Rangkaian Roadmap E-Commerce: Bank Indonesia Resmikan Gerbang Pembayaran Nasional

Bank Indonesia meresmikan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai bagian dari rangkaian roadmap e-commerce. GPN merupakan suatu sistem yang dibangun bank sentral untuk mewujudkan interkoneksi antar switching dan interoperabilitas sistem pembayaran nasional. Masyarakat bisa melakukan transaksi keuangan non tunai lebih mudah dan murah.

Sasaran lain implementasi GPN adalah meningkatkan perlindungan konsumen melalui pengamanan data transaksi nasabah dalam setiap transaksi. GPN juga dikembangkan untuk meyakinkan ketersediaan dan integritas data transaksi sistem pembayaran nasional guna mendukung efektivitas transimisi kebijakan moneter, efisiensi intermediasi, dan resiliensi sistem keuangan.

Kehadiran GPN dijadikan sebagai tulang punggung untuk memberikan bantuan sosial non tunai, elektronifikasi jalan tol dan transportasi publik, dan keuangan inklusif dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik sebagaimana yang telah dimandatkan dalam Perpres No.74 Tahun 2017 tentang Roadmap E-commerce.

“Sejak digagas lebih dari 20 tahun lalu, yaitu dalam Cetak Biru Sistem Pembayaran Nasional Tahun 1995/1996, pada pagi hari ini akan jadi suatu momen bersejarah karena GPN akan diluncurkan dan dimulai implementasinya,” terang Gubernur Bank Indonesia Agus D. Martowardjojo, Senin, (4/12).

Bagi industri, GPN dapat mendorong sharing infrastructure sehingga utilisasi terminal ATM/EDC dapat meningkat dan yang berlebih dapat direlokasi ke daerah yang kekurangan. Biaya investasi untuk infrastruktur dapat dialihkan untuk kegiatan pembiayaan lainnya. Industri pun akan dimudahkan karena kompleksitas koneksi, dari bilateral antar pihak, jadi tersentralisasi ke GPN.

“Pelaku industri akan tetap dijaga, tetap menikmati profit tapi kini dengan rate yang normal.”

Sementara bagi nasabah, mereka dapat bertransaksi dari bank manapun dengan instrumen dan kanal pembayaran apapun (any bank, any instrument, any channel). Masyarakat pun dihimbau untuk tidak perlu memiliki banyak kartu untuk bertransaksi.

Biaya transaksi non tunai atau merchant discount rate (MDR) pun akan turun, dari awalnya 2-3% menjadi 1% flat per transaksi off us (transaksi di ATM atau EDC yang berbeda dari kartu yang digunakan). Hanya saja, sambung Agus, nasabah harus menggunakan kartu ATM/debet berlogo internasional bila ingin bertransaksi saat di luar negeri.

Sebagai awal keberadaan GPN, nasabah akan diperkenalkan dengan kartu ATM/debit berlogo nasional yang dapat digunakan untuk transaksi dalam negeri dan dapat diterima di seluruh terminal pembayaran merchant. Secara bertahap kartu berlogo baru ini mulai didistribusikan pada awal 2018.

Mekanisme sistem GPN

Gubernur Bank Indonesia dengan latar belakang logo GPN yang bakal disematkan di kartu debit / DailySocial
Gubernur Bank Indonesia dengan latar belakang logo GPN yang bakal disematkan di kartu debit / DailySocial

Di dalam sistem GPN, bank sentral membuat sistem yang terdiri dari tiga penyelenggara yakni lembaga standar, switching, dan services. Lembaga standar bertugas menyusun dan mengelola standar teknologi pembayaran nasional yang ditetapkan BI dan wajib dipatuhi oleh seluruh industri, menggunakan NSICCS untuk ATM/debit dan untuk uang elektronik melalui penerapan SAM Multi Applet.

Saat ini lembaga standar telah dibentuk dan dijalankan oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Selanjutnya, Lembaga standar akan diarahkan membentuk badan hukum dengan pengelolaan yang bersifat profesional, kompeten, dan mandiri.

