Sony Luncurkan Strap Pintar Bagi Penggemar Arloji yang Ingin Mencicipi Kecanggihan Smartwatch

Sekitar empat tahun yang lalu, divisi riset Sony memperkenalkan sebuah smartwatch bernama Wena Wrist. Saya maklum jika Anda baru pertama kali mendengarnya, sebab peluncurannya memanfaatkan platform crowdfunding milik Sony sendiri, dan barangnya pun juga cuma dijual di Jepang saja.

Wena Wrist bukanlah pesaing tangguh buat Apple Watch, apalagi Rolex, Patek Philippe maupun arloji-arloji dari brand mewah lainnya. Secanggih apapun smartwatch, rasanya sulit untuk menandingi nilai-nilai yang ditawarkan jam tangan tradisional. Sony pun berpikir, ketimbang mencoba menantang, kenapa tidak menjadi pelengkap saja?

Kira-kira seperti itulah pemikiran di balik produk bernama Wena Wrist Pro dan Wena Wrist Active berikut ini. Keduanya bukanlah smartwatch, dan lebih tepat disebut sebagai smart strap, sebab mereka memang dimaksudkan untuk menarik perhatian para pemilik Rolex yang enggan bermigrasi ke smartwatch, tapi di saat yang sama ingin mencicipi sejumlah fitur pintarnya.

Wena Wrist Pro / Sony
Wena Wrist Pro / Sony

Wena Wrist Pro adalah yang berbahan logam, tersedia dalam pilihan warna silver atau hitam, serta dalam ukuran 18, 20 dan 22 mm. Hampir semua komponen canggihnya dijejalkan ke bagian gesper, termasuk halnya segaris layar kecil yang dapat dipakai untuk menampilkan notifikasi.

Wena Wrist Pro

Selebihnya, Wena Wrist Pro juga bisa digunakan untuk memonitor sejumlah aktivitas ringan, serta untuk membayar via NFC. Kalau dipikir-pikir, tiga fitur ini memang merupakan yang paling esensial dari sebagian besar smartwatch.

Wena Wrist Active / Sony
Wena Wrist Active / Sony

Namun kalau Anda mendambakan fitur yang lebih banyak serta tampilan yang lebih sporty, maka Wena Wrist Active adalah pilihannya. Strap berbahan silikon ini unik, sebab tanpa tersambung ke jam tangan pun dia sudah bisa beroperasi sebagai sebuah activity tracker mandiri, lengkap dengan integrasi ke platform Apple Health maupun Google Fit.

Tracking-nya juga tidak seterbatas Wena Wrist Pro, sebab Sony turut membenamkan GPS beserta heart-rate monitor pada Wena Wrist Active. Secara keseluruhan, Wena Wrist Active terasa lebih modern, tapi di saat yang sama mungkin ia kurang bisa memikat perhatian para penggemar arloji tradisional sejati.

Wena Wrist Active

Kabar buruknya, Sony baru memasarkan Wena Wrist Pro dan Active ini di dataran Inggris saja, dengan banderol masing-masing £399 dan £349, dan sejauh ini belum ada info mengenai rencana Sony untuk membawanya ke kawasan lain.

Saya juga terkejut melihat harganya yang cukup premium, terutama untuk Wena Wrist Active. Kalau untuk Wena Wrist Pro, saya bisa maklum mengingat target pasarnya adalah mereka yang sudah sanggup membeli arloji mahal, dan ingin mencicipi kecanggihan smartwatch tanpa melengserkan jam tangan kesayangannya.

Sumber: CNET.

Tak Mau Kalah dari Nike, Puma Singkap Sepatu Self-Lacing Generasi Terbarunya

Belum lama ini, Nike memperkenalkan Adapt BB, sepatu basket canggih yang dapat mengendur dan mengencang dengan sendirinya. Pengumuman ini sepertinya membuat Puma kebakaran jenggot, sebab mereka juga baru saja menyingkap sepatu berteknologi self-lacing.

