Fujifilm Umumkan Lensa Fujinon GF 30mm F3.5 R WR dan Update Firmware Besar Untuk Seri GFX

Fujifilm telah mengumumkan lensa Fujinon GF 30mm F3.5 R WR, lensa GF premium dan merupakan lensa fix wide angle dengan panjang fokus setara dengan 24mm (dalam format film 35mm). Lensa ini dirancang untuk sistem kamera GFX Large Format, sensor ini 70% lebih besar dari sensor full-frame 35mm.

Lensa GF 30mm F3.5 R WR memiliki desain tahan cuaca, tahan terhadap debu dan kelembaban, serta dapat digunakan pada suhu serendah -10 ° C. Sehingga mampu melayani berbagai gaya pemotretan dan menghasilkan detail yang kompatibel dengan sensor 100MP.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-2

Beratnya hanya 510 gram dan berukuran 99,4mm dengan diameter maksimum 84mm. Penggunaan sistem fokus internal memungkinkan autofocus (AF) yang cepat dan senyap, serta meminimalkan fokus hingga hanya 0,05%, menjadikannya lensa yang ideal untuk videografi.

Selain lensa baru, Fujifilm juga meluncurkan pembaruan firmware besar untuk seri GFX. Berlaku bagi seluruh seri kamera GFX yaitu Fujifilm GFX50S, dan GFX 100. Sehubungan dengan kehadiran dua inovasi terbaru ini, Anggiawan Pratama – Marketing Manager Electronic Imaging PT FUJIFILM Indonesia mengatakan.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-3

“Fujifilm berkomitmen untuk tidak pernah berhenti menghadirkan berbagai inovasi dalam berbagai situasi dan kondisi seperti beberapa waktu lalu kami menjawab kebutuhan publik mengenai webcam, kini kami juga menjawab kebutuhan para pengguna kamera mirrorless premium medium-format milik Fujifilm. Adanya lensa Fujinon terbaru ini serta pembaruan firmware ini tentu dimaksudkan menambah kenyamanan dan keandalan para pengguna kamera GFX dalam bermanuver dengan kameranya di segala kondisi pemotretan.” Ujar Anggi.

Jumlah mode film simulation untuk ketiga kamera GFX telah meningkat dengan adanya mode CLASSIC Neg. Mode ETERNA Bleach Bypass akan hadir dalam GFX100, sedangkan GFX 50S dan GFX 50R akan memiliki mode ETERNA yang mereplikasi warna dan tonality dari film FUJIFILM.

Smooth Skin Effect yang ada pada GFX 100 juga akan ditambahkan ke GFX 50S dan GFX 50R dan dapat digunakan untuk menghaluskan penampilan kulit manusia sehingga ideal untuk potret. Warna Chrome Blue yang menambahkan kedalaman pada reproduksi warna dan tonality di gambar langit biru dan subjek berwarna biru utama lainnya akan ditambahkan ke GFX 100.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-4

GFX 100 sekarang dapat menggunakan AF deteksi fase dengan cepat dan akurat dalam kondisi cahaya redup hingga -5EV. Firmware baru ini juga akan menambahkan mode AF-S Low Light Priority pada GFX 50S dan GFX 50R, yang meningkatkan waktu AF bekerja serta meningkatkan akurasi AF dalam cahaya rendah. Firmware akan meningkatkan kinerja AF Face / Eye untuk ketiga model. Keakuratan dan stabilitas deteksi wajah / mata ditingkatkan ketika memotret sekelompok orang.

fujifilm-umumkan-lensa-fujinon-gf30mm-f3-5-r-wr-dan-update-firmware-besar-untuk-seri-gfx-5

Selain itu, di ketiga kamera GFX, firmware baru akan memungkinkan pengguna untuk menyesuaikan pengaturan eksposur (shutter speed, aperture, ISO, exposure compensation ) dari komputer saat memotret diam (still) dan menggunakan perangkat lunak yang mendukung beberapa fungsi tether-shooting. Kini juga hadir lebih banyak aplikasi pengeditan foto akan mendukung indikasi informasi peringkat, yang ditetapkan dalam kamera.

Saat menggunakan GFX 100 dengan Gimbal / Drone yang kompatibel yang mendukung fungsi-fungsi ini, pengguna dapat memulai / menghentikan perekaman video, menentukan pengaturan eksposur untuk video (shutter speed, aperture, ISO, dan exposure compensation ), dan fokus manual.

GFX100 juga akan dapat menampilkan data video RAW maksimum 4K / 29.97P  12bit menggunakan HDMI ke ATOMOS NINJA V, di Apple ProRes RAW. Firmware baru untuk NINJA V akan dirilis oleh ATOMOS. Data video RAW memberikan fleksibilitas maksimum untuk penyesuaian eksposur atau penilaian warna dalam pasca-produksi untuk videografer profesional.

