Dianggap Mengeksploitasi Para Kreatornya, Model Bisnis Roblox Dikritik

Roblox dikenal sebagai salah satu game yang disenangi sekaligus aman untuk dimainkan anak-anak di seluruh dunia. Dengan beragam mode gameplay menarik yang ditawarkan, Roblox mampu bertahan sejak 2006 dan terus berkembang hingga sekarang.

Diestimasi ada lebih dari 200 juta pemain setiap bulannya yang memainkan Roblox. Dengan basis pengguna inti yang mayoritas adalah anak-anak dengan umur antara 9 hingga 15 tahun.

Namun di balik popularitasnya, Roblox ternyata tengah mendapatkan perhatian banyak pihak terkait dengan bisnis model yang mereka usung. Para pemain Roblox memang bisa mendapatkan uang dengan membuat mode permainan di dalam game-nya.

Tetapi permasalahannya adalah pihak Roblox hanya memberikan sedikit uang kepada para kreator ini yang jauh lebih rendah dari standar industri untuk para pengembang video game.

Credit: Roblox

Para kreator Roblox tadi hanya mendapatkan bagian 24,5% dari total keuntungan yang didapat game-nya. Hal ini dirasa jauh lebih kecil dibandingkan dengan bagian yang diberikan oleh Steam dengan 70% ataupun Epic Game Store yang mencapai 88%.

Masalah tersebut diperburuk dengan masifnya jumlah kreator game di dalam Roblox. Game-game buatan para kreator ini harus berjuang keras untuk mendapatkan pemain dan bisa populer. Apalagi Roblox dengan sengaja membuat platform-nya memiliki fitur pencarian yang sangat terbatas, dengan hanya menampilkan kurang lebih 1.000 game di halaman depannya.

Para kreator yang game-nya tenggelam hanya mampu berharap agar apa yang mereka buat bisa populer secara organik. Namun Roblox juga menyediakan fitur berbayar agar game tersebut bisa ditampilkan di halaman depan.

Mata uang dalam game Roblox yang bernama Robux (image credit: Roblox)

Penerapan iklan bagi para kreator pun hanya memberikan kesempatan yang lebih baik. Sehingga dengan membayar pun, tidak ada jaminan bahwa game yang mereka iklankan tersebut pasti akan muncul di halaman depan dan mendapatkan banyak pemain.

Masalah yang terakhir adalah penerapan dari Robux, mata uang di dalam Roblox yang digunakan untuk semua transaksi di dalam game-nya. Meskipun terlihat seperti mata uang dalam game pada umumnya, namun Roblox memiliki praktek yang tidak biasa dalam penerapannya.

Robux dapat dibeli oleh para pemainnya menggunakan uang asli ataupun didapatkan dari menjual game dan konten-kontennya kepada pemain lainnya.

Namun proses pencairan dana dari dalam game-nya cukup aneh. Para kreator yang ingin mencairkan uangnya harus memiliki minimal 100.000 Robux yang berarti sekitar US$1.000 atau Rp14 juta. Namun karena sistem potongan yang diterapkan maka para kreator tersebut hanya menerima $350 atau Rp5 juta saja.

Gamer Mobile Ternyata Habiskan Uang Hingga Rp24 Triliun Tiap Minggu

Tidak dapat dipungkiri bahwa game mobile merupakan pasar paling ramai untuk saat ini. Menjadi opsi yang simpel, praktis, dan juga terjangkau tentu membuat banyak orang yang menjadikan game mobile menjadi hiburan utama.

Dengan adanya pandemi yang menyerang sejak tahun 2020 lalu, jumlah pemain game mobile di seluruh dunia saat ini terus meroket jumlahnya. Firma pengolah data App Annie bahkan mencatat bahwa para pemain game mobile di seluruh dunia telah menghabiskan $1,7 miliar atau sekitar Rp24 triliun setiap pekan.

