Huawei Watch 2 Pro Andalkan Konektivitas 4G LTE Lewat Teknologi eSIM

Bulan lalu, Apple Watch Series 3 membuat gebrakan dengan menghadirkan konektivitas 4G LTE lewat teknologi eSIM. eSIM, singkatan dari embedded SIM card, pada dasarnya merupakan chip khusus di dalam perangkat yang dapat diprogram sesuai kebutuhan oleh operator, tanpa perlu memasangkan kartu fisik sekalipun.

Teknologi ini memang masih tergolong baru, mengingat belum banyak operator yang mendukungnya. Kendati demikian, manfaat yang diberikan – membutuhkan ruang yang lebih kecil ketimbang slot SIM card standar, sehingga pabrikan bisa menciutkan dimensi perangkat semaksimal mungkin – dapat mengindikasikan peran pentingnya di industri smartwatch ke depannya.

Apple bukanlah satu-satunya yang sudah mengadopsi teknologi eSIM. Huawei baru-baru ini mengumumkan Huawei Watch 2 Pro, dan salah satu fitur unggulannya juga adalah eSIM. Keuntungan lain yang ditawarkan eSIM adalah, nomor milik smartwatch bisa sama dengan nomor ponsel yang di-pair; pengguna hanya perlu membeli paket data tambahan begitu saja.

Huawei Watch 2 Pro / Huawei

Selebihnya, Watch 2 Pro tampak identik dengan Watch 2 Classic, yang mencakup casing tahan air (IP68) berbahan stainless steel, bezel keramik dan strap kulit. Spesifikasinya pun sama: layar AMOLED 1,2 inci beresolusi 390 x 390, chipset Snapdragon Wear 2100, RAM 768 MB dan penyimpanan internal 4 GB.

Sensor-sensor seperti GPS dan heart-rate monitor tetap tersedia, demikian pula NFC untuk pembayaran elektronik. Terkait sistem operasi, Watch 2 Pro menjalankan Android Wear 2.0 versi khusus yang dioptimalkan untuk pasar Tiongkok, mengingat Huawei memang cuma memasarkannya di kampung halamannya saja.

Di JD.com, Huawei Watch 2 Pro dibanderol seharga 2.588 yuan, atau sekitar 5,3 juta rupiah. Dengan semakin banyaknya perangkat yang mengadopsi teknologi eSIM, saya yakin pihak operator bakal berupaya menghadirkan dukungan terhadapnya sesegera mungkin.

Sumber: Wareable dan Android Police.

Fossil Kembali Luncurkan Smartwatch Hybrid, Kali Ini untuk Kalangan Perempuan

Fossil kembali hadir dengan sepasang smartwatch hybrid baru, kali ini yang didesain secara spesifik untuk kaum hawa. Bernama Q Neely dan Q Jacqueline, keduanya merupakan smartwatch berwajah analog yang paling kecil di antara koleksi Fossil, dengan casing berdiameter 36 mm.

Fitur dan spesifikasi keduanya sama persis. Satu-satunya perbedaan di antaranya adalah, Q Neely tidak mengemas angka sama sekali pada wajahnya, sedangkan Q Jacqueline dilengkapi empat angka romawi. Selebihnya, keduanya merupakan jam tangan analog dengan kemampuan activity tracking dan penerus notifikasi.

Fiturnya tentu saja tergolong sangat terbatas jika dibandingkan dengan smartwatch digital. Tanpa adanya layar, notifikasi hanya tersaji dalam bentuk getaran saja. Tracking-nya juga hanya mencakup langkah kaki dan pola tidur saja, dan pengguna dapat memantau progress-nya melalui dial kecil yang menunjuk angka 0 – 100.

Ketiga tombol yang ada di samping kanannya dapat diprogram sesuai kebutuhan melalui aplikasi pendampingnya di perangkat Android maupun iOS. Dua contoh fungsi yang cukup menarik adalah untuk mengontrol jalannya musik pada smartphone serta menggantikan tombol shutter pada aplikasi kamera bawaan ponsel.

Fossil tidak lupa merombak aplikasi pendampingnya ini supaya lebih mudah dinavigasikan dan dapat menawarkan fungsionalitas lebih. Soal baterai, Fossil mengklaim Q Neely dan Q Jacqueline bisa bertahan sampai 6 bulan, terlepas dari dimensinya yang mungil.

