Microsoft Perkenalkan Platform Mixed Reality Berbasis Cloud, Microsoft Mesh

Bukan rahasia apabila Microsoft begitu antusias terhadap teknologi mixed reality. Anggapan tersebut mereka buktikan lagi baru-baru ini. Di event Microsoft Ignite semalam, mereka memperkenalkan sebuah platform mixed reality baru yang sangat menarik bernama Microsoft Mesh.

Dari kacamata sederhana, Mesh merupakan sebuah platform kolaboratif yang memungkinkan lebih dari satu orang untuk menikmati pengalaman virtual yang sama, entah ketika orang-orangnya berada di dalam satu ruangan, atau tinggal di berbeda negara sekalipun. Menurut Microsoft, ini sebenarnya sudah menjadi gagasan awal mereka semenjak menyeriusi ranah mixed reality.

Untuk mencontohkan kapabilitas Mesh, Microsoft memakai istilah holoportation, yang memungkinkan orang untuk tampil sebagai hologram di sebuah virtual space. Jadi ketika Anda memakai headset HoloLens 2, Anda akan melihat saya muncul di sebelah Anda sebagai hologram, demikian pula sebaliknya, meski pada kenyataannya kita tinggal di beda negara, misalnya.

Untuk sekarang, holoportation masih belum sepenuhnya tersedia buat konsumsi publik. Sebagai gantinya, versi awal Microsoft Mesh akan menggunakan virtual avatar dari platform AltspaceVR yang Microsoft akuisisi di tahun 2017.

Namun premis utama Mesh tidak berubah. Meski Anda cuma melihat saya hadir sebagai avatar, kita berdua masih bisa berinteraksi dengan objek-objek virtual (hologram) yang sama, seakan-akan kita benar-benar bersebelahan. Anggap saja ini sebagai versi yang jauh lebih advanced dari fitur share screen di banyak aplikasi video conference.

Mesh dibangun di atas arsitektur cloud Microsoft Azure. Artinya, konten hologram yang kita lihat sebenarnya bukan berasal dari perangkat yang kita gunakan, melainkan di-stream dari cloud. Karena berbasis cloud, Mesh pun dirancang agar dapat diakses dari banyak perangkat sekaligus, mulai dari VR headset sampai smartphone. meski memang yang bakal terasa paling immersive adalah ketika menggunakan mixed reality headset seperti HoloLens 2 tadi.

Kalau Anda mengira Mesh hanya cocok untuk konteks bekerja, Anda salah besar. Di acara pengumumannya, Microsoft juga sempat mengundang orang-orang dari Niantic Labs untuk mendemonstrasikan pengalaman bermain Pokemon GO menggunakan HoloLens 2 dan platform Mesh. Demonstrasinya memang tidak lebih dari sebatas proof-of-concept, tapi tetap bisa menunjukkan potensi pengaplikasian Mesh yang begitu luas.

Sumber: The Verge dan Microsoft.

Bagaimana Microsoft Membantu Penderita Gangguan Penglihatan Lewat Project Tokyo

Berdasarkan data WHO di bulan Oktober 2019, ada sekitar 2,2 miliar orang di dunia yang mengidap gangguan penglihatan, termasuk kebutaan. Bagi separuh dari angka tersebut (kurang lebih satu miliar jiwa), masalah penglihatan sebetulnya masih bisa diobati, sayangnya mereka belum mendapatkan penanganan yang tepat. Kabar baiknya, sejumlah raksasa teknologi menaruh perhatian besar pada kondisi ini, salah satunya ialah Microsoft.

Empat tahun silam, Microsoft memulai sebuah inisiatif bertajuk Project Tokyo. Dilakukan bersama tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok dan Jepang, perusahaan asal Redmond itu bermaksud untuk mengkaji serta menemukan jalan keluar terbaik demi membantu kaum difabel berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Dan di bulan Januari ini, Microsoft akhirnya menyingkap buah dari proyek ambisius tersebut. Solusinya hadir lewat kombinasi hardware dan AI.

