Komitmen Arutala Percepat Implementasi Teknologi Imersif untuk Bidang Edukasi

Sebelum istilah metaverse ramai dibicarakan, banyak pihak yang skeptis dengan pemanfaatan teknologi imersif di kehidupan sehari-hari. Selain karena butuh riset yang lama, dulu industri ini butuh perangkat yang harganya tidak murah. Faktor-faktor tersebut menyebabkan minimnya use case di lapangan.

Meskipun begitu, pesona di balik cabang teknologi yang fokusnya mendekatkan manusia dengan benda digital ini, berhasil menangkap perhatian Indra Haryadi dan Ambar Setyawan untuk merintis Arutala pada 2019 di Yogyakarta. Sebagai catatan, teknologi ini memungkinkan manusia untuk beraktivitas dan bereaksi di dalam dunia digital. Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), Mix Reality (MR), PC Simulator, hingga 360° Video adalah bagian dari teknologi imersif ini.

“Saya bertemu Ambar saat testing produk Oculus Quest yang saya dapat saat mengunjungi F8 di 2019. Ia punya background yang cukup kuat di dunia imersif. Singkat cerita, akhirnya kami sepakat untuk mendirikan PT Arutala Digital Inovasi. Kami banyak traction dan use case hingga sekarang,” terang Co-Founder & CEO Arutala Indra Haryadi saat dihubungi DailySocial.id.

Salah satu nilai yang ingin dikembangkan Arutala adalah teknologi imersif ini dapat memberikan solusi di berbagai lini kehidupan, salah satunya pelatihan yang bersifat high risk dan high cost. Setelah melakukan riset dan mengamati pola kebutuhan klien, disimpulkan bahwa pelatihan yang paling relevan dengan tantangan tersebut adalah bidang medis dan engineering base.

“Dengan menciptakan ruang baru melalui teknologi VR dan AR, kita dapat menekan angka risiko dan biaya di pelatihan pada kedua sektor tersebut untuk mencapai hasil yang optimal. Sektor kesehatan sendiri berisiko tinggi bagi pelatihan tenaga kesehatan sejak pandemi Covid-19.”

Implementasi teknologi imersif

Meski fokus pada pelatihan, perusahaan tetap membuka peluang untuk mengembangkan di sektor lainnya. Beberapa teknologi pengembangan tersebut, di antaranya adalah drone passenger VR untuk Frogs Indonesia, virtual store VR untuk Ecodoe, automotive virtual web, Gamelan VR, hingga Artda, yakni lagu dan tarian nasional anak-anak dalam bentuk AR hasil kolaborasi dengan Lab Sarisworo yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Saat ini, Arutala bermitra dengan tujuh institusi pendidikan dari tingkat SMK hingga perguruan tinggi dan lebih dari 25 pengembangan produk. Salah satu pengguna B2B Arutala adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK). Dalam praktikum memandikan pasien untuk perawat, itu memerlukan SOP yang panjang.

Saat mengembangkan kebutuhan tersebut di tahun lalu, Arutala mendesainnya menyerupai konsep metaverse yang diusung Facebook. Yang mana, ruangan praktikum dibuat persis sama dengan realita dan para peserta dapat berinteraksi satu sama lain di dunia digital, melalui perangkat Oculus.

Sebagai catatan, Arutala resmi bergabung dalam program Oculus Independent Software Vendor (ISV) pada 2020. Oculus merupakan anak perusahaan dari Meta yang membuat dan mengembangkan produk alat VR seperti Oculus Quest, Oculus Rift, dan Oculus Go. Melalui kerja sama ini, Arutala memiliki peluang untuk berkolaborasi langsung dengan tim dari Oculus dan membantu adopsi VR di Indonesia maupun kawasan Asia Pasifik.

“Tahun lalu para perawat sudah menggunakannya untuk pengajaran dan terus kami lakukan pengembangan. Kami cukup senang dengan ini karena kami ingin menciptakan dampak dari apa yang kami lakukan.”

Selain UGM, klien Arutala lainnya adalah perusahaan prinsipal alat berat dari Myanmar, startup yang ingin terjun ke pengembangan produk berbasis AR, dan lainnya. Ia pun optimis bahwa ke depannya akan semakin banyak perusahaan yang berani untuk terjun ke dunia imersif, didukung oleh pandemi yang mengakselerasi penggunaan teknologi digital.

Dalam monetisasinya, di tengah era early adopter, yang mana membuat industrinya masih dalam tahap eksplorasi, maka salah satu model bisnis di Arutala adalah custom development. Jadi, baik Arutala maupun klien B2B, sama-sama mencari tahu solusi yang efektif dari masalah yang dihadapi klien. Begitu industri sudah lebih siap dan banyak use case yang bisa diteliti, maka akan membuka lebih besar kemungkinan bagi Arutala untuk menggali lebih banyak strategi monetisasi lainnya.

Ke depannya, untuk memasarkan lebih banyak use case dengan menggunakan teknologi imersif, Indra akan terus mengedepankan aspek riset sebagai bagian utama dari Arutala, perbanyak use case di berbagai industri, dan edukasi pasar. “Kita akan meneruskan riset dari sebelumnya orang belum kenal metaverse, tapi kita sudah buat. Berani investasi lebih banyak untuk riset adalah kunci untuk bersaing dengan negara lain. Dengan semangat itu, kami ingin Indonesia tidak ketinggalan,” tutupnya.

