Apa itu Pajak? Pengertian, Jenis, Fungsi dan Contohnya

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara.

Pajak itu ibarat uang kas negara yang dikumpulkan dari rakyat. Jadi, pajak itu uang yang harus dibayar oleh orang-orang dan perusahaan kepada pemerintah. Nanti, uang pajak itu dipakai oleh pemerintah untuk membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas lainnya untuk kebaikan kita semua.

Pengertian Pajak

Pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dibayarkan oleh masyarakat kepada negara, yang nantinya akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pajak di Indonesia memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam pembangunan dan pengoperasian negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang harus dibayarkan oleh warga negara baik perorangan maupun badan usaha, dan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ada beberapa jenis pajak di Indonesia, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PPh adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan perseorangan, badan, dan warisan yang belum terbagi, PPN dikenakan terhadap penyerahan barang jadi dan jasa, sedangkan PBB dikenakan terhadap kepemilikan atau penguasaan bumi dan/atau bangunan.

Pengenaan, penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak semuanya diatur dalam undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis pajak seperti PPh, PPN, dan PBB juga diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam pelaksanaannya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak dan mengawasi kepatuhan wajib pajak terhadap ketentuan pajak yang berlaku.

Semua orang dan perusahaan yang memenuhi syarat harus bayar pajak. Syaratnya bisa berbeda-beda, tergantung jenis pajaknya. Jadi, penting untuk kita tahu dan paham tentang pajak agar kita bisa mematuhi aturan dengan baik dan benar.

Jenis-Jenis Pajak

Ada macam-macam pajak, loh! Ada pajak penghasilan, yaitu pajak yang harus dibayar dari uang yang kita dapatkan, misalnya dari gaji. Lalu ada juga pajak pertambahan nilai yang biasanya sudah termasuk dalam harga barang atau jasa yang kita beli. Ada juga pajak bumi dan bangunan yang harus dibayar oleh orang yang punya tanah atau rumah.

Pajak Langsung: Pajak yang beban ekonominya tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Penghasilan (PPh).

Pajak Tidak Langsung: Pajak yang beban ekonominya dapat dipindahkan kepada orang lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pajak Pusat: Pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, contohnya PPh dan PPN.

Pajak Daerah: Pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, contohnya pajak hotel dan pajak restoran.

Pajak Pusat

Pajak Penghasilan (PPh): Pajak yang dikenakan pada penghasilan perseorangan, badan, dan warisan yang belum terbagi.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak yang dikenakan terhadap penyerahan barang jadi dan jasa.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM): Pajak yang dikenakan terhadap barang-barang mewah.

Pajak Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak yang dikenakan terhadap kepemilikan atau penguasaan bumi dan/atau bangunan.

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB): Pajak yang dikenakan terhadap kepemilikan kendaraan bermotor.

Pajak Hotel dan Pajak Restoran: Pajak yang dikenakan atas penerimaan usaha dari penyediaan jasa penginapan dan penyediaan jasa boga.

Fungsi Pajak

Fungsi Anggaran (Budgetair): Sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai belanja negara.

Fungsi Pengaturan (Regulerend): Untuk mengatur perekonomian, seperti mengendalikan inflasi dan mengurangi ketimpangan pendapatan.

Fungsi Distribusi: Untuk mendistribusikan pendapatan dan kekayaan secara lebih merata.

Fungsi Stabilisasi: Untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Karakteristik Pajak

Dipungut Berdasarkan Undang-Undang (Legalitas): Pajak harus dipungut berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Memaksa (Dwang): Wajib bayar dengan sanksi tertentu bagi yang tidak mematuhi.

Tidak Mendapatkan Imbalan Langsung: Wajib pajak tidak mendapatkan jasa atau barang tertentu sebagai imbalan langsung dari pembayaran pajak.

Untuk Kepentingan Umum: Hasil pungutan pajak digunakan untuk membiayai kebutuhan dan kepentingan umum.

Dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak-pajak tersebut dan mengawasi penerapan serta kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan yang ada.

Semua Wajib Pajak, baik perorangan maupun badan, wajib mematuhi ketentuan perpajakan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan tersebut dan melakukan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sementara itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menggunakan penerimaan pajak tersebut untuk keperluan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu, terdapat juga pajak daerah seperti pajak hotel dan pajak restoran yang dikenakan atas penerimaan usaha dari penyediaan jasa penginapan dan penyediaan jasa boga. Pengaturan mengenai pajak di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan lainnya. Sebagai contoh, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah landasan hukum yang mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan di Indonesia, yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009.

Manfaat dari Pajak

Manfaat dari pajak sangat luas, mulai dari pendanaan pemerintah, pengurangan ketidaksetaraan, hingga mendorong perilaku positif. Pajak juga memberikan pemerintah sarana untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya dapat berdampak pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi negara. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat dapat mengapresiasi peranan pajak dalam membantu pencapaian kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pendanaan Pemerintah: Pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi pemerintah untuk membiayai kegiatan dan proyek-proyek pembangunan.

Pengurangan Ketidaksetaraan: Melalui sistem pajak progresif, pajak dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan dengan menarik kontribusi yang lebih besar dari mereka yang memiliki kemampuan membayar yang lebih tinggi.

Mendorong Perilaku Positif: Pajak dapat dirancang untuk mendorong atau menghambat perilaku tertentu, misalnya pajak rokok untuk mengurangi konsumsi tembakau.

Stabilitas Ekonomi dan Pertumbuhan: Pajak memberikan pemerintah sarana untuk mempengaruhi tingkat konsumsi dan investasi, yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi dan pertumbuhan.