Project Tokyo 2

Basis dari Project Tokyo adalah headset mixed reality HoloLens. Microsoft dan para peneliti memodifikasi perangkat tersebut, melepas bagian lensa, menyambungkannya ke PC dengan unit proses grafis, kemudian pakar machine learning menanamkan algoritma istimewa di sana. Selanjutnya, tim Project Tokyo mengundang orang-orang yang menyandang masalah penglihatan dan kaum tunanetra buat mencobanya serta memberikan masukan.

Microsoft HoloLens versi Project Tokyo memiliki LED strip di bagian atas rangkaian kamera, berfungsi untuk melacak individu yang berada paling dekat dengan pengguna. LED akan menyala hijau ketika berhasil mengidentifikasi orang tersebut, sebagai tanda bahwa ia telah dikenali. Project Tokyo juga ditunjang sistem computer vision yang mampu membaca gerak-gerik orang-orang di sekitar, sehingga pengguna (secara kasar) bisa tahu di mana mereka berada dan seberapa jauh posisinya.

Project Tokyo 1

Seluruh informasi tersebut disampaikan ke user lewat suara. Misalnya, ketika HoloLens Project Tokyo mendeteksi seseorang di sebelah kiri dengan jarak satu meter, headset akan mengeluarkan bunyi klik yang seolah-olah muncul dari area kiri. Jika ia mengenal wajah orang itu, headset segera menghasilkan efek suara seperti benturan. Lalu seandainya individu itu terdaftar di sistem (seperti anggota keluarga atau sahabat), HoloLens akan menyebut namanya.

Tim juga tengah bereksperimen dengan sejumlah fitur notifikasi lain via bunyi-bunyian, contohnya saat seseorang melihat/menatap pengguna HoloLens Project Tokyo. Alasan mengapa fungsi ini cukup krusial ialah, mayoritas orang (yang tidak punya masalah penglihatan) biasanya akan melakukan kontak mata terlebih dahulu sebelum memulai percakapan. Selain itu, Project Tokyo memperkenankan pihak non-user memilih agar identitasnya tidak masuk ke dalam sistem.

Project Tokyo 3

Selain diracang untuk memudahkan interaksi bagi mereka yang memiliki gangguan penglihatan, Microsoft dan tim ilmuwan juga berharap Project Tokyo dapat membantu anak-anak dengan problem serupa mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasinya. Sebanyak dua pertiga anak yang tak bisa melihat normal atau menderita kebutaan umumnya terlihat malu dan menahan diri saat berdialog.

Via VentureBeat.

Microsoft HoloLens 2 Resmi Diluncurkan, Unggulkan Penyempurnaan di Sektor Kenyamanan dan Immersion

Rumor mengenai Microsoft HoloLens 2 yang sempat berseliweran bulan lalu sama sekali tidak meleset. Di hadapan para pengunjung Mobile World Congress 2019, Microsoft resmi menyingkap generasi kedua dari mixed reality headset andalannya tersebut.

Sepintas wujud HoloLens 2 kelihatan mirip seperti pendahulunya, akan tetapi Microsoft sebenarnya sudah menerapkan sejumlah penyempurnaan di sektor desain. Secara keseluruhan, dimensi perangkat kini lebih kecil, dan bobotnya pun lebih ringan berkat penggunaan material serat karbon yang menyeluruh.

Juga berbeda adalah mayoritas komponen elektronik yang kini diposisikan di bagian belakang, sehingga perangkat tidak terasa berat sebelah saat digunakan. Bagian belakangnya ini dilengkapi sebuah kenop yang dapat diputar untuk mengencangkan atau merenggangkan strap yang mengikat kepala pengguna.

