[Review] Canon EOS M6 Mark II, Pertama dengan Resolusi 32.5MP

Bentrokan kamera mirrorless full frame di segmen profesional dari sederet produsen kamera papan atas seperti Sony, Canon, Nikon, dan Panasonic menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan pada tahun 2019.

Namun, persaingan kamera mirrorless dengan sensor berukuran APS-C juga tak kalah menarik. Tercatat pada tahun lalu, Sony meluncurkan trio A6100, A6400, dan A6600. Fujifilm dengan X-T30, X-A7, dan X-Pro 3. Serta, Canon dengan EOS M200 dan EOS M6 Mark II.

Jajaran mirrorless APS-C ini kini punya kemampuan perekaman video yang sangat baik, kinerja autofocus cepat, dan menawarkan resolusi lebih tinggi. Canon EOS M6 Mark II misalnya, ia mengusung sensor CMOS baru APS-C beresolusi mencapai 32.5MP, lengkap dengan sistem Dual Pixel autofocus yang cekatan, dan perekaman video 4K/30p tanpa crop.

Saya telah memotret dan syuting menggunakan kamera yang dibanderol Rp12.650.000 untuk body only ini selama beberapa pekan. Berikut kesan dan review Canon EOS M6 Mark II selengkapnya.

Desain

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Datascrip selaku distributor produk Canon di Indonesia yang telah meminjamkan Canon EOS M6 Mark II. Unit yang saya review berwarna silver yang berpadu dengan warna hitam, tampil klasik dalam desain modern.

Seperti pendahulunya, EOS M6 II tidak memiliki viewfinder bawaan. Bila membutuhkan jendela bidik, kita bisa memasang aksesori viewfinder opsional yakni Canon EVF-DC2 pada dudukan hot shoe. Sayang tak disertakan dalam paket penjualan dan bila membelinya sendiri harganya cukup mahal.

LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah. Membuatnya ideal sebagai kamera vlogging untuk para solo content creator yang berjuang membuat konten seorang diri.

Perlu dicatat, posisi hot shoe di tengah akan membuat layar tertutup oleh mikrofon eksternal. Salah satu solusinya bisa menggunakan aksesori cold shoe relocation plate, L plate, atau rig plate yang mungkin nanti bakal tersedia di pasaran.

Soal kontruksi body-nya cukup solid, terbuat dari paduan metal, serta plastik dan lapisan karet di beberapa bagian. Saat berpasangan dengan lensa kit EF-M 15-45mm, dimensi kamera ini terbilang compact. Namun, tetap nyaman saat digunakan berkat ukuran grip-nya yang agak besar.

Dalam pengujian, saya turut menggunakan lensa EF 50mm F1.4 USM (harga baru lensa ini sekitar Rp5 jutaan) dengan mount adapter Canon EF-EOS M ke EOS EF/EF-S. Hasil fotonya benar-benar sangat mengesankan, warnanya cantik dengan background bokeh yang creamy.

Meski begitu, bunyi suara autofocus lensa EF 50mm memang agak kasar dan bakal membuat kamera lebih bongsor. Terus terang saya jadi penasaran, bagaimana hasilnya bila dipasangkan dengan lensa ring merah Canon.

Karena sudah dibekali konektivitas WiFi dan Bluetooth, hasil tangkapan foto mapupun videonya bisa langsung dikirim secara instan ke smartphone melalui aplikasi Canon Camera Connect.

Mengenai daya tahan, baterai LP-E17 yang digunakan mampu melepaskan 305 jepretan sekali charge. Untuk pengisian daya, kita harus melepas baterai dari body kamera dan menggunakan adapter charger khusus. Meski kamera ini sudah dibekali port USB Type-C, tapi saya tidak bisa mengisi daya langsung ke kamera menggunakan charger smartphone.

Sistem Kontrol

Sistem kontrol kamera pada EOS M6 II sangat ramah bagi penggunanya, tombol kontrol fisik lengkap dan sangat intuitif. Untuk mengatur exposure secara manual, di sisi atas terdapat dua roda kontrol untuk menyesuaikan shutter speed dan aperture.

Lalu, kita bisa set roda kontrol navagasi yang berada di depan untuk ISO. Dengan kontrol segitiga exposure ini, bakal sangat memudahkan para penggunanya untuk mengontrol kamera dengan cepat dan tepat.

Selain itu, user interface layar sentuhnya juga mudah dimengerti. Canon melengkapinya dengan quick control yang bisa diakses di pojok kanan atas layar atau tombol kontrol Q Set. Di mana kita bisa dengan mudah mengakses fitur-fitur penting seperti mode autofocus, kualitas gambar, aspek rasio, resolusi video, white balance, hingga picture style.

Satu hal lagi yang sangat saya suka dari kamera Canon ialah mode foto dan videonya memiliki pengaturan terpisah. Bakal sangat berguna bagi yang sering membuat video sekaligus mengambil foto, sebab pengaturan kedua mode tersebut memang berbeda. Misalnya di mode video, saat kondisi cahaya kurang bersahabat kita tidak bisa menekan shutter speed lebih rendah – sebaliknya kita harus meningkatkan ISO untuk mendapatkan exposure yang pas.