Angka menakjubkan tersebut merupakan peningkatan sebesar 24% dibandingkan tahun lalu, dan meningkat sebanyak 40% dari tahun 2019 di masa sebelum pandemi. Data tersebut dikumpulkan dari semua gamer mobile baik para pengguna iOS dan Android yang dirangkum dalam publikasi berjudul “2021 Mobile Gaming Tear Down“.

Gamer mobile bahkan disebut-sebut memiliki kecenderungan sebesar 50% untuk mengeluarkan uangnya ke dalam game daripada platform-platform game lainnya yang dikombinasikan. Berkat para pemain yang mau mengeluarkan uangnya setiap minggu tersebut, dilaporkan bahwa rata-rata sebanyak 810 game mobile mampu mencapai pendapatan $1 juta atau sekitar Rp14 miliar setiap bulannya dalam setengah tahun 2021 ini.

Perbandingan tingkat konsumerisme para pemain game di berbagai platform. Sumber: App Annie

Data tersebut juga menunjukkan bahwa 3 game yang memiliki pemain dengan tingkat konsumtif paling tinggi adalah Roblox, Genshin Impact, dan Honor of Kings (AOV). Cukup menakjubkan melihat Roblox yang dirilis sejak 2012 untuk iOS dan 2014 untuk Android.

Namun hal tersebut juga menunjukkan bahwa game dengan fitur cross-play seperti Roblox dan Genshin Impact memiliki pertumbuhan jangka panjang lebih baik. Hal tersebut dikarenakan pemain dapat melanjutkan progres mereka di berbagai perangkat sesuai keinginan.

App Annie juga menuliskan bahwa industri mobile gaming saat ini tengah melaju untuk menuju angka pendapatan sebesar $120 miliar pada akhir tahun 2021 ini. Berarti angka tersebut meningkat sebanyak 19% dari tahun lalu, dan 40% dari tahun 2019.

Ke depannya, industri game mobile dikatakan tidak akan melambat dalam waktu dekat. Karena fakta pasar membuktikan bahwa game-game mobile dapat bertahan dan bahkan semakin kuat bahkan selama pandemi berlangsung. Kecenderungan untuk mengeluarkan uang di dalam game mobile juga menjadi alasan utama lain bagi industri ini untuk tetap tumbuh subur.

The Sims Mobile Resmi Meluncur di iOS dan Android

Jauh sebelum perangkat bergerak memperkenankan setiap orang menikmati game kapan pun mereka mau, The Sims kreasi desainer Will Wright merupakan salah satu permainan yang berhasil mempertemukan para gamer ‘serius’ dengan kalangan casual. Kesuksesan franchise ini melahirkan tiga sekuel, sejumlah spin-off dan puluhan expansion pack. Ia juga tersedia di tiga generasi console berbeda.

Melihat tingginya adopsi smartphone di kalangan user, Electronic Arts sudah lama melirik platform tersebut sebagai tempat pendaratan The Sims. Upaya menghadirkan permainan di mobile dilakukan sejak era The Sims 3 (tahun 2009), kemudian diteruskan oleh The Sims FreePlay. Dan tujuh tahun setelah permainan freemium itu dilepas perdana, sang publisher merilis penerusnya, diberi judul The Sims Mobile.

Eksistensi The Sims Mobile terungkap di bulan Mei tahun lalu. Dan tepat di minggu ini, permainan dirilis di iOS dan Android. The Sims Mobile mengadopsi sejumlah elemen esensial dari The Sims 4 versi PC . Kabarnya, Electronic Arts dan Maxis melangsungkan proses uji coba selama hampir setahun untuk memoles seluruh konten game.

The Sims Mobile 1

Permainan menyuguhkan sejumlah gameplay familier. Di bagian awal, Anda dipersilakan menciptakan karakter (dipanggil Sim) dan mengustomisasi penampilannya sesuka hati – mulai dari wajah, gaya rambut, makeup hingga menambahkan aksesori. Setelah itu, permain bisa memilihkan pakaian buat mereka (koleksinya banyak dan unik) serta menentukan karakteristiknya, misalnya menyukai musik atau membaca.