Puma menamai seri sepatu canggih ini dengan nama Fi, singkatan dari “Fit Intelligence”. Sepatu pertama dari keluarga Fi adalah sepatu lari. Desainnya simpel dan modern, tidak seperti Puma RS Computer Shoe yang sengaja dibuat semirip mungkin dengan versi aslinya dari tahun 1986.

Puma Fi

Puma Fi memanfaatkan perpaduan sebuah micromotor dan kabel super-tipis untuk mengencang atau mengendur. Sama seperti punya Nike, semuanya bisa dikontrol melalui aplikasi smartphone. Yang berbeda, Adapt BB mengandalkan tombol sebagai input manualnya, sedangkan Puma Fi mengusung semacam touchpad pada bagian atasnya.

Juga sama seperti Nike Adapt BB adalah kemampuannya untuk mengendur dan mengencang dengan sendirinya mengikuti kondisi kaki penggunanya. Aplikasi maupun touchpad-nya itu pada dasarnya hadir sebagai alternatif ketika pengguna masih merasa kurang pas dengan mode otomatisnya.

Kemiripan Fi dengan Adapt BB terus berlanjut sampai ke mekanisme charging-nya yang wireless. Sayang Puma belum mengungkap seberapa awet baterainya, namun yang menarik, baterainya ternyata bisa dilepas dan diganti dengan unit lain, sangat berguna ketika kehabisan daya selagi sedang tidak di rumah.

Puma Fi

Rencananya, Puma bakal menjual sepatu canggih ini dengan harga $330, lebih murah $20 ketimbang besutan Nike. Sangat disayangkan pemasarannya baru akan berlangsung tahun depan, yang berarti Nike punya waktu sekitar satu tahun untuk ‘mengenyangkan’ dirinya di segmen sepatu self-lacing.

Lebih mengecewakan lagi adalah fakta bahwa Fi bukanlah sepatu self-lacing pertama Puma. Di tahun 2016, mereka sempat memperkenalkan Puma AutoDisc, yang merupakan cikal bakal dari sepatu ini. Jeda waktu tersebut Puma manfaatkan untuk mematangkan teknologinya; menciutkan ukurannya dan membuatnya lebih komersial, sekaligus melengkapinya dengan lapisan penutup yang breathable.

Sumber: Digital Trends dan Puma.

Matrix PowerWatch 2 Kawinkan Teknologi Thermoelectric dengan Panel Surya Mini

Sekitar dua tahun lalu, sebuah startup bernama Matrix Industries menyingkap smartwatch yang sangat inovatif. Dijuluki Matrix PowerWatch, keunggulannya terletak pada teknologi thermoelectric, yang memungkinkan perangkat untuk mengubah panas tubuh penggunanya menjadi energi, sehingga perangkat pun tidak perlu di-charge baterainya seperti pada umumnya.

Sekarang, Matrix tengah bersiap meluncurkan smartwatch keduanya, PowerWatch 2. Perangkat ini masih mengunggulkan teknologi thermoelectric seperti sebelumnya, akan tetapi kinerjanya kini makin efektif berkat bantuan energi matahari.

Ya, PowerWatch 2 dibekali dengan panel surya mini berbentuk cincin yang mengitari layarnya. CEO Matrix, Akram Boukai, percaya bahwa perpaduan thermoelectric dan panel surya mampu menjaga supaya PowerWatch 2 tidak pernah kehabisan daya. Namun ternyata itu bukan satu-satunya pembaruan yang dihadirkan PowerWatch 2.

Matrix PowerWatch 2

Pembaruan lainnya mencakup heart rate monitor, GPS, layar berwarna, serta ketahanan air yang naik menjadi 200 meter. Usai menerima firmware update nanti, PowerWatch 2 bahkan dapat mendeteksi aktivitas-aktivitas seperti berlari, bersepeda, maupun berenang secara otomatis.