Masih seputar fisiknya, bagian depannya kini bisa dilipat ke atas saat sedang tidak digunakan, tidak perlu melepas perangkat sepenuhnya. Pengguna berkacamata pun kini juga bisa mengenakan HoloLens 2 dengan nyaman. Namun tentu saja ergonomi baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab Microsoft juga telah menyempurnakan HoloLens 2 dari segi performa.

Microsoft HoloLens 2

Pada HoloLens orisinal, keluhan terbanyak yang disampaikan para reviewer adalah field of view yang begitu kecil (hanya sekitar 30 derajat secara horizontal). Dampaknya, hologram sering sirna dari pandangan meski pengguna hanya menoleh sedikit.

Problem tersebut sudah dibenahi. Field of view HoloLens 2 kini diklaim lebih dari dua kali lebih luas ketimbang pendahulunya, dan itu tanpa berkompromi soal resolusi – masih setara dengan resolusi 2K per mata. Bicara soal mata, Microsoft rupanya juga sudah menyematkan sistem eye tracking pada HoloLens 2, sehingga interaksi bisa berjalan secara lebih alami.

Kelebihan dalam hal interaksi ini turut didukung oleh pengenalan gesture yang lebih komplet. Pada HoloLens 2, memanipulasi objek hologram menggunakan tangan jauh lebih menyerupai di dunia nyata, dan itu menumbuhkan kesan bahwa versi pertamanya sangatlah terbatas dalam hal pengenalan gesture.

Microsoft HoloLens 2

Tidak seperti sebelumnya, Microsoft sudah mantap dengan posisi HoloLens 2 sebagai produk enterprise, sebab potensinya memang akan jauh lebih terasa di tangan para profesional ketimbang konsumen secara umum. Itulah mengapa Microsoft tak segan mematok harga $3.500 untuk HoloLens 2, lebih mahal $500 ketimbang pendahulunya.

Ini ternyata berlawanan dengan yang dirumorkan selama ini, di mana Microsoft disebut bakal menyiapkan solusi supaya harga jual HoloLens 2 tidak melambung. Terlepas dari itu, $3.500 untuk ukuran produk enterprise masih tergolong wajar. Untuk pengguna kasual, mungkin Magic Leap One bisa menjadi pilihan yang lebih bijak.

Sumber: VentureBeat dan Microsoft.

Microsoft HoloLens 2 Kabarnya Bakal Diumumkan pada Event MWC 2019

Kalau ditanya apa kekurangan terbesar Microsoft HoloLens di samping viewing angle yang sempit, saya yakin banyak yang bakal menjawab harganya kelewat mahal. Dengan banderol paling murah $3.000, HoloLens jelas bukan produk untuk kalangan mainstream, dan Microsoft sendiri menyadari bahwa itu harus diwujudkan secara bertahap.

HoloLens tidak lain dari produk generasi pertama, jadi wajar kalau ia memiliki banyak kekurangan. Microsoft tentu sudah belajar banyak, dan untuk HoloLens 2, mereka kabarnya sudah menyiapkan solusi agar harga jualnya tidak melambung seperti pendahulunya, yakni dengan menggunakan chipset Qualcomm Snapdragon 850.

Andai benar, ini berarti HoloLens 2 punya performa yang setara dengan laptop yang berprinsip always-on. Namun tentu chipset saja baru secuil dari cerita utuhnya, dan sejauh ini hampir semua kabar yang beredar baru sebatas spekulasi.

Yang lebih menarik justru adalah rumor mengenai kapan Microsoft bakal menyingkap HoloLens 2. Laporan terbaru menunjuk tanggal 24 Februari, tepatnya pada event Mobile World Congress 2019 di kota Barcelona.

Keyakinan publik didasari oleh nama salah satu pembicara yang akan mengisi acara tersebut: Alex Kipman, sosok yang dikenal akan pengalamannya mengerjakan HoloLens generasi pertama. Sesi beliau sudah pasti akan mengangkat topik HoloLens, meski tidak ada yang berani memastikan apakah Microsoft bakal mengumumkan HoloLens 2 secara resmi ketika itu, atau sekadar memberikan teaser saja.