Kemampuan Foto

Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial
Pengaturan kamera Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis / Dailysocial

Canon EOS M6 Mark II dapat mengambil gambar dengan resolusi maksimal 32MP (6960×4640 piksel) dalam pilihan aspek rasio 3:2, 4:3, 16:9, dan 1:1. File foto bisa disimpan dalam format JPEG, Raw, dan CRaw. Sensor tersebut tetap menggunakan low pass filter yang lebih aman dari efek moire.

Dari banyak foto yang telah saya ambil, satu foto 32MP dalam format JPEG – paling kecil memakan ruang 4MB dan 12MB paling besar. Sementara dalam format Raw, paling kecil memakan ruang 21MB dan 41MB paling besar.

Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Raw burst mode Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Ditenagai prosesor DIGIC 8, kamera ini dapat memotret beruntun 14fps, 30 fps dengan crop pada lebarnya menjadi 88 persen, dan mode Raw burst 30fps hingga 70 frame dengan crop 75 persen yang menghasilkan foto 18MP.

Sejauh ini, sistem Dual Pixel autofocus bekerja cepat meskipun bukan yang tercepat di kelasnya. Ada empat mode area fokus otomatis yang dapat dipilih, Face + Tracking, Spot AF, 1-point AF, dan Zone AF. Fitur face detection dan eye detection juga bekerja cukup baik, terutama untuk foto portrait.

Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Lensa kit Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Untuk pilian lensanya, jajaran lensa native EF-M dari Canon memang jumlahnya tidak banyak. Meski sebetulnya sudah cukup lengkap, dari yang terbaru berikut daftarnya:

  • 32mm F1.4 STM
  • 18-150mm F3.5-6.3 IS STM
  • 28mm F3.5 Macro IS STM
  • 15-45mm F3.5-6.3 IS STM
  • 55-200mm f/4.5-6.3 IS STM
  • 11-22mm f/4-5.6 IS STM
  • 18-55mm f/3.5-5.6 IS STM
  • 22mm f/2 STM

Dengan mount adapter Canon EF-EOS M, kita bisa memasangkannya dengan lensa Conon EF/EF-S yang tak hanya variasinya banyak tapi juga dari sisi kualitas optiknya. Opsi lain datang dari Sigma, lensa fix buatannya dari 16mm, 30mm, dan 56mm F1.4 juga tersedia di sistem EOS-M dan harganya cukup terjangkau. Berikut hasil foto dari Canon EOS M6 Mark II:

Perekam Video

Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Canon EOS M6 Mark II ideal untuk vlogging. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Selain resolusi kameranya yang meningkat, aspek perekaman video juga mendapatkan update signifikan. Kamera ini mampu merekam video hingga 4K/30p (3840×2160 piksel) full tanpa crop dan sistem Dual Pixel autofocus-nya juga masih bekerja.

Kita memiliki pilihan mode area AF yang sama seperti mode foto dan saat merekam video, kita bisa mengganti titik fokus dengan menyentuh layar dan ada juga opsi untuk beralih dari autofocus ke manual focus atau sebaliknya. Lalu, ada dua opsi electronic image stabilization dua tingkat, tentunya dengan sedikit crop sebagai gantinya.

Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Pengaturan video Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Hal menarik lainnya ialah ketersediaan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Saat ini belum tersedia 1080p pada 24fps tapi dari yang saya baca-baca bakal tersedia dalam update firmware mendatang.

Fitur video penting lainnya ialah ketersediaan port mikrofon eksternal dan mode HDR video yang sepenuhnya otomatis. Sayangnya dibanding para kompetitor direntang harga yang sama, kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading dan tidak memiliki fitur peringatan zebra.

Verdict

Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial
Sensor APS-C 32.5MP Canon EOS M6 Mark II. Photo by Lukman Azis/Dailysocial

Menurut saya, persaingan kamera mirrorless APS-C pada rentang harga Rp10-20 juta tak kalah panas dengan mirrorless full frame di segmen atas. Sebab, full frame masih bukan untuk semua kalangan karena harga body kamera dan lensanya relatif sangat mahal.

Melihat fitur dan harganya, Canon EOS M6 Mark II bakal bertempur secara kompetitif melawan Sony A6400, Fujifilm X-T30, dan Panasonic Lumix G95 dengan sensor MFT. Meski dalam hal kemampuan perekaman video dan sistem autofocus bukan yang terbaik, tapi unggul pada resolusi sensornya yang mencapai 32.5MP – di mana para pesaingnya masih menawarkan 24MP.