Lebih menarik lagi, semua itu tidak malah membuat fisik PowerWatch 2 jadi lebih bongsor. Pada kenyataannya, tebalnya justru berkurang 1 mm dari pendahulunya. Desainnya pun juga sudah dibenahi, kini tampak lebih sporty dan rugged, sedangkan crown di sisi kanannya kini telah digantikan oleh empat tombol.

Sama seperti pendahulunya, Matrix PowerWatch 2 saat ini sudah mulai dipasarkan lewat situs crowdfunding Indiegogo. Selama masa kampanye, harga paling murahnya dipatok $199, sedangkan harga retail-nya diestimasikan berkisar $499.

Sumber: Wareable.

Puma Hidupkan Kembali Sepatu Lari Canggihnya dari Tahun 1986, RS Computer Shoe

Jauh sebelum kita mengenal fitness tracker dalam bentuk gelang dan jam tangan, di tahun 1986 pernah ada sepatu lari buatan Puma yang mampu merekam data seperti jarak tempuh, durasi, dan jumlah kalori yang terbakar. Namanya Puma RS Computer Shoe, di mana “RS” merupakan singkatan dari “Running System”.

Penampilan sepatu itu tergolong nyentrik, sebab ada bagian yang menyembul di area tumit, yang merupakan tempat modul sensor dan tombol pengoperasiannya bernaung. Puma bukan yang pertama menerapkan teknologi serupa, akan tetapi sepatu buatannya punya kelebihan tersendiri, yakni kemampuan untuk disambungkan ke komputer seperti Apple IIE dan Commodore 64 via konektor 16-pin guna meninjau datanya.

2018 Puma RS Computer Shoe

Lebih dari 30 tahun berselang, Puma memutuskan untuk menghidupkan kembali sepatu tersebut, tanpa banyak mengubah desain ikoniknya, tetap dengan bagian tumit yang menyembul. Kendati demikian, jeroannya tentu sudah diperbarui. Utamanya, kini ada accelerometer 3-axis, indikator LED, dan konektivitas Bluetooth 4.0.

Ya, datanya kini bisa dipantau langsung melalui ponsel Android maupun iPhone, via aplikasi khusus yang Puma siapkan. Demi menjaga kesan retro, tampilan aplikasinya pun sengaja dibuat dengan aset grafik 8-bit. Sepatunya sendiri bisa menyimpan data pemakaian selama 30 hari.

2018 Puma RS Computer Shoe

Kehadiran Bluetooth jelas menghilangkan sensasi unik yang didapat dari menyambungkan sepatu ke komputer via kabel. Puma sadar akan hal itu, dan reinkarnasi RS Computer Shoe ini rupanya masih bisa ditancapi kabel, hanya saja untuk mengisi ulang baterainya via USB.

Kabar buruknya, sepatu ini hanya akan dipasarkan dalam jumlah amat terbatas, tepatnya 86 pasang saja, mulai tanggal 13 Desember di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.

Sumber: The Verge dan Puma.

Perangkat Wearable Ctrl-Kit Memungkinkan Kita Mengendalikan Komputer Dengan Pikiran

Sejumlah film fiksi ilmiah seperti Back to the Future, Minority Report, hingga Avatar mendemonstrasikan mudahnya berinteraksi dengan konten menggunakan teknologi hologram interaktif. Namun sebelum sampai di sana, para inventor harus lebih dulu mengembangkan sistem input yang bisa merespons tindakan pengguna secara tanggap dan intuitif.

Ctrl-Labs, yaitu sebuah startup asal New York, saat ini tengah sibuk menggarap sistem kendali eksperimental yang berpeluang merombak industri aksesori PC. Perangkat bernama Ctrl-Kit ini punya kemampuan untuk menerjemahkan gelombang listrik di otot menjadi sinyal digital, yang kemudian dimanfaatkan buat menggerakkan dan memanipulasi objek digital. Proyek pengerjaannya masih berlangsung, dan dalam waktu dekat, Ctrl-Labs akan melepas versi development kit-nya.