Adapun Lembaga switching bertugas menyelenggarakan pemrosesan data transaksi pembayaran domestik secara aman dan efisien. Pada momen peluncuran GPN, BI menetapkan empat perusahaan penyelenggara switching domestik yaitu Jalin Pembayaran Nusantara, Artajasa Pembayaran Elektronik, Rintis Sejahtera, dan Alto Network.

“Lembaga switching yang kita bicarakan beda dengan yang selama ini kita kenal, karena sekarang switching untuk GPN. Ada empat lembaga yang masuk kriteria yang ditetapkan BI. Untuk jalankan GPN ini, bisa saja BI jalankan sendiri, tapi kami lebih memilih untuk melibatkan pelaku yang sudah bergerak. BI juga berikan keberpihakan untuk empat perusahaan seandainya ingin undang mitra asing.”

Terakhir, lembaga services memiliki empat tugas utama di antaranya menjaga keamanan transaksi dengan memastikan enkripsi data transaksi secara end-to-end, menangani perselisihan transaksi, dan mendorong perluasan penerimaan instrumen non tunai.

Lembaga services dibentuk dan dimiliki bersama oleh lembaga switching GPN dan anak usaha pelaku industri utama, yaitu BRI, BNI, Bank Mandiri, dan BCA yang menguasai 75% pangsa transaksi pembayaran ritel nasional melalui konsorsium. Menurut Agus, pendirian konsorsium ini diawali dengan penandatanganan perjanjian dan diharapkan akan segera berbadan hukum agar dapat segera beroperasi secara penuh di Juli 2018.

Untuk tahap awal, telah dilakukan penandatanganan empat dokumen yang menandai dimulainya operasionalisasi GPN, yaitu perjanjian konsorsium untuk meresmikan pendirian lembaga services, perjanjian interkoneksi empat lembaga switching GPN, perjanjian interoperabilitas kartu debit, dan perjanjian interoperabilitas uang elektronik.

Bank Indonesia Tetapkan Aturan Gerbang Pembayaran Nasional

Kemarin (7/7), Bank Indonesia menetapkan aturan terbaru mengenai Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau lebih dikenal National Payment Gateway (NPG) termuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/8/PBI/2017 yang diberlakukan mulai 22 Juni 2017 lalu.

Terbitnya aturan ini menjadi penyangga strategis bank sentral dalam melayani dan memfasilitasi gerakan nasional non-tunai, bansos pemerintah secara non-tunai, keuangan inklusi keuangan, e-commerce nasional, yang sejalan dengan prinsip kehati-hatian. Sekaligus merealisasikan integrasi sistem pembayaran nasional yang efisien.

Perlu diketahui, NPG adalah sebuah sistem yang terdiri dari tiga penyelenggara yakni lembaga standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.

Sebelum NPG diberlakukan, ketiga penyelenggara tersebut melakukan tugasnya secara sendiri-sendiri dengan masing-masing lembaga keuangan, belum ada interkoneksi apalagi interoperabilitas.

Adapun tugas lembaga standar yakni menetapkan spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan dalam GPN. Lembaga switching bertugas sebagai pusat dan/atau penghubung penerusan data transaksi pembayaran melalui jaringan yang menggunakan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), uang elektronik, dan transfer dana. Sementara, lembaga services bertugas untuk memenuhi kebutuhan industri sistem pembayaran ritel.

Tiga penyelenggara NPG, dalam praktiknya akan terhubung dengan empat pihak yang terikat dengan aturan pula, meliputi penerbit kartu, acquirer, penyelenggara payment gateway, dan pihak lainnya yang ditetapkan bank sentral.

Seluruh pihak di atas, akan mewujudkan interkoneksi dan interoperabilitas ekosistem pembayaran. Bahasa sederhananya, jaringan kanal pembayaran serta infrastrukturnya antara satu institusi dengan lainnya akan saling terhubung dan bisa dipakai oleh seluruh pihak.

Menekankan efisiensi, beban konsumen lebih ringan

Bagi pelaku industri keuangan, hadirnya NPG membawa dampak efisiensi utilitas perangkat ATM, EDC, atau lainnya. Ibaratnya bila pemegang kartu sedang berada di mal dan ingin melakukan transaksi keuangan, mereka tidak harus mengantre di ATM sesuai bank masing-masing.