Sparks

  • Kamera mirrorless APS-C Canon pertama dengan 32.5MP
  • Fitur dan harga sangat kompetitif dengan kompetitornya
  • Punya LCD 3 inci touchscreen 180 derajat dan port microphone eksternal yang idal untuk content creator
  • Sistem kontrol fisik intuitif dan lengkap
  • Mampu merekam 4K 30fps tanpa crop dan sistem Dual Pixel AF tetap bekerja
  • Punya mode high frame rate 1080p 120fps

Slacks

  • Tanpa dukungan picture profile
  • Tanpa port headphone untuk memonitor audio
  • Belum punya IBIS
  • Isi daya baterai harus menggunakan adapter khusus

 

Setahun Setelah Diungkap, Kamera Mirrorless Zenit M Akhirnya Tersedia Secara Global

Ajang Photokina tahun lalu menjadi saksi atas munculnya kembali brand kamera legendaris asal Rusia, Zenit. Kala itu, mereka mengumumkan Zenit M, kamera pertamanya sejak berhenti memproduksi di tahun 2005. Setelah sebelumnya lebih dulu dipasarkan di dataran Eropa, Zenit M kini sudah siap go international.

Bagi yang ketinggalan berita, Zenit M pada dasarnya merupakan kamera mirrorless yang identik dengan Leica M (Typ 240). Perbedaannya hanya tampak dari sejumlah elemen desain, serta penggunaan software bikinan Zenit. Juga berbeda adalah dudukan lensanya, yang hanya bisa menerima segelintir lensa buatan Zenit sendiri.

Zenit M

Memasangkan lensa Leica sebenarnya bisa saja, akan tetapi fitur koreksi otomatisnya jadi tidak berjalan. Itulah mengapa Zenit M dibundel bersama lensa Zenitar 35mm f/1.0. Tidak seperti bodi kameranya yang dibuat di Jerman, lensanya ini murni dirancang dan dirakit sendiri oleh Zenit. Dua lensa lain yang tersedia secara terpisah adalah 50mm f/1.0 dan 21mm f/2.8.

Selebihnya, spesifikasi Zenit M sama persis seperti Leica M (Typ 240), mulai dari sensor full-frame 24 megapixel-nya, sampai LCD 3 inci di belakangnya. Ini berarti Zenit M juga hanya bisa merekam video dalam resolusi maksimum 1080p saja. Kendati demikian, saya pribadi belum pernah berjumpa dengan pengguna Leica yang memakai kameranya untuk merekam video.

Zenit M

Berhubung basisnya Leica, tidak mengherankan apabila Zenit M dibanderol mahal: $6.995, dan itu sudah dengan status “sale” di situsnya. Konsumen yang tertarik sepertinya harus cepat memesan mengingat Zenit hanya akan memproduksinya sebanyak 500 unit saja. Meski begitu, mereka rupanya masih harus menunggu apabila mengincar varian yang berwarna serba hitam.

Sumber: DPReview dan Leica Rumors.

Perkuat Lini APS-C, Sony Resmi Merilis A6100 dan A6600 di Indonesia

Kalau ada pertanyaan, rekomendasi kamera mirrorless buat pemula dari Sony untuk belajar fotografi – maka pasti jawabannya setidaknya Alpha 6000. Sementara, bila mencari kamera mirrorless APS-C Sony dengan fitur-fitur videografi yang lengkap akan diarahkan ke A6300 atau A6500.

Sebelumnya Sony telah lebih dulu merilis A6400 dan di Indonesia penerus A6300 ini dibanderol Rp13 juta untuk body only. Sedangkan, A6300 sempat dijual Rp9 juta sebelum menghilang. Kini Sony juga telah merilis suksesor A6000 dan A6500 ke Tanah Air, adalah A6100 dan A6600.

PSX_20191118_213920

Keduanya mengandalkan sensor gambar 24,2MP Exmor CMOS, prosesor gambar terbaru BIONZ X, dan LSI front-end seperti yang diimplementasikan pada kamera full frame Sony. Gabungan ketiganya diklaim mampu menyuguhkan peningkatan menyeluruh terhadap kualitas gambar dan performa di segala area pengambilan foto dan video.

A6100 dan A6600 menawarkan kecepatan autofocus yang hanya membutuhkan waktu 0,02 detik. Dilengkapi dengan sistem AF yang memiliki 425 titik phase-detection yang mencakup 84 persen frame dan 425 titik contrast-detection.

Keduanya mengemas ‘Real-Time Tracking‘ dengan algoritma terbaru termasuk pengenalan objek berbasis AI, serta ‘Real-Time Eye AF‘ dengan pengenalan objek berbasis AI untuk mendeteksi dan memproses data secara real-time untuk manusia maupun fauna.

Sony A6100 Vs. A6000

PSX_20191118_211831

Harus diakui, sampai saat ini A6000 masih cukup mumpuni untuk kegiatan fotografi. Harga barunya juga semakin terjangkau, Rp7,5 juta dengan lensa kit.

Meski begitu, fitur-fitur videografinya memang seadanya. Bisa dimaklumi mengingat A6000 merupakan kamera keluaran tahun 2014. Lalu, peningkatan apa saja yang dibawa oleh A6100 dibanding pendahulunya?

Dari desain, baik A6000 maupun A6100 masih tampak identik dan body-nya masih terbuat dari plastik. Bedanya layar 3 inci sudah touchscreen dan bisa di flip 360 derajat ke depan untuk memudahkan aktivitas nge-vlog, sama seperti A6400 dan A6600.