Dengan semangat riset, Indra pun membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang berani dan tertarik dengan teknologi imersif pada masa depan. Arutala merupakan salah satu portofolio dari venture builder UMG Idealab sejak 2020. Mereka menyuntik dana tahap awal untuk Arutala dengan nominal dirahasiakan.

Didukung Penuh Telkom Group, RUN System Tawarkan Solusi ERP untuk Perusahaan

Pandemi Covid-19 mendadak mengubah budaya kerja sekaligus mengganggu roda bisnis hampir di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, Badan Pusat Statistik mencatat lebih dari 82 persen bisnis terdampak. Hal ini menyebabkan perusahaan harus kembali beradaptasi dengan kebiasaan baru di masyarakat, dan ini berlaku untuk semua sektor.

Berbagai jenis pekerjaan mulai dari sales, purchasing, akuntansi, inventaris, dan kolaborasi kini harus saling koordinasi demi mencapai hasil pekerjaan yang maksimal. Teknologi ERP (Enterprise Resource Planning) dipercaya bisa menjadi solusi dari kepelikan yang melanda perusahaan. Layanan tersebut mampu menyuguhkan laporan bisnis dari interaksi secara real time sehingga koordinasi antar departemen bisa berjalan lebih efektif dan efisien.

PT Global Sukses Solusi (RUN System) didirikan pada tahun 2010; dan sejak 2013 mengkhususkan diri dalam menyediakan solusi software ERP untuk bisnis skala menengah hingga besar di industri manufaktur, distribusi dan perdagangan, dan jasa. Mereka juga sempat mengikuti program inkubator Indigo Incubator 2014 yang diadakan oleh PT Telkom Indonesia.

RUN System mencoba mewujudkan sebuah solusi lokal yang bisa menyelesaikan masalah global yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan budaya perusahaan di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri.

Pada tahun 2015, Telkom menjadikan RUN System sebagai salah satu Distribution Partner solusi ERP bagi seluruh pelanggannya di Indonesia. Di samping itu, perusahaan rintisan asal Yogyakarta ini turut mendapat dukungan dari MDI Ventures dan dana kelolaannya Centauri Fund.

Managing Partner MDI Ventures Kenneth Li menjelaskan, investasi di RUN System merupakan salah satu bentuk yang sejalan dengan misi grup Telkom dalam menuju persaingan di pasar software sekaligus berkompetisi dengan pemain global seperti SAP atau Oracle. “MDI Ventures menyasar investasi berdasarkan karakteristik perusahaan dan daya saingnya di era pasca pandemi. Kami melihat RUN System sebagai startup yang sudah established dengan model bisnis yang teruji.” kata Kenneth.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup lain yang sajikan solusi serupa, dua di antaranya Esensi Solusi Buana dan Ukirama. ESB bahkan belum lama ini baru bukukan pendanaan awal senilai 69,5 miliar Rupiah dengan salah satu investor yang terlibat adalah AC Ventures.

Target Bisnis

Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System
Tampilan software ERP RUN System pada smartphone / RUN System

Di tahun 2021, Run System menargetkan peningkatan pendapatan hingga 300% sebagai bagian dari rencana strategis perusahaan untuk memperkuat posisinya di industri ERP tanah air. Dalam wawancara terpisah, Presiden Direktur RUN System Sony Rachmadi Purnomo turut menyampaikan bahwa pihaknya memang dari awal mengincar skala kontribusi yang menjangkau pasar korporasi di Asia Tenggara untuk bisa bersaing dengan pemain global.

Selain itu, IPO juga dikabarkan menjadi target selanjutnya dari perusahaan startup jebolan Indigo batch pertama ini. Sementara itu, di tengah pandemi, antrean perusahaan untuk melantai di bursa jauh dari kata sepi. Dilansir dari Katadata, setidaknya sudah ada 50 emiten yang melakukan IPO sepanjang tahun ini. Berdasarkan pipeline yang ada di bursa, masih ada sekitar 17 perusahaan lagi yang siap untuk melantai.

Saat ini RUN System telah melayani sekitar 50 perusahaan di berbagai skala bisnis mulai dari UMKM, menengah, hingga besar yang bergerak di sektor manufaktur, distribusi, perdagangan, dan jasa. Dalam sesi wawancara berbeda, Soni turut menyampaikan, saat ini timnya tengah menggarap integrasi ERP dan sektor perbankan.

Sony mengungkapkan bahwa peluang industri ERP di Indonesia masih sangat besar, dengan sekitar 10-20% perusahaan yang baru memanfaatkan layanan tersebut untuk bisnis mereka. “Kami sangat optimis industri ERP akan terus berkembang ke depannya dengan semakin banyaknya perusahaan yang mulai berinvestasi dan mengimplementasikan sistem ERP untuk mengefisiensikan operasional mereka,” jelasnya.

Inavoice Hadirkan Layanan Marketplace Audio Digital, Jembatani Kreator dengan Pengguna

Bertujuan untuk menciptakan platform yang memudahkan kreator konten mencari atau membeli background musik berlisensi khusus, marketplace Inavoice didirikan. Meluncur 4 bulan yang lalu di Yogyakarta, platform yang didirikan oleh Fajar Risna Rosedra, Indar Adhi Kusuma, Jatmiko Kresnatama, dan Henry Yunan Lennon melihat masifnya pertumbuhan industri voice over di Indonesia dan belum adanya standarisasi di industri tersebut.