Penampilan versi developer Ctrl-Kit cukup berbeda dari model purwarupa yang Ctrl-Labs sempat perlihatkan tahun lalu. Perangkat tidak lagi terpasang ke unit Raspberry Pi. Di inkarnasi terkininya, Ctrl-Kit terbagi jadi dua komponen: bagian radio dengan wujud dan pemakaian mirip arloji berukuran raksasa, disambung ke unit elektroda di dekatnya – diposisikan di lengan mendekati siku.

Dalam presentasi acara Slush 2018 di kota Helsinki, Finlandia, CEO Thomas Reardon menyampaikan bahwa Ctrl-Kit didesain untuk mentransformasi pengguna menjadi controller, karena perangkat mampu menafsirkan langsung gerakan Anda. Lewat cara ini, manusia dapat mendominasi ‘sel saraf yang ada di alat komputasi’ dengan neuron mereka sendiri. Kapabilitas ini dipercaya berpotensi mendorong pengembangan ranah machine learning.

Ctrl-Kit bekerja dengan basis teknologi electromyography. EMG bertugas untuk mengubah keinginan mental menjadi aksi. Lebih spesifiknya, ia mampu mengukur pontesi arus listrik yang diperoleh dari aliran gelombang otak ke otot tangan. Perangkat ini dibekali tidak kurang dari 16 elektroda buat memonitor sinyal neuron, yang kemudian diperkuat dan diukur oleh ‘unit motor’. Proses pembacaan tersebut dibantu oleh algoritma Google TensorFlow, sehingga perangkat bisa membedakan denyutan individu di masing-masing saraf.

Berdasarkan pengakuan Ctrl-Labs, metode electromyography lebih detail dan efektif menangkap gelombang otak dibanding perangkat-perangkat wearable berbasis electroencephalography. EGG baru dapat membaca aktivitas elektrik otak dengan sensor yang ditempelkan di kulit kepala. EMG sendiri sanggup mendeteksi sinyal motorik sel saraf secara lebih jernih. Hal yang perlu produsen perhatian adalah memastikan software-nya bisa mengukur secara akurat.

Lewat versi developer ini, pertama-tama Ctrl-Labs berkeinginan untuk mengembangkan Ctrl-Kit sebagai alat pendukung gaming – terutama permainan-permainan berbasis virtual reality. Teknologi EMG dapat mempermudah dan menyederhanakan pengendalian. Bayangkan, Anda hanya perlu menggerakkan tangan buat mengambil objek digital atau bahkan mengendalikan pesawat jet hanya dengan pikiran.

Sumber: VentureBeat.

Kacamata Audio Augmented Reality Bose Frames Siap Dipasarkan Januari 2019

Maret lalu, Bose membuat kejutan dengan memamerkan prototipe kacamata augmented reality yang sama sekali tidak mengedepankan aspek visual. Sebagai gantinya, pengalaman AR murni disajikan melalui suara.

Kedengarannya aneh memang, akan tetapi kalau mengacu pada makna harfiah AR yang berarti “realitas tertambah”, tidak ada salahnya apabila yang ditambahkan hanya sebatas audio. Anda boleh setuju boleh tidak, tapi yang pasti Bose sudah siap untuk memasarkannya dalam waktu dekat.

Perangkatnya pun kini sudah memiliki nama resmi, yaitu Bose Frames. Secara fisik Frames hampir tidak ada bedanya dari kacamata hitam biasa, kecuali bagian tangkainya memang agak lebih gemuk dari biasanya. Bose pun bakal menawarkan Frames dalam dua gaya desain yang berbeda: Alto yang mengotak dan besar, dan Rondo yang bulat tapi lebih kecil.

Bose Frames

Frames mengarahkan audio langsung ke kedua telinga pengguna, dan di bagian pelipis kanan ada sebuah tombol multi-fungsi beserta mikrofon, sehingga pengguna dapat memanggil Siri atau Google Assistant dengan mudah. Ya, untuk menggunakan Frames, Anda harus terlebih dulu menyambungkannya ke ponsel via Bluetooth.