Selain kecepatan autofocus-nya lebih kencang, kemampuan perekam video A6100 juga meningkat signifikan. Kini mampu merekam video 4K 30p/24p dan 1080 pada 120p, 60p, 30p, dan 24p. Sudah dilengkapi port microphone, tapi tanpa dukungan picture profile.

Sony A6600 Vs. A6500

A6600 mengambil gelar flagship milik A6500, body-nya terbuat dari magnesium alloy yang tahan terhadap kelembaban dan debu, serta mewarisi fitur IBIS (5-axis image stabilization). Peningkatan terbesar A6600 dibanding pendahulunya ialah penggunaan jenis baterai baru NP-FZ1000 seperti yang dimiliki kamera full frame A7 III.

Daya tahan baterainya sekitar dua kali lebih lama dibanding NP-FW50. Mampu menembak hingga 720 foto menggunakan viewfinder atau hingga 810 foto menggunakan monitor LCD.

PSX_20191118_211850

Selain itu, layar sentuh 3 incinya juga dapat di-flip ke depan. Karena penggunaan baterai baru, ukuran grip A6600 menjadi sedikit lebih besar dan justru menambah kenyamanan saat digunakan.

Tiga lagi, A6600 kini punya port headphone yang memungkinkan kita untuk monitoring audio dan fitur Real-Time Eye bekerja di pengambilan video. Serta, dilengkapi dengan profile picture HLG (Hybrid Log-Gamma) yang mendukung alur kerja HDR yang instan. Bagi yang ingin memberi warna saat pasca-produksi, profil S-Log3 dan S-Log2 juga tersedia.

Harga Sony A6100 dan A6600

PSX_20191118_211845

Selain dua kamera, Sony juga merilis dua lensa yakni E 16-55mm F2.8 G dan E 70-350mm F4.5-6.3 G OSS. Dengan dua lensa ini, Sony memiliki total 54 lensa untuk sistem E-Mount. Sony juga mengumumkan ketersediaan kamera mirrorless full frame flagship mereka yakni Sony A9 II yang rencananya akan tersedia pada bulan Februari 2020.

Sony A6100 dengan lensa kit 16-50mm dibanderol dengan harga Rp12.499.000 Sementara, Sony A6600 body only dibanderol Rp20.999.000 dan Rp26.999.000 dengan lensa 18-135mm. Pre-oder A6600 dimulai dari tanggal 18 November sampai 1 Desember dengan paket spesial berisi baterai NP-FZ100 (senilai Rp1.199.000) dan Battery Charger BC-QZ1 (senilai Rp1.299.000).

Canon Ungkap EOS Ra, Kamera Mirrorless Full-Frame Spesialis Astrophotography

Canon diam-diam menyingkap kamera mirrorless full-frame baru. Dinamai EOS Ra, ia merupakan versi khusus dari EOS R yang didedikasikan untuk para pencinta astrophotography. Ya, sama seperti DSLR Nikon D810a yang dirilis tiga tahun silam, kamera ini punya spesialisasi untuk menangkap gambar objek-objek astronomi yang tidak kelihatan secara kasat mata.

Untuk mewujudkannya, Canon harus memodifikasi filter inframerah yang terpasang di depan sensor kamera. Modifikasi tersebut memungkinkan EOS Ra untuk menangkap hingga empat kali lebih banyak garis spektrum H-alfa dengan panjang gelombang 656 nm dibandingkan EOS R. Alhasil, warna merah yang dihasilkan objek luar angkasa seperti nebula jadi lebih mudah direkam oleh EOS Ra.

Perubahan lain yang diterapkan secara spesifik untuk keperluan astrophotography adalah tingkat perbesaran yang lebih tinggi pada viewfinder elektronik (EVF) maupun layar sentuhnya, masing-masing di angka 30x dan 10x. Harapannya, penguncian fokus pada objek-objek astronomi bisa lebih dimudahkan.

Canon EOS Ra

Selebihnya, EOS Ra identik dengan EOS R. Sensor full-frame yang digunakan tidak berubah, masih dengan resolusi 30 megapixel, demikian pula komponen-komponen lain yang tertanam di balik bodi magnesiumnya. Ini berarti pengoperasiannya juga sama intuitifnya seperti EOS R.

Canon berencana melepas EOS Ra ke pasaran seharga $2.500 (body only). Halaman pre-order-nya sempat muncul di Adorama sebelum akhirnya dihapus tidak lama kemudian. Canon sepertinya masih belum menentukan jadwal rilis yang pasti untuk kamera niche ini.

Sumber: DPReview.

Fujifilm X-Pro3 Sembunyikan LCD-nya Demi Menghindarkan Pengguna dari Pengalih Perhatian

Fujifilm baru saja meluncurkan X-Pro3, hampir empat tahun sejak X-Pro2 dirilis. Melanjutkan tradisi seri ini, X-Pro3 kembali mengawinkan kecanggihan teknologi digital dengan elemen unik kamera analog. Pada X-Pro3, elemen unik yang dimaksud adalah pengalaman memotret tanpa ‘gangguan’ LCD.