The Sims Mobile 2

Selanjutnya, kita bisa mendesain tempat tinggal untuk para Sim. Proses pembuatan dan personalisasinya cukup mudah, lalu setelah beres,  Anda tinggal membubuhkan furnitur, perabotan serta dekorasi. Rumah bukan satu-satunya tempat bermain para karakter. Mereka juga dapat mengunjungi studio fashion, restoran dan klub malam.

The Sims Mobile 3

Sesi gameplay berikutnya sangat mirip The Sims versi PC-nya. Anda ditantang untuk memandu Sim-Sim tersebut dalam berkarier, menciptakan persahabatan serta membangun keluarga. The Sims Mobile juga didukung elemen multiplayer, memungkinkan kita beriteraksi dengan pemain lain – menggunakan Sticker untuk berekspresi.

The Sims Mobile saat ini sudah bisa dimainkan. Game dapat diunduh gratis dan mengusung sistem microtransaction. Anda harus menunggu Sim menyelesaikan tugasnya, atau mempercepat waktu dengan membayar.

Berdasarkan pengalaman menjajalnya, konten The Sims Mobile masih berada jauh di bawah The Sims 4. Beberapa hal di sana juga sengaja dirancang buat mendorong Anda melakukan transaksi in-app. Tidak aneh, mengingat ia merupakan game buatan EA.

Sumber: EA.

[Rumor] Efek Kontroversi Loot Box Battlefront II Dalam Pengembangan Game Battlefield Baru

Battlefield merupakan seri andalan tim DICE dalam berkompetisi dengan franchise-franchise milik rival-rival utamanya seperti Blizzard, Infinity Ward, 2K Games serta Bungie. Dan sebagai studio kebanggaan Electronic Arts, tim asal Stockholm itu juga diberi kepercayaan untuk menggarap remake dari permainan shooter Star Wars: Battlefront, yang melakukan debutnya 14 tahun silam.

Tapi Battlefield 1 dan Star Wars Battlefront II (2017) punya nasib yang sangat bertolak belakang. Ketika Battlefield 1 memperoleh pujian dari gamer dan media, Battlefront II mendapatkan kritik keras terkait pemanfaatan loot box sehingga membuat permainan jadi tak seimbang, serta sulitnya mengakses sejumlah karakter ‘hero‘. Kini gamer khawatir praktek serupa juga diterapkan pada permainan Battlefield selanjutnya.

Eksistensi game Battlefield baru terdengar di akhir minggu lalu lewat laporan dari VentureBeat. Di sana dikabarkan bahwa permainan berjudul Battlefield V itu akan membawa Anda ke medan tempur Perang Dunia kedua. Namun kita tidak perlu terlalu cemas soal sistem microtransaction di sana. Berdasarkan pengakuan sejumlah narasumber anonim pada Kotaku, DICE kini lebih berhati-hati dalam penerapannya.

Sang informan yang terlibat dalam proses pengembangan game Battlefield baru itu menyatakan bahwa DICE tidak akan lagi memanfaatkan pendekatan pay-to-win. EA DICE mengaku, mereka menanggapi kasus loot box yang terjadi di Battlefront II dengan sangat serius.

Hal senada juga dikonfirmasi oleh situs US Gamer dalam artikel terpisah. Menurut pengakuian narasumbernya, sistem microtransaction di Battlefield V hanya diimplementasikan untuk menyajikan item-item kosmetik saja. Dengan terbukanya akses ke item-item tersebut, maka opsi kustomisasi jadi lebih luas. Tingkatan konfigurasi di game anyar tersebut diklaim lebih tinggi dibanding permainan sebelumnya.

Loot box atau prize crate sudah lama ditemukan di game-game free-to-play, umumnya kreasi studio-studio asal Negeri Timur, namun prakteknya di ranah global sendiri dipopulerkan oleh Overwatch. Penggunaan loot box di permainan shooter multiplayer Blizzard ini memberi developer pemasukan sangat besar pasca peluncurannya, juga memungkinkan mereka untuk terus memperkaya konten game lewat item baru dan event.