Selain itu, output simultan RAW dengan Simulasi Film / F-Log / Hybrid Log Gamma (HLG) juga tersedia. GFX100 dapat merekam ProRes RAW hanya dengan ATOMOS NINJA V (per 30 Juni 2020). Kompatibel dengan 4K (3840×2160) 29.97P / 25P / 24P / 23.98P.

5 Tips Memilih Kamera Mirrorless Untuk Video YouTube

Beberapa waktu yang lalu, teman saya meminta rekomendasi kamera mirrorless. Kebutuhannya adalah untuk membuat konten video di platform YouTube. Channel sudah berjalan dan tujuannya meningkatkan kualitas videonya.

Bicara soal memilih kamera mirrorless untuk video, tentunya berbeda dengan kamera foto. Lebih kompleks dan banyak aspek yang harus diperhatikan, misalnya kemampuan autofocus-nya, ketersediaan port mikrofon dan hot shoe, hingga aksesori pendukung yang diperlukan. Beberapa fitur video berikut, bisa memudahkan proses produksi (syuting) dan post processing (editing).

1. Layar yang Bisa Diputar ke Depan

Photo-by-Olenka-Sergienko-from-Pexels-1
Photo by Olenka Sergienko from Pexels

Pertama layar yang bisa diputar ke depan, baik itu mekanisme fully articalated yang harus ditarik dulu sebelum bisa diputar atau tilting 180 derajat yang bisa langsung di flip menghadap ke depan.

Fitur ini cukup penting, terutama bila Anda bermain solo dan membuat konten vlogging. Untuk memastikan komposisi rapi dan fokusnya tepat saat membuat konten seorang diri. Kalau jenisnya

2. Port Mikrofon, Hot Shoe, dan Mikrofon Eksternal

Setelah membeli perangkat kamera, aksesori wajib yang dibutuhkan adalah mikrofon eksternal. Sebab, elemen audio sama pentingnya dengan visual dan kita tidak bisa kalau hanya mengandalkan mikrofon internal.

Untuk memasangnya, maka kamera kita harus memiliki port mikrofon dan hot shoe, dua kelengkapan ini merupakan satu kesatuan. Rekomendasi dari saya untuk mikrofon eksternal yang murah di bawah satu juta ialah Rode VideoMicro Compact dan Saramonic SR M3.

3. Video 4K dan Picture Profile

Photo-by-Torsten-Dettlaff-from-Pexels
Photo by Torsten Dettlaff from Pexels
Photo-by-Kyle-Loftus-from-Pexels
Photo by Kyle Loftus from Pexels

Kemampuan video dengan resolusi tinggi ini memberi manfaat saat post processing, terutama bila editing kita pada resolusi 1080p. Sebagai contoh, ketika saya lagi membuat video review smartphone dan ingin mendapatkan detail yang super closeup, biasanya terkendala dengan ‘minimum focus distance‘ lensa. Tidak bisa terlalu dekat ke objek, dengan merekam di 4K kita bisa perbesar hingga 50 persen.

Selain itu, kita juga bisa reframing komposisi dan membuat gerakan panning, tilting, zoom in dan zoom out lewat Adobe Premiere Pro misalnya. Stock footage dengan resolusi 4K sendiri juga berharga sebagai aset stock video.

Nah beberapa kamera juga dibekali dengan picture profile flat, yang mana menangkap detail lebih banyak. Serta, memberikan keleluasaan color grading dan mempercantik video sesuai preferensi kita.

4. Rekomendasi Kamera Mirrorless

Photo-by-Fujifilm-North-America-from-Pexels
Photo by Fujifilm North America from Pexels

Ini bagian paling penting, memilih sistem kamera yang tepat. Sebab, nantinya kita tidak bisa dengan mudah pindah begitu saja setelah terjebak dengan ekosistemnya.

Kalau dari Sony, menurut saya yang paling ideal menimbang dari fitur dan harga adalah Sony A6400. Kalau budget belum cukup bisa cari kamera second bergaransi, bila masih belum masuk setidaknya pilih generasi sebelumnya yaitu A6300 second karena sudah tidak ada yang baru atau A6100 tapi banyak fitur yang dipangkas.

Lanjut ke Canon, rekomendasi saya EOS M6 Mark II karena merupakan lawan sepadan dengan Sony A6400. Sistem Dual Pixel autofocus sangat cepat dan bisa merekam video 4K/30p tanpa crop. Bila budget belum masuk, minimal EOS M50.

Dari Fujifilm, yang sepadan melawan Sony A6400 dan Canon EOS M6 Mark II adalah Fujifilm X-T30. Tapi, X-T30 tidak cocok untuk perekaman video durasi lama karena body yang mungil ada batasan durasi perekaman. Bila budget ada pilih X-T3 yang kemampuan videonya tak diragukan lagi tapi kalau budget mepet Fujifilm X-T200 juga cukup menjanjikan.