Konsumen awam bakal dibuat kaget setelah melihat panel belakang X-Pro3. Bagian yang biasanya dihuni oleh LCD berukuran 3 inci justru ditempati oleh layar dengan dimensi jauh lebih kecil. Secara default, fungsi layar kecil itu juga amat terbatas, yakni menampilkan mode Film Simulation yang terpilih, ISO serta white balance.

Fujifilm X-Pro3

X-Pro3 pada dasarnya ingin mendorong penggunanya untuk lebih berfokus pada pengaturan komposisi via viewfinder ketimbang teralihkan perhatiannya. Viewfinder-nya sendiri masih mengadopsi model hybrid seperti sebelumnya, akan tetapi mode elektroniknya sudah di-upgrade menjadi panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.

Saat dibutuhkan, layar kecil itu bisa dilipat ke bawah, dan barulah kita akan disambut oleh layar sentuh besar di baliknya. Terkesan aneh memang, namun seri X-Pro sejak dulu memang tergolong sangat niche, dan kalangan mainstream akan merasa lebih cocok dengan seri X-T.

Fujifilm X-Pro3

Soal spesifikasi, X-Pro3 bisa dibilang identik dengan X-T3. Sensor yang digunakan adalah X-Trans 4, model X-Trans pertama yang menganut desain backside-illuminated. Ukurannya sendiri masih setara sensor APS-C, dan resolusinya tercatat di angka 26 megapixel. Performanya pun semakin mumpuni berkat dampingan chip X-Processor 4 yang berinti empat.

Yang agak berbeda adalah kapabilitas videonya. Resolusi maksimum yang didukung X-Pro3 adalah 4K 30 fps, sedangkan X-T3 dilengkapi opsi untuk merekam video 4K 60 fps. Meski demikian, saya yakin ini bukan masalah besar bagi para peminat X-Pro3 yang hampir semuanya hanya mementingkan fotografi ketimbang videografi.

Fujifilm X-Pro3

Terkait fisiknya, X-Pro3 tidak kelihatan berbeda jauh dari pendahulunya. Desainnya masih terkesan retro seperti sebelumnya, akan tetapi pelat atas dan bawahnya kini terbuat dari bahan titanium ketimbang magnesium. X-Pro3 bahkan juga tersedia dalam varian dengan finish Duratect, teknologi surface-hardening yang dikembangkan oleh produsen jam tangan Citizen.

Fitur lain X-Pro3 mencakup dua mode Film Simulation baru (Classic Neg. dan Monochromatic), dua slot SD card (UHS-II), konektivitas Wi-Fi dan Bluetooth, serta port USB-C yang mendukung charging. X-Pro3 bakal segera dipasarkan seharga $1.800, atau $2.000 untuk varian Duratect-nya. Semuanya merupakan harga untuk bodinya saja, tidak termasuk satu pun lensa.

Sumber: DPReview.

Lebih Kecil Lagi dari Pendahulunya, Olympus OM-D E-M5 Mark III Justru Tawarkan Peningkatan Performa

Keputusan Panasonic untuk terjun ke segmen mirrorless full-frame sempat membuat saya bertanya dalam hati terkait nasib Olympus. Seperti yang kita tahu, keduanya sudah sejak lama menjalin aliansi dan melahirkan platform Micro Four Thirds, akan tetapi yang sejauh ini sudah mantap memperluas portofolionya barulah Panasonic.

Olympus di sisi lain masih teguh pendirian. Mereka baru saja meluncurkan OM-D E-M5 Mark III, kamera mirrorless terkecilnya saat ini. Selisih umur empat tahun dari E-M5 Mark II rupanya dimanfaatkan Olympus untuk mematangkan miniaturisasi sejumlah teknologi secara signifikan.

Olympus OM-D E-M5 Mark III

Salah satu komponen yang diciutkan adalah image stabilizer 5-axis yang tertanam langsung di kamera. Meski ukurannya lebih kecil dari milik E-M5 Mark II, kinerjanya justru sedikit lebih efektif; sanggup mengompensasi guncangan hingga 5,5 stop exposure, atau sampai 6,5 stop dengan bantuan lensa yang kompatibel.

Komponen lain yang diperkecil adalah modul baterainya, akan tetapi Olympus mengklaim daya tahannya sama persis seperti yang terdapat di pendahulunya (hingga 310 kali jepret). Secara fisik, E-M5 Mark III masih mempertahankan rancangan yang cukup identik terlepas dari dimensinya yang mengecil. Aspek weather-sealing-nya pun turut disempurnakan sehingga E-M5 Mark III layak memperoleh sertifikasi IPX-1.

Satu lagi yang disusutkan ukurannya adalah viewfinder elektronik (EVF), yang pada kamera ini hanya memiliki tingkat perbesaran 0,68x (turun dari 0,74x). Kendati demikian, kualitasnya lebih baik berkat pemakaian panel OLED beresolusi 2,36 juta dot ketimbang LCD.

Olympus OM-D E-M5 Mark III

Urusan performa, E-M5 Mark III mewarisi jeroan milik kakaknya yang lebih mahal dan lebih besar, E-M1 Mark II. Sensor Four Thirds yang digunakan sama persis, dengan resolusi 20 megapixel dan 121 titik phase-detection autofocus, demikian pula prosesor TruePic VIII-nya.

