis penipuan yang umum dijumpai. Salah satunya adalah phising. Jenis penipuan ini bisa terjadi kepada seluruh pengguna internet. Kerugian yang ditimbulkan pun tak hanya sebatas transaksi yang dilakukan, tetapi juga informasi probadi, perbankan, hingga kata sandi.

Teknik penipuan phising bekerja dengan cara mengelabui pengguna. Mereka menyaru layaknya situs terpercaya dari segi tampilan. Pengguna yang kurang waspada pasti akan terkecoh dan tanpa sadar memasukkan informasi login hingga kartu kredit ke dalam tampilan palsu tersebut. Alih-alih transaksi berhasil data-data tersebut bisa disimpan pihak tak bertanggung jawab.

Penipuan jenis ini bisa diantisipasi sendiri oleh pengguna. Pengamatan terhadap url dan tautan yang mencurigakan menjadi benteng pertama dalam pencegahan penipuan ini. Beberapa penyedia layanan pun aktif mengedukasi penggunanya untuk senantiasa berhati-hati dalam mengisi informasi sensitif. Seperti yang dilakukan oleh Bukalapak.

“Ancaman peretasan / phishing yang dilakukan oleh pihak – pihak tidak bertanggung jawab terhadap industri teknologi digital selalu ada. Dari waktu ke waktu, kami selalu mengimplementasi berbagai upaya demi meningkatkan keamanan dan kenyamanan para pengguna Bukalapak serta memastikan data-data pengguna tidak disalahgunakan. Kami selalu membimbing seluruh pengguna untuk melakukan langkah-langkah pencegahan demi melindungi data dari upaya – upaya peretasan yang dilakukan pihak – pihak tidak bertanggung jawab, sesuai dengan Kebijakan Privasi Bukalapak,” jelas VP of Engineering Bukalapak Ibrahim Arief.

Ada juga penipuan yang merugikan penjual. Kondisi ini paling sering dijumpai ketika bertransaksi di luar sistem rekening bersama. Penjual yang “apes” akan menjumpai pembeli yang mengaku sudah melakukan transfer, lengkap dengan bukti foto struk pembayaran. Padahal struk atau bukti-bukti lainnya itu adalah palsu dan pembeli tidak pernah melakukan pembayaran.

Diceritakan Ihsan Muhammad, Founder Kredibel, sebuah situs yang menampung data rekening penipu online, ada modus baru yang berkembang. Modus baru ini melibatkan penjual dan pembeli.

Modus baru ini, penipu pura-pura menjadi penjual dengan menawarkan barang-barang fiktif dengan harga yang jauh lebih murah. Setelah berhasil menipu calon pembeli oknum penipu akan melakukan order kepada penjual asli dan terpercaya, namun alamat pengiriman ditujukan ke alamat penipu. Setelah itu tagihan pembayaran akan diberikan ke calon pembeli yang sebelumnya menghubungi penipu.

“Pembeli dan penjual dalam kasus ini sama-sama menjadi korban. Penjual asli tidak mengetahui yang mentransfer adalah calon pembeli yang tertipu. Pembeli pun tidak mengetahui bahwa ia membayar bukan untuk barang yang ia beli, dan barang yang dibeli pun tidak akan pernah sampai karena dikirimkan ke alamat penipu,” jelas Ihsan.

Tren penipuan yang ada di Indonesia

Dari data yang dihimpun Kredibel selama tahun 2019, pihaknya telah menerima lebih dari 50.000 ribu laporan penipuan, dengan rata-rata kerugian per transaksi sebesar Rp1,7 juta. Dari total yang transaksi tersebut 28,6% di antaranya merupakan transaksi fraud yang terjadi ketika membeli produk fashion dan kecantikan. Di posisi kedua diduduki transaksi barang elektronik dengan presentase 16,2%.

Penipuan-penipuan yang terjadi kebanyakan terjadi pada platform media sosial. Paling tinggi adalah Instagram dengan fraud sebesar 46,2%, WhatsApp 28,9%, dan Facebook dengan 12,9%.

“Peringat ini telah mengalami perubahan dibandingkan beberapa tahun silam. Jika pada tahun 2015-2016, penipuan paling banyak terjadi pada platform BBM, berbeda halnya dengan sekarang yang paling sering terjadi pada platform Instagram. Hal ini terkait dengan popularitas Instagram yang semakin hari semakin naik dan meredupnya popularitas BBM [BBM sudah menutup layanannya],” lanjut Ihsan.

Pencegahan dengan Teknologi

Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mencegah penipuan. Bagi para pengguna, jargon teliti sebelum membeli mungkin jadi salah satu senjata paling ampuh. Sedangkan bagi para penyedia layanan, penggunaan teknologi bisa jadi solusi paling inovatif.

Bukalapak misalnya, mereka mengembangkan sebuah engine yang didesain untuk mendeteksi anomali dari kegiatan transaksi yang bisa merugikan pihak-pihak terkait. Sistem ini juga bisa digunakan untuk mendeteksi penjualan barang yang tidak sesuai ektentuan.