Beralih ke Panasonic Lumix dengan sensor Micro Four Thirds, yang sepadan dengan tiga kamera yang saya sebutkan diatas adalah Lumix G95. Tapi, bila budget tidak cukup Lumix G85 juga masih terbilang mumpuni.

5. Aksesori Lain

Photo-by-Brett-Sayles-from-Pexels
Photo by Brett Sayles from Pexels

Banyak para content creator yang melakukan kesalahan di awal dengan menghabiskan budget untuk membeli kamera saja, padahal proses untuk membuat video juga membutuhkan banyak aksesori pendukung. Mulai dari mikrofon eksternal, tripod, lightning, lensa fix untuk main bokeh, laptop, hingga software untuk mengedit video.

Meski begitu, jangan menunggu alat sampai lengkap baru bikin video. Sebaliknya maksimalkan apa yang kita miliki saat ini, tetap konsisten, sambil pelan-pelan upgrade peralatan seiring pertumbuhan channel kita.

Digerogoti Smartphone, Olympus Menyerah di Industri Kamera

Setelah kurang lebih 84 tahun berkiprah, Olympus salah satu pelopor tren kamera mirrorless telah memutuskan menjual bisnis pencitraannya. Termasuk sahamnya ke perusahaan Jepang bernama Japan Industrial Partners.

Penjualan kamera digital memang menurun dari tahun ke tahun, bahkan sebelum keadaan diperparah dengan pandemi covid-19 yang melanda dunia. Imbasnya banyak pekerjaan fotografi harus tertunda bahkan dibatalkan yang berujung pada melemahnya permintaan kamera baru.

Tidak dipungkiri juga, salah satunya faktornya karena pasar kamera digital tergerus oleh smartphone. Padahal kamera mirrorless Olympus menargetkan pasar menengah, mereka yang bukan fotografer profesional dan menginginkan sesuatu yang lebih baik daripada kamera compact tapi tidak mau repot menggunakan kamera DSLR. Pasar tersebut dengan sangat cepat ditelan oleh smartphone.

Perjanjian antara Olympus dan Japan Industrial Partners, rencananya bakal difinalisasi pada tanggal 30 September mendatang dan ditargetkan bakal mencapai kesepakatan pada akhir tahun 2020. Nantinya Japan Industrial Partners akan melanjutkan bisnis kamera di bawah merek Olympus. Mereka akan tetap membuat kamera dan menjual peralatan kamera, serta mempertahankan R&D dan fasilitas manufaktur di seluruh dunia. Yang terpenting, tetap menyediakan after-sales kepada pemilik kamera Olympus yang ada.

Olympus mengatakan telah melakukan apa yang bisa dilakukan untuk bertahan dan mengurangi biaya. Namun kerugian yang dialami divisi kamera Olympus selama tiga tahun berturut-turut dan tergerusnya pasar kamera oleh smartphone menjadi latar belakang keputusannya. Selain kamera, Olympus sendiri dikenal sebagai pembuat alat-alat kebutuhan medis yang mengandalkan lensa optik.

Sumber: DPreview

Panasonic Umumkan Lumix G100, Kamera Vlog Saingan Sony ZV-1

Bulan lalu, Sony mengumumkan lini produk baru kamera compact yang dirancang untuk aktivitas vlogging yakni Sony ZV-1. Sekarang giliran Panasonic yang baru saja mengumumkan Lumix DC-G100 (selanjutnya disebut G100) yang juga ditujukan untuk para vlogger.

Berbeda dengan Sony ZV-1, Lumix G100 merupakan interchangeable lens camera dengan sensor Micro Four Thirds 20MP tanpa low pass filter. Desainnya menganut gaya SLR seperti versi mini dari Lumix G series, dengan punuk yang menampung hot shoe di bagian atasnya dan electronic viewfinder 3.68 juta titik di depan. Serta, sudah dilengkapi port mikrofon sehingga bisa dengan mudah menggunakan mikrofon eksternal.

Hadir dengan dimensi 116x83x54 mm dan bobot 352 gram, saat berpasangan dengan lensa 12-32mm F3.5-5.6, ukurannya memang terbilang ringkas. Untuk memudahkan saat merekam video, layar sentuh 3 inci beresolusi 1.84 juta titiknya memiliki mekanisme fully articulated, di mana bisa ditarik keluar dan diputar ke depan.

Perlu dicatat bahwa Lumix G100 ini tidak memiliki in-body image stabilization (IBIS), melainkan menggunakan 5-axis hybrid image stabilizer saat merekam video (4-axis untuk 4K). Perekam video 4K tersedia pada 24p/30p hingga 10 menit dengan crop yang akan bertambah saat menggunakan image stabilization.

Sementara, pada resolusi 1080p mendukung sampai 60p. Hal yang cukup unik adalah tersedia banyak pilihan aspek rasio untuk video, termasuk format Instagram 4:5, 4:5, dan 9:16. Lalu, disediakan pula flat color profile Panasonic V-LogL untuk kelelusaan color grading saat post processing.