Pihak penerbit kartu atau lainnya, kini tidak harus investasi masing-masing saat ingin menyediakan perangkatnya.

“Jadi jangan ada seperti di Mal Taman Anggek yang memiliki 10 mesin ATM berjejeran tetapi utilitasnya rendah. Lebih baik taruh beberapa saja tapi dipakai bersama dan sisanya bisa di relokasi,” terang Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko dalam konferensi pers.

Ditambah, hadirnya aturan ini membuat proses transaksi pembayaran ritel dengan menggunakan kartu tidak lagi bergantung pada prinsipal asing seperti Mastercard dan Visa. Bagi konsumen, dampak langsung yang bisa dirasakan dari hal ini terlihat dari turunnya biaya transaksi yang dibebankan.

Salah satu contoh nyata dari penurunan biaya transaksi terlihat dari kehadiran jaringan Link dari PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN) yang merupakan inisiasi gabungan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Tadinya, biaya transfer antar bank BUMN bisa mencapai Rp7 ribu, kini menjadi Rp4 ribu.

Efek belum segera terasa

Meski aturan ini sudah diterbitkan, namun konsep interkoneksi dan interoperabilitas belum bisa terasa dalam waktu dekat. Pasalnya, sebelum pihak terhubung bisa bergabung ke NPG wajib memenuhi ketentuan dari BI.

Mereka, dalam hal ini adalah bank umum dan bank umum syariah, untuk instrumen ATM dan kartu debet, wajib terhubung dengan minimal dua lembaga switching paling lambat 30 Juni 2018. Kondisi saat ini, masih banyak perbankan yang belum memenuhi kewajiban tersebut.

“Sebelum masa tenggat itu tiba, konsep efisiensi belum bisa terwujud. Makanya kami suruh bank untuk bersiap-siap sebelum Juni 2018.”

Segera atur biaya transaksi

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean menambahkan, BI akan menerbitkan aturan turunan untuk mengatur skema harga NPG, salah satunya merchant discount rate (MDR).

MDR adalah potongan yang dikenakan bank kepada merchant ketika bertransaksi lewat mesin EDC, besaran MDR tergantung kesepakatan bank dengan merchant sekitar 1,6% sampai 2,2%.

Eni menilai persentase MDR di Indonesia adalah tertinggi di Asia, meski banyak konsumen yang tidak menyadari ini saat bertransaksi padahal mereka adalah pihak yang dibebankan akibat aturan tersebut.

“MDR itu seyogyanya bisa turun karena trennya ketika ada NPG, orang akan memilih lebih baik menurunkan profit atau harganya. Terlebih ada NPG itu, akan ada sharing infrastruktur, kalau invest sendiri kan mahal,” kata Eni.

Hanya saja, dia memastikan bahwa pengaturan ini tidak akan mematikan industri karena bank sentral juga bakal mempertimbangkan biaya operasional dan margin yang wajar. Maka dari itu, bank sentral akan melakukan pengkajian dan berkomunikasi dengan seluruh penyelenggara NPG.

“Kalau biaya penurunan bisa sampai 50% itu sudah bagus. Kami akan tetap terima masukan karena tujuan NPG adalah efisiensi, bukan mematikan industri.”

Kue bisnis untuk Mastercard dan Visa tetap ada

Terkait dampak kehadiran NPG bagi Mastercard dan Visa, menurut Onny, pada tahap awal mungkin bakal berpengaruh pada bisnis kedua perusahaan, terutama mengenai biaya routing domestic yang kini tidak bakal menggunakan jasa mereka. Hal tersebut membuat mereka harus menyesuaikan diri.

Akan tetapi, Onny memastikan, baik Mastercard maupun Visa masih tetap memiliki peluang yang besar bila ingin memroses transaksi pembayaran ritel di Indonesia. Mereka harus kerja sama dengan lembaga switching domestik di proses melalui NPG yang sebelumnya telah disetujui BI.