Sumber: VentureBeat dan Neowin.

Rumah Sakit di Inggris Bakal Gunakan HoloLens di Ruang Operasi

Sejak awal diperkenalkan, Microsoft HoloLens sudah dinilai sangat berpotensi untuk digunakan di ranah medis. Memang baru sebatas teori, namun itu tidak mencegah salah satu rumah sakit anak terbesar di Inggris, Alder Hey Children’s Hospital, untuk membuktikannya.

Baru-baru ini, Microsoft dengan bangga mengumumkan bahwa Alder Hey berencana untuk memanfaatkan mixed reality headset besutannya di ruang operasi. Para dokter bedah di rumah sakit tersebut berharap HoloLens dapat membantu memudahkan pekerjaan mereka, terutama selama operasi sedang berlangsung.

Menurut salah satu ahli bedah jantung di Alder Hey, Rafael Guerrero, HoloLens memungkinkannya untuk melihat hasil scan 3D organ pasien secara jelas. Tanpa HoloLens, dokter bedah perlu memvisualisasikannya sendiri, dan itu jelas bukan pekerjaan yang mudah dilakukan sembari berkonsentrasi di meja operasi.

Microsoft HoloLens for surgery in Alder Hey Children's Hospital

Sebelum sesi operasi jantung dimulai, tim di Alder Hey biasanya lebih dulu meninjau kembali hasil CT scan, ultrasound maupun angiogram pasien untuk menentukan prosedur yang tepat, dan ini krusial demi keberhasilan sesi operasi. Dengan HoloLens, informasi-informasi ini sejatinya bisa dipantau secara real-time selagi kedua tangan sang dokter disibukkan oleh bermacam peralatan.

Real-time” adalah kata kuncinya. Kalau informasi-informasi yang dibutuhkan dokter bedah dapat dipantau secara langsung, bahkan tanpa harus menengok ke arah lain sedikit pun, tingkat kesuksesan operasi jelas akan meningkat.

Untuk mewujudkannya, Alder Hey akan dibantu oleh tim developer dari Black Marble, yang dipercaya untuk mengembangkan aplikasi HoloLens yang diperlukan, serta mematangkan proses integrasinya ke sistem di rumah sakit secara aman.

Selain HoloLens, produk lain Microsoft yang juga akan dipakai Alder Hey adalah Surface Hub, yang sederhananya bisa memuluskan kolaborasi tim selama tahap pra-operasi itu tadi. Kalau sebelumnya berbagai hasil scan bisa tersebar di beberapa tempat, dengan Surface Hub semuanya bisa dijadikan satu di layar besar perangkat tersebut.

Sumber: VRFocus dan Microsoft.

Pasangkan Kamera Kecil Ini, Oculus Rift Seketika Menjelma Jadi HoloLens

Meski sama-sama dipasangkan di kepala, VR dan AR headset adalah dua produk yang benar-benar berbeda. Kendati demikian, hal ini bukan berarti pemilik Oculus Rift atau HTC Vive sama sekali tidak bisa mengandalkan headset miliknya itu untuk menikmati konten AR. Dengan bantuan aksesori yang tepat, kedua headset itu sejatinya dapat disulap jadi seperti Microsoft HoloLens.

Aksesori yang saya maksud adalah Zed Mini, yang pada dasarnya merupakan sebuah modul kamera 3D berukuran kecil, yang dilengkapi sebuah mount khusus agar dapat dipasangkan ke Rift atau Vive. Sesudah terpasang, seketika itu juga Rift atau Vive beralih fungsi menjadi AR headset.

Zed Mini

Zed Mini mengemas sepasang kamera yang diposisikan dengan jarak 65 mm, menyesuaikan dengan rata-rata jarak kedua mata manusia. Semua yang ditangkap akan langsung diteruskan ke headset, termasuk informasi kedalaman (depth) dari sebuah area hingga sejauh 15 meter secara real-time.