Tapi betulkah item kosmetik tidak memengaruhi keseimbangan permainan?

Mungkin tidak di game ‘penuh warna’ seperti Overwatch. Gamer veteran bisa tetap mahir bermain terlepas dari kostum karakter yang ia pilih. Namun di game bertema serius seperti Battlefield, kostum pilihan Anda boleh jadi memengaruhi kemampuan karakter dalam kamuflase atau bersembunyi dari lawan…

Penjualan Star Wars Battlefront II Mengecewakan, EA Malah Akan Mengembalikan Microtransaction?

Loot box sudah lama diusung dalam video game, tapi kesuksesan penerapannya di Overwatch menyebabkan game shooter Blizzard itu jadi kiblat penyajian loot box di judul-judul blockbuster di periode 2016 sampai 2017. Namun implementasi ‘prize crate‘ yang kelewatan di Star Wars Battlefront II membuat metode ini dibenci gamer, bahkan dianggap sebagai praktek judi.

Tingginya respons negatif pemain terhadap loot box di Battlefront II memaksa Electronic Arts untuk menonaktifkan sistem monetisasi ini, meski masih terbuka kemungkinan buat dihadirkan lagi. Dan berdasarkan informasi terbaru, kontroversi loot box ternyata berdampak signifikan pada penjualan game serta pemasukan perusahaan.

Berdasarkan pengakuan CFO Blake Jorgensen pada Wall Street Journal, sang publisher hanya berhasil menjual sembilan juta kopi Battlefront II di musim liburan kemarin. Padahal, target EA adalah 10 juta kopi. Jorgensen menyalahkan drama loot box sebagai penyebab utamanya. Sembilan juta kopi memang tidak terlihat buruk, tetapi tetap terbilang rendah jika dibandingkan dengan total penjualan Battlefront pertama dalam satu triwulan, yang mencapai 13 juta kopi.

Wall Street Journal juga menginformasikan bahwa pemasukan sang publisher  hanya meningkat tipis dibanding di periode liburan tahun lalu, dari US$ 1,15 ke US$ 1,16. Berita baiknya, penjualan digital Star Wars Battlefront II memperlihatkan peningkatan dibanding pendahulunya, memakan porsi 37 persen dari total penjualan, versus 32 persen buat Battlefront pertama.

Kabar buruknya, Electronic Arts menyatakan rencana untuk mengembalikan fitur monetisasi di Battlefront II ‘dalam beberapa bulan lagi’. Sang CFO tidak memberi tahu kapan tepatnya loot box (atau sistem sejenis) akan diimplementasikan, hanya bilang ‘jika mereka merasa telah siap’. Dahulu, keluhan utama dari adanya microtransaction adalah hal ini memberi keunggulan gameplay bagi pemain yang bersedia membayar lebih banyak.

EA turut melaporkan beberapa informasi lain, terutama terkait jumlah pemain game-game-nya. Kabarnya, komunitas FIFA di console naik jadi 42 juta gamer, pemain FIFA Mobile meningkat ke 26 juta orang, lalu angka player base FIFA Ultimate Team melompat 12 persen. Selanjutnya, Battlefield 1 sukses menghimpun 25 juta pemain, kemudian gamer The Sims 4 juga melonjak 35 persen.

Sebagai penggemar Star Wars, saya memang punya rencana untuk meminang Battlefront II jika harganya sudah murah dan merasa yakin praktek loot box tak akan kembali. Namun dengan munculnya berita ini, sepertinya saya harus mengurungkan niat tersebut.

Via PC Gamer & Gamespot.

Microtransaction Tampaknya Akan Kembali Hadir di Star Wars Battlefront II

Terlepas dari segala upaya DICE menggarap Star Wars: Battlefront II agar lebih baik dibanding pendahulunya, permainan shooter ini dirundung masalah sejak momen pelepasannya. Sistem progres permainan ini ternyata sangat kompleks, tapi intinya, pemain harus melakukan proses grinding yang menjemukan agar bisa mengakses karakter terkenal seperti Darth Vader atau Luke Skywalker.

