Inilah Headset Windows Mixed Reality Besutan Acer dan HP

Windows 10 Fall Creators Update yang akan dirilis pada musim semi mendatang bakal menjadi ‘pembuka jalan’ bagi konsumen untuk mulai menikmati pengalaman mixed reality. Namun yang paling penting, HoloLens sekarang bukan satu-satunya headset yang mendukung mixed reality, Acer dan HP (plus sejumlah brand lainnya) juga sedang menyiapkan perangkat serupa tapi dengan harga yang masuk akal.

Keunggulan utama headset Windows Mixed Reality besutan Acer dan HP ini adalah sistem tracking luar-dalam yang terintegrasi, yang berarti sama sekali tidak dibutuhkan perangkat eksternal untuk mendeteksi pergerakan pengguna, seperti yang konsumen jumpai pada Oculus Rift maupun HTC Vive selama ini.

Kedua headset ini sama-sama dibekali sepasang LCD beresolusi 1440 x 1440 pixel, dengan refresh rate 90 Hz dan field of view seluas 95 derajat. Perangkat menyambung ke PC via kabel HDMI 2.0 untuk display-nya, sedangkan USB 3.0 untuk datanya.

Akan tetapi seperti yang saya bilang di awal, harga adalah faktor penting lain dari kedua headset ini. Microsoft telah membuka pre-order seharga $299 untuk headset Acer, dan $329 untuk headset HP. Keduanya jauh lebih murah ketimbang development kit HoloLens yang harganya mencapai $3.000.

Acer Windows Mixed Reality headset bakal dibundel bersama sepasang motion controller / Microsoft
Acer Windows Mixed Reality headset bakal dibundel bersama sepasang motion controller / Microsoft

Untuk sekarang Microsoft memang menarget pihak developer supaya mereka bisa segera mengembangkan konten mixed reality selama musim panas ini. Buat konsumen, kita masih harus menunggu paling tidak sampai musim liburan akhir tahun tiba.

Kabar baiknya, pada masa itu Acer bakal membundel headset Windows Mixed Reality-nya ini bersama dengan sepasang motion controller canggih. Wujudnya sepintas mirip seperti Oculus Touch maupun controller bawaan Vive, dimana terdapat panel membulat berisikan sederet LED yang bakal di-track oleh sistem bawaan headset itu tadi.

Total ada empat tombol yang tersebar pada controller ini: trigger di belakang, kemudian satu lagi di bagian belakang gagangnya, tombol menu, dan tombol Windows di sisi depan gagang. Di sebelah analog stick-nya tampak trackpad berwujud membulat untuk menavigasikan menu.

Masih penasaran bagaimana cara kerjanya? Tonton saja video di bawah ini.

Sumber: 1, 2, 3, 4.

Jakarta XR Meetup 6.0, Mengedukasi VR/AR untuk Sistem Edukasi

Kehadiran VR/AR di dunia digital di tahun 2016 menyajikan poros baru bagi sebagian aspek industri. Paska ledakan tersebut, ranah hiburan boleh jadi terlihat paling menonjol dalam hal penerapan VR/AR, meski di sisi lain, adopsi teknologi visualisasi ini dapat dinikmati untuk bidang lain seperti pemasaran, periklanan, hingga kemiliteran.

Lingkup pendidikan juga turut mencicipi teknologi VR/AR dalam pengembangannya, seperti dalam metode pengajaran yang dilakukan tenaga pendidik. Nah, untuk menyelaraskan dan mengkaji VR/AR bagi dunia edukasi, OmniVR kembali mengadakan meetup bernama Jakarta XR Meetup 6.0 yang bertajuk “VR/AR and Tech Education”, di Binus fX Campus, fX Sudirman lantai 6.

Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial
Nico Alyus, Co-founder OmniVR, dalam presentasinya / DailySocial

“Kenapa bukan VR tapi XR? Karena ‘X’ itu artinya extended. Jadi meetup ini enggak akan cuma membahas dunia virtual reality, tapi juga augmented reality dan mixed reality,” jelas Nico Alyus, Co-founder OmniVR yang secara sederhana menjelaskan perubahan nama dari Jakarta VR Meetup menjadi Jakarta XR Meetup.

Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial
Sidiq Permana bersama Project Tango-nya di panggung Binus fX / DailySocial

Dan seperti judulnya, Jakarta XR Meetup keenam ini secara menyeluruh bercerita mengenai pengembangan VR/AR yang dijahit dalam cakupan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari daftar empat pembicara malam itu yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda-beda namun masing-masing memiliki keahlian dan ketertarikan yang besar dalam dunia VR/AR.

Setelah dibuka oleh Nico, Head of Program of Games Application & Technology Binus University Michael Yoseph menjadi pembicara pertama malam itu. Sebagai seorang dosen, Yoseph tentunya menerangkan dari sudut pandang pendidikan, di mana ia berpendapat bahwa VR/AR secara nyata dapat menawarkan metode lain dalam mempelajari sesuatu. “Contohnya saat belajar sejarah atau ekosistem bawah laut. Kita tidak perlu ada di sana namun bisa merasakan pengalaman yang nyata untuk mempelajarinya,” ujarnya.

Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial
Sidiq bersama mereka yang antusias dengan Project Tanggo milik Google / DailySocial

Poin tersebut juga diamini oleh pembicara kedua Irving Hutagalung, Audience Evangelism Manager Microsoft Indonesia. Lulusan Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung ini beranggapan bahwa AR kini, misalnya, dapat membantu mempelajari organ tubuh dengan real-time interaction.

Membawa perspektif baru bagi VR/AR dalam dunia pendidikan, Dosen dari Telkom University Fat’hah Noor Prawita menjelaskan seputar virtual reality untuk disabilitas. “4,7% dari masyarakat Indonesia adalah penyandang tuna daksa,” ujar Fat’hah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, para penyandang tuna daksa dan jenis difabel lainnya seringkali lebih memilih untuk beraktivitas dan bermain di dalam rumah.

Untuk itu, Fat’hah dan mahasiswanya kerap kali berkesempatan membuat proyek akhir studi dan bekerja sama dengan beberapa komunitas difabel dan Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk membuat produk VR/AR yang membantu kaum difabel untuk merasakan pengalaman akan banyak hal. “Seperti misalnya, kami membuat proyek virtual reality mengenai flying fox untuk mereka yang tuna daksa,” terangnya.

Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial
Merasakan pengalaman virtual reality bersama HTC VIve / DailySocial

Pembicara keempat ialah Sidiq Permana, seorang Google Developer Expert for Android yang malam itu menjelaskan Project Tango dari Google. Menurut Sidiq, saat mengembangkan produk AR, salah satu tantangan yang seringkali dihadapi ialah ketika pengguna melihat suatu objek, kemudian ia mengubah sudut pandangnya, objeknya seringkali hilang atau berpindah (drifting). “Nah, kemampuan ini yang dimiliki Google Tango; kemampuan mengingat dan merekam,” tutur Sidiq.

Sesi terakhir di acara bulanan keenam Jakarta XR Meetup ini merupakan sesi yang biasanya ditunggu-tunggu oleh para peserta meetup ini, yakni mencoba virtual reality device. Malam itu, tiga device tersedia untuk dicoba secara bebas oleh pengunjung Jakarta XR Meetup, antara lain Google Daydream, HTC Vive, dan Lenovo Phab 2 Pro Google Tango.

Disclosure: DailySocial adalah media partner dari event Jakarta XR Meetup 6.0.

ZapBox Ialah Mixed Reality Headset Seharga $30 Saja

Lewat HoloLens, Microsoft mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda kepada dunia yang tengah dilanda demam virtual reality dan augmented reality. Bersamanya, kita diperkenalkan dengan konsep mixed reality, dimana pada dasarnya batas antara dunia nyata dan virtual jadi memudar.

Masalahnya, HoloLens sampai sekarang masih belum siap dijual secara massal. Harganya kemungkinan besar juga jauh dari kata terjangkau, mengingat versi developer-nya saja dijajakan seharga $3.000.

Selagi kita menunggu mixed reality dan HoloLens terealisasi, sebuah perusahaan bernama Zappar ingin kita bisa mencobanya lebih dulu tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Mereka memperkenalkan ZapBox, sebuah mixed reality headset berbasis perangkat mobile.

Meski fungsinya berbeda, ZapBox banyak terinspirasi oleh Google Cardboard / Zappar
Meski fungsinya berbeda, ZapBox banyak terinspirasi oleh Google Cardboard / Zappar

ZapBox banyak terinspirasi oleh Google Cardboard, dimana headset hanya bisa bekerja ketika Anda menyelipkan smartphone ke dalamnya. Memanfaatkan kamera ponsel, Anda masih bisa melihat semua objek yang ada di sekitar Anda, tapi di saat yang sama aplikasi pendamping ZapBox juga akan menampilkan objek-objek virtual di atasnya.

ZapBox bekerja dengan cara mendeteksi pointcode yang Anda tempatkan di atas lantai, meja atau Anda tempel di tembok. Metode semacam ini memungkinkan ZapBox untuk mengenali posisi Anda di dalam ruangan, sehingga pada akhirnya Anda bisa berinteraksi dengan objek-objek virtual tadi menggunakan sepasang controller – yang juga mengemas gambar serupa dengan di pointcode agar bisa dideteksi oleh ZapBox.

Bermain Xylophone menggunakan ZapBox, meski pada kenyataannya meja tersebut kosong / Zappar
Bermain Xylophone menggunakan ZapBox, meski pada kenyataannya meja tersebut kosong / Zappar

Sejauh ini Zappar sudah menyediakan sejumlah konten untuk ZapBox. Di antaranya adalah ZapBrush untuk melukis secara tiga dimensi dalam ruangan, mini-golf maupun xylophone virtual untuk memamerkan bakat bermusik Anda. Ke depannya dipastikan akan ada lebih banyak konten, mengingat Zappar telah membuka aksesnya ke developer.

Namun yang paling menarik, semua ini bisa dinikmati konsumen dengan modal sebesar $30 saja. Kalau tertarik, silakan menjadi backer pada laman Kickstarter-nya.