Inavoice Audio Marketplace didirikan atas dasar rasa prihatin terhadap tingginya tingkat kesulitan konten kreator audio visual ketika mencari atau membeli background musik berlisensi khusus. Karena kesulitan yang cukup tinggi inilah, banyak konten kreator yang kemudian mencari free copyright music, yang mungkin tidak sesuai dengan musik yang diinginkan.

“Luasnya diferensiasi kualitas hasil voice over yang diproduksi menjadi celah bagi calon pengguna jasa. Untuk itu kami hadir, menawarkan pengalaman kami dalam industri produksi audio dan jaminan hasil kualitas terbaik dengan konsistensi yang tetap terjaga,” kata Co-founder Inavoice Jatmiko Kresnatama.

Selain mengembangkan jasa produksi voice over melalui Digital Voice Over Agency, Inavoice juga mengembangkan Inavoice Audio Marketplace, sebuah pasar background musik, setiap kontributor musik terpilih dapat menjual musiknya melalui platform.

“Kami memiliki dua jenis bisnis dalam satu perusahaan, yaitu Digital Voice Over Agency dan Audio Marketplace. Kami juga membuat model bisnis yang berbeda, yaitu B2B untuk Digital Voice Over Agency dan B2C untuk Audio Marketplace. B2B dengan harapan bahwa klien akan menggunakan jasa kami dan B2C dengan harapan bahwa setiap pelanggan memiliki akses mudah untuk membeli lagu berlisensi untuk setiap konten digital yang mereka produksi,” kata Jatmiko.

Hingga saat ini Inavoice mengklaim kami telah memiliki sekitar 200 Voice Over talent dari 30 negara berbeda di dunia, 6 kontributor musik yang tersebar dari 4 negara, dan juga telah memiliki 20 klien yang telah menggunakan jasa pembuatan voice over ataupun produksi musik.

Cara kerja Inavoice

Dengan mengupayakan optimisasi Google Index (baik on page maupun off page), cara tersebut yang kemudian diterapkan oleh Inavoice untuk untuk menarik calon klien dan pelanggan. Tentunya optimasi tersebut diimbangi dengan konten pemsaran melalui kanal distribusi yang dimiliki, baik melalui Blog, Instagram, LinkedIn, Facebook, dan YouTube. Bagi klien dan pelanggan yang ingin menggunakan jasa Inavoice, bisa langsung mengakses situs.

Voice over talent dan musik kontributor yang bergabung bersama kami semuanya adalah freelancer, tidak ada kontrak terikat untuk terus berada dalam agency kami. Dengan cara seperti ini, kami menawarkan win-win solution bagi mereka karena mereka dapat dengan bebas mendistribusikan karya-karya mereka pada agency dan marketplace lain yang ada di seluruh dunia,” kata Jatmiko.

Diluncurkan saat pandemi ternyata tidak mempengaruhi pertumbuhan bisnis Inavoice. Perubahan behaviour dari target pasar, mengubah gaya produksi voice over dari client visit session menjadi remote recording system. Hal ini menurut mereka tentunya sangat mempengaruhi bagaimana ke depannya perusahaan melangkah dan menentukan business plan.

“Namun kami juga sadar betul bahwa pandemi merupakan starting poin baru bagi setiap orang, sehingga bagi bisnis yang terus konsisten dan bertahan melewati kondisi new normal, bisa menjadi leader baru dalam persaingan pasar, untuk ini, khususnya industri voice over dan audio marketplace,” kata Jatmiko.

Memasuki tahun 2021 ada beberapa target yang ingin dicapai oleh Inavoice. Di antaranya adalah memaksimalkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki di bidang audio untuk menjadi ‘win-win solution’, baik bagi talenta dan music contributor dan juga klien yang nantinya akan menggunakan jasa Inavoice. Disinggung apakah ada rencana penggalangan dana dalam waktu dekat, perusahaan menegaskan tidak memiliki rencana tersebut. Selama ini bisnis berjalan memanfaatkan modal sendiri, tanpa melibatkan investor.

“Kami sama sekali tidak berupaya untuk mencari pendanaan, penggalangan dana, atau apa pun. Yang sedang kami upayakan adalah memaksimalkan distribution channel kami agar bisa menambah jumlah traffic dan memaksimalkan kemungkinan converting melalui hal tersebut. Mengingat bahwa kami merupakan startup digital voice over agency dan audio marketplace pertama di Indonesia berbasis self funding, dengan kondisi pasar yang sedang kurang baik dikarenakan pandemi, proses bootstrapping jadi berjalan sedikit lambat,” kata Jatmiko.

Fokus Bisnis dan Rencana Ekspansi Titipku Tahun 2021

Memasuki akhir tahun 2020, aplikasi Titipku yang didesain layaknya ‘media sosial’ agar setiap pengguna dapat mengunggah informasi mengenai UKM yang ditemui, mengklaim mengalami pertumbuhan bisnis positif selama 2020. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Titipku Henri Suhardja mengungkapkan, di awal pandemi bisnisnya mengambil kebijakan untuk fokus bantu pedagang pasar dan sembako untuk go-digital secepat mungkin, karena omzet pedagang pasar turun sampai hanya tersisa 40% saja.

“Masyarakat juga membutuhkan untuk belanja kebutuhan harian, tapi ada ketakutan untuk pergi ke pasar. Jadi, kami menyampaikan ke semua pengguna Titipku untuk bersama-sama kita bantu dulu pedagang pasar dan sembako. Hasilnya, Titipku mendapatkan momentum untuk bertumbuh sangat tinggi, sekitar 80% setiap bulan.”