Setelahnya, Frames akan mengambil data GPS yang direkam ponsel untuk menentukan lokasi pengguna dan memulai sajian AR-nya. Namun bukan hanya itu saja, Bose juga menyematkan sensor pada Frames yang dapat mendeteksi pergerakan kepala di 9 poros, sehingga pada akhirnya perangkat bisa paham ke arah mana pengguna menghadap.

Jadi semisal pengguna tengah berkunjung ke museum dan mengamati suatu objek, Frames bisa tahu dan langsung memberikan informasi lebih lengkapnya. Berhubung semuanya tersuguhkan via audio, pengguna tak perlu khawatir ada elemen visual yang menghalangi pandangannya.

Bose Frames

Dalam satu kali pengisian, baterai Frames bisa bertahan hanya sampai 3,5 jam pemakaian, atau 12 jam standby. Charging-nya sendiri memakan waktu kurang dari dua jam.

Gerbang pre-order Bose Frames saat ini telah dibuka di Amerika Serikat, dengan harga $199. Pemasarannya baru akan dimulai pada bulan Januari 2019, akan tetapi fitur-fitur AR-nya baru akan hadir pada bulan Maret, bertepatan dengan event SXSW 2019.

Sumber: VentureBeat dan Bose.

Withings Pulse HR Siap Tandingi Fitbit Charge 3

Baru dua bulan yang lalu, Withings memulai kembali debutnya di ranah wearable lewat smartwatch analog Steel HR Sport. Tanpa harus menunggu lama, mereka langsung tancap gas merilis produk baru lagi, yaitu Withings Pulse HR.

Pulse, bagi yang masih ingat, adalah fitness tracker pertama Withings yang diluncurkan di tahun 2013. Bentuknya mirip iPod Shuffle yang ditarik sisi kiri dan kanannya, akan tetapi suksesornya kini telah berevolusi menjadi sebuah gelang pintar macam Fitbit Charge 3.

Melihat namanya, heart-rate monitoring memang menjadi salah satu fitur unggulannya. Laju jantung akan terus dimonitor selagi pengguna aktif berolahraga, tapi selebihnya perangkat hanya akan memonitor dalam interval 10 menit, demi menjaga ketahanan baterai tentu saja.

Withings Pulse HR

Bicara soal baterai, Pulse HR diklaim mampu beroperasi sampai 20 hari dalam satu kali pengisian. Masih kalah awet ketimbang Steel HR Sport, dan Pulse HR juga tidak bisa dipakai untuk memonitor VO2 Max seperti sepupu smartwatch-nya tersebut.

Kendati demikian, Pulse HR masih menawarkan sebagian besar fitur yang terdapat pada Steel HR Sport. Ada lebih dari 30 jenis aktivitas fisik yang dapat dikenali, mulai dari berlari, bermain bola voli, sampai yoga. Sayangnya untuk tracking GPS, Pulse HR masih harus nebeng ke smartphone. Sleep tracking pun juga tersedia bagi yang membutuhkan.

Withings Pulse HR

Meski desainnya tidak secantik Steel HR Sport, Pulse HR masih mengandalkan material premium seperti casing stainless steel, dan secara keseluruhan ia siap pengguna ajak menyelam sampai kedalaman 50 meter. Layarnya menggunakan panel OLED, namun Withings enggan menyebutkan resolusinya.

Saat ini Withings telah memasarkan Pulse HR seharga $130, sedikit lebih murah daripada banderol Fitbit Charge 3 yang merupakan kompetitor terdekatnya.

Sumber: Wareable.

Pakai OS Bikinan Sendiri, Huawei Watch GT Diklaim Punya Baterai yang Tahan Sampai Dua Minggu

Huawei resmi memperkenalkan smartphone flagship barunya, Mate 20 dan Mate 20 Pro. Bersamaan dengan itu, produsen smartphone nomor dua urusan market share itu juga menyingkap smartwatch baru bernama Huawei Watch GT.