Soal audio, Lumix G100 menggunakan ‘OZO’ directional audio system rancangan Nokia. Dengan tiga mikrofon array, dua di depan dan satu di belakang. Kita bisa mengatur untuk merekam audio tepat di depan kamera, belakang atau menggunakan ketiganya untuk mendapatkan suara surround. Mikrofon di bagian depan juga dapat melacak wajah dalam mode face tracking dan memastikan suara kita terdengar sama.

Bila tertarik, Lumix G100 dengan lensa kit 12-32mm F3.5-5.6 dibanderol dengan harga US$749 atau sekitar Rp10,6 jutaan. Guna memudahkan aktivitas vlogging, Panasonic juga menghadirkan mini tripod DMW-SHGR1 yang dibanderol US$99 atau sekitar Rp1,4 juta.

Sumber: DPreview

Tamron Umumkan Lensa Zoom 28-200mm F2.8-5.6 Di III RXD Untuk Sony E-Mount

Kalau bicara soal ekosistem lensa di sistem Sony E-Mount, bisa dibilang sudah sangat kuat. Terutama lensa native full frame-nya (FE) yang dikembangkan dengan sangat baik, tapi di sisi lain harga lensa Sony FE lumayan tinggi.

Alternatifnya kita bisa mempertimbangkan lensa buatan produsen pihak ketiga seperti Tamron. Baru-baru ini Tamron telah meluncurkan lensa zoom 28-200mm F2.8-5.6 Di III RXD untuk body kamera Sony dengan sensor full frame yang harganya relatif cukup terjangkau.

Ini adalah lensa sapu jagat yang serba guna, karena menawarkan rentang zoom yang sangat luas dari wide sampai ke tele. Meski begitu, dimensinya cukup ringkas dengan panjang 11,7cm dan bobotnya 576 gram.

Tamron 28-200mm F2.8-5.6 Di III RXD ini mengusung 18 elemen dalam 14 grup, termasuk elemen glass-molded aspherical, hybrid aspherical, extra low-dispersion (XLD), dan low-dispersion. Jarak fokus minimumnya 19,1cm di focal length 28mm dan 80cm di 200mm.

Sistem autofocus-nya menggunakan motor penggerak yang disebut RXD yang bekerja secara senyap sehingga ideal untuk merekam video. Diameter filternya berukuran 67mm, tahan lembab dan elemen depan memiliki pelapis fluorin yang secara efektif mengusir minyak dan air.

Rencanaya lensa Tamron 28-200mm F2.8-5.6 Di III RXD akan mulai tersedia di pasar global pada akhir bulan Juni dengan harga US$729 atau sekitar Rp10,3 jutaan. Namun karena covid-19, kemungkinan ketersediaannya akan tertunda.

Sumber: DPreview

Susul Canon dan Fujifilm, Panasonic Kini Juga Punya Software untuk Ubah Kamera Jadi Webcam

Webcam semakin laris selama pandemi. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita selalu melangsungkan sesi video conference, dan itu pada akhirnya memicu sejumlah pabrikan untuk lebih kreatif lagi.

Adalah Canon yang memulai. Akhir April lalu, mereka merilis software PC yang berfungsi untuk mengubah beberapa kamera besutannya menjadi webcam. Satu bulan setelahnya, Fujifilm langsung menyusul dengan solusi serupa, mempersilakan konsumen untuk terlihat lebih profesional selama video conference berkat kualitas video dari kamera mirrorless yang jauh lebih superior ketimbang webcam standar.

Sekarang, giliran Panasonic yang meluncurkan software sejenis bernama Lumix Tether for Streaming. Premisnya mirip seperti yang Canon dan Fuji tawarkan; pasca instalasi software, cukup sambungkan kamera ke PC via USB, maka pengguna dapat memilihnya sebagai kamera input di aplikasi video conference.

Sayangnya, berhubung software ini masih beta, kekurangannya sejauh ini adalah, pengguna juga perlu meng-install software broadcasting macam OBS supaya PC dapat mendeteksi output tampilannya, sebelum akhirnya diteruskan ke Zoom, Google Meet, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, pengguna juga perlu menggunakan mikrofon eksternal untuk menangkap audio.

Sebelum ini, Panasonic sebenarnya sudah punya software Lumix Tether standar yang dapat dipakai untuk keperluan serupa. Yang berbeda, versi barunya ini dapat menghapus tampilan elemen-elemen UI seperti kotak autofocus dan lain sejenisnya, sehingga yang kolega Anda lihat sama persis seperti yang kamera lihat.

Bagi para pemilik Lumix G9, GH5, GH5S, S1, S1R dan S1H, Lumix Tether for Streaming saat ini sudah bisa diunduh lewat situs Panasonic. Pastikan PC Anda menjalankan Windows 10, sebab software ini tidak kompatibel dengan versi sistem operasi lain.

Sumber: DPReview dan Panasonic.