Didirikan sejak tahun 2017, saat ini Titipku telah merangkul puluhan ribu UKM dan ratusan ribu pengguna. Hingga akhir bulan Desember 2020, perusahaan mencatat pertumbuhan omzet lebih dari 700%. Ini didukung dengan peningkatan transaksi per bulan rata-rata mencapai 80%. Sepanjang 2020 Titipku juga berhasil menambah 31 ribu pedagang yang masuk ke Titipku. Hal ini tercapai berkat kinerja dari sekitar 7 ribu ‘penjelajah’ (istilah untuk pengguna aplikasi yang mengunggah informasi UKM yang ditemui).

Titipku juga telah membentuk 47 pasar digital yang berisi 1.219 pedagang di dalamnya. Ke-47 pasar digital tersebut adalah pasar tradisional yang tersebar di Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

“Area-area inilah yang mungkin akan dikembangkan lebih lanjut sebagai fokus bisnis Titipku. Namun, tidak menutup kemungkinan wilayah lain di Indonesia, jika memang di wilayah itu ada permintaan yang tinggi dari konsumen,” kata Henri.

Rencana Titipku tahun 2021

Peresmian kantor baru Titipku di Jakarta
Peresmian kantor baru Titipku di Jakarta

Akhir tahun 2020, Titipku juga sempat meresmikan kantor baru mereka di Jakarta. Bertempat di kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara, pembukaan kantor kedua bertujuan untuk menjangkau lebih banyak lagi pengguna, tidak hanya di Yogyakarta dan sekitarnya, namun juga sampai ke berbagai kota di Indonesia.

“Ya, kami akan segera membuka area baru di sekitar Jabodetabek. Kami sudah melakukan riset dan melihat potensi yang besar dari setiap pasar yang ada di setiap area,” kata Henri.

Disinggung apa yang membedakan Titipku dengan platform lainnya, Henri menegaskan Titipku menggunakan konsep sharing economy, semua pengguna dapat saling berbagi dan bertukar peran; menjadi penjelajah UKM, pembeli atau nitiper, dan kurir atau jatiper yang bersama-sama membantu UKM.

Di marketplace lain kebanyakan hanya tersedia penjual dan pembeli, tanpa adanya keterlibatan pihak lain. Di Titipku, semua pengguna dapat kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari setiap transaksi, dengan menjadi penjelajah maupun Jatiper.

“UKM yang masuk di Titipku sebagian besar adalah usaha kelas ultra mikro dan mikro, yang masih sangat konvensional, jadi terbatas untuk kemampuan digitalnya (alat & akses). Platform Titipku menjadi solusi karena UKM dibantu go digital oleh anak-anak muda yang menjadi penjelajah UKM,” kata Henri.

Tahun 2021 ini Titipku memiliki rencana untuk penggalangan dana. Selain itu perusahaan juga ingin fokus kepada perluasan area layanan, yang ditargetkan akan menambah 10 area dengan masing-masing area ada 5 pasar, maka akan ada 50 pasar baru. Targetnya 50 ribu pedagang akan go digital dengan Titipku di tahun 2021 ini.

“Tahun 2021 akan menjadi momentum yang pas untuk berlari lebih kencang karena Titipku sudah menyiapkan sistem dan layanan bagi UKM dan masyarakat untuk bertransaksi lebih cepat dan nyaman,” kata Henri.

Application Information Will Show Up Here

Introducing Sertiva, a Digital Certificate Issuance Service

Based in Yogyakarta, Sertiva is to offer a digital certificate (e-certificate) issuance solutions. It is considered quite relevant to the current conditions, when people are started to organize many online events.

Sertiva’s Co-Founder Saga Iqranegara said, since 2015 he has been quite active in ADITIF, an association for creative industry players. He found the fact that there was an imbalance of talent with competence. From there Sertiva is to connect job seekers and talents through a digital certificate publishing platform.

“I see that the link-and-match issue in the employment industry is quite vital because there is no single data linking the workforce with the industrial world. Then, the idea emerged to create Sertiva, a platform for issuing digital certificates or diplomas, therefore, we can asses someone’s competence which eventually will help the link-and-match process within th the industry,” Saga explained.

Sertiva is designed for three types of users. The first is for the Issuer or certificate issuer, the second is for the certificate holder or recipient, and the third is the Validator or party that verifies the authenticity of the electronic certificate.

“We implement an annual subscription system for Sertiva services. Sertiva’s clients come from various types of organizations, from communities, vocational schools, startups, even state-owned enterprises,” said Saga.

Momentum amid pandemic

Sertifikat Digital Sertiva
Sertiva is accessible through the website platform

The operational has been running for over a year. It has been trusted by 50 issuers consisting of companies and institutions with more than 2500 digital certificate holders.

At first, Saga said that they were pessimistic about the feedback. This is due to its relatively new technology and solutions. However, since the pandemic, where many activities were carried out virtually, Sertiva seemed to have gained momentum and proved that the solution they brought is in demand.

“It is proven by some clients using our service because they had to completely shift the offline to online events. Since mid-2020, we are increasingly convinced that this is the momentum for Sertiva , and our marketing targets are eventually influenced by the current circumstances shifting to e-certificate technology,” Saga added.

Currently, Saga with two other co-founders, Aji Kisworo Mukti and Donni Prabowo are trying to the product. This includes education about digital certificates.

“Our future plan is to expand the adoption of e-certificate technology from Sertiva. There are many people who are mistaken for digital certificates. The certificates in the JPEG or PDF file format that they have issued are not actual e-certificates. What we’ve been doing at Sertiva, it is necessary to provide the widest possible education to the community,” Saga said.