“Kita tetap butuh mereka untuk bangun kapabilitas keamanan data nasabah, ini jadi peluang tumbuh tapi dengan bentuk yang berbeda.”

Pada intinya, kartu berlogo Mastercard dan Visa akan tetap bisa digunakan ketika pemilik kartu NPG membawa kartunya ke luar negeri. Tetapi, ketika di bawa ke dalam negeri harus mengikuti alur sistem NPG.

National Payment Gateway Indonesia Siap Juli Mendatang

Rencana pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) untuk memiliki National Payment Gateway (NPG) memasuki babak baru. NPG sekarang sedang masuk dalam tahap konsultasi dengan publik. Ditargetkan NPG siapa digunakan secara berangsur-angsur mulai Juli mendatang.

NPG merupakan sistem untuk memproses transaksi pembayaran yang menggunakan kartu, baik ATM/debit, kartu kredit, dan uang elektronik di dalam negeri. Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Widjanarko menjelaskan selama ini proses transaksi di EDC menggunakan teknologi internasional yang menempel di kartu tersebut, misalnya Visa dan Mastercard.

Dengan NPG, nantinya seluruh transaksi akan dilakukan di dalam negeri sehingga data transaksi pembayaran tidak perlu lagi diteruskan ke luar negeri. Onny menjelaskan Indonesia membutuhkan NPG untuk efisiensi dalam sistem pembayaran ritel. NPG juga diharapkan bisa meningkatkan ketahanan, kemandirian, dan meningkatkan daya saing sistem pembayaran dalam negeri.

Dengan NPG, satu jenis EDC yang berada di merchant diharapkan bisa memproses berbagai jenis kartu debit, sehingga bisa mengurangi jumlah mesin EDC yang berada di kasir.

Juga ada integrasi uang elektronik

Dikutip dari Kontan, Deputi Gubernur BI Sugeng menjelaskan pada akhir Juni 2017 setelah aturan dikeluarkan akan ada integrasi awal terkait ATM dan kartu debit. BI juga akan mengintegrasikan uang elektronik pada Oktober 2017.

NPG ini sendiri merupakan sebuah isu yang bergulir sejak tahun 2011 silam. Sebelumnya DailySocial pernah menuliskan bahwa merealisasikan NPG bukan sebuah perkara yang mudah. Banyak beberapa faktor yang harus dipertimbangkan seperti infrastruktur, regulasi, dan kultur. Direalisasikannya NPG diharapkan mendongkrak jumlah transaksi elektronik sehingga menyuburkan industri digital.

Himbara Targetkan Miliki Perusahaan Switching Kartu Debit dan Kredit Tahun Depan

Awal pekan ini, himpunan bank milik pemerintah (Himbara) yang terdiri dari BRI, Bank Mandiri, BTN, dan BNI menargetkan untuk mewujudkan National Payment Gateway (NPG) dengan memiliki perusahaan switching sendiri pada kuartal pertama tahun 2016. Dengan kehadiran layanan ini, proses settlement transaksi menggunakan kartu debit dan kartu kredit yang bernilai ratusan triliun Rupiah akan dilakukan di dalam negeri. Selama ini, perbankan bergantung pada Visa dan MasterCard.

Seperti diungkapkan Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin, settlement atas transaksi pembayaraan lokal dari nasabah bank yang beroperasi di negara ini penting untuk dilakukan di Indonesia. Pasalnya ada potensi risiko geopolitik jika nantinya settlement atas transaksi tersebut dilakukan di luar negeri melalui perusahaan payment system, seperti Visa dan MasterCard.

Itu mengapa Himbara menargetkan untuk segera memiliki perusahaan switching. Perusahaan tersebut ke depannya berpotensi bertindak sebagai principal lokal dan juga menangani kliring dan settlement transaksi di ATM, EDC, dan mobile banking bank-bank jaringan Himbara.

Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang memegang lisensi dan dapat menangani kliring antar bank, antara lain PT Rintis Sejahtera (Prima), PT Artajasa Pembayaran Elektronis (ATM Bersama), dan PT Daya Network Lestari (ATM Alto). Namun perusahaan tersebut tidak dapat melakukan settlement atas transaksi pembayaran.

