Inavoice Hadirkan Layanan Marketplace Audio Digital, Jembatani Kreator dengan Pengguna

Bertujuan untuk menciptakan platform yang memudahkan kreator konten mencari atau membeli background musik berlisensi khusus, marketplace Inavoice didirikan. Meluncur 4 bulan yang lalu di Yogyakarta, platform yang didirikan oleh Fajar Risna Rosedra, Indar Adhi Kusuma, Jatmiko Kresnatama, dan Henry Yunan Lennon melihat masifnya pertumbuhan industri voice over di Indonesia dan belum adanya standarisasi di industri tersebut.

Inavoice Audio Marketplace didirikan atas dasar rasa prihatin terhadap tingginya tingkat kesulitan konten kreator audio visual ketika mencari atau membeli background musik berlisensi khusus. Karena kesulitan yang cukup tinggi inilah, banyak konten kreator yang kemudian mencari free copyright music, yang mungkin tidak sesuai dengan musik yang diinginkan.

“Luasnya diferensiasi kualitas hasil voice over yang diproduksi menjadi celah bagi calon pengguna jasa. Untuk itu kami hadir, menawarkan pengalaman kami dalam industri produksi audio dan jaminan hasil kualitas terbaik dengan konsistensi yang tetap terjaga,” kata Co-founder Inavoice Jatmiko Kresnatama.

Selain mengembangkan jasa produksi voice over melalui Digital Voice Over Agency, Inavoice juga mengembangkan Inavoice Audio Marketplace, sebuah pasar background musik, setiap kontributor musik terpilih dapat menjual musiknya melalui platform.

“Kami memiliki dua jenis bisnis dalam satu perusahaan, yaitu Digital Voice Over Agency dan Audio Marketplace. Kami juga membuat model bisnis yang berbeda, yaitu B2B untuk Digital Voice Over Agency dan B2C untuk Audio Marketplace. B2B dengan harapan bahwa klien akan menggunakan jasa kami dan B2C dengan harapan bahwa setiap pelanggan memiliki akses mudah untuk membeli lagu berlisensi untuk setiap konten digital yang mereka produksi,” kata Jatmiko.

Hingga saat ini Inavoice mengklaim kami telah memiliki sekitar 200 Voice Over talent dari 30 negara berbeda di dunia, 6 kontributor musik yang tersebar dari 4 negara, dan juga telah memiliki 20 klien yang telah menggunakan jasa pembuatan voice over ataupun produksi musik.

Cara kerja Inavoice

Dengan mengupayakan optimisasi Google Index (baik on page maupun off page), cara tersebut yang kemudian diterapkan oleh Inavoice untuk untuk menarik calon klien dan pelanggan. Tentunya optimasi tersebut diimbangi dengan konten pemsaran melalui kanal distribusi yang dimiliki, baik melalui Blog, Instagram, LinkedIn, Facebook, dan YouTube. Bagi klien dan pelanggan yang ingin menggunakan jasa Inavoice, bisa langsung mengakses situs.

Voice over talent dan musik kontributor yang bergabung bersama kami semuanya adalah freelancer, tidak ada kontrak terikat untuk terus berada dalam agency kami. Dengan cara seperti ini, kami menawarkan win-win solution bagi mereka karena mereka dapat dengan bebas mendistribusikan karya-karya mereka pada agency dan marketplace lain yang ada di seluruh dunia,” kata Jatmiko.

Diluncurkan saat pandemi ternyata tidak mempengaruhi pertumbuhan bisnis Inavoice. Perubahan behaviour dari target pasar, mengubah gaya produksi voice over dari client visit session menjadi remote recording system. Hal ini menurut mereka tentunya sangat mempengaruhi bagaimana ke depannya perusahaan melangkah dan menentukan business plan.

“Namun kami juga sadar betul bahwa pandemi merupakan starting poin baru bagi setiap orang, sehingga bagi bisnis yang terus konsisten dan bertahan melewati kondisi new normal, bisa menjadi leader baru dalam persaingan pasar, untuk ini, khususnya industri voice over dan audio marketplace,” kata Jatmiko.

Memasuki tahun 2021 ada beberapa target yang ingin dicapai oleh Inavoice. Di antaranya adalah memaksimalkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki di bidang audio untuk menjadi ‘win-win solution’, baik bagi talenta dan music contributor dan juga klien yang nantinya akan menggunakan jasa Inavoice. Disinggung apakah ada rencana penggalangan dana dalam waktu dekat, perusahaan menegaskan tidak memiliki rencana tersebut. Selama ini bisnis berjalan memanfaatkan modal sendiri, tanpa melibatkan investor.