Watch GT adalah smartwatch pertama Huawei yang tidak menggunakan sistem operasi Wear OS. Sebagai gantinya, Huawei menyematkan sistem bikinannya sendiri yang dijuluki LiteOS – yang awalnya ditujukan untuk ekosistem Internet of Things (IoT) – demi memaksimalkan daya tahan baterai perangkat.

Huawei Watch GT

Huawei tampaknya tidak main-main soal itu. Watch GT diklaim dapat beroperasi hingga 2 minggu, dengan fitur heart-rate monitoring aktif dan fitness tracking yang berfungsi selama 90 menit per minggunya. Tanpa heart-rate monitoring dan fitness tracking – hanya untuk menerima pesan dan panggilan telepon saja – Watch GT diyakini bisa terus menyala sampai 30 hari.

Untuk penggunaan secara aktif (fitness tracking secara kontinu, heart-rate monitoring dan GPS menyala), Watch GT sanggup mendampingi penggunanya hingga 22 jam nonstop. Angka-angka itu akan terdengar semakin mengesankan setelah mengetahui spesifikasinya, utamanya layar sentuh AMOLED 1,39 inci dengan resolusi 454 x 454 pixel (326 ppi).

Huawei Watch GT

Sayang Huawei enggan merincikan spesifikasi lengkapnya. Mereka sama sekali tidak mencantumkan tipe chipset yang digunakan. Dugaan saya, Huawei menggunakan chipset bikinannya sendiri yang dibantu AI untuk memaksimalkan manajemen daya.

Terkait desain, wujud Watch GT cukup mirip seperti Huawei Watch 2, terlebih berkat sepasang tombol di sisi kanannya. Bodinya yang tahan air sampai kedalaman 50 meter tergolong bongsor, dengan diameter 46,5 mm, tebal 10,6 mm dan bobot 46 gram. Material yang digunakan mencakup logam, plastik dan keramik, sedangkan strap-nya tersedia dalam varian silikon dan kulit.

Jadwal perilisan Huawei Watch GT masih belum ditentukan, akan tetapi harganya dipatok 199 euro untuk varian Sport, dan 249 euro untuk varian Classic.

Sumber: 1, 2, 3.

Perangkat Wearable Inovatif Myo Armband Berhenti Dipasarkan

Bagi yang mengikuti perkembangan perangkat wearable sejak lama, Anda semestinya pernah mendengar tentang Myo Armband. Dikembangkan oleh startup bernama Thalmic Labs, perangkat inovatif itu memanfaatkan sederet sensor electromyographic (EMG) untuk mendeteksi aktivitas elektrik pada otot-otot di pergelangan tangan.

Digabungkan dengan gyroscope, accelerometer dan magnetometer, Myo pun sanggup menerjemahkan informasi tersebut menjadi gesture tangan yang beragam untuk mengontrol berbagai perangkat; mulai dari komputer, VR headset sampai drone. Setelah sejumlah revisi, versi ritel Myo pada akhirnya dirilis di tahun 2015.

Sayang sekali umur Myo rupanya cukup pendek. Baru-baru ini, Thalmic memutuskan untuk berhenti memasarkan Myo dengan alasan perlu berfokus penuh pada produk barunya. Belum ada informasi mengenai apa produk baru tersebut, tapi yang pasti betul-betul berbeda dari Myo – ada rumor yang mengatakan smart glasses – dan Thalmic berencana untuk menyingkapnya dalam waktu dekat.

Sepanjang perjalanannya sejak tahun 2012, Thalmic berhasil mengumpulkan pendanaan lebih dari $135 juta dari sejumlah investor. Myo yang dijual seharga $200 sendiri juga sempat menjadi sorotan dalam sejumlah pencapaian teknologi.

Salah satu yang paling keren adalah pencapaian dari para peneliti di John Hopkins University, yang memanfaatkan dua unit Myo agar seorang pasien amputasi dapat mengontrol tangan prostetiknya.

Tidak kalah menarik adalah ketika Myo berada di tangan seorang DJ kelas dunia, yaitu Armin van Buuren. DJ asal Belanda itu sempat mengenakan Myo di kedua tangannya untuk mengontrol efek pencahayaan yang bombastis pada salah satu konsernya.