“Bukalapak memiliki engine khusus yang berfungsi untuk mendeteksi anomali dari kegiatan-kegiatan transaksi di Bukalapak. Anomali tersebut di antaranya transaksi fiktif dan penjualan barang yang tidak sesuai ketentuan,” jelas Ibrahim.

Ia melanjutkan, “Bukalapak akan terus mengembangkan kapabilitas dari engine ini agar dapat terus mengatasi tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, termasuk di dalamnya fraud dan sejenisnya, yang cakupan serta modus operandinya terus berkembang. Secara garis besar, dari waktu ke waktu kami terus mengimplementasi berbagai upaya demi meningkatkan keamanan dan kenyamanan para pengguna Bukalapak.”

Teknologi yang digadang-gadang mampu sebagai solusi untuk mengurangi tindak penipuan dalam transaksi online adalah Artificial Intelligence (AI). Perusahaan seperti Visa bahkan sudah mengaplikasikan machine learning untuk mengidentifikasi anomali dari tindak penipuan.

Salah satu sistem pendeteksi penipuan milik Visa adalah Advanced Authorization. Sistem ini diklaim sudah mencegah penipuan hingga $25 miliar dalam satu tahun terakhir hingga 30 April kemarin. Sistem pencegahan penipuan milik Visa pun dikabarkan akan segera ditingkatkan dengan menggunakan model deep-learning, agar bisa lebih akurat memahami pola penipuan.

Mencegah Penipuan Online Dengan Data Kredibilitas Penjual Ala Kredibel

Belanja online atau transaksi secara online sekarang mulai menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat Indonesia. Penggunanya terus tumbuh, platform dan infrastruktur terus membaik, dan hal positif lain terus muncul seiring dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan. Meskipun demikian, tetap saja ada hal-hal negatif yang menghambatnya. Salah satunya adalah penipuan. Biasanya kejahatan ini menyasar mereka yang baru bertransaksi secara online dan mereka yang tidak waspada. Permasalahan ini kemudian menjadi acuan pendirian Kredibel yang diprakarsai Muhammad Ihsan dan Yudhistira Bayu.

Ihsan menjelaskan menjalani tahun kedua Kredibel memiliki beberapa layanan. Total mereka memiliki tiga layanan, yakni Guile Analyzer, Kredibot, dan Guile Box.  Dua layanan pertama, Guile Analyzer dan Kredibot merupakan layanan yang mampu mengidentifikasi apakah penjual berpotensi melakukan penipuan atau tidak. Identifikasi ini berdasarkan keluhan dan laporan pengguna yang pernah bertransaksi dengan penjual yang berangkutan.

Secara umum Guile Analyzer dan Kredibot memiliki fungsi yang sama, yang membedakan hanya platform. Layanan Guile Analyzer bisa diakses melalui web atau desktop, sedangkan Kredibot merupakan sebuah bot yang berjalan di platform pesan instan LINE (@kredibot). Sementara itu Guile Box merupakan sebuah layanan yang menyimpan informasi penjual online, baik whitelist maupun blacklist.

Kepada DailySocial, Ihsan menjelaskan, “Kredibel dapat mengidentifikasi apakah penjual berpotensi melakukan penipuan ataukah tidak, berdasarkan keluhan dan laporan pengguna yang pernah bertransaksi dengan toko online bersangkutan. Dengan kata lain, kredibel menyimpan informasi penjual-penjual online pada database yang kami sebut sebagai Guile Box. Guile Box sendiri menyimpan 2 jenis data, yaitu data blacklist dan whitelist.”

“Data blacklist merupakan data yang kami dapatkan dari laporan-laporan pengguna Kredibel yang sebelumnya mengaku telah tertipu oleh seorang penjual online. Namun, tidak semua laporan yang masuk ini akan masuk ke dalam blacklist, karena setiap laporan yang masuk akan kami tinjau dulu kebenarannya, mulai dari kronologi kejadian, bukti-bukti yang dikirimkan (seperti bukti transfer atau screenshot percakapan), dan beberapa hal lainnya,” lanjutnya.

Untuk pembeli online, Kredibel menyasar mereka yang hobi berbelanja melalui kanal media sosial Instagram, LINE, dan lainnya. Dari data yang dihimpun Kredibel, media sosial adalah tempat paling rawan untuk bertransaksi. Hampir 85% laporan yang masuk di Kredibel terjadi di media sosial dengan Instagram sebagai platform paling riskan (untuk isu penipuan).

Untuk model bisnis, Ihsan menjelaskan Kredibel mengusung konsep B2B. Kredibel menjual informasi kredibilitas penjual ke startup yang membutuhkan data tersebut melalui API. Data tersebut nantinya bisa digunakan startup untuk membantu mereka dalam melindungi penggunanya dari penipuan. Saat ini, menurut Ihsan. pihaknya masih berusaha membantu mengurangi penipuan jual beli online.

“Fokus kami untuk saat ini adalah meminimalisir peluang seseorang tertipu ketika berbelanja online. Kami ingin membantu online shopper agar tidak tertipu ketika berbelanja online. Kami juga ingin memberikan edukasi kepada masyarakat, bagaimana berbelanja secara aman melalui internet,” tutup Ihsan.