Sertiva is also part of the Telkom Group’s incubator program, Indigo Creative Nation, and has received initial funding through the program. Previously, they were also participants in the DSLaunchpad virtual incubator program held by DailySocial.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Sertiva, Layanan Penerbitan Sertifikat Digital

Berkantor di Yogyakarta, Sertiva hadir menawarkan solusi penerbitan sertifikat digital (e-sertifikat). Solusinya dinilai cukup relevan dengan kondisi saat ini, di saat banyak pihak menyelenggarakan kegiatan secara online.

Co-founder Sertiva Saga Iqranegara menjelaskan, sejak 2015 ia cukup aktif di ADITIF, sebuah asosiasi wadah pelaku industri kreatif. Di sana ia menemukan fakta bahwa ada ketimpangan talenta berkompeten dengan kebutuhan. Dari sanalah Sertiva lahir untuk menghubungkan pencari kerja dan talenta melalui platform penerbitan sertiikat digital.

“Saya melihat bahwa isu link and match di dunia ketenagakerjaan lebih dikarenakan tidak ada satu data yang menghubungkan antara tenaga kerja dengan dunia industri. Kemudian muncul ide untuk membuat Sertiva ini, sebuah platform untuk menerbitkan sertifikat atau ijazah digital, sehingga kita bisa melihat kompetensi seseorang yang pada akhirnya nanti bisa membantu link and match dengan dunia kerja,” terang Saga.

Platform Sertiva didesain untuk tiga jenis pengguna. Pertama untuk Issuer atau penerbit sertifikat, kedua untuk Holder atau penerima sertifikat, dan ketiga Verifier atau pihak yang melakukan verifikasi terhadap keaslian sertifikat elektronik.

“Kami menerapkan sistem berlangganan tahunan untuk menggunakan layanan Sertiva. Klien Sertiva datang dari berbagai jenis organisasi, mulai dari komunitas, sekolah vokasi, startup, bahkan BUMN,” terang Saga.

Momentum di tengah pandemi

Sertifikat Digital Sertiva
Layanan Sertiva dapat diakses melalui platform situs webnya

Telah memulai operasional selama satu tahun lebih, saat ini mereka sudah dipercaya 50 penerbit yang terdiri dari perusahaan dan institusi dengan 2500 lebih pemegang sertifikat digital.

Saga bercerita, di awal mereka sempat pesimis solusi mereka bisa diterima. Hal ini tak terlepas dari teknologi dan solusinya tergolong baru. Namun semenjak pandemi, di mana banyak kegiatan dilakukan secara virtual, Sertiva seperti mendapat momentum dan membuktikan bahwa solusi yang mereka tawarkan ternyata banyak yang membutuhkan.

“Terbukti dengan beberapa klien yang datang karena mereka harus mengubah total bentuk kegiatannya ke online. Sejak pertengahan tahun 2020 ini kami semakin yakin momentum buat Sertiva telah datang, dan target marketing kami dengan sendirinya teredukasi oleh keadaan yang membuat mereka shifting ke teknologi e-sertifikat,” lanjut Saga.

Kini Saga, bersama dua co-founder lainnya, Aji Kisworo Mukti dan Donni Prabowo tengah berusaha untuk menyempurnakan produk. Termasuk di dalamnya edukasi mengenai sertifikat digital.

“Rencana kami ke depan adalah meluaskan adopsi teknologi e-sertifikat dari Sertiva. Karena masih banyak yang salah kaprah dengan sertifikat digital. Sertifikat dalam format berkas JPEG atau PDF yang selama ini mereka terbitkan bukanlah e-sertifikat yang sebenarnya. Untuk itu kami di Sertiva merasa perlu melakukan edukasi seluas-luasnya kepada masyarakat,” tutup Saga.

Sertiva juga tergabung pada program inkubator milik Telkom Group, yakni Indigo Creative Nation, dan telah mendapatkan pendanaan awal melalui program tersebut. Sebelumnya mereka juga menjadi peserta program inkubator virtual DSLaunchpad yang diadakan DailySocial.

Layanan Cetak Foto ID Photobook Berhasil Jaga Pertumbuhan Bisnis Melalui Pemasaran Digital

Didirikan pada tahun 2016, platform yang membantu pengguna untuk mencetak foto yang diambil dan disimpan di ponsel mereka, ID Photobook, saat ini mengklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis positif.

Kepada DailySocial, CEO ID Photobook Rowdy Fatha mengungkapkan, hingga saat ini perusahaan terus tumbuh dengan menawarkan cara mudah mecetak foto melalui aplikasi. Bukan hanya di Jakarta, usaha yang bermarkas di Yogyakarta ini juga sudah memiliki market share yang cukup besar di Jawa dan Bali.

“Empat tahun lalu, Afrig Wasiso pendiri ID Photobook sering mendengar orang-orang di sekelilingnya mengeluh karena kehilangan ratusan foto di handphone cuma karena memori eksternal rusak atau tidak sengaja terhapus. Mungkin, sampai sekarang pun hal ini masih sering terjadi. Akhirnya, diciptakanlah satu ide bisnis solutif, platform cetak foto yang gampang tapi affordable dengan segmen keluarga Indonesia,” kata Rowdy.

Salah satu kunci sukses yang diterapkan oleh ID Photobook yang masih menjalankan bisnis secara bootstrapping adalah, dengan melancarkan kegiatan pemasaran secara digital. Berbagai promo dan kegiatan akuisisi pelanggan dilakukan, memanfaatkan akun media sosial Facebook dan Instagram.

Langkah strategis tersebut ternyata mampu menciptakan engagement yang baik dan meluas kepada target pengguna. Facebook pun kemudian memilih ID Photobook sebagai salah satu brand yang memiliki engagement terbesar di Facebook tahun 2019 lalu, mengalahkan Gojek.

“Tujuan ID Photobook adalah satu, menjadi solusi dan sahabat untuk keluarga Indonesia bisa mengabadikan momen terbaik dan menikmatinya di album fisik berkualitas. Sehingga, kenangan dan momennya bisa dikenang selamanya,” kata Rowdy.

Selain ID Photobook platform serupa yang juga sudah hadir di Indonesia adalah Printerous dan Sweet Escape, namun keduanya tidak fokus sepenuhnya ke jasa pencetakan foto.

Misi sosial perusahaan

Selain bisa diakses di aplikasi, ID Photobook juga memanfaatkan kanal marketplace seperti Tokopedia dan Shopee untuk pemasaran dan penjualan. Saat ini ID Photobook telah memiliki sekitar 400-500 pengguna aktif per harinya. Disinggung seperti apa bisnis perusahaan selama pandemi, secara umum cukup stabil karena masih mencatat batas normal omzet perusahaan.

Untuk melancarkan misi sosial, perusahaan sekitar akhir September 2020 mendatang akan meluncurkan program afiliasi yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang terkena PHK atau pemotongan gaji selama pandemi. Mengedepankan konsep serupa dengan influencer, mereka yang tertarik bisa mempromosikan ID Photobook melalui akun media sosial mereka.

Setiap transaksi yang berhasil mereka datangkan akan diberikan komisi bagi hasil oleh ID Photobook. Disediakan pula aset digital berupa copywriting dan lainnya yang bisa diunggah di akun media sosial mereka.

“Kami akan fokus untuk ekspansi bisnis kami melalui channel digital dan model bisnis afiliasi sekaligus meningkatkan kepuasan pelanggan kami. Saat ini kita belum berencana untuk melakukan penggalangan dana,” kata Rowdy.

Application Information Will Show Up Here

Cerita DapurGo, Startup Katering Online di Yogyakarta

Transformasi digital di era pandemi seperti sekarang ini adalah sebuah kewajiban. Teknologi, selain bisa memudahkan juga bisa mengangkat daya saing sebuah bisnis. DapurGo adalah salah satu yang membuktikannya.

Bermula sebagai bisnis katering “konvensional” pada tahun 2018, DapurGo mulai menerapkan teknologi digital untuk pemesanannya. Implementasi tersebut membuat DapurGo kini mampu mengirimkan 2500 kotak makan siang dan malam setiap harinya untuk melayani pelanggan di wilayah Yogyakarta.

DapurGo adalah startup yang digagas oleh Pirli Wahyu dan Eka Setyawati. Dengan pendanaan awal yang didapatkan dari beberapa investor mereka mulai melakukan peningkatan pengalaman pengguna dan penetrasi pasar agar bisa mendapatkan lebih banyak pengguna.

“Kami sadar saat ini sudah banyak kompetitor sehingga peta persaingan di Industri ini cukup ketat. Namun yang membedakan kami dengan yang lainnya adalah affordability dan quality. Karena kami mencoba memberikan makanan terbaik dengna harga yang tetap ekonomis kepada kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Kami juga berupaya memberikan customer experience yang baik, dengan memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap kualitas makanan yang disajikan,” terang Eka.

Sejak pertama berdiri hingga sekarang, DapurGo beroperasi di wilayah Provinsi Yogyakarta dengan pelanggan yang datang dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga penghuni indekos. Mereka juga memiliki dapur independen yang berada di daerah Godean, Sleman, dan Yogyakarta.

Digitalisasi untuk mudahkan pengguna

Implementasi teknologi di DapurGo paling terlihat dari sisi kehadiran situs web mereka. Di sana dipaparkan informasi seputar menu, customer service, hingga informasi mengenai promo-promo yang sedang berlaku.

Melayani lebih dari 2000 pengguna DapurGo mengandalkan pilihan menu yang berganti setiap minggunya. Sehingga pelanggan yang mengambil pilihan berlangganan tidak bosan dan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Untuk saat ini, sebagai bisnis katering DapurGo akan berbagi “kue” dengan bisnis makanan lain yang mulai memanfaatkan teknologi dengan mengandalkan layanan pesan antar dari layanan seperti GoFood maupun GrabFood.

DapurGo sendiri memilih menggunakan pengantaran pribadi untuk lebih melakukan efisiensi. Sehingga makanan yang di antar bisa tepat waktu (untuk makan siang dan makan malam) dan kualitas makanan yang diantarkan tetap terjaga.

Sebelumnya, di Yogyakarta untuk pasar katering online atau layanan pesan antar juga ada makandiantar.com. Waktu itu (medio 2014-2015) karena pasar dianggap masih sepi, mereka memutuskan untuk “boyongan” ke Jakarta dengan nama Kulina, dan hingga sekarang masih eksis sebagai salah satu layanan katering online. Selain itu sempat ada nama-nama seperti owl-kitchen (layanan sudah tidak bisa diakses) dan PesanSaja (berubah menjadi layanan COD untuk oleh-oleh).