Contoh Pemakaian Pajak

Pembangunan Infrastruktur: Pajak digunakan untuk membangun jalan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.

Pelayanan Kesehatan: Pajak digunakan untuk pembiayaan fasilitas dan pelayanan kesehatan publik.

Pendidikan: Pajak digunakan untuk membiayai pendidikan, dari tingkat dasar hingga tinggi.

Pembangunan Sosial dan Ekonomi: Pajak digunakan untuk berbagai program pembangunan sosial dan ekonomi, termasuk bantuan sosial dan program pengentasan kemiskinan.

Dengan memahami berbagai jenis dan manfaat pajak ini, masyarakat dapat lebih mengapresiasi peranan pajak dalam membiayai pembangunan dan kesejahteraan sosial.

Undang-Undang tentang Pajak

Di Indonesia, ketentuan perpajakan diatur dalam beberapa Undang-Undang (UU) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berikut adalah beberapa Undang-Undang dan peraturan yang mengatur tentang pajak di Indonesia:

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP):

Diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009.

Mengatur ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang meliputi pengenaan, penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh):

Diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.

Mengatur tentang objek, subjek, tarif, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM):

Diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.

Mengatur mengenai ketentuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:

Mengatur tentang jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah serta tata cara pengenaannya.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB):

Mengatur mengenai objek, subjek, dan tarif Pajak Bumi dan Bangunan.

Di samping undang-undang, terdapat juga berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PERDJ), dan peraturan lainnya yang mengatur mengenai aspek-aspek tertentu dalam pelaksanaan ketentuan pajak, seperti tarif pajak, penghitungan pajak, dan tata cara pelaporan.

Pajak itu penting karena dengan pajak, pemerintah bisa membiayai kebutuhan rakyat dan membangun negara. Tanpa pajak, pemerintah akan kesulitan membiayai berbagai kebutuhan kita, seperti pendidikan dan kesehatan. Jadi, dengan membayar pajak, kita ikut andil dalam membangun negara dan membantu sesama.

Pajak itu diatur oleh undang-undang dan peraturan-peraturan. Jadi, kita harus mematuhinya. Jika kita tidak bayar pajak, bisa kena sanksi atau denda dari pemerintah. Makanya, ayo kita bayar pajak dengan tepat waktu dan jumlah yang benar!

Kenali PPh dan PPN: Pengertian, Perbedaan, Jenis, dan Tarif Penghitungannya

Ketika belanja di suatu restoran cepat saji atau toko di suatu Mall, kamu pasti menemukan baris uraian pajak di struk belanja kamu. Fenomena ini membuktikan bahwa pajak merupakan hal yang ternyata sangat dekat dengan kita. Pajak yang biasa ditemukan ketika berbelanja itu merupakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jika berbincang mengenai PPN, kurang afdal rasanya apabila tidak dibarengi dengan membahas Pajak Penghasilan (PPh). 

Istilah PPh dan PPN mungkin bukan merupakan hal yang asing bagi kamu. PPh dan PPN tidak hanya istilah yang familiar bagi para wajib pajak saja. Akhir-akhir ini, masyarakat banyak dihebohkan pengenaan PPN pada platform hiburan elektronik seperti Netflix, Spotify, Zoom, hingga Steam melalui peraturan PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Apakah sebenarnya PPh dan PPN ini? Apa perbedaan antara PPh dan PPN? Bagaimana tarif perhitungan kedua pajak tersebut? Berikut ini adalah pembahasan mengenai perbedaan PPh dan PPN beserta definisi dan jenis kedua pajak tersebut.

Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah kepanjangan dari Pajak Penghasilan. Dari kepanjangan tersebut, dapat diketahui bahwa PPh merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak (dapat berupa orang perseorangan maupun badan usaha) atas penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun pajak. PPh dikenal sebagai pajak subjektif karena pajak ini dibebankan sesuai dengan kondisi subjek yakni si wajib pajak. 

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan usaha yang memiliki kewenangan dalam membayar, memotong, dan memungut pajak. Wajib pajak pun memiliki seperangkat hak dan kewajiban terkait dengan pajak sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Sementara itu, penghasilan menurut Undang-undang Pajak Penghasilan diartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak dari manapun itu asalnya yang mampu digunakan untuk menambah kekayaan sang wajib pajak. 

PPh memiliki beberapa macam jenis dan diatur dalam berbagai pasal. Tarif dari pajak PPh akan menyesuaikan dengan PPh. Sehingga, untuk mengetahui tarif pajak dari seorang wajib pajak, perlu dilakukan identifikasi dahulu jenis PPh yang berlaku untuk wajib pajak.

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Jenis Pajak Penghasilan (PPh)

Berikut ini adalah beberapa jenis Pajak Penghasilan (PPh) dan penjelasan dari jenis pajak tersebut.

PPh Pasal 15

PPh Pasal 15 merupakan pajak penghasilan yang dibebankan pada wajib pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan ketentuan khusus. Kategori wajib pajak yang masuk pada jenis pajak ini di antaranya adalah perusahaan yang berada pada industri penerbangan internasional, pelayaran, perusahaan asuransi asing, wajib pajak dari luar negeri dengan kantor yang ada di dalam negeri, wajib pajak dengan industri yang bergerak di bidang jasa maklon (kegiatan manufaktur untuk memenuhi kebutuhan pihak lain), dan lain sebagainya. Pajak PPh ini memberikan tarif berbeda bergantung pada industri mana perusahaan bergerak.

PPh Pasal 21

Pajak Penghasilan selanjutnya adalah adalah PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