Kecepatan menjepret tanpa hentinya tercatat 30 fps dengan fokus dan exposure terkunci, atau 10 fps dengan AF dan AE tracking menyala. Memang belum selevel E-M1 Mark II (yang sejatinya sudah masuk level DSLR), akan tetapi masih cukup impresif untuk ukuran kamera sekecil ini, yang bobotnya tidak sampai 420 gram.

Olympus OM-D E-M5 Mark III

Fitur lain yang diwarisi dari kakaknya adalah mode High Res Shot 50 megapixel, yang menggabungkan delapan foto menjadi satu dengan detail luar biasa. Untuk video, E-M5 Mark III siap merekam dalam resolusi paling tinggi 4K 30 fps. Selagi merekam, image stabilization-nya akan dibantu oleh electronic stabilization.

Olympus OM-D E-M5 Mark III rencananya akan dijual mulai akhir November mendatang seharga $1.200 (body only). Paket bersama lensa 14-150mm f/4.0-5.6 juga akan ditawarkan seharga $1.800.

Sumber: DPReview.

Usung Sensor APS-C, Nikon Z 50 Jauh Lebih Ringkas dan Terjangkau Ketimbang Z 7 maupun Z 6

Tidak terasa sudah setahun berlalu semenjak Nikon merilis Z 7 dan Z 6. Tahun ini, giliran segmen lain yang diincar, segmen yang menjangkau lebih banyak kalangan konsumen, yakni mirrorless APS-C, atau DX-format kalau dalam kamus Nikon.

Kamera di atas adalah Nikon Z 50. Di balik dudukan lensa Z-mount dan bodi mirrorless-nya, bernaung sensor dengan ukuran penampang yang sama persis seperti milik DSLR mainstream Nikon macam D7500, D5600, maupun D3500. Pada Z 50, sensornya memiliki resolusi 20,9 megapixel dan sensitivitas ISO 100 – 51200.

Nikon Z 50

Tersebar di sensor tersebut adalah 209 titik phase-detection autofocus, dan Z 50 menjanjikan performa burst shooting dengan kecepatan 11 fps menggunakan continuous autofocus. Nikon juga bilang bahwa Z 50 adalah kamera DX-format pertama yang dilengkapi fitur eye-detection autofocus, dan ini diklaim dapat digunakan meski subjek sedang bergerak.

Urusan video, Z 50 menawarkan 4K 30 fps sebagai opsi perekaman tertingginya. Mode slow-motion 120 fps pun juga tersedia, akan tetapi hanya untuk resolusi 1080p saja. Untuk pertama kalinya bagi Nikon, video kini juga dapat ditransfer ke smartphone atau tablet secara wireless.

Nikon Z 50

Secara fisik, Z 50 mengusung gaya desain yang serupa dengan kedua kakaknya. Dimensinya jelas lebih kecil, demikian pula bobotnya yang hanya berkisar 450 gram (sudah termasuk baterai). Berhubung lebih ringkas, Z 50 pun lebih terbatas perihal kontrol, dan menurut saya yang paling signifikan dampaknya adalah absennya joystick di samping kanan layar.

Layarnya sendiri merupakan touchscreen berukuran 3,2 inci yang dapat dilipat ke bawah sampai menghadap ke depan untuk memudahkan selfie atau sesi vlogging. Selagi layarnya dihadapkan ke depan, sebagian besar kontrol pada layar otomatis dinonaktifkan demi mencegah pengubahan pengaturan yang tak disengaja.

Z 50 turut mempertahankan viewfinder elektronik (EVF) milik kedua kakaknya, yang merupakan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot. Pop-up flash pun juga tersedia, demikian pula slot SD card yang mendukung kartu tipe UHS-II. Terkait audio, Z 50 mengemas jack mikrofon, tapi tidak untuk jack headphone. Juga disayangkan adalah konektornya yang masih micro USB, bukan USB-C seperti pada Z 7 dan Z 6.

Nikon Z 50

Ya, Z 50 tentu tidak bisa mempertahankan semua keunggulan kakak-kakaknya. Ukuran sensor adalah yang pertama, kemudian weather sealing pada bodinya juga tidak sekomprehensif milik Z 7 dan Z 6. Lalu yang tak kalah krusial adalah absennya sistem image stabilization internal, yang berarti konsumen Z 50 cuma bisa mengandalkan stabilization bawaan lensa.

Untungnya dua lensa kit yang tersedia untuk Z 50 sama-sama menawarkan stabilization. Keduanya adalah Nikkor Z DX 16-50mm f/3.5-6.3 VR yang menjanjikan stabilization hingga 4,5 stop exposure, serta Nikkor Z DX 50-250mm f/4.5-6.3 VR yang menjanjikan hingga 5 stop. Keduanya sama-sama mengemas control ring terintegrasi.

Namun bagian terbaik dari Nikon Z 50 adalah harganya. Di saat Z 7 dan Z 6 dibanderol selangit, Z 50 bisa didapat seharga $859 saja (body only) saat mulai dipasarkan pada bulan November mendatang. Untuk bundel bersama lensa 16-50mm, Z 50 dihargai $999, atau seharga $1.349 bersama lensa 16-50mm dan 50-250mm sekaligus.