Gamer juga sangat kecewa pada kehadiran sistem microtransaction via loot box yang secara nyata memengaruhi keseimbangan permainan. Electronic Arts mencoba menjustifikasi keputusan mereka, namun penjelasan mereka di Reddit malah mendapatkan lebih dari 680 ribu downvotedownvote terbanyak di sepanjang sejarah Reddit. Dan pada akhirnya, EA menghapuskan sistem store ‘untuk sementara waktu’.

Tergerak karena kehebohan yang ditimbulkan oleh masalah ini, Belgium Gaming Commision (Komisi Gaming Belgia) mulai melangsungkan investigasi terhadap praktek penjualan item secara acak di dalam Battlefront II. Dari temuan mereka, badan tersebut memutuskan bahwa sistem loot box yang berpilar pada uang dan elemen adiktif video game adalah praktik perjudian.

Sentimen ini juga senada dengan opini Perwakilan Negara Bagian Hawaii Chris Lee. Dalam pernyataannya, Battlefront II bisa diibaratkan seperti kasino online bertema Star Wars yang didesain buat menjebak dan mendorong anak-anak mengeluarkan uang. Bagi Lee, sistem loot box ialah praktik berbahaya yang berpeluang memberikan dampak negatif bagi keluarga di Amerika.

Namun sepertinya hal itu tidak bisa menyetop langkah EA untuk mengimplementasi kembali micropayment di Battlefront II. Dalam konferensi di Credit Suisse belum lama ini, chief financial officer Electronic Arts Blake Jorgensen menyampaikan bahwa mereka belum menyerah, dan masih punya rencana buat membubuhkannya lagi di sana. Hanya waktunya saja yang belum ditentukan.

“Saat ini kami masih mengawasi bagaimana gamer menikmati permainan,” kata Jorgensen, dikutip oleh Eurogamer. “Kami mencoba mempelajari, apakah ada mode yang membuat microtransaction lebih menarik; lalu apa pendapat konsumen mengenainya, serta mencari tahu cara mereka memainkannya. Kami tengah memahami dan mendengarkan masukan komunitas sebelum memutuskan cara menerapkannya.”

EA sendiri meniadakan microtransaction di Battlefront sebagai respons dari keluhan pemain. Gamer merasa sistem ini menyebabkan adanya mekanisme pay-to-win – kian banyak mengeluarkan uang, maka Anda akan semakin unggul dalam permainan.

“Nyatanya, ada beberapa tipe pemain dalam game,” sanggah Jorgensen. “Beberapa dari mereka punya lebih banyak uang dibanding waktu, tapi sebagian lagi memiliki lebih banyak waktu kosong ketimbang uang. Kami ingin mencoba menyeimbangkannya.”

Tambahan: Gamespot dan Eurogamer.

Dibundel Gratis Bersama GTA V, GTA Online Hasilkan Pemasukan $ 500 Juta Untuk Rockstar

Digarap bersamaan dengan Grand Theft Auto V, GTA Online sengaja Rockstar ramu untuk menawarkan pengalaman berbeda dalam permainan open world mereka. Ia berperan sebagai mode multiplayer GTAV, bisa diakses oleh semua pemilik game tanpa perlu mengeluarkan uang lagi. Hampir tiga tahun setelah diluncurkan, jutaan gamer masih setia menikmati GTA Online.

Meski gratis, developer Rockstar North turut membenamkan elemen microtransaction bagi pemain yang ingin mempercepat perkembangan karakter, tapi tetap diseimbangkan supaya tidak merusak gameplay. Sistem ini ternyata sangat populer. Dahulu perusahaan induk Rockstar Games, Take-Two Interactive, pernah menyampaikan bahwa micropayment memberikan kontribusi terbesar bagi perusahaan. Dan belum lama, nilainya diketahui mencapai ratusan juta dolar.