Data itu dipakai untuk menciptakan peta geometris dari sebuah area, yang kemudian akan diolah oleh komponen IMU (inertial measurement unit) guna menyajikan tracking 6-degrees of freedom. Dibandingkan HoloLens, kombinasi Zed Mini dan VR headset ini menawarkan field of view yang lebih luas.

Zed Mini

Pengembangnya, Stereolabs, sengaja mendesain Zed Mini agar kompatibel dengan Rift dan Vive supaya bisa merangkul lebih banyak developer untuk mengembangkan konten AR. Ketimbang harus membeli HoloLens seharga $3.000, mereka hanya perlu menyediakan dana seribuan dolar untuk kombinasi Zed Mini dan VR headset ini.

Pre-order Zed Mini saat ini sudah dibuka, dengan banderol $449 dan estimasi pengiriman mulai bulan November. Simak video demonstrasinya di bawah untuk mendapat gambaran terkait potensi dari Zed Mini.

Sumber: Road to VR.

Ford Gunakan HoloLens untuk Mempercepat Proses Desain Mobilnya

Meski teknologinya belum benar-benar matang, mixed reality headset macam Microsoft HoloLens menyimpan banyak potensi, terutama di tangan para kreator. Hal ini telah dibuktikan oleh Ford, yang ternyata sudah memanfaatkan HoloLens selama setahun terakhir dalam upaya mempercepat proses desain mobil-mobilnya.

Merancang mobil pastinya membutuhkan banyak tahap. Umumnya berawal dari sketsa 2D, kemudian dikembangkan menjadi model 3D, dan pada akhirnya dibuatlah mockup fisik dari tanah liat dengan skala sebenarnya. Selain membutuhkan biaya cukup besar, metode tradisional seperti ini sangatlah memakan waktu.

Efisiensi waktu sangatlah penting, apalagi kalau tim desainer hanya ditugaskan untuk merancang iterasi baru yang misalnya, memiliki bentuk grille yang berbeda. Ketimbang harus membuat mockup fisik berkali-kali untuk setiap iterasi, mereka dapat membuat satu mockup fisik lalu mengerjakan iterasinya secara digital dengan bantuan HoloLens.

Tim desainer Ford dan HoloLens

Dengan HoloLens, tim desainer dapat memproyeksikan berbagai macam iterasi desainnya langsung di atas mockup fisik yang dibuat. Berbagai macam eksperimen dapat dilakukan secara lebih leluasa, dan ini hanya memakan waktu dalam hitungan jam ketimbang hari seperti ketika masih mengandalkan mockup fisik saja.

Di samping itu, HoloLens juga memungkinkan kolaborasi antara tim desainer dan engineering secara lebih efektif dan tanpa risiko kebocoran informasi. Evaluasi berbagai elemen desain dan dampaknya terhadap fungsionalitas dapat langsung dilakukan secara real-time antara kedua tim tanpa harus memakan waktu berhari-hari.

Kesuksesan HoloLens dan tim desainer Ford ini menginspirasi sang pabrikan mobil asal AS untuk memperluas penggunaan mixed reality headset itu di lebih banyak divisinya. Ke depannya, generasi baru HoloLens yang dibekali integrasi kecerdasan buatan pasti akan semakin memaksimalkan potensinya di bidang profesional.

Sumber: Microsoft.

Microsoft HoloLens 2 Bakal Dibekali Prosesor Khusus untuk Artificial Intelligence

Sampai detik ini, HoloLens memang belum merambah konsumen secara umum, namun Microsoft rupanya sudah menyiapkan ide-ide jitu untuk menyempurnakan headset mixed reality tersebut lewat versi keduanya nanti. Microsoft baru-baru ini buka omongan mengenai pembaruan yang bakal diusung HoloLens 2, salah satunya adalah artificial intelligence (AI) terintegrasi.

