Kantor Google Indonesia Dikabarkan “Digerebek” Karena Tolak Audit Pajak

Diberitakan Bloomberg, kantor Google di Indonesia digerebek oleh pihak berwenang setelah diperingatkan beberapa kali terkait pemeriksaan pajak. Belum ada informasi lebih jauh apa yang dilakukan Pemerintah di kantor Google tersebut. Hal ini sedikit banyak mengulangi kejadian di Perancis beberapa waktu lalu.

Google memang menjadi sorotan di Indonesia karena dianggap tidak mematuhi aturan terkait dengan pajak. Di sisi lain pemerintah Indonesia tengah getol mengumpulkan pendapatan dari pajak, termasuk kampanye amnesti pajak saat ini. Salah satu yang menjadi sasaran adalah perusahaan-perusahaan OTT global seperti Google.

Dalam pemberitaan Bloomberg, Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv menyebutkan bahwa petugas pajak sudah beberapa kali mendatangi kantor Google yang bertempat di Jakarta dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Dia juga mengatakan bahwa pihaknya akan terus mengejar siapa pun yang tidak mematuhi aturan, dalam hal ini pajak termasuk Google.

Permasalahan Google dengan pemerintah Indonesia memang terkesan berlarut-larut. Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah mewajibkan semua perusahaan OTT global yang masuk ke Indonesia untuk membuat Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar bisa turut memberikan pemasukan dari segi pajak.

Keagresifan pemerintah Indonesia dalam mengejar pajak dari Google ini menyusul apa yang dilakukan negara-negara Eropa seperti Inggirs dan Perancis. Pemerintah Inggris melakukan penyelidikan selama enam tahun sebelum akhirnya membebankan pajak kepada Google kurang lebih sebesar Rp 2,2 triliun, terhitung sejak tahun 2005.

Cara dan agresivitas pemerintah Inggris tampaknya ditiru pemerintah Indonesia. Sampai saat ini belum ada informasi lebih lanjut mengenai penggerebekan kantor Google di Indonesia saat ini, termasuk informasi mengenai “hukuman” seperti apa jika Google tetap tidak membayar kewajibannya.

Isu Perpajakan Google Indonesia Berbuntut Panjang

Alphabet Inc sebagai induk perusahaan Google ditaksir melakukan penunggakan pajak dalam operasionalnya di Indonesia per tahun 2015 hingga mencapai Rp 5,2 triliun. Sementara Google Indonesia resmi berbentuk PT sejak tahun 2011. Pemerintah pun tak main-main untuk mendalami kasus ini, gertakan pun dilontarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pihaknya akan memperkarakan isu ini di forum internasional. Namun di balik diskusi seputar pelanggaran pajak yang saat ini masih hot, terpercik opini bahwa yang dilakukan Google tersebut merupakan bagian dari strategi untuk meningkatkan keuntungan.

Transaksi bisnis Google Indonesia dipusatkan di kantor pusat Google Asia Pasifik (terletak di Singapura). Dengan argumen tersebut, Google Indonesia mengklaim tidak perlu membayar pajak seperti yang diduga pihak pemerintah Indonesia.

“Argumen Google adalah mereka hanya melakukan tax planning. Namun perencanaan pajak secara agresif yang menyebabkan negara tempat mereka mendapatkan penghasilan itu tidak mendapatkan apa pun adalah ilegal,” kata Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Ditjen Pajak Muhammad Haniv.

Saat ini kasus Google tengah ditangani oleh Kemenkeu dan Kemenkominfo. Kemenkeu lebih banyak melakukan manuver untuk menambah bukti-bukti pelanggaran perpajakan, sedangkan Kemenkominfo terus menekan kepada Google dan pemain OTT (Over The Top) multinasional lain untuk segera merealisasikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Isu perpajakan yang melibatkan pemilik uang di luar negeri dewasa ini terus mencuat di permukaan, seiring dengan kebijakan Tax Amnesty yang dicetuskan pemerintah. Tak sedikit yang “ketar-ketir” dengan kebijakan ini, namun banyak yang merasa diuntungkan.

Strategi perusahaan dalam meminimalkan pembayaran pajak

Meja hijau dan urusan perpajakan tampaknya tak pernah membuat Google merasa kapok. Di Inggris, pada tahun 2011 silam Google terindikasi menunggak pembayaran pajak hingga Rp 7,7 triliun. Namun dalam pelaporan perpajakan Google berhasil meloloskan pembayaran. Kesengajaan tersebut akhirnya terbongkar, bahwa pihak Google mengalihkan perputaran transaksi ke Bermuda (negara bebas pajak). Skema sama yang turut dilakukan (mungkin tidak hanya oleh Google) dengan operasinya di Indonesia dan meletakkan perputaran transaksi bisnisnya di Singapura.

Secara naluriah pun akal sehat mudah memahami, bagaimana bisnis berambisi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun membayarkan pajak sekecil-kecilnya. Akan tetapi isunya sekarang adalah soal transparansi dan bagaimana negara konsumen besar seperti Indonesia yang dimanfaatkan begitu saja tanpa adanya imbal balik pemasukan pajak yang sesuai. Secara kasat mata begitu terlihat market-share Google sebagai layanan OTT begitu mendominasi di Indonesia. Bahkan berhasil membudaya sebagai “mbah” yang biasa ditanya ketika orang memerlukan sesuatu, “coba cari di mbah Google”.

Selain Inggris, ada juga Italia, Perancis, Tiongkok, Spanyol dan India yang sempat mempermasalahkan isu pajak kepada Google. Keyakinan pemerintah:

“Dengan menolak diperiksa, ada indikasi pidana, sudah pasti, mutlak. Dan mereka juga menolak ditetapkan sebagai BUT. Kami akan segera melakukan investigasi.”

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah mampu memberikan ancaman kepada Google? Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menekan pemerintah untuk tegas, bahkan meminta tidak segan untuk menutup jika terbukti menyeleweng.

Objek pajak untuk produk atau layanan berbasis OTT

Aktivitas bisnis Google memang tampak transparan, dilakukan secara elektronik dan memerlukan skema khusus dalam perhitungan rugi-laba. Menurut Menkeu Sri Mulyani aktivitas elektronik tersebut adalah objek pajak, sehingga wajib membayar pajak di Indonesia dan memberlakukan kesetaraan pajak. Turut diakui bahwa masih ada “masalah pajak” berkaitan dengan transaksi elektronik, namun hal tersebut juga dialami oleh banyak negara.

“Kami telah sampaikan kepada Google untuk juga memperlakukan tax (pajak) yang setara di Indonesia. Transaksi yang masuk ke revenue (pendapatan) Google yang berasal dari Indonesia dan ads (iklan) yang ditujukan, targeted untuk Indonesia bagaimana agar Google juga membayar pajak. Dipersilakan Google menempatkan permanent establishment (bentuk usaha tetap) di Indonesia,” kata Plt. Kepala Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Noor Iza.

Tak mudah memang untuk menelusuri bentuk transaksi elektronik. Studi kasusnya seperti ini, katakanlah ada sebuah perusahaan penyedia layanan streaming. Kepada pelanggannya di Indonesia ia menetapkan transaksi langsung dengan rekening yang dimiliki perusahaan di negara lain. Maka secara de-jure perpajakan pun menjadi kewajiban perusahaan di negara lain tersebut, kendati konsumen membeli dari Indonesia. BUT adalah isu utamanya. Ketika sebuah perusahaan seperti Google belum menjadi BUT, maka PPN tidak menjadi kewajiban untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Bagaimana ke depannya, baik langkah Google dalam menyelesaikan masalah ataupun langkah pemerintah untuk bisa bertindak tegas, kita masih harus menunggu. Harapannya kasus ini menjadi pelajaran untuk semua pemain OTT multinasional di Indonesia. Tak hanya dimanfaatkan sebagai ladang keuntungan saja, namun Indonesia turut mendapatkan untung dari potensi konsumen yang diberikan, 100 juta pengguna internet aktif yang masih terus bertumbuh.

Kasus Pajak untuk OTT Akan Dibawa Menkeu ke Forum Internasional

Pemerintah sekarang tampaknya tengah getol menggenjot pendapatan dari sektor pajak hingga ke ranah bisnis online. Salah satu berita yang hilir mudik di media beberapa hari ini adalah pemberitaan Google yang masih enggan membayar pajak kepada pemerintah. Padahal sejak beberapa tahun belakangan pemerintah sudah mewanti-wanti agar seluruh layanan digital yang beroperasi di Indonesia diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan wajib membayar pajak agar dapat restu untuk beroperasi di Indonesia. Atas kasus Google ini Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana mengangkat hal ini ke forum internasional dan juga memberikan sinyal akan membawa kasus ini ke pengadilan pajak.

Disebutkan dalam pemberitaan Sindonews yang dipublikasi hari ini, (16/9), Menkeu Sri Mulyani mempunyai inisiatif untuk membawa masalah pajak e-commerce yang sedang ramai dibahas ke forum internasional.

“Mungkin kita akan bawa ini ke forum internasional, agar semuanya lebih jelas dan gamblang,” ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa Google tidak membayar pajak sesuai dengan seharusnya. Meski hal ini dibantah pihak Google, namun pihak Direktorat Jendral Pajak (DJP) menyatakan tetap akan memeriksa perusahaan yang berpusat di Mountain View ini.

Sri Mulyani sendiri disebutkan akan terus mengejar pajak dari Google dan penyedia layanan lainnya. Untuk tidak mengulangi penolakan pembayaran dan pemeriksaan oleh Google, Sri Mulyani telah meminta tim Ditjen Pajak untuk melakukan kajian terhadap perusahaan global penyedia OTT yang beroperasi di Indonesia.

“Dan kalau kami (pemerintah dan Google) sepakat atau tidak sepakat, juga ada pengadilan pajak,” terang Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga mengakui bahwa permasalahan yang dihadapi Indonesia dengan perusahaan global penyedia layanan OTT ini juga menjadi permasalahan di banyak negara. Oleh karena itu pihaknya perlu berhati-hati dan melakukan perbandingan dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia membuat rezim yang kemudian dianggap tidak kompetitif atau sebaliknya dianggap tidak mampu mengoleksi potensi penerimaan negara.

Masalah BUT ini sebenarnya tidak hanya mengancam Google tetapi juga semua perusahaan OTT global yang beroperasi di Indonesia. Argumentasi dan keputusan Sri Mulyani yang menginginkan kehati-hatian dalam menghadapi permasalahan ini patut diapresiasi, mengingat sejauh ini OTT seperti Google masih dibutuhkan di Indonesia.

OnlinePajak Luncurkan Dua Fitur Premium

OnlinePajak kembali membuat terobosan tahun ini. Mereka meluncurkan fitur Manajemen Piutang dan fitur Kelola Karyawan 1 Klik untuk mempermudah otomatisasi sistem piutang dan pengelolaan karyawan perusahaan. Fitur-Fitur baru ini diperkenalkan bertepatan dengan diselenggarakannya Indonesia Fintech Festival & Conference tanggal 29-30 Agustus 2016 di Indonesia yang digelar di Indonesia Convention Exhibition, BSD Tangerang.

Direktur OnlinePajak Charles Guinot mengungkapkan bahwa pihaknya selain ingin membantu pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak juga ingin membantu perusahaan untuk mempermudah hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. Kedua fitur premium baru ini akan melengkapi beberapa fitur utama dari OnlinePajak yakni Hitung, e-Billing, setor, dan fitur pelaporan pajak secara online dan gratis.

“Kami meluncurkan fitur ‘Kelola Karyawan 1 Klik’ ini, karena dilatarbelakangi sistem perhitungan gaji, pajak dan penggajian karyawan yang rumit di Indonesia. Begitu banyak metode perhitungan yang berbeda-beda dengan peraturan yang tidak terlalu jelas,” jelas Charles.

Fitur Kelola Karyawan 1 Klik ini didesain untuk memudahkan staf akuntan / payroll dalam penghitungan gaji dan PPh Pasal 21 secara otomatis. Selain itu fitur ini juga memungkinkan untuk pembuatan ribuan slip gaji dan mengirimkannya ke email dalam satu klik. Termasuk setor dan lapor online PPh Pasal 21 dan sistem penggajian karyawan yang semua dimudahkan dalam satu klik sehingga memangkas waktu dan tenaga para staf akuntan yang selama ini banyak melakukan perhitungan pajak dan gaji secara manual.

“Kami membantu perusahaan-perusahaan melakukan perhitungan pajak dan gaji otomatis yang selalu diperbarui dengan peraturan berlaku. Walaupun begitu, OnlinePajak tak akan pernah jadi aplikasi SDM penuh yang juga menyediakan sistem KPI (Key Performance Index) atau manajemen kontrak. Tetapi, kami memfokuskan produk kami pada sistem penggajian karyawan (payroll) hingga proses pelaporan pajaknya. Termasuk juga pelaporan pajak untuk wajib pajak pribadi yang diadakan setiap tahun,” ujar Charles.

Fitur premium lainnya yang diluncurkan adalah Manajemen Piutang. Fitur ini membantu mempermudah pembayaran piutang perusahaan dengan sistem yang terotomatisasi. Fitur ini akan membantu perusahaan Lai dari penerbitan dan pengiriman faktur sementara, negosiasi dengan pelanggan, penyetujuan faktur, pemuatan e-faktur dan faktur komersial, mencetak dan mengirimkannya, dan juga lengkap dengan menindaklanjuti pembayaran dengan sistem otomatis.

Charles menjelaskan bahwa selama ini OnlinePajak telah membantu perusahaan dalam pembuatan e-faktur, dan dengan fitur baru ini OnlinePajak naik satu tingkat dengan menyediakan fitur lengkap Invoice Life Cycle.

“Kedua 2 fitur ini jadi memperluas wilayah kerja OnlinePajak menjadi sebuah aplikasi yang menangani keseluruhan transaksi perusahaan,” terang Charles.

Charles juga menambahkan bahwa dengan adanya dua fitur baru ini OnlinePajak bukan berniat untuk menambah sesak persaingan aplikasi keuangan dan SDM. OnlinePajak sebagai penyedia aplikasi pajak yang sudah disahkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) justru ingin melengkapi fungsi-fungsi dari aplikasi yang ada menjadi lebih terintegrasi dengan sistem informasi manajemen perpajakan di Indonesia.

Menkeu Ngotot Setelah Tahun Pertama Startup Wajib Bayar Pajak

Peta jalan (roadmap) e-commerce, yang dalam proses finalisasi di tingkat kementrian dan lembaga pemerintahan terkait, masih menyimpan kegundahan soal urusan perpajakan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berpendapat pelaku startup yang telah menjalankan bisnisnya setelah tahun pertama, wajib membayar pajak apabila bisnis menguntungkan.

“Ya kalau untung bayar pajak. Kalau enggak untung, enggak bayar pajak,” tegas Bambang kepada Kontan.

Sebelumnya beberapa pelaku startup yang meminta keringanan membayar pajak. Menanggapi hal tersebut, Menkeu enggan untuk berkomentar terkait dengan perlunya pemberian jeda waktu (grace period) pembebasan kewajiban pembayaran pajak.

Saat ini sudah banyak pelaku startup yang menyadari untuk kewajiban membayar pajak atas bisnis yang dijalankan, namun kalangan startup minta agar pembayaran tersebut bisa ditunda dan tidak dikenakan untuk saat ini.

Kementerian Keuangan masih menganggap penting pelaku startup untuk membayarkan pajak, terutama bagi mereka yang telah memperoleh omzet usahanya d ibawah Rp 5 miliar per tahun. Pajak yang dikenakan sama dengan pelaku UKM lainnya yaitu sebesar 1%.

Seperti ditegaskan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo, yang juga menjabat sebagai leader urusan deregulasi e-commerce:

“Ada beberapa kementerian yang belum (memberikan respon). Nah (soal perpajakan), ini kami belum dapat. Soal pajak, kami minta respon dari Kemenkeu, khususnya untuk bisnis startup.”

Hingga saat ini belum ada titik temu antara pemerintah dengan pelaku usaha terkait dengan regulasi perpajakan yang sebaiknya ditetapkan.

OnlinePajak Kini Bantu Proses E-Filing SPT Pribadi

OnlinePajak mengumumkan pihaknya kini telah mendukung proses E-Filing SPT Pribadi. Mereka ingin mengubah dogma pelaporan pajak yang “ribet” dengan proses yang diklaim lebih mudah. Sebelumnya, selama satu setengah tahun terakhir, OnlinePajak fokus membantu perusahaan mengurusi pelaporan pajaknya. Mereka berharap dukungan terhadap wajib pajak pribadi ini akan mendatangkan 30 ribu pengguna baru.

“Kami ingin memberikan nilai tambah dan insentif bagi pengguna aplikasi kami yang sudah membayar pajak dan berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan negara,” ujar pendiri dan Direktur OnlinePajak Charles Guinot.

OnlinePajak ingin menjadi aplikasi yang bersifat personal bagi wajib pajak pribadi dengan layanan yang lebih cepat dan gratis. Sistem yang dikembangkan disebut bisa memandu para wajib pajak yang selama ini masih kesulitan dalam hal mengakses dan melakukan pelaporan wajib pajak tahunan.

[Baca juga: OnlinePajak Umumkan Pembukaan API dan Kemitraan dengan Accurate, Talenta, dan Etobee]

“Di OnlinePajak, kami memandu wajib pajak pribadi melaporkan SPT Tahunan selangkah demi selangkah. Sangat mudah dan tidak perlu keluar kantor atau rumah untuk lapor pajak,” ujar Charles.

Layanan alternatif selain situs DJP

Sejak diluncurkan pada awal bulan Maret 2016 dan disahkan oleh DJP, bagian SPT Pribadi OnlinePajak sudah menjadi aplikasi terpadu yang bisa digunakan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak. Sejak didirikan sekitar 1,5 tahun lalu, kini OnlinePajak telah memiliki lebih dari 80.000 pengguna, di antaranya PT. Astra Otoparts Tbk, PT. Kawan Lama, dan TNT Indonesia.

“Ketika mulai membangun aplikasi OnlinePajak, kami menyadari ada masalah dalam tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Karena itu, kami membangun aplikasi pajak untuk wajib pajak badan dan orang pribadi ini secara gratis,” ungkap Charles.

Sebagai perusahaan swasta tidak dapat dipungkiri OnlinePajak masih membutuhkan pendapatan untuk menjalankan usahanya. Untuk itu OnlinePajak juga menyediakan fitur-fitur tambahan, seperti pengintegrasian data dari software akuntansi dan SDM, slip gaji elektronik, hadiah voucher, dan lainnya.

Pendekatan ini diklaim memiliki tiga efek, yaitu menyediakan nilai tambah berupa aplikasi yang lebih dari sekedar penuntasan administrasi pajak, seperti fitur e-faktur, menyediakan insentif bagi wajib pajak yang telah membayar pajak, dan yang terakhir membagikan nilai-nilai tambah agar memiliki bisnis model yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai dari OnlinePajak.

Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir

Kominfo memastikan pihaknya bakal menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur soal kewajiban pendirian Badan Usaha Tetap (BUT) untuk semua layanan OTT yang beroperasi di Indonesia. Diperkirakan siap terbit akhir Maret ini, layanan OTT asing yang tidak memiliki BUT, artinya termasuk tidak membayar pajak apapun ke negara, bakal diblokir. Langkah ini serupa dengan yang diultimatum kepada Netflix, meskipun Telkom telah mencuri start dan memblok layanan streaming film dan TV populer ini.

Kepada Bisnis.com, Menkominfo Rudiantara mengungkapkan pihaknya saat ini tengah melakukan finalisasi Peraturan Menteri yang mengatur kewajiban BUT bagi layanan OTT yang beroperasi di Indonesia. Disebutkan bakal ada masa transisi sebelum hukuman benar-benar dijalankan. Rudiantara mengatakan, “Punishment kalau nggak dipenuhi, teknisnya gampang, nanti diblokir dari operator.”

Kewajiban BUT sendiri mengatur bahwa layanan OTT asing, harus memiliki izin legalitas untuk beroperasi di sini, dalam bentuk perusahaan PMA atau joint venture dengan pemodal lokal, dalam hal ini misalnya dengan operator telekomunikasi. Dari situ setiap penerimaan yang diperoleh di Indonesia akan menjadi obyek pajak pemerintah.

Secara definisi, pengertian BUT adalah:

Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :

  • tempat kedudukan manajemen.
  • cabang perusahaan.
  • kantor perwakilan
  • gedung kantor
  • pabrik.
  • Bengkel.
  • Gudang.
  • ruang untuk promosi dan penjualan.
  • pertambangan dan penggalian sumber alam.
  • wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
  • perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
  • proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
  • pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
  • orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
  • agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
  • komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

Masih dari Bisnis.com, Rudiantara mencontohkan bahwa iklan digital di Indonesia di tahun 2015 mencapai $430 juta. Pemerintah seharusnya mendapatkan PPN 10% dari nilai tersebut, di luar PPh Badan yang dikenakan untuk perusahaan.

Peraturan ini bisa menjadi senjata pamungkas untuk menghentikan semua layanan OTT yang beroperasi di Indonesia dan tidak membayar pajak ke pemerintah Indonesia. Tak cuma layanan OTT macam aplikasi messaging atau streaming, peraturan ini juga ditujukan bagi pemimpin pasar, seperti Google, Facebook, atau Twitter yang sudah memiliki kantor perwakilan dan kukuh dengan bisnis iklan digitalnya.

Uber dan Netflix adalah dua contoh layanan OTT asing yang terus-menerus menjadi sorotan soal pembentukan BUT di Indonesia. Apakah bakal jatuh korban blokir yang lebih banyak, yang tak melulu karena tersandung urusan pornografi dan LGBT?

Pedagang Online di Media Sosial Wajib Membayar Pajak, Pemerintah Kesulitan Mendata

Berdasarkan informasi yang dirilis Direktorat Jendral Pajak (DJP), disebutkan sebanyak 70% APBN berasal dari pajak negara. Salah satu usaha meningkatkan perolehan pajak negara, bagi DJP, adalah melakukan penarikan kewajiban pajak kepada pelaku UKM yang mulai banyak memanfaatkan media sosial sebagai platform untuk berjualan. Pajak yang dikenakan DJP untuk UKM dengan pendapatan kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun adalah 1%.

Diakui DJP, saat ini masih kesulitan untuk mendata siapa saja pelaku UKM yang tersebar jumlahnya di seluruh Indonesia dan memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Line, BlackBerry Messenger (BBM), dan WhatsApp untuk menjual produk dagangannya. Untuk itu, seperti yang ditegaskan oleh Kepala Sub Direktorat Pengembangan Penegak Hukum Direktorat Jendral Pajak Yulianingsih, pemerintah akan mengejar kewajiban pajak dari transaksi yang dilakukan di media sosial.

“Sekarang banyak yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Kita akan kejar pajak dari transaksi yang dilakukan di platform itu,” ungkap Yulianingsih kepada Indotelko.

Menurut Yulianingsih, setiap penjual diwajibkan untuk membayar 1% pajak dari omset penjualan Rp 4,8 miliar setahun. Peraturan ini berlaku untuk semua ritel offline dan online. Diharapkan semua penjual online yang memanfaatkan media sosial, yang menjual secara spontan (sewaktu-waktu) dan masih memanfaatkan media sosial, untuk mendaftarkan data diri mereka ke DJP.

“Pedagang pun nantinya diharuskan mendaftar supaya kami memiliki datanya, ini buat ketertiban bersama,” kata Yulianingsih.

Data yang dihimpun Bank Indonesia menyebutkan sepanjang tahun 2014 nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai $2,6 miliar atau sekitar Rp 36 triliun.

Ditjen Pajak Resmikan Pembayaran Pajak Lewat Sistem E-Billing

Mengawali tahun 2016 Direktorat Jenderal Pajak resmi mengakhiri sistem pembayaran pajak manual atau hard copy yang selama ini dilayani oleh semua bank swasta, bank Badan Usaha Milik Negra (BUMN) dan kantor pos. Selanjutnya para wajib pajak bisa membayarkan pajaknya secara daring melalui sistem E-Billing.

Untuk mengakomodasi masa transisi cara pembayaran pajak yang semua manual ke sistem daring menggunakan E-Billing, Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN, dan PT Pos Indonesia masih akan terus melayani pembayaran secara manual sampai 30 Juni tahun ini.

“Pemberlakuan sistem E-Billing merupakan wujud peningkatan layanan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bagi Wajib Pajak yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, kenyamanan dan keamanan dalam membayar pajak,” ungkap Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Pajak.

Secara konsep, penerapan E-Billing ini diharapkan mampu memudahkan para wajib pajak untuk melakukan pembayaran kapanpun dan di manapun. Selain itu penggunaan sistem daring ini juga diharapkan mampu menghindari ketidakcocokan transaksi karena transaksi akan dapat tercatat secara real time di sistem Ditjen Pajak.

Untuk dapat menggunakan sistem E-Billing ini wajib pajak perlu melakukan pendaftaran terlebih dahulu di situs http://sse.pajak.go.id dengan memasukkan nomor NPWP dan alamat surel. Selanjutnya setelah terdaftar, wajib pajak tidak lagi menggunakan formulir setoran pajak melainkan mengisi data setoran pajak. Apabila data pembayaran pajak sudah dipastikan benar, wajib pajak tinggal memproses untuk mendapatkan kode billing yang selanjutnya dapat digunakan untuk melakukan pembayaran baik di Teller Bank, Pos Persepsi, ATM, atau internet banking.

“Transaksi pembayaran pajak yang sukses akan menerima Bukti Penerimaan Negara yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak,” ujar Mekar.

Mendag Tegaskan Pelaku Usaha Online Wajib Memiliki NPWP

Mendag Tegaskan Pelaku E-commerce wajib NPWP / Shutterstock

Pembahasan peraturan tentang RPP e-commerce belakangan sedang banyak diberitakan. Dalam RPP tersebut disinggung pelaku usaha di bidang e-commerce wajib untuk memiliki tanda pengenal yang sah, termasuk NPWP. Hal senada juga disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel. Ia menegaskan agar pelaku usaha e-commerce wajib memiliki Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP). Sebab menurutnya semua usaha di Indonesia memang sudah sepantasnya memiliki NPWP. Continue reading Mendag Tegaskan Pelaku Usaha Online Wajib Memiliki NPWP