Sumber: DPReview.

Sony a9 II Datang dengan Desain yang Lebih Matang dan Fitur-Fitur Khusus Kalangan Profesional

Dua tahun lalu, Sony a9 membuktikan bahwa kamera mirrorless dapat bersaing dengan DSLR dalam hal performa, bukan sebatas kualitas gambar saja. Begitu cepatnya kemampuan a9 dalam menjepret foto tanpa henti, hasilnya dapat disatukan menjadi video yang sangat mulus.

Sony tahu kamera ini bukan untuk semua orang. Itulah mengapa suksesornya, Sony a9 II, membawa pembaruan yang lebih diprioritaskan untuk kebutuhan fotografer profesional. Secara mendasar, generasi keduanya ini dirancang untuk meningkatkan workflow para profesional selagi masih menawarkan penyempurnaan di sejumlah aspek lain.

Penyempurnaan workflow ini diwujudkan lewat konektivitas yang lebih lengkap. a9 II mengemas port Gigabit Ethernet, sambungan esensial bagi fotografer yang memerlukan proses data secara cepat dan stabil. Bukan cuma itu, a9 II bahkan juga mengemas chip Wi-Fi yang lebih superior yang mendukung jaringan di frekuensi 5 GHz (Wi-Fi AC) di samping 2,4 GHz yang lebih umum.

Masih seputar penyempurnaan workflow, a9 II menawarkan fitur yang cukup menarik bernama Voice Memo. Berkat fitur ini, fotografer dapat mendiktekan informasi untuk dijadikan lampiran di foto-foto yang hendak mereka serahkan ke agensi yang berminat, yang pada akhirnya bakal membantu mempercepat proses review dari perwakilan agensi.

Sony A9 II

Terkait performa, penyempurnaan yang a9 II usung tergolong inkremental. Sensor full-frame 24,2 megapixel bertipe stacked yang digunakan masih sama persis, akan tetapi prosesornya disebut membawa peningkatan pada kecepatan autofocus sekaligus akurasinya, tidak ketinggalan juga pada responsivitas viewfinder elektroniknya (EVF).

Jumlah titik phase-detection autofocus yang tersematkan pada sensornya masih sama persis, akan tetapi Sony bilang kapabilitas tracking subjeknya bisa ditingkatkan lewat pengaplikasian algoritma baru. Fitur unggulannya, kecepatan burst shooting hingga 20 fps menggunakan shutter elektronik, masih belum berubah, namun kecepatan burst menggunakan shutter mekanisnya naik menjadi 10 fps.

Sony A9 II

Secara fisik, a9 II menghadirkan sejumlah revisi seperti yang kita jumpai pada Sony a7R IV. Hand grip-nya lebih tebal, demikian pula ukuran tombol, kenop beserta joystick-nya yang ikut membesar, dengan penempatan yang lebih optimal pula. Sony pun tidak lupa menyempurnakan aspek weather sealing-nya, khususnya di bagian-bagian port a9 II, sekali lagi mirip seperti yang mereka terapkan pada a7R IV.

Perubahan kecil lainnya, a9 II mengemas sistem stabilization internal yang lebih baik, meski perbedaannya hanya sebatas 1/2 stop exposure saja. Kedua slot SD card-nya kini sama-sama mendukung tipe UHS-II, sedangkan daya tahan baterainya juga naik sedikit, dan kameranya kini bisa langsung menerima daya dari port USB-C.

Sony a9 II rencananya akan dijual mulai bulan November seharga $4.500 (body only), harga yang sama persis seperti generasi pertamanya. Berhubung pembaruannya tergolong minor, Sony masih akan memasarkan a9 generasi pertama dengan harga yang lebih terjangkau.

Sumber: DPReview.

Canon EOS M200 Ramaikan Pasar Mirrorless Entry-Level dengan Perekaman Video 4K dan Eye Autofocus

Canon baru saja meluncurkan kamera mirrorless baru, EOS M200, suksesor dari EOS M100 yang dirilis dua tahun silam. Dari luar penampilannya nyaris tidak berubah, dan pembaruan yang dihadirkan memang tergolong minor, meski tentu saja ada beberapa yang cukup signifikan.

Saya bilang minor karena sensor yang digunakan masih sama persis seperti milik EOS M100, yakni sensor APS-C 24,1 megapixel. Yang berubah adalah prosesornya; EOS M200 sudah ditenagai oleh prosesor Digic 8, dan jumlah titik autofocus-nya pun juga naik dari 49 menjadi 123.

Di samping itu, EOS M200 juga lebih cocok untuk fotografi portrait ketimbang pendahulunya berkat kehadiran sistem eye detection autofocus di samping Dual Pixel AF. Kapabilitas perekaman videonya pun ikut meningkat, kini dengan batasan resolusi maksimum 4K 24 fps ketimbang cuma 1080p 60 fps.