Integrasi ini dimungkinkan berkat kehadiran AI coprocessor yang bakal mendampingi prosesor utama HoloLens. Tugasnya adalah menganalisa data secara lokal, tanpa perlu melibatkan komunikasi dengan jaringan cloud seperti yang ada pada versi pertama HoloLens sekarang.

Lalu apa manfaat yang bisa dirasakan konsumen dari integrasi AI ini? Yang paling utama adalah kinerja perangkat yang lebih cepat, sebab semua data akan diolah langsung di perangkat. Manfaat lain adalah peningkatan mobilitas karena perangkat jadi tidak harus online terus-menerus, plus privasi pengguna yang lebih terjaga sebab tidak ada data yang meninggalkan perangkat.

Untuk bisa mewujudkannya, Microsoft sendiri yang akan merancang AI coprocessor ini. Mereka rela menginvestasikan dana dan waktunya karena mereka percaya bahwa ini merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan potensi augmented reality dan mixed reality.

Tentu saja integrasi AI baru satu dari sederet pembaruan yang sudah disiapkan untuk HoloLens 2. Hal lain yang perlu dibenahi pastinya melibatkan display, dimana untuk sekarang banyak pihak yang menganggap ini sebagai kelemahan utama HoloLens, sebab sudut pandang konten yang ditampilkan tergolong sempit.

Sumber: TechCrunch dan Microsoft.

Avegant Kembangkan Prototipe Perangkat Mirip HoloLens dengan Teknologi Light Field

Meskipun belum dirilis untuk publik, Microsoft HoloLens telah menuai banyak pujian karena berhasil melebur objek-objek virtual dengan dunia nyata. Tidak hanya itu, kita pun dapat berinteraksi dengan objek-objek tersebut, seperti yang didemonstrasikan oleh Microsoft pada pertengahan tahun 2015 lalu.

Terlepas dari kecanggihannya, HoloLens masih menuai sejumlah kritik. Utamanya adalah field of view yang sempit serta hilangnya objek virtual saat pengguna berada terlalu dekat dengannya. Ini jelas bertolak belakang dengan cara kerja indera penglihatan kita.

Apakah versi final HoloLens nantinya masih mengalami kendala seperti ini? Tidak ada yang tahu, akan tetapi sekarang setidaknya sudah ada perusahaan lain yang mencoba mencarikan solusinya. Perusahaan itu adalah Avegant, yang sebelum ini sudah meluncurkan sebuah HMD (head-mounted display) unik bernama Glyph.

Setelah cukup sukses dengan Glyph, Avegant kini memutuskan untuk mengembangkan mixed reality headset-nya sendiri. Fungsi perangkat ini sejatinya sangat mirip seperti HoloLens, akan tetapi berdasarkan demonstrasi prototipenya, racikan Avegant ini lebih superior dalam hal visual.

Visual yang dimaksud bukan desain perangkat, melainkan konten yang disajikannya. Merujuk pada problem HoloLens tadi dimana objek akan sirna ketika pengguna berada terlalu dekat, masalah itu tidak berlaku pada prototipe Avegant. Rahasianya terletak pada penerapan teknologi light field.

Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant
Berkat teknologi light field, objek virtual tetap bisa dilihat sedekat atau sejauh apapun dari posisi pengguna headset / Avegant

Light field sederhananya mampu menyimulasikan mekanisme fokus indera penglihatan manusia secara realistis. Jadi ketika headset menampilkan konten berupa sistem tata surya, planet yang ada di kejauhan akan tampak kabur ketika kita menatap planet yang berada di dekat kita, demikian pula sebaliknya.

Menurut pendapat The Verge, grafik yang disuguhkan juga lebih tajam sekaligus realistis ketimbang HoloLens. Prototipe Avegant bahkan tidak menjumpai masalah ketika harus me-render sebuah objek di atas telapak tangan, dan penggunanya tetap bisa melihatnya secara jelas.