Q Neely dan Q Jacqueline dijadwalkan tersedia di pasaran mulai 22 Oktober mendatang, dengan harga mulai $155.

Sumber: The Verge.

Penetrasi Wearable Device di Indonesia Masih Suam-Suam Kuku

Bicara wearable device, pasti bicara smartwatch. Bicara smartwatch, Apple Watch pasti tidak luput dari pembahasan. Suka tidak suka, Apple Watch merupakan smartwatch terlaris saat ini, dan salah satu alasannya adalah pengaruh besar Apple terhadap gaya hidup konsumen modern.

Pada kenyataannya, dalam acara peluncuran Apple Watch Series 3 bulan lalu, Tim Cook dengan bangga mengatakan kalau Apple Watch adalah jam tangan nomor satu di dunia, bahkan sudah mengalahkan Rolex. Nomor satu dalam hal apa? Menurut saya tentu saja dalam hal penjualan.

Penjualan dalam artian jumlah, bukan nilai. Ini sangat masuk akal mengingat harga Apple Watch paling murah saat ini dipatok $249. Bandingkan dengan Rolex, yang model termurahnya masih berada di kisaran ribuan dolar. Singkat cerita, ada lebih banyak konsumen yang mampu membeli Apple Watch ketimbang Rolex.

Andai kategori smartwatch boleh diwakilkan oleh Apple Watch, dan segmen wearable device sendiri boleh diwakilkan oleh smartwatch, sepertinya industri ini bisa dibilang cukup sukses. Namun ini baru membicarakan industri wearable device dalam skala global. Di Indonesia, kondisinya agak berbeda.

Judul yang saya tulis di atas bukan opini belaka tanpa didukung alasan yang kuat. Tim DailySocial belum lama ini melakukan survei terkait tren wearable device di tanah air. Sebanyak 1.035 responden mengikuti survei tersebut, dan hasilnya menunjukkan kalau penetrasi wearable device di Indonesia masih belum cukup kuat.

Tidak laku karena mahal

Hampir separuh populasi tidak menyadari akan adanya fitness band murah seperti Xiaomi Mi Band 2 / Xiaomi
Hampir separuh populasi tidak menyadari akan adanya fitness band murah seperti Xiaomi Mi Band 2 / Xiaomi

Hasil survei menunjukkan sekitar 43% responden pernah punya atau sedang menggunakan smartwatch, 35% untuk fitness band, dan hampir 30% untuk smartwatch hybrid alias analog macam Withings (Nokia) Steel. Konsumen tanah air secara umum mengenali apa itu smartwatch dan fitness band, tapi ternyata yang pernah membelinya tidak sampai separuh populasi.

Kenapa bisa demikian? Alasannya ternyata menyangkut harga. Sekitar 78% responden bilang kalau mereka tidak tertarik membeli smartwatch atau fitness band dikarenakan harganya terlalu mahal. Tidak kaget, mengingat Apple Watch Series 2 yang dijual melalui jalur resmi dihargai paling murah Rp 7,2 juta – bisa Anda bayangkan sendiri harga Series 3 ketika masuk pasar Indonesia nantinya.

Alternatif unggulan yang lebih murah jelas ada. Ambil contoh Samsung Gear S3, tapi itu pun masih berada di kisaran 4 – 5 juta rupiah. Untuk fitness band, salah satu opsi yang cukup populer adalah Garmin Vivofit 3, tapi ini pun masih dibanderol di atas Rp 1 juta.

Dalam hati Anda mungkin bertanya, “Apakah mereka tidak tahu kalau ada fitness band murah meriah seperti Xiaomi Mi Band 2 yang di beberapa tempat bahkan bisa didapat seharga 300 ribuan rupiah saja?” Well, kita semua tahu kalau tidak semua konsumen membaca situs berita teknologi setiap harinya, maka dari itu wajar apabila yang menyadari bahwa fitness band murah meriah ini eksis hanya sekitar 55% saja.