Informasi tersebut terungkap berkaitan dengan gugatan mantan presiden Rockstar North Leslie Benzies kepada Take-Two. Ia menuntut royalti yang belum dibayarkan senilai US$ 150 juta. Dari sana diketahui, in-app purchase GTA Online menyumbangkan pemasukan setidaknya sebesar US$ 500 juta bagi developer. Jumlah ini sangat banyak, buat perbandingan, microtransaction Halo 5 hanya menghasilkan US$ 1,5 juta.

Berdasarkan gugatan tersebut, GTA Online mempunyai potensi membuahkan keuntungan paling besar dibanding permainan lain di seri Grand Theft Auto. Hal ini dikarenakan margin profit di sistem microplayment-nya hampir menyentuh 100 persen, di luar biaya pengembangan. Di akhir tahun lalu, CEO Take-Two Strauss Zelnick mengungkapkan bahwa ada delapan juta gamer memainkan GTA Online tiap minggunya.

Dari data terakhir, Grand Theft Auto V telah dikapalkan sebanyak 60 juta kopi untuk seluruh platform (PC, Xbox One dan PlayStation 4, termasuk console last-gen). Pihak penggugat memperkirakan, keuntungan penjualan game berada di kisaran US$ 3 miliar. Beberapa media memprediksi, karena profit besar inilah Rockstar mengalihkan perhatian mereka sepenuhnya pada GTA Online dan menunda perilisan DLC singleplayer.

Pada tanggal 12 April lalu, Rockstar merilis update berisi mode Inch By Inch untuk GTA Online. Mode kompetitif itu memisahkan gamer menjadi dua tim: satu grup ditugaskan mengirimkan paket ke sebuah zona buat mencetak skor, dan tim lawan harus menggagalkannya. Pemain yang membawa paket tidak bisa menggunakan senjata, jadi kawan-kawannya harus sigap menjaganya.

Untuk merayakannya, Rockstar menggandakan poin GTA$ dan RP, serta menyajikan mobil baru: Vapid Minivan, tersedia di Benny’s Original Motor Works.

Sumber: Gamespot. Sumber tambahan: Polygon & Rockstar News Wire.

Megaxus Luncurkan Game World In AyoDance

Seri permainan Audition buatan T3 Entertainment asal Korea Selatan memiliki sejarah sangat unik. Ia hadir dengan nama berbeda di tiap negara, dan mengusung genre rhythm game semisal PaRappa the Rapper dan Guitar Hero. Menyusul kepopularitasannya yang cukup tinggi di Indonesia, Megaxus merilis resmi judul terbarunya, World In AyoDance. Continue reading Megaxus Luncurkan Game World In AyoDance

Google Diminta Mengembalikan Transaksi In-App Purchase ‘Tak Sah’ Sebesar US$ 19 Juta

Bagi platform seperti Apple App store dan Google Play, microtransaction adalah jantung utama yang memompa kehidupan ke dalam ekosistemnya. Sistem ini memberikan pemasukan besar baik ke para penyedia jasa, developer serta publisher. Namun in-app purchase terkadang ‘menyesatkan’ konsumen, terutama untuk mereka yang kurang mengerti penerapannya. Continue reading Google Diminta Mengembalikan Transaksi In-App Purchase ‘Tak Sah’ Sebesar US$ 19 Juta

Microtransaction Akan Segera Menginvasi Plants vs. Zombies: Garden Warfare

Menyajikan permainan dengan harga penuh atau dengan mengadopsi in-app puchase sepenuhnya merupakan keputusan para penciptanya. Biasanya tiap metode bisnis berhubungan erat dengan mekanisme dan keseimbangan permainan. Lalu bagaimana jika game yang ditawarkan dengan harga ‘penuh’ ditambahkan fitur microtransaction? Continue reading Microtransaction Akan Segera Menginvasi Plants vs. Zombies: Garden Warfare