“Yang dapat melakukan settlement adalah perusahaan seperti Visa dan MasterCard. Itu pun dilakukan di luar negeri. Ke depan, penting melakukan settlement transaksi pembayaran lokal di Indonesia, sedangkan kalau transaksi pembayaran luar negeri tidak apa-apa melalui Visa ataupun MasterCard yang memiliki jaringan internasional. Sebab, kliring bank yang ada di Indonesia juga nggak bisa ke luar negeri kan,” jelas Budi.

Budi menjelaskan saat ini memang lebih cepat merealisasikan NPG jika Himbara langsung mengakuisisi perusahaan yang ada. Namun ia menegaskan, Himbara tentu akan memperhatikan masalah harga.

Selain itu aturan atas prosedur settlement dan kartu (debit dan kredit) yang ada juga harus diubah. Pasalnya kartu yang diterbitkan bank yang ada sekarang belum sesuai karena masih menggunakan Visa dan Master Card. Menurut Budi, untuk mewujudkan NPG perlu dukungan dari semua bank, karena untuk melakukan kliring bank-bank perlu bergabung menjadi anggota.

Sebelumnya wacana NPG sudah bergulir sejak tahun 2013. Bank Indonesia saat itu sudah bercita-cita untuk mendorong kehadiran NPG. Pun tahun ini belum ada realisasi dari hal tersebut. Jika tahun depan Himbara berhasil mewujudkannya, payment gateway yang ada sekarang bisa memanfaatkannya untuk memudahkan penggunaan kartu debit untuk transaksi online.

Menunggu Realisasi National Payment Gateway

Industri digital saat ini tengah tumbuh dengan baik di Indonesia dengan e-commerce yang mencuat sebagai primadona dan memiliki perputaran uang paling besar dibanding yang lain. Hal tersebut memunculkan banyak inisiasi baru dari para pemangku kepentingan. Salah satu yang cukup ditunggu kehadirannya adalah National Payment Gateway (NPG). Meski sudah diangkat ke permukaan sejak beberapa tahun silam, hingga kini NPG masih belum kelihatan bentuknya.

I heard a lot about it, I heard nothing about it,” ujar Direktur Veritrans Budi Gandasoebrata dalam workshop Harbolnas hari kedua beberapa waktu silam. Kalimat tersebut diucapkannya ketika disinggung mengenai NPG. Harus diakui, apa yang diucapkan oleh Budi, secara gamblang telah menggambarkan kondisi perkembangan dari realisasi NPG di tanah air.

Wacana yang masih mencari “bentuk”

National Payment Gateway / Shutterstock

Sebenarnya, inisiasi NPG sendiri telah diangkat kepermukaan sejak empat tahun silam dan direncanakan untuk dapat direalisasikan pada tahun 2013. Namun, itu semua kini hanya menjadi wacana karena hingga menjelang akhir tahun 2015 NPG masih belum kelihatan bentuk batang hidungnya meski sudah jauh lebih banyak dibicarakan. Entah apa yang menjadi alasan di belakang sana, karena secara infrastruktur teknologi Indonesia harusnya sudah jauh lebih siap sekarang.

Budi mengatakan “Banyak yang bicara NPG, tapi arti dari NPG itu kami sendiri belum tahu. […] Intention-nya itu apa? Apakah domestic switch […] seperti NETS di Singapura, National Card Principle seperti di China, atau lainnya? […]. Kalau yang saya tangkap dari banyak diskusi adalah bagimana caranya bisa merekam seluruh transaksi e-commerce sehingga semuanya tercatat dalam satu pool.”

Sementara itu VP Enterprise Product Doku Imam Akbar Hadikusumo mengatakan, “Yang pasti, kalau ada NPG, yang diharapkan pemerintah adalah bisa memonitor dan melihat transaksinya [e-commerce]. Jadi, objective-nya mereka adalah bagaimana caranya transaksi e-commerce ini ada datanya.”