Kekurangannya? Prototipe Avegant Light Field ini harus disambungkan ke PC via kabel, tidak seperti HoloLens yang benar-benar wireless. Lebih lanjut, prototipe Avegant juga masih mengandalkan tracker eksternal seperti yang dilakukan HTC dengan Vive. Ke depannya, Avegant berharap produk finalnya bisa menyuguhkan sistem tracking terintegrasi seperti HoloLens.

Pengguna pun juga tidak dapat berinteraksi dengan objek virtual yang ditampilkan. Ini semua merupakan tantangan-tantangan terbesar yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh Avegant. Mereka berharap bisa menyajikan produk final paling tidak dalam 12 atau 18 bulan ke depan.

Sumber: The Verge dan ZDNet.

Microsoft Patenkan Teknologi ala Holodeck di Star Trek

Dengan begitu banyak jumlah penggemarnya, Star Wars memang merupakan franchise fiksi ilmiah terbesar, tapi Star Trek-lah yang boleh dibilang sebagai sci-fi sejati. Alasannya sederhana: beberapa gadget di film itu terealisasi jadi perangkat yang biasa kita gunakan, contohnya seperti komputer tablet, penerjemah digital, communicator wearable, hingga virtual reality.

Salah satu teknologi fiksi ilmiah Star Trek yang paling terkenal ialah Holodeck, sebuah ruangan dengan fungsi mensimulasikan kondisi di tempat lain melalui teknik ‘manipulasi materi’. Penjelmaan paling dekat teknologi ini di dunia nyata adalah perangkat virtual serta augmented reality, meski implementasinya masih belum secanggih Holodeck. Begitu esensialnya ide ini, bahkan Microsoft menggunakan nama hampir sama untuk device mixed reality-nya.

Meneruskan pengembangan HoloLens, Microsoft belakangan ini diketahui telah mengajukan paten untuk menggarap solusi mirip Holodeck. Pengajuannya sendiri sebetulnya dilakukan pada bulan Juni silam dan baru dipublikasi tanggal 22 Desember kemarin. Langkah ini merupakan upaya Microsoft menanggulangi satu kekurangan pada HoloLens, yaitu keterbatasan pada field of view. Desain optik yang ada saat ini menyekat FOV di 40 derajat, padahal penglihatan manusia hampir mendekati 180 derajat.

Metodenya memang tidak mengatasi kendala itu secara langsung di unit headset, melainkan dengan memproyeksikan gambar-gambar ke objek di sekeliling pengguna buat memperluas jangkauan pandangan head-mounted display. Ruangan mirip Holodeck tersebut dilengkapi rangkaian sensor dan proyektor, beberapa di antaranya mengusung teknologi 3D. Mereka bekerja serempak dan terus-menerus untuk mendongkrak FOV.

Penerapannya memang cukup kompleks. Di beberapa skenario, konten tambahan di-render dari perspektif berbeda, kadang proyeksi akan saling menyempurnakan, dan bisa mengubah penampilan objek sesungguhnya. Lalu posisi dan gerakan headset dilacak oleh sensor di sana. Microsoft percaya, pendekatan augmented reality ini juga akan menciptakan pengalaman penggunaan baru, baik untuk gaming sampai fungsi instruktif ataupun demonstrasi.

Tak sekedar paten, upaya pengerjaan teknologi ini telah dilakukan oleh Microsoft Research. Agar mudah dimengerti, tim mendemonstrasikan cara kerjanya dalam sebuah video:

Layaknya pengajuan paten lain, tidak ada jaminan Microsoft akan betul-betul memanfaatkan solusi tersebut. Menariknya, ini bukanlah satu-satunya upaya sang produsen menggarap versi asli ruangan hologram di Star Trek itu. Di bulan Oktober kemarin, Microsoft sempat bilang mereka berhasil menciptakan Holodeck yang dapat mereproduksi objek tanpa memerlukan kacamata/headset, berlokasi di kantor pusatnya.

Sumber: MS Power User. Gambar header: Memory Alpha wikia.