Canon EOS M200

Sayang sekali kekurangan EOS M50 perihal video juga ada di sini, yakni cropping hingga 1,6x saat merekam dalam resolusi 4K. Sederhananya, pengguna bakal lebih terbatas mengatur komposisi selagi merekam, sebab tampilan frame-nya jadi lebih sempit dibanding aslinya yang tanpa crop.

Merujuk pada segmentasinya, yakni konsumen yang sebelumnya cuma mengandalkan smartphone untuk keperluan fotografi dan videografi, EOS M200 juga datang dengan fitur yang sesuai, yakni kemampuan merekam video vertikal. Sebelumnya fitur ini hanya bisa dijumpai di Canon G7 X Mark III yang memang diprioritaskan untuk vlogging.

Canon EOS M200

Vlogging menggunakan EOS M200 pun sebenarnya juga memungkinkan, apalagi berkat layar sentuhnya yang dapat dilipat sampai menghadap ke depan seperti sebelumnya. Satu hal yang perlu diperhatikan, tombol untuk mengaktifkan fungsi perekaman videonya telah dipindah posisinya ke panel belakang, bukan lagi di sebelah tombol shutter seperti pada EOS M100, kemungkinan besar untuk mencegah aktivasi yang tidak disengaja.

Kabar baiknya, Canon EOS M200 dijual sedikit lebih terjangkau daripada pendahulunya, tepatnya seharga $549 saat mulai dipasarkan pada bulan Oktober nanti. Harga tersebut tentu sudah termasuk lensa kit 15-45mm f/3.5-6.3 IS STM. Juga menarik adalah kompatibilitas EOS M200 dengan lensa-lensa Canon EF dan EF-S tanpa harus mengandalkan bantuan adaptor, seperti kendalanya pada EOS M100.

Sumber: DPReview dan Engadget.

Fujifilm X-A7 Resmi Menyapa Pasar Indonesia

Selang dua minggu setelah diumumkan secara global, Fujifilm X-A7 resmi mendarat di pasar tanah air. Kamera mirrorless kelas entry ini ditujukan secara khusus bagi para kreator konten, vlogger maupun kalangan konsumen lain yang sekadar ingin meningkatkan kualitas fotografi mereka.

Wajar jadinya apabila Fujifilm Indonesia merasa perlu cepat memasukkan kamera ini ke dalam penawarannya. X-A7 sendiri juga mengusung sejumlah pembaruan yang cukup drastis jika dibandingkan pendahulunya, X-A5, sehingga titel “mirrorless for everyone” yang Fujifilm bubuhkan untuknya terdengar pantas saja.

Fujifilm X-A7

Fuji bilang bahwa sensor APS-C 24,2 megapixel milik X-A7 mampu membaca data dengan kecepatan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Titik phase-detection autofocus yang tersebar di penampang sensornya juga lebih banyak, dan ini sangat membantu kemampuan X-A7 dalam mengunci fokus secara cepat, bahkan ketika berada di lokasi yang minim pencahayaan.

Di sektor video, X-A7 siap merekam dalam resolusi paling tinggi 4K 30 fps. Dipadukan dengan layar sentuh yang dapat diputar secara bebas, kombinasi ini jelas membuahkan daya tarik tersendiri buat kalangan vlogger. Juga menarik adalah mode “Countdown Video” untuk membatasi durasi perekaman video (15, 30 atau 60 detik), yang pastinya ideal untuk menciptakan konten jenis Story di media sosial.

Fujifilm X-A7

Layar sentuhnya ini pun istimewa, bukan sebatas karena ukurannya yang besar (3,5 inci) dan resolusinya yang tinggi (2,76 juta dot), tapi juga berkat tingkat kecerahan maksimumnya yang mencapai angka 1.000 nit, yang berarti pengguna dapat melihat hasil jepretannya di bawah terik matahari tanpa kesulitan.

Pengoperasiannya pun banyak mengandalkan konsep “Smart Menu”, yang pada dasarnya merupakan tampilan interaktif pada layar yang dirancang untuk memudahkan para pengguna yang masih pemula. Fitur semi-otomatis, macam “Portrait Enhancer” yang akan menciptakan warna kulit (skin tone) yang alami dan seimbang di samping menyesuaikan fokus secara otomatis, tentunya juga bakal menarik perhatian para pemula, khususnya mereka yang gemar ber-selfie ria.

Fujifilm X-A7

Semua itu dihadirkan lewat bodi kamera yang ringkas, dengan bobot hanya 320 gram. Meski ringkas, baterainya diyakini cukup awet, siap menyuplai daya yang cukup untuk 440 kali jepret, dan di saat darurat, X-A7 juga dapat diisi ulang via sambungan USB-C layaknya ponsel.

Di Indonesia, Fujifilm X-A7 dijual seharga Rp 10.999.000, sudah termasuk lensa XC 15-45mm f/3.5-5.6 OIS PZ. Fujifilm juga tengah membuka program pre-order online secara eksklusif via Blibli.com yang membundel X-A7 bersama dengan printer portable Instax Share SP-3 dan SD card 32 GB dalam harga yang sama. Program ini berlangsung mulai 25 – 29 September 2019.