Bila NPG berhasil direalisasikan, industri digital yang akan merasakan dampaknya memang e-commerce. Menkominfo Rudiantara juga sempat menyebutkan bahwa NPG ini dapat bantu menyehatkan industri e-commerce itu sendiri.

Titik terang dari sebuah rumor

National Payment Gateway / Shutterstock

Bila harus melongok sejenak ke seberang, Indonesia memang masih tertinggal. Paling dekat, bisa dilihat Singapura dengan NETS [eNETS] dan di Belanda ada iDEAL. Ironis rasanya, apalagi bila mengingat pertumbuhan e-commerce Indonesia yang selalu diprediksi akan menjadi sebesar Tiongkok dalam beberapa tahun mendatang.

Pun begitu, ada secercah harapan yang terlihat. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas dalam pemberitaan Indotelko mengabarkan bahwa BI saat ini tengah menyiapkan blue print untuk merealisasikan NPG untuk tahun depan. Itu semua guna mengantisipasi naiknya transaksi non tunai yang akan meningkat beriringan dengan pertumbuhan e-commerce di Indonesia.

“Kami mengharapkan dengan adanya NPG ini, istilahnya, bisa mengadopsi kultur yang ada sekarang [di Indonesia] dan [transaksi e-commerce] termonitor dalam satu payment gateway yang otomatis terhubung dengan payment gateway yang sudah ada sekarang,” ujar Akbar.

Hingga saat ini terdapat 3 operator pembayaran yang dikenal luas, yaitu Artajasa yang mengelola ATM Bersama, Rintis Sejahtera yang mengelola Prima, dan Daya Network Lestari yang mengelola ALTO. Tapi, sayangnya hingga kini BI belum menunjuk operator mana yang akan bertindak sebagai pengelola tunggal NPG ini.

Merealisasikan NPG memang bukan hal yang mudah meski infrastruktur teknologi Indonesia saat ini pasti sudah mendukung. Ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan, mulai dari kultur Indonesia hingga regulasi di ranah keuangan yang sudah sangat mapan dan sulit untuk digoyang.

Saat ini harusnya sudah menjadi titik bagi para pemangku kepentingan untuk mulai duduk dan berdiskusi bersama untuk membentuk NPG dengan bentuk dan tujuan yang lebih jelas.

Heading Towards Indonesia’s National Payment Gateway 2013

Several days before, I share on Twitter about the cooperation between (finally) two biggest banks in Indonesia – based on the number of the customer. Bank Mandiri and Bank Central Asia will make their customers able to do inter-transaction via ATM since yesterday, October 11th, 2011. This interconnection can be done through Prima and Link network. Link is an assemblage of public banks consists of Bank Mandiri, BRI, BNI, and BTN.

Many people have waited for this policy. Thus, almost every bank is connected, including using the “ATM Bersama”. However, it is not the end of the banking condition and payment system in Indonesia. It is the beginning of the synergy of payment system in Indonesia which is called as National Payment Gateway (NPG).

Continue reading Heading Towards Indonesia’s National Payment Gateway 2013

Menuju National Payment Gateway Indonesia Tahun 2013

Hari ini saya berbagi di Twitter tentang kerjasama yang (akhirnya) dilakukan oleh dua bank terbesar di Indonesia, dari segi jumlah nasabah, Bank Mandiri dan Bank Central Asia, di mana nasabah keduanya dapat saling bertransaksi menggunakan ATM per 11 Oktober besok. Interkoneksi akan dilakukan melalui jaringan Prima dan Link. Link merupakan himpunan bank negara yang terdiri atas Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN.

Hal ini merupakan sesuatu yang melegakan dan sudah ditunggu-tunggu oleh banyak pihak. Ini berarti (hampir) semua bank di Indonesia sudah bisa berinterkoneksi dan berhubungan dengan mudah, termasuk dalam penggunaan ATM secara bersama. Meskipun demikian, ternyata ini bukanlah akhir dari perkembangan kondisi perbankan dan sistem pembayaran di Indonesia. Ini merupakan awal menuju sinergi sistem pembayaran di Indonesia yang disebut sebagai National Payment Gateway (NPG).

Continue reading Menuju National Payment Gateway Indonesia Tahun 2013