Wearable device dinilai kurang bermanfaat

Ilustrasi berlari sambil menggunakan smartwatch Fitbit Ionic / Fitbit
Ilustrasi berlari sambil menggunakan smartwatch Fitbit Ionic / Fitbit

Selain faktor harga, survei menunjukkan bahwa alasan lain konsumen tidak tertarik membeli smartwatch atau fitness band adalah mereka merasa tidak memerlukannya. Seperti yang kita tahu, fungsi paling umum dari kedua perangkat itu adalah untuk memonitor aktivitas fisik dan meneruskan notifikasi. Meski rasionya bisa dibilang setengah-setengah, yang merasa tidak memerlukan kedua fungsi tersebut masih sedikit lebih banyak di angka 52,9%.

Kalau ditanya lebih lanjut, saya yakin alasan responden merasa tidak membutuhkan smartwatch atau fitness band bisa bermacam-macam. Bisa jadi sebagian dari mereka percaya bahwa mereka dapat tetap termotivasi untuk menjaga kebugaran tubuhnya tanpa perlu diingatkan dari hari ke hari oleh suatu gadget.

Oke, alasannya cukup valid, tapi di luar sana saya yakin masih ada banyak orang yang membutuhkan motivasi eksternal supaya akhirnya bisa mau berolahraga, dan di sinilah smartwatch atau fitness band akan menunjukkan perannya. Pada kenyataannya, “ingin menjalani gaya hidup lebih sehat” adalah alasan utama konsumen membeli smartwatch atau fitness band, seperti ditunjukkan oleh sekitar 40% responden yang menjawab demikian.

Pertanyaannya, apakah rasa termotivasi itu bisa bertahan lama? Ibarat Coca-Cola dalam botol yang dikocok dan menyembur hanya sebentar, masa penggunaan smartwatch dan fitness band juga cuma sebentar saja: sekitar 45% bilang periode terpanjang mereka memakai smartwatch atau fitness band-nya untuk berolahraga adalah satu minggu sampai satu bulan, sedangkan 32% menjawab kurang dari satu minggu.

Sisanya? Mungkin masih ada yang lanjut berolahraga secara rutin, tapi mereka tak lagi menggunakan smartwatch atau fitness band serajin seperti ketika baru awal-awal memilikinya. Dibeli, dipakai selama satu bulan, lalu ditelantarkan; sepertinya masuk akal kalau disimpulkan kurang bermanfaat.

Pengetahuan soal wearable device masih minim

Hampir 70% populasi tidak tahu kalau Fitbit merupakan produsen wearable device / Fitbit
Hampir 70% populasi tidak tahu kalau Fitbit merupakan produsen wearable device / Fitbit

Berdasarkan hasil survei, sebagian besar responden tahu kalau Apple, Samsung dan Xiaomi memproduksi smartwatch atau fitness band. Namun yang mengejutkan, sebagian besar (hampir 70%) ternyata tidak mengenal brand yang memelopori segmen ini, yaitu Fitbit dan Pebble – saya yakin juga tidak banyak yang tahu kalau Pebble sekarang sudah diakuisisi Fitbit.

Oke, mungkin alasannya karena produk-produk Fitbit masih tergolong sulit ditemukan, apalagi jika dibandingkan dengan Apple Watch atau Samsung Gear S3. Namun ternyata bukan cuma Fitbit saja, Garmin yang berbagai produk wearable-nya sudah tersedia secara resmi di Indonesia pun juga tidak dikenali sebagai produsen smartwatch atau fitness band (67%).

Data lain yang tak kalah mengejutkan adalah, tidak banyak yang tahu kalau wearable device itu tidak terbatas pada smartwatch dan fitness band saja. Sekitar 55% bilang kalau mereka tidak tahu-menahu mengenai earphone wireless yang juga merangkap fungsi sebagai fitness tracker, atau yang biasa disebut dengan istilah hearable.

Wearable device tidak harus smartwatch atau fitness band saja, tapi bisa juga earphone yang menyimpan fungsi fitness tracking / Samsung
Wearable device tidak harus smartwatch atau fitness band saja, tapi bisa juga earphone yang menyimpan fungsi fitness tracking / Samsung

Padahal seandainya mereka tahu, mungkin peluang mereka untuk membeli bisa jadi lebih besar. Namun semua tentunya juga bergantung pada ketersediaan produk di pasaran, dan tentu saja harganya harus masuk kategori terjangkau untuk bisa memikat konsumen tanah air kalau merujuk pada data di atas.

Saya ambil contoh Samsung Gear IconX. Earphone yang benar-benar tak dilengkapi kabel ini menyimpan fungsi fitness tracking, plus dapat digunakan sebagai alat pemutar musik mandiri. Harganya saya lihat masih berada di kisaran 1,5 – 2 juta rupiah. Sayang separuh lebih populasi belum menyadari eksistensi produk ini, dan lagi harganya masih bisa dikatakan cukup mahal.

Kembali lagi ke seputar brand smartwatch, sekitar 61% tidak tahu kalau Motorola merupakan produsen smartwatch. Padahal, bagi yang mengikuti perkembangannya pasti tahu kalau Moto 360 merupakan salah satu smartwatch pertama yang menjalankan sistem operasi Android Wear besutan Google.

Anda boleh bilang konsumen Indonesia terlalu pelit untuk membeli gadget di luar smartphone, dan harga mayoritas wearable device yang mahal terbukti merupakan salah satu penyebab utama mengapa segmen ini belum terlalu populer. Namun pada kenyataannya banyak dari kita yang juga menganggap wearable device tidak penting karena manfaatnya tidak signifikan.

Tidak seperti smartphone yang amat fleksibel, sulit bagi kita untuk menjustifikasi smartwatch dan fitness band yang fungsinya jauh lebih terbatas. Ini menjadi kendala buat pertumbuhan pasar wearable device di Indonesia.

Fakta bahwa hampir separuh populasi tidak menyadari akan adanya sejumlah fitness band berharga terjangkau menunjukkan penetrasi yang belum maksimal, ditambah lagi pengetahuan seputar kategori wearable device selain smartwatch dan fitness band yang masih lemah.

Dermal Abyss Ialah Tato ‘Pintar’ yang Bisa Memantau Kondisi Tubuh Kita

Salah satu fungsi utama perangkat wearable adalah membantu pengguna mengetahui keadaan tubuhnya. Informasi umumnya disuguhkan lewat UI yang mudah dipahami, dan di sana, kita bisa melihat frekuensi detak jantung hingga jumlah pembakaran kalori per hari. Namun ‘wearable‘ baru buatan tim dari MIT dan Harvard bukan hanya berbeda, tapi juga mampu mendeteksi data tubuh lebih detail.

Penemuan tersebut diberi nama Dermal Abyss, tato pintar yang berfungsi memonitor kesehatan tubuh. Ia dirancang sebagai jawaban atas kelemahan umum dari perangkat wearable standar: device tidak betul-betul terintegrasi ke badan, sangat bergantung pada konektivitas wireless, lalu daya tahan baterainya juga terbatas. Metode tato memastikan sensor betul-betul menempel pada kulit, tanpa memerlukan injeksi.

Dermal Abyss memanfaatkan bahan tinta biosensitive, dikembangkan oleh peneliti dari Harvard Medical School dan dipimpin doktor Katia Vega dari MIT Media Lab. Tinta tersebut berperan baik sebagai sensor sekaligus interface untuk menyajikan informasi. Cara kerja Dermal Abyss sangat unik: tinta tato bisa berubah berdasarkan kadar zat kimia pada cairan yang ada di permukaan kulit.

Kondisi cairan yang ada di kulit dipercaya bisa merepresentasikan persentase zat kimia di darah. Glukosa ditunjukkan oleh perubahan warna hijau ke coklat, lalu kombinasi tinta hijau lain dan cahaya biru dimanfaatkan buat mendeteksi kenaikan konsentrasi sodium sebagai indikator dehidrasi. Selain itu, tingkat keasaman cairan (pH) juga dapat mengekspos data-data lainnya.

Saat ini Dermal Abyss masih dikembangkan, hadir berupa proof-of-concept. Di sesi uji coba, Dermal Abyss dibubuhkan pada kulit babi, dan tato bekerja efektif dalam menampilkan warna berbeda berdasarkan kadar zat kimia di sana. Tim ilmuwan sedang mecari cara untuk menstabilkan tinta, sehingga gambar yang ada di kulit tidak mudah pudar atau larut ke jaringan di sekitarnya.

Ali Yetisen, seorang doktor yang berpartisipasi dalam proyek tersebut, menjelaskan bagaimana Dermal Abyss dapat dimanfaatkan di beragam ranah. Sebagai contohnya, tato ini bisa diaplikasikan ke pasien penyakit kronis atau sekedar dijadikan alat pemantau keadaan tubuh. Jika Anda tidak suka tato (karena alasan estetika atau ‘spiritual’), implementasinya bisa menggunakan tinta tak kasatmata, dan indikator warna hanya muncul di bawah tertentu – UV atau sekedar LED smartphone.

Namun bahkan jika para ilmuwan sudah menemukan solusinya, tato pintar ini berpeluang memicu perdebatan terkait etis atau tidaknya jika informasi kesehatan seseorang diekspos ke publik.

Sumber: Harvard.

Embr Wave Ialah AC Personal Dalam Wujud Perangkat Wearable

Dalam beraktivitas sehar-hari, para penduduk negara tropis – Indonesia contohnya – mau tak mau harus berhadapan dengan dua kondisi yang kurang nyaman: udara panas dan lembab. Umumnya kita mengandalkan AC untuk menyejukkan udara, tapi perangkat ini tidak tersedia di semua tempat, dan terus-menerus berada dalam ruang ber-AC juga tidak baik bagi tubuh.

Sebuah solusi jenius ditawarkan para peneliti dari MIT buat mengatasi masalah ini. Bukannya mengandalkan cara konvensional seperti air conditioning, tim Embr Labs menggunakan metode yang sangat unik: mendinginkan (atau menghangatkan) badan dari ‘dalam’. Penemuan mereka itu dinamai Embr Wave, perangkat wearable unik yang berfungsi sebagai thermostat pribadi.

Embr Wave 3

Embr Wave memiliki penampilan seperti smartband, dirancang untuk dikenakan di pergelangan tangan. Saat Anda merasa gerah ataupun kedinginan, silakan aktifkan perangkat ini dan sesuaikan temperaturnya dengan menekan satu tombol di modul utama. Dalam waktu singkat, tubuh akan segera jadi sejuk atau bertambah hangat. Modul tersebut memiliki ukuran 50x32x13mm dan berbobot 85 gram.

Ember Labs menjelaskan bahwa temperatur itu bersifat personal dan tiap orang memiliki suhu nyamannya sendiri. Misalnya: 24 derajat Celcius mungkin cukup sejuk buat Anda tapi bagi penduduk negara beriklim dingin seperti Kanada, 20 derajat Celcius adalah suhu ruang paling ideal. Embr Wave memperkenankan pengguna menentukan temperatur ternyaman untuk dirinya sendiri.

Embr Wave 2

Cara kerja Embr Wave mirip seperti sensasi saat Anda memegang gelas teh hangat ketika kedinginan atau mengenakan kaus kaki basah sewaktu kepanasan. Modul Embr Wave mempunyai pelat pendingin di sisi bawah yang menyentuh kulit, memungkinkannya bekerja efisien. Saat diaktifkan, device mengirimkan gelombang temperatur yang diinginkan secara cepat, mampu memengaruhi sistem saraf tubuh sehingga pengguna segera merasa nyaman.

Embr Wave 1

Di mode ‘pemanas’, pelat akan menjaga suhu kulit tetap hangat; lalu di mode ‘penyejuk’, suhu panas akan dibuang lewat heat sink aluminium di bagian atas modul. Embr Wave dibekali 16 level temperatur, dari opsi Very Cold hingga Very Warm, lalu developer mempersilakan Anda mengenakan modulnya di atas lengan seperti jam tangan, atau dekat nadi. Unit baterai built-in-nya dijanjikan mampu menjaga device aktif selama dua sampai tiga hari (atau 25-50 sesi pemakaian).

Di periode crowdfunding via Kickstarter yang masih berlangsung ini, developer berhasil mengumpulkan dana berkali-kali lipat dari target awal mereka. Di sana, produk dijajakan seharga mulai dari US$ 200. Distribusi rencananya akan dilakukan di bulan Juli 2018.

Perangkat berkonsep serupa sebetulnya pernah diajukan oleh Embr labs tiga tahun silam. Namun sepertinya, Embr Wave merupakan realisasi sesungguhnya dari gagasan tersebut.

Activity Tracker Khusus Anak Garmin Vivofit Jr. 2 Datang Bersama Karakter dari Franchise Disney

Setahun yang lalu, Garmin memperkenalkan sebuah activity tracker yang dirancang khusus untuk anak-anak bernama Vivofit Jr.. Tahun ini, Garmin sudah siap dengan suksesornya. Dalam pengembangan Vivofit Jr. 2, Garmin rupanya meminta bantuan nama yang sudah sangat dikenal oleh anak-anak, yaitu Disney.

Kolaborasinya dengan Disney memungkinkan Garmin untuk menempatkan beragam karakter populer dari sejumlah franchise milik Disney ke Vivofit Jr. 2, mulai dari Minnie Mouse sampai karakter dari Star Wars maupun Marvel. Berbeda dari pendahulunya, Vivofit Jr. 2 tidak hanya datang dengan strap yang bisa melar, tapi juga varian yang dilengkapi gesper standar untuk anak yang lebih tua.

Perubahan terbesar yang dibawa Vivofit Jr. 2 adalah layar yang kini penuh warna ketimbang monokrom. Supaya lebih atraktif lagi di mata anak-anak, karakter yang menjadi motif strap juga akan muncul di layar sekaligus aplikasi pendamping smartphone yang tersambung.

Aplikasi pendampingnya ini juga masih mengemas sejumlah mini game, tapi kali ini yang mengadopsi tema menarik seperti petualangan robot BB-8 dari Star Wars maupun kisah balas dendam Ultron terhadap tim superhero Avengers dari Marvel. Seperti pendahulunya, setiap kali anak-anak menyelesaikan target aktivitas harian selama 60 menit, mereka akan mendapat achievement berupa icon karakter baru.

Mengenai fungsi, Garmin ternyata tidak menyentuhnya sama sekali di sini. Vivofit Jr. 2 masih bisa memonitor jumlah langkah kaki, pola tidur dan waktu aktif mereka. Perangkat siap diajak berbasah-basahan atau bahkan berenang, sedangkan baterainya diperkirakan bisa bertahan selama satu tahun.

Garmin Vivofit Jr. 2 rencananya akan dipasarkan seharga $100, lebih mahal $20 dari versi terdahulunya. Strap ekstra dapat dibeli seharga $30.

Sumber: Business Wire.

Jaket Pintar Hasil Kolaborasi Levi’s dan Google Resmi Dipasarkan Seharga $350

Seperti yang telah dijanjikan setahun lalu, Levi’s akhirnya sudah siap untuk memasarkan jaket pintar hasil kerja samanya dengan Google. Meski sudah dua tahun lebih sejak proyek ini pertama diumumkan, setidaknya Google berhasil mewujudkannya menjadi produk final, tidak seperti Project Ara yang bernasib naas.

Levi’s Commuter Trucker Jacket with Jacquard by Google – ya, nama resminya memang sepanjang ini – lebih pantas dikategorikan sebagai pakaian ketimbang gadget. Sekadar mengingatkan, inovasi yang Google kembangkan adalah benang konduktif yang dapat ditenun menjadi kain berpanel sentuh kapasitif.

Levi's Commuter Trucker Jacket with Jacquard by Google

Penampilannya hampir tidak ada bedanya dengan jaket jeans standar Levi’s yang dibanderol jauh lebih murah, hanya saja di bagian pergelangan tangan kirinya terdapat sebuah dongle fleksibel yang bertugas berkomunikasi dengan smartphone (Android atau iPhone) via Bluetooth, sehingga pada akhirnya beragam gesture yang pengguna terapkan dapat diterjemahkan menjadi input kontrol pada smartphone.

Total ada tiga gestureswipe ke atas, swipe ke bawah dan double tap – yang semuanya dapat diprogram fungsinya melalui aplikasi pendamping Jacquard. Fungsinya sendiri terbilang terbatas, namun secara spesifik dirancang untuk mempermudah rutinitas para pesepeda.

Levi's Commuter Trucker Jacket with Jacquard by Google

Yang paling utama adalah untuk mengontrol jalannya musik. Kemudian ada pula fungsi navigasi, dimana petunjuk arah akan diberikan dalam bentuk audio, baik via earphone atau speaker ponsel itu sendiri – pada bagian dada kiri terdapat kantong khusus untuk menyimpan ponsel.

Jacquard juga dapat dipakai untuk menerima atau menolak panggilan telepon, atau bahkan membacakan pesan teks yang masuk. Semua ini memang sudah bisa didapatkan di smartwatch, akan tetapi berhubung Jacquard adalah sebuah jaket, Anda bebas mencucinya kapan saja diperlukan – terkecuali dongle Bluetooth-nya.

Dibanderol $350 mulai 2 Oktober mendatang, Jacquard jelas bukan untuk semua orang, apalagi mengingat jaket trucker standar Levi’s bisa dibeli paling murah seharga $70 saja. Di samping para pesepeda, saya kira kalangan konsumen lain yang bakal tertarik membelinya hanyalah para denim head sejati – meski besar kemungkinan mereka bakal lebih memilih jaket raw denim yang banderol harganya kurang lebih sama.

Sumber: The Verge dan Google.

Clip & Talk Health Ialah Headset Bluetooth Sekaligus Alat untuk Memonitor Kesehatan

Masih ingat dengan headset Bluetooth dari beberapa tahun silam yang membuat kita terlihat seperti orang sok sibuk? Perangkat tersebut mungkin sudah jarang kelihatan sekarang, akan tetapi sebuah startup asal kota New York punya visi untuk menghidupkannya kembali dengan menambahkan fungsionalitas yang relevan dengan tren terkini, yakni health monitoring.

Dinamai Clip & Talk Health, wujudnya sepintas kelihatan tidak ada bedanya dengan headset Bluetooth pada umumnya. Namun sang pengembang rupanya telah menanamkan sensor laju jantung ke dalam earpiece-nya. Bukan sembarang sensor, melainkan racikan Valencell yang sudah dibuktikan akurasinya oleh sejumlah arloji GPS buatan Suunto.

Tidak hanya memonitor laju jantung secara konstan, Clip & Talk juga dapat membaca variabilitas laju jantung, VO2max (konsumsi oksigen maksimum), laju pernafasan sampai yang lebih umum seperti jumlah kalori yang terbakar. Menurut pengembangnya, memonitor lewat telinga jauh lebih akurat ketimbang lewat pergelangan tangan, dan klaim ini rupanya didukung oleh sejumlah studi dari MIT.

Clip & Talk Health

Nama Clip sendiri mengindikasikan sebuah penjepit pada bodinya yang dapat dimanfaatkan saat perangkat sedang tidak dibutuhkan. Mode standby otomatis memastikan baterai perangkat tidak terkuras dengan cepat, dan dengan satu klik saja perangkat dapat aktif dalam waktu 2 – 3 detik.

Untuk mengecas perangkat, Clip & Talk ternyata dibekali konektor USB-nya sendiri sehingga pengguna tak perlu repot menyambungkan kabel. Sebagai sebuah headset Bluetooth, mustahil Clip & Talk tidak dibekali kemampuan untuk berinteraksi dengan asisten virtual di tahun 2017 ini.

Saat ini Clip & Talk Health sedang dipasarkan melalui situs crowdfunding Indiegogo. Harga paling murah selama masa kampanyenya berlangsung dipatok $149.

Jersey NBA Terbaru Besutan Nike Dilengkapi Chip NFC

Mulai musim 2017-2018 ini, seragam tim NBA tidak lagi dibuat oleh Adidas, melainkan Nike. Sepintas berita ini terkesan sepele, namun Nike sebenarnya punya persembahan khusus bagi para penggemar jersey NBA lewat sebuah integrasi teknologi digital yang apik.

Inovasi mereka tersebut dijuluki Nike NBA Connected Jersey. Kuncinya ada pada kata “Connected”, dimana di setiap jersey resmi yang dijual bakal dilengkapi chip NFC yang tersembunyi di balik label di bagian bawahnya. Dengan menempelkan smartphone ke label tersebut, pengguna dapat mengakses deretan konten eksklusif.

Yang paling umum adalah konten video real-time macam video kedatangan tim pra-pertandingan, video highlight pertandingan sampai playlist musik favorit pemain yang namanya terpampang pada jersey yang dikenakan oleh pengguna. Semuanya disajikan melalui aplikasi NikeConnect di smartphone, baik Android maupun iOS.

NikeConnect

Ke depannya Nike dan NBA berjanji untuk memberikan sejumlah penawaran eksklusif lewat kombinasi Connected Jersey dan NikeConnect ini. Dari sisi sang atlet basket sendiri, mereka juga dapat mengirimkan berbagai pesan khusus kepada para fans yang membeli jersey resmi mereka.

Nike rencananya bakal memasarkan jersey istimewa ini secara online mulai 29 September mendatang seharga $110. Mengingat Nike juga merupakan sponsor sejumlah tim olahraga populer macam Barcelona dan Paris Saint-Germain, bukan tidak mungkin ke depannya connected jersey semacam ini juga akan merambah fans sepak bola.

Sumber: Wareable dan NBA.

Gelang Pintar Ela Pastikan Anda Tidak Terus-Menerus Mengecek Smartphone

Banyak orang enggan mengganti perhiasan dan aksesori kesayangan dengan perangkat wearable karena alasan estetika dan daya tahan. Hal tersebut tampaknya mendorong produsen buat menggarap produk wearable mereka lebih baik lagi: ada yang mendesainnya agar betul-betul menyerupai arloji, dan tak sedikit pula produsen yang mengedepankan tema minimalis.

Bagi tim Ela FineTech, solusi terbaiknya adalah dengan tetap berpegang pada arahan desain tradisional. Startup asal Amerika itu memperkenalkan perhiasan pintar berupa gelang. Penyajiannya memang bukan sesuatu yang baru, namun latar belakang pembuatannya sangat menarik: smart bracelet Ela disiapkan untuk mengalihkan perhatian kita dari layar perangkat bergerak, demi ‘mengembalikan keanggunan dan kesopanan’.

Ela 3

Di situs mereka, produsen menjelaskan bahwa Ela menawarkan cara unik untuk membawa perangkat teknologi dalam beraktivitas sepanjang hari tanpa perlu menonjolkannya. Gelang pintar Ela ‘bukan sekedar wearable device dan perhiasan, namun sebuah solusi buat mengelola kehidupan modern’. Ia memberikan Anda kesempatan untuk berinteraksi dengan gadget ‘di waktu yang tepat’.

Ela 1

Ela hadir dalam beragam model. Komponen elektronik tersimpan dalam modul utama yang disamarkan sebagai ‘mata’ dari perhiasan. Bentuk dan warnanya bermacam-macam: ada batu mulia sintetis kotak atau membulat bergaya cutting baguette, lalu tersedia strap kulit berwarna putih, hitam, coklat, merah, biru hingga ungu pastel. Selain itu, ada pilihan model ala gelang mewah berlapis emas 18-karat atau logam rhodium.

Ela 4

Ela berfungsi layaknya perangkat wearable sejenis, yaitu sebagai ekstensi dari smartphone Anda. Tapi selain menyampaikan notifikasi, produsen juga membenamkan berbagai kemampuan unik. Pertama, pengguna bisa menentukan prioritas agar Ela hanya menampilkan notifikasi dari individu-individu penting saja. Lalu kita juga dapat mengkustomisasi masing-masing alert buat menampilkan warna LED berbeda. Ela mendukung delapan pola alert dan 15 profile dari daftar kontak di smartphone.

Smart bracelet ini juga bisa bekerja layaknya fitness tracker. Ela mampu menghitung jumlah langkah dalam sehari, mengkalkulasi data dengan lengkap, serta terintegrasi ke Apple HealthKit serta Google Health. Proses pemasangannya juga tidak sulit. Anda hanya perlu mengunduh app companion-nya (tersedia di Apple App Store dan juga Google Play), lalu mengikuti langkah-langkah di sana. Baterai non-removable di dalam diklaim dapat menjaga Ela tetap aktif hingga tiga hari.

Gelang pintar Ela saat ini baru tersedia di kawasan Amerika lewat Macys.com, dijajakan seharga mulai dari US$ 195.