Kamera Mirrorless Fujifilm Sekarang Bisa Dipakai Sebagai Webcam

Bulan lalu, Canon merilis software yang dapat menyulap kamera buatannya menjadi webcam. Jika Anda bukan pengguna kamera Canon seperti saya, reaksi paling wajar saat mendengar kabar tersebut adalah berharap supaya pabrikan-pabrikan kamera lain segera mengikuti jejak Canon.

Harapan itu akhirnya terkabul, terutama apabila Anda punya kamera bikinan Fujifilm. Ya, pengguna kamera Fuji kini bisa mengunduh software bernama Fujifilm X Webcam Support pada perangkat Windows 10-nya, lalu menyambungkan kamera mirrorless kesayangannya via USB untuk dijadikan webcam di kala mengikuti webinar atau video conference via Zoom, Google Meet, maupun berbagai layanan lainnya.

Sangat disayangkan kamera yang didukung tergolong amat sedikit: X-T2, X-T3, X-T4, X-Pro2, X-Pro3, X-H1, GFX 50S, GFX 50R, dan GFX100. Seri X100 tidak ada sama sekali, demikian pula seri X-E. Sebagai pengguna X-E2, saya turut bersedih, dan bagi para pengguna X-E3, saya maklum kalau Anda heran mengapa kamera tersebut tidak didukung meski usianya lebih muda daripada X-T2.

Terlepas dari itu, instalasi dan cara penggunaan software ini cukup mudah, meski menurut saya agak sedikit lebih ribet daripada penawaran Canon. Silakan ikuti panduan langsung dari Fujifilm, atau tonton video tutorial dari Fuji Guys berikut ini.

Satu hal yang menarik adalah, fitur khas Film Simulation rupanya tetap bisa dipakai selama kamera berfungsi sebagai webcam. Ingin mengikuti video conference dengan tampilan hitam-putih? Silakan saja.

Semoga ke depannya jumlah kamera yang kompatibel bisa bertambah. Juga belum tersedia sejauh ini adalah software webcam versi macOS.

Via: PetaPixel.

5 Kamera Mirrorless Second Buat Belajar Fotografi

Bagi yang hobi fotografi, umumnya kamera mirrorless menjadi senjata utama. Buat yang berencana ingin lebih serius terjun ke dunia fotografi dan butuh kamera mirrorless tapi punya modal pas-pasan, maka kamera second atau bekas bisa menjadi jawabannya.

Pertimbangan lainnya, karena selain kamera itu sendiri kita juga bakal butuh tambahan lensa atau aksesori lain seperti ND filter dan tripod. Lantas, bagaimana caranya untuk mendapatkan kamera mirrorless second berkualitas?

Menurut saya, cara yang relatif cukup aman adalah dengan membeli di toko kamera yang memiliki kredibilitas yang baik contohnya Doss, Focus Nusantara, dan lainnya. Opsi lain, Anda bisa mencarinya sendiri di situs jual beli seperti OLX atau Tokopedia. Biasanya, butuh waktu untuk mendapatkan kondisi yang sesuai diinginkan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah masa garansi masih ada atau sudah habis, kelengkapannya termasuk memastikan bahwa baterainya original, hingga jumlah shutter count. Langsung saja, berikut rekomendasi 5 kamera mirrorless second terjangkau yang punya kapabilitas cukup baik untuk fotografi.

1. Sony A6000

Sony-A6000

Ya, siapa yang tidak tahu dengan kamera mirrorless yang satu ini? Sampai saat ini, Sony A6000 masih menjadi primadona banyak orang. Saya pantau harga barunya sangat stabil yaitu Rp7,5 juta untuk body only.

Harga second Sony A6000 bervariasi tergantung kondisi dan cukup mudah didapat di pasar. Kisarannya Rp4 jutaan untuk body only dan Rp5 jutaan dengan lensa kit. Kalau kebutuhan video kalian cukup tinggi, alternatif terbaiknya ialah Sony A6300.

Untuk spesifikasi utamanya, Sony A6000 mengusung sensor CMOS APS-C beresolusi 24MP, mampu memoret beruntun hingga 11 fps, dan sanggup merekam video 1080p hingga 60 fps.

2. Fujifilm X-T20

Fujifilm-X-T20

Dari pantauan saya, Fujifilm sangat gencar mempromosikan X-T20 dengan berbagai penawaran menarik. Dari potongan harga yang cukup menggiurkan, gratis baterai, hingga gratis lensa.

Harga baru Fujifilm X-T20 ini berkisar Rp10 juta dengan lensa kit. Sedangkan, untuk second-nya berkisar Rp6-7 jutaan untuk body only. Selain X-T20, sebetulnya X-T100 dan X-A7 second juga cukup menarik. Namun, kedua yang saya sebutkan tadi levelnya lebih rendah dan belum menggunakan sensor X-Trans.