“Kami sama sekali tidak berupaya untuk mencari pendanaan, penggalangan dana, atau apa pun. Yang sedang kami upayakan adalah memaksimalkan distribution channel kami agar bisa menambah jumlah traffic dan memaksimalkan kemungkinan converting melalui hal tersebut. Mengingat bahwa kami merupakan startup digital voice over agency dan audio marketplace pertama di Indonesia berbasis self funding, dengan kondisi pasar yang sedang kurang baik dikarenakan pandemi, proses bootstrapping jadi berjalan sedikit lambat,” kata Jatmiko.

Melalui Aplikasi Gempita, Bekraf Ingin Bangun Industri Musik yang Lebih Transparan

Meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap layanan streaming musik membuat Bekraf berkerja sama dengan Telkom menginisiasi sebuah aplikasi lokal bernama Gempita. Aplikasi yang nantinya akan mirip dengan layanan Spotify, JOOX dan Guvera ini didesain khusus untuk mempublikasikan karya-karya musik lokal. Tak hanya untuk menjual lagu, namun Gempita lebih difokuskan untuk memberikan informasi yang lebih transparan kepada para musisi seputar persebaran musik mereka ke konsumen.

Transparansi ini dinilai penting, karena harapannya dapat membuat proses industri menjadi lebih adil. Tak hanya bagi penyanyi, melalui cara ini diharapkan juga dapat melindungi hak penulis lagu, termasuk artis pendukung. Kepada DailySocial, Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari mengungkapkan misi besar dari layanan Gempita:

“Pada dasarnya misi Bekraf bersama Gempita ini bukan untuk menciptakan platform. Streaming adalah contoh platform. Tapi yang ingin dikembangkan di sini adalah sebuah sistem yang merujuk pada transparansi, tentu keuntungannya tidak hanya dari sisi konsumen, melainkan lebih banyak di pelaku industrinya sendiri, dalam hal ini berbagai komponen musisi,” ujar Hari.

Sistem yang dimaksud tersebut adalah untuk memudahkan para pelaku industri (yang di dalamnya termasuk musisi, produser, label musik dan sebagainya) untuk mendapatkan statistik data secara lebih mendetil dan transparan, seputar demografi pangsa pasar mereka. Untuk mematangkan konsep ini, dengan memegang teguh pada unsur HAKI, terdapat sebuah pokja (program kerja) bersama Lembaga Manajemen Kolektif yang saat ini terus digodok mekanisme yang tepat untuk proses royalti, bagi hasil dan sebagainya.

Hari turut mengungkapkan, bahwa Gempita saat ini dari sisi teknologi sudah sangat siap. Namun rencananya baru akan diluncurkan sekitar kuartal keempat tahun 2016, mengingat masih banyak yang harus mematangkan berbagai unsur yang berkaitan dengan bisnis industri musik itu sendiri. Gempita melibatkan banyak pihak, harapannya bisa lebih menjamin ketahanannya dan mampu mengimbangi pangsa pasar digital yang begitu dinamis saat ini.

“Bekraf tidak membuat Gempita sendiri, banyak pihak yang akan menjalankan dari berbagai sisi, baik itu sisi bisnis, pemasaran, royalti, hak cipta hingga proses kerja sama dengan para penggiat musik kreatif,” ujar Hari meyakinkan bahwa Gempita akan relevan di jangka panjang.

Setelah diluncurkan, nantinya Gempita akan lebih mengakomodir kemudahan bagi para musisi lokal, baik itu musisi yang dinaungi oleh perusahaan produksi ataupun musisi indie untuk mengorbitkan karya mereka. Hari mengungkapkan bahwa tata cara dan persyaratan publikasi yang dibuat akan jauh lebih mudah, jika dibandingkan layanan lain, karena Gempita memang dikembangkan untuk kesejahteraan musisi lokal.

Banyak hal yang membuat Bekraf optimis dengan Gempita, dari sisi penetrasi layanan, salah satunya karena kekuatan Telkom sebagai operator dengan broadband terluas dan paling banyak digunakan, yang menjadi salah satu fondasi layanan ini. Selain itu berbagai hal terkait dengan data digital akan disajikan lebih transparan kepada para musisi, ini yang dinilai Bekraf akan menjadi nilai utama dari layanan dan membuat para musisi tertarik untuk masuk di dalamnya.

“Jika berbicara melawan pembajakan memang tidak ada habisnya. Masalahnya banyak masyarakat kita tidak menyadari ada yang dilakukan (menggunakan karya bajakan) itu salah. Bekraf sudah memiliki satgas sebagai langkah antisipatif terhadap pembajakan, dan kini dengan Gempita ingin memberikan akses legal secara lebih mudah. Gampangnya, dari pada membajak, steraming saja, toh murah,” pungkas Hari.