Pasar makanan dulu dan sekarang tentu berbeda. Budaya yang ditumbuhkan oleh GoFood dan GrabFood tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu faktornya. Masyarakat sekarang jadi lebih percaya dan beberapa nyaman dengan membeli makanan via online. Belum lagi integrasi dengan berbagai macam pilihan pembayaran tentu menjadi salah keunggulan dalam bertransaksi.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini ialah lokasi dapur kami yang berada di lokasi pemukiman serta agak sedikit jauh dari perkotaan, sehingga setiap harinya kami perlu menghitung dan memprediksi waktu tempuh kurir tiba di lokasi pengantaran tepat waktu agar makanan yang disajikan tetap fresh sehingga enak untuk disantap. Selebihnya masih relatif sama seperti halnya perusahaan rintisan lainnya dalam menjalankan bisnisnya,” lanjut Eka.

Kini dengan pengalamannya dan apa yang telah dicapai selama ini DapurGo berencana untuk melakukan penggalangan dana baru untuk bisa mendukung rencana mereka melakukan penambahan dapur baru di titik strategis di Yogyakarta dan ekspansi ke pasar baru seperti Jakarta, Banten, dan sekitarnya.

Cerita HepiCar Berusaha Bertahan di Tengah Pandemi

HepiCar, layanan on-demand untuk bengkel dan cuci mobil asal Yogyakarta menceritakan bagaimana mereka menyikapi pandemi. Kendati melakukan beberapa penyesuaian, baik secara operasional dan organisasi, mereka mantap berekspansi ke area Solo dan Semarang.

CEO HepiCar Nurhadiyanto kepada DailySocial menceritakan, di tengah pandemi mereka tetap beroperasi dengan menyediakan lebih dari 30 layanan perbaikan dan perawatan mobil dan motor bagi penggunanya, berkolaborasi dengan lebih dari 450 mitra.

“Keputusan untuk tetap melakukan ekspnasi ini bukan sekedar hanya mengejar jadwal. HepiCar telah mengkaji lima kondisi: kesiapan pasar setelah dilakukan riset 6 bulan, telah tervalidasinya sistem layanan on-demand service, tervalidasinya model bisnis dan revenue stream, telah siapnya sistem dan strategi ekspansi, dan telah siapnya tim ekspansi,” ujar Nur.

HepiCar mengklaim faktor banyaknya jenis layanan yang mereka miliki berpengaruh terhadap ketahanan bisnis mereka di masa pandemi. Seperti layanan tambal ban panggilan, ganti battery mobil, ganti oli, cek mesin dan perbaikan AC mobil yang masih cukup banyak menarik peminat untuk menggunakan layanan HepiCar.

Penyesuaian yang dilakukan

Nur mengaku, meski masih bertahan dan melakukan ekspansi HepiCar tetap merasakan dampak dari pandemi. Untuk itu mereka melakukan beberapa penyesuaian, baik dari segi organisasi maupun operasional.

“Secara organisasi, manajemen HepiCar melakukan pemangkasan sumber daya. Dua pertiga dari jumlah personilnya dilepas. Sehingga tersisa tim kecil yang diharapkan bisa lincah bergerak. Keputusan yang sangat berat memang. Namun langkah organisasional ini dipandang mutlak perlu dilakukan. Untuk memastikan tetap tercapainya target-target pokoknya bisnisnya, meski berada dalam atmosfer krisis,” jelas Nur.

Ia juga menambahkan, karyawan yang terdampak memahami langkah yang ditempuh perusahaan karena termasuk dalam skenario penyelamatan bisnis. Sementara itu dari segi operasional, mereka mengadopsi kebijakan WFH. Hanya bagian administrasi yang bekerja dengan datang ke kantor.

“Terhadap mitra operator layanan diberlakukan protokol layanan yang ketat, seperti wajib menggunakan masker dan sarung tangan ketika bekerja, selalu menjaga jarak aman, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah selesai mengerjakan layanan, dan aktif berkomunikasi dengan konsumen terkait pembatasan masuk wilayah-wilayah tertentu,” lanjut Nur.

HepiCar
Mitra spesialis HepiCar / HepiCar

Fokus dan target

Dengan dimulainya petualangan HepiCar di kota baru, mereka saat ini tengah fokus pada menyempurnakan layanan di Solo dan Semarang. Terutama untuk jaringan mitra spesialis yang luas dan berada di seluruh area. Selain itu, mereka juga memastikan untuk bisa diterima masyarakat di ara baru ini. Termasuk dalam hal edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat.

“Target dari ini semua adalah HepiCar dapat melalui masa pandemi ini dengan baik. Tak hanya bertahan dan selamat, namun juga bertumbuh dengan pasti. Apa yang dikerjakan selama masa pandemi ini menjadi pola acuan yang penting untuk melakukan perluasan operasi di kota-kota lain. Pola yang telah tervalidasi dengan baik,” jelas Nur.

Industri jasa dan on-demand saat ini tidak luput dari dampak pandemi. Gojek, sebagai startup “raksasa” pun terpaksa merampingkan bisnisnya dengan menutup layanan GoLife mereka.

Application Information Will Show Up Here

Upaya Mendigitalkan UKM di Bidang Jasa dan Pariwisata ala Gomodo

Sektor jasa dan pariwisata adalah salah satu yang paling terpukul selama wabah Covid-19 berlangsung. Ketika banyak bisnis pariwisata berhadapan dengan paceklik tersebut, setidaknya ada satu startup anyar bernama Gomodo yang menghimpun tenaga sebagai platform teknologi di sektor jasa dan pariwisata.

Gomodo adalah satu dari 15 startup yang terpilih mengikuti final pitch program akselerasi GK-Plug and Play angkatan keenam. Gomodo merupakan platform software-as-a-service (SaaS) yang memungkinkan UKM di sektor jasa dan pariwisata memiliki situs web untuk menerima pesanan online, pembayaran nontunai, hingga solusi distribusi.

Menjamah yang belum tergapai

Founder & CEO Gomodo Lius Widjaja menjelaskan kepada DailySocial, ide startup ini bermula dari keresahannya yang berkecimpung di industri pariwisata. Selama berkarier di industri ini, Lius menilai biro perjalanan kerap kesulitan memperoleh inventaris produk atau paket wisata dalam bentuk digital.

Perkara itu tak lain karena kebanyakan operator penyedia jasa wisata dan supplier belum memanfaatkan layanan digital. Maklum, kata Lius, platform digital yang dipakai di sektor jasa dan pariwisata ini terbilang rumit dan sulit yang mana lebih ditujukan kepada entitas perusahaan besar alih-alih UKM.

“Sebenarnya ada banyak pengalaman unik yang dapat dinikmati wisatawan di Indonesia, contohnya jungle trekking, wisata observasi Orang Utan, exotic bird watching, bahkan sampai wisata berburu babi hutan? Tetapi pengalaman-pengalaman tersebut hampir tidak tersedia di katalog Online Travel Agent sekelas unicorn sekalipun,” tutur Lius.

Permasalahan ini berlanjut ketika pusat-pusat pariwisata Indonesia masih belum banyak memiliki perangkat yang mendukung pembayaran nontunai. Survei internal Gomodo menyebut 95% UKM di sektor pariwisata yang tak menerima pembayaran via kartu kredit.

Segmentasi dan monetisasi

Seperti diutarakan sebelumnya, Gomodo berfokus pada UKM yang bergerak di bidang jasa dan pariwisata. Operator tur, pemandu wisata, biro perjalanan, perusahaan rental kendaraan, penginapan, hingga konsultan pajak, dan penyedia jasa akuntan pun termasuk.

Fokus terhadap UKM ini yang membedakan Gomodo dengan penyedia sistem distribusi global (GDS) seperti Galileo atau Sabre yang produknya umum digunakan para pelaku industri jasa pariwisata. Jika Gomodo membidik jenis aktivitas wisata dan inventaris paket wisata, Galileo dan Sabre menyasar pasar enterprise yang umumnya adalah inventaris maskapai penerbangan, hotel, tiket taman hiburan, hingga transportasi.

“Dengan lain kata, dalam konteks distribusi, Gomodo dan GDS lainnya berfungsi serupa, hanya kami lebih fokus kepada digitalisasi dan pengumpulan inventaris paket dan aktivitas wisata UKM yang tidak dimiliki banyak pihak GDS dan agent,” imbuh Lius.

Gomodo memang tak memungut biaya bagi para UKM untuk menggunakan platform mereka. Sebagai gantinya, Gomodo memberlakukan sistem bagi untung. Artinya, setiap ada transaksi yang sukses di platformnya, Gomodo akan mendapat bayaran dari mitra mereka tersebut. Lius tak membuka berapa besaran fee yang mereka peroleh dari setiap transaksi.

Target setelah pandemi

Gomodo meluncur ke publik pada Februari 2019. Sejak itu mereka telah mengantongi 1000 klien UKM di seluruh Indonesia. Gomodo juga telah ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  sebagai mitra kerja program Perhutanan Sosial 4.0. Program ini memungkinkan mereka mendapatkan akses ke ribuan penyedia ekowisata kelas UKM se-Indonesia untuk diberdayakan secara digital.

Saat ini sejatinya Gomodo sudah menggandeng Koinworks untuk menyediakan fitur dana pinjaman kepada UKM yang membutuhkan. Namun fitur ini baru akan diluncurkan secara utuh setelah pandemi berakhir. Berbarengan dengan itu, Lius juga memperkirakan juga meluncurkan fitur investasi di mana para investor atau pemberi pinjaman leluasa menanamkan modalnya ke berbagai usaha di daerah-daerah tujuan wisata.

Terkait status pendanaan, Gomodo telah mengamankan dua babak pendanaan yakni angel round pada akhir 2018 dan pre-seed di akhir tahun lalu. Pada putaran pre-seed tercatat nama-nama investor yang berpartisipasi mulai dari Amand Ventures, Brama One Ventures, dan Plug and Play Indonesia.

Sementara ini Gomodo hanya aktif di Indonesia. Namun Lius tak menutup kemungkinan dalam dua tahun ke depan pihaknya akan ekspansi ke luar negeri seperti Vietnam yang dianggap memiliki karakter serupa Indonesia.

Lius membenarkan bahwa bisnis pariwisata sedang terpuruk. Namun ia optimis ini adalah momen yang tepat untuk mendorong solusi online booking dan pembayaran nontunai mereka ke pelaku bisnis jasa dan pariwisata. Menurutnya hal itu diperlukan untuk bersiap menyambut rebound sektor ini ketika pandemi berakhir.

“Dengan menggunakan platform Gomodo, sebuah UKM di sektor jasa dan wisata dapat Go Digital secepat 10-15 menit, dan set-up atau pengaturan semudah mengisi formulir atau survei,” pungkas Lius.

Saat ini layanan Gomodo masih hanya bisa diakses melalui situs web. Lius memastikan layanan mereka baru bisa diakses di Android dan iOS pada kuartal tiga nanti.