Sementara, Fujifilm X-T20 ini bisa dibilang turunan langsung dari flagship X-T2. Ia sudah mengusung sensor X-Trans CMOS APS-C 24MP, mampu memotret cepat 8 fps, dan sanggup merekam video 4K 30 fps.

3. Canon EOS M50

Canon-EOS-M50

Fitur foto maupun video EOS M50 ini cukup berimbang dan harganya juga menarik. Kamera mirrorless kelas menengah ini mengusung sensor CMOS APS-C beresolusi 24MP dengan prosesor DIGIC 8 dan sistem Dual Pixel AF.

EOS M50 ini mampu mengambil burst pada 7,4 fps dengan continuous autofocus hingga 10 Raw atau 47 JPEG. Serta, merekam video 4K UHD 30 fps meski dengan crop dan tanpa Dual Pixel AF.

Harga barunya berkisar Rp9,5 juta untuk body only dan Rp11,5 juta dengan lensa kit. Sementara, untuk second-nya berkisar Rp6-7 jutaan. Menurut saya, EOS M50 sangat pantas disebut sebagai suksesor Canon EOS M3 yang sangat populer di masanya.

4. Panasonic Lumix GX85

Panasonic-Lumix-GX85

Beralih ke Panasonic, untuk fotografi mereka memiliki Lumix GX85 yang harganya kini sudah cukup terjangkau. Barunya Rp7,5 juta dengan lensa kit dan second-nya sekitar Rp5,5-6 jutaan.

Lumix GX85 ini merupakan kamera mirrorless dengan sensor CMOS Micro Four Thirds beresolusi 16MP dan prosesor Venus Engine yang sanggup menyuguhkan jepretan 8 fps. Fiturnya sangat lengkap, termasuk 5-axis in-body image stabilization, Dual IS, hingga perekam video 4K UHD 30 fps.

5. Olympus OM-D E-M10 Mark II / Olympus PEN E-PL8

Olympus-OM-D-E-M10-Mark-II

Kedua spesifikasinya cukup identik, namun dengan kemasan desain yang berbeda. Olympus OM-D E-M10 Mark II lebih seperti DSLR lengkap dengan EVF dan grip yang cukup besar. Sementara, Olympus PEN E-PL8 sangat ringkas layaknya kamera compact.

Mereka mengusung sensor CMOS Micro Four Thirds beresolusi 16MP, dilengkapi fitur 5-axis in-body image stabilization, dan perekam video 1080p 30fps. Harganya cukup bervariasi berkisar Rp5-6 jutaan tergantung kondisi dan kelengkapannya.

5 Kamera Mirrorless APS-C Terbaik Untuk Produksi Video

Saat ini, kemampuan perekam video di kamera mirrorless merupakan aspek penting ketika hendak meminang kamera baru. Terlebih bila tujuan Anda memang untuk memproduksi konten video.

Berikut ini adalah rekomendasi lima kamera mirrorless dengan sensor APS-C yang punya fitur-fitur video-centric. Menurut saya sangat cocok untuk para content creator dan juga videografer yang rutin mengambil stock footage.

Kenapa memilih sistem APS-C? Sebab menawarkan keseimbangan antara harga dan kualitas, harga body kamera dan lensa-lensanya lebih terjangkau dengan kualitas yang mencukupi.

Sebelum itu, saya ingin mention bahwa di sistem Micro Four Thirds ada Panasonic Lumix GH5 yang kemampuan perekam videonya tak diragukan lagi. Baiklah mari mulai, daftar di bawah ini berdasarkan harga yang paling terjangkau.

1. Canon EOS M6 Mark II – Rp12.740.000

Canon-EOS-M6-Mark-II

Kamera yang dirilis pada tahun 2019 ini mengusung sensor CMOS baru APS-C dengan resolusi tertinggi di kelasnya, yaitu 32.5MP. Kamera ini sanggup merekam video hingga UHD 4K (3840×2160 piksel) 30fps full tanpa crop, serta didukung sistem Dual Pixel autofocus dengan subject tracking dan face/eye detection.

Canon EOS M6 Mark II juga menawarkan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Fitur lainnya ialah terdapat mode HDR video yang sepenuhnya otomatis, LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah, dan punya kelengkapan port mikrofon.

Harus saya akui, Canon EOS M6 Mark II masih lebih condong ke arah fotografi. Kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading, tanpa port headphone untuk monitor audio, dan tidak memiliki fitur peringatan zebra. Namun setelah EOS M50, EOS M6 Mark II punya fitur video terbaik diantara kamera mirrorless APS-C dari Canon.

2. Sony A6400 – Rp13 Juta

Sony-A6400

Masuk ke poin kedua, kita sudah mendapatkan kamera mirrorless hybrid dengan kemampuan still dan video yang sama baiknya. Adalah Sony A6400 yang dirilis pada tahun 2019 dengan sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking.

Sony A6400 dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG.

Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan, punya port headphone, dan HDMI. Namun, tidak ada port headphone dan tidak mendukung perekakaman video 10 bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

3. Fujifilm X-T3 – Rp19,5 Juta

Fujifilm-X-T3

Kamera mirrorless flagship Fujifilm ini dirilis pada tahun 2018 dan merupakan kamera pertama Fuji yang menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4. Meski penerusnya sudah ada, kemampuan video kamera ini masih terbilang sangat mumpuni.

Fujifilm X-T3 memiliki kemampuan merekam video UHD/DCI 4K hingga 60fps dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, resolusi 1080p hingga 120fps dengan crop 1.29x.

Fitur video lainnya seperti dukungan F-Log, focus peaking, zebra, dan magnification untuk mendapatkan fokus dan exposure yang tepat. Serta, mode Movie Silent Control yang menyediakan kontrol ke layar sentuh. Perlu dicatat, layar X-T3 ini hanya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

4. Sony A6600

Sony-A6600

Sony A6600 adalah kamera mirrorless flagship APS-C Sony penerus A6500 yang dirilis tahun 2019. Fitur pembeda utama antara A6600 dengan A6400 atau seri di bawahnya ialah adanya 5-axis in-body image stablization, menggunakan jenis baterai baru NP-FZ1000 seperti yang terdapat pada Sony A7 III, punya port headphone untuk monitor audio, tetapi kehilangan flash internal.

IBIS pada Sony A6600 memungkinkan kita menggunakan shutter speed yang lebih rendah hingga 5 stop saat memotret dalam kondisi low light dan membantu mendapatkan pergerakan yang lebih smooth saat merekam video secara hand-held. Menurut CIPA, baterai NP-FZ1000 sendiri sanggup memberikan 810 jepretan sekali charge dan menjadikan A6600 punya ketahanan baterai terbaik di kelasnya.

Sisanya identik dengan A6400, sebut saja sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking. Dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG. Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan.

5. Fujifilm X-T4 – Rp26.999.000

Fujifilm-X-T4

Fujifilm X-T4 menggunakan sensor dan prosesor yang sama seperti X-T3 yang juga terdapat pada X-T30, X-Pro3, dan X100V. Adalah sensor gambar BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4.

Sebagai penerus X-T3, X-T4 membawa pembaruan dan peningkatan yang sangat signifikan. Sebut saja, 5-axis in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop.

Mekanisme layarnya kini sudah fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus yang tepat. Dilengkapi mode film simulation baru Eterna Bleach Bypass dan menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.

Capability videonya, Fujifilm X-T4 ini dapat merekam video UHD/DCI 4K 30fps tanpa crop dan 60fps dengan crop 1.18x dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, rekaman video slow motion 1080p pada 240fps.

[Battle] Aplikasi Kamera dari Sony, Canon, dan Fujifilm

Kamera mirrorless masa kini telah dilengkapi dengan konektivitas nirkabel seperti WiFi dan Bluetooth. Yang berguna untuk menghubungkan kamera dengan smartphone, baik mengirim hasil foto dan video secara instan, atau menggunakan fasilitas remote shooting.

Fitur tersebut bisa diakses melalui aplikasi yang disediakan oleh brand kamera masing-masing. Sony menyediakan aplikasi bernama Imaging Edge Mobile, Canon dengan Camera Connect, dan Fujifilm lewat Camera Remote.

Kebetulan saya sedang memegang Sony A6400, Canon EOS M200, dan Fujifilm X-A7. Jadi, saya bakal compare dan adu ketiga aplikasi kamera tersebut. Tiga aspek yang saya tekankan adalah kemudahan pairing, dukungan jenis file yang bisa dikirim, dan fasilitas remote shooting-nya.

Sony Imaging Edge Mobile

Sony-Imaging-Edge-Mobile

Untuk menghubungkan kamera untuk pertama kali dengan smartphone sangat mudah di aplikasi Imaging Edge Mobile, bisa lewat QR code, NFC, atau camera SSD/password.  Proses selanjutnya, tinggal pilih menu start di Imaging Edge Mobile.

Secara default foto yang ditransfer kamera beresolusi 2MP, tapi kita bisa mengubahnya menjadi original atau ukuran aslinya di pengaturan aplikasi. Sementara untuk file video, kita bisa memindahkan rekaman video 4K 24fps dengan bitrate 100Mbps dengan mudah ke smartphone. Tentu saja, sebaiknya hanya clip berdurasi singkat misalnya 10-30 detik.

Sekarang kita akan bahas antarmuka dan fitur remote shooting-nya. Buat saya tampilannya simpel dan mudah dimengerti. Pada mode foto manual, kita bisa menyesuaikan pengaturan seperti shutter speed, aperture, ISO, white balance, mode single/cont shooting, timer, dan opsi untuk zoom in dan zoom out meskipun sangat lambat.

Bila kita menggunakan ISO auto, maka akan muncul fitur exposure compensation. Lalu, di pengaturan remote shooting terdapat fitur mirror mode dan grip line yang terdiri dari rule of 3rds grid, square grid, dan diag.+ square grid. Sedangkan, pada mode video kita bisa mengatur file format dan record setting.

Kekurangan aplikasi Sony Imaging Edge Mobile adalah kita tidak bisa mengirim foto dalam format Raw. Saat memotret di mode Raw only, hanya preview dalam format jpeg 2MP yang dikirim.

Sementara, untuk remote shooting ini akan keluar bila kita membuka aplikasi lain atau multitasking. Lalu, tidak ada opsi untuk mengatur fokus secara manual atau touch focus.

Canon Camera Connect

Canon-Camera-Connect

Proses untuk menghubungkan kamera ke smartphone saat pertama kali di aplikasi Camera Connect sangat membingungkan. Yang saya tahu, saya harus pergi ke pengaturan network di kamera Canon EOS M200, lalu pilih menu WiFi/Bluetooth connection, terus pilih connect to smartphone, lalu add a device to, dan pilih Android atau iOS.

Kita bisa menghubungkan kamera dengan koneksi Bluetooth sekaligus WiFi atau salah satunya. Bila memilih WiFi, kita perlu pergi ke pengaturan WiFi di smartphone dan hubungkan secara manual ke kamera. Setelah itu buka aplikasi dan pilih kamera Canon EOS M200.

Setelah terhubung, fitur-fiturnya antara lain images on camera – kita bisa mengintip isi yang ada SD card. Lalu ada remote live shooting, dan auto transfer foto dengan opsi ukuran penuh.

Sayangnya, saat mengirim foto Raw yang akan diterima format jpg di smartphone. Lalu, untuk file video hanya mendukung sampai resolusi 1080p. Jadi, misalnya mengirim video 4K yang diterima di smartphone hanya 1080p.

Sekarang kita bahas fitur remote live shooting, Canon menyediakan mode foto dan video secara terpisah. Pada mode foto, kita dapat menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation bila menggunakan ISO auto, ISO, white balance, metode AF, dan drive mode.

Hal yang paling mengesankan pada aplikasi Camera Connect Canon ialah dukungan touch focus di mode foto maupun video, di mana kita bisa memilih fokus lewat smartphone.

Sementara, pada mode video kita bisa mengatur shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, white balance, metode AF, timer, video resolution, dan sound recording. Fitur lainnya yang tersedia pada kedua mode adalah lock screen orientation, live view ratation, mirror live view display, live view magnification, dan touch AF.

Menurut saya yang kurang dari aplikasi Canon Camera Connect adalah proses pairing ke smartphone agak membingungkan. Karena Canon EOS M200 tidak ada shortcut khusus, maka kita harus pergi ke pengaturan kamera tiap kali ingin menghubungkan kamera ke smartphone.

Fujifilm Camera Remote

Fujifilm-Camera-Remote

Setiap kali ingin menghubungkan Fujifilm X-A7 ke aplikasi Camera Remote, kita harus pergi ke menu shooting setting dan pilih Camera Remote. Fitur utama yang tersedia ialah single image transfer untuk mengirim satu foto yang dipilih lewat kamera, live view shooting, import image, dan remote release dengan koneksi Bluetooth.

Lewat fitur import image kita bisa mengirim beberapa foto sekaligus dan video 4K langsung ke smartphone. Namun, hanya foto dalam format jpg yang bisa dikirim.

Untuk fitur live view shooting, di sini kita bisa menyesuaikan shutter speed, aperture, exposure compensation, ISO, mode film simulation, white balance, flash, timer, dan mendukung touch AF di mode foto.

Menariknya ialah kita juga bisa dengan mudah beralih ke mode video. Sayang, saat live view shooting aktif kontrol kamera akan sepenuhnya beralih ke smartphone dan layar kamera akan gelap.

Hal yang menyebalkan di Camera Remote adalah setiap kali kita memilih salah satu fitur dan setelah selesai kamera akan disconnect dari smartphone. Artinya kita perlu lagi ke pengaturan kamera dan menghubungkan ulang. Solusi terbaiknya, kita harus menjadikan fungsi wireless communication menjadi shortcut di kamera kita.

Verdict

Sekarang mari kita tarik kesimpulan, aplikasi kamera yang menawarkan kemudahan pairing ialah Sony Imaging Edge. Sementara, kemampuan mengirim hasil foto dan video, Sony Imaging Edge dan Fujifilm Camera Remote bisa dibilang setara, keduanya sanggup mengirim rekaman video 4K langsung ke smartphone.

Sementara, untuk fitur remote shooting jawaranya adalah Canon Camera Connect karena mendukung touch focus di mode foto dan video yang tentu sangat berguna bagi para solo photografer/videografer. Satu hal yang sangat disayangkan dari ketiga aplikasi kamera ini adalah tidak ada dukungan untuk mentransfer foto Raw, padahal rekaman video 4K yang ukuran filenya lebih besar didukung.