Seumpama Thalmic benar pivot ke smart glasses, kita mungkin bakal menilainya sebagai sebuah downgrade. Namun semestinya mereka mampu menawarkan inovasi yang sangat menarik di ranah tersebut, apalagi mengingat mereka harus benar-benar berpaling dari Myo, dan itu yang membuat saya cukup penasaran.

Sumber: VentureBeat dan Thalmic.

LG Watch W7 Adalah Smartwatch Wear OS dengan Elemen Mekanis Jam Tangan Tradisional

Salah satu alasan klise yang dilontarkan konsumen yang enggan membeli smartwatch adalah, mereka menginginkan smartwatch yang tampak seperti jam tangan normal. Mereka memang punya banyak pilihan smartwatch analog, tapi tanpa adanya layar, tentu saja fitur dan informasi yang dapat disajikan sangatlah terbatas.

Solusinya, menurut LG, adalah mengadopsi sistem hybrid. Hybrid di sini maksudnya adalah perpaduan elemen mekanis jam tangan tradisional dengan layar sentuh. Dari situ lahirlah LG Watch W7, smartwatch pertama LG sejak LG Watch Sport dan Watch Style yang dirilis di awal tahun 2017, yang diungkap berbarengan dengan LG V40 ThinQ.

Elemen mekanis itu diwakilkan oleh sistem pergerakan buatan pemasok komponen horologi asal Swiss, Soprod SA, serta jarum jam dan menit fisik yang semuanya bergerak secara mandiri tanpa bergantung sistem elektronik milik W7. Persis di bawah jarum jam dan menit itu ada panel OLED 1,2 inci beresolusi 360 x 360 pixel.

LG Watch W7

Sebelum LG, sebenarnya sudah ada startup asal Swiss yang mengimplementasikan sistem hybrid serupa, yakni MyKronoz. Bedanya, LG Watch W7 merupakan smartwatch Wear OS, dan itu berarti fitur-fitur yang ditawarkan sama persis seperti smartwatch Wear OS lain, termasuk desain baru yang Google ungkap belum lama ini.

Adanya jarum penunjuk waktu fisik berarti W7 bakal kelihatan sangat mirip seperti jam tangan tradisional. Namun di saat yang sama, jarum tersebut bisa mengganggu visibilitas, terutama ketika perangkat sedang menampilkan notifikasi.

LG sudah menyiapkan solusinya, meski kesannya kurang elegan: saat tombol atasnya ditekan, jarum jam dan menitnya akan bergeser ke posisi angka 3 dan 9, diikuti oleh tampilan display yang bergerak naik sedikit. Harapannya, teks yang tengah ditampilkan bisa terbaca lebih jelas.

LG Watch W7

Namun hal yang paling menyebalkan dari W7 adalah spesifikasinya. LG masih menggunakan chipset Snapdragon Wear 2100, bukan Snapdragon Wear 3100 yang baru saja dirilis dan menjanjikan peningkatan efisiensi baterai yang cukup signifikan.

Alhasil, W7 hanya bisa digunakan selama 2 hari sebelum perlu diisi ulang baterainya. Kehadiran elemen mekanis itu tidak banyak membantu kecuali pengguna menonaktifkan mode smartwatch (layarnya mati total), di mana baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 100 hari dalam mode jam tangan biasa ini.

LG Watch W7

Yang lebih mengejutkan lagi, fitur fitness tracking yang ditawarkan W7 jauh dari kata komplet. Tidak ada heart-rate sensor di sini, demikian pula GPS. LG juga tidak menyematkan NFC maupun konektivitas LTE pada W7.

Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa nilai jual utama LG Watch W7 adalah aspek estetikanya. Itu juga yang menjadi alasan mengapa harganya tergolong mahal: $450, ketika dipasarkan mulai 14 Oktober nanti.

Sumber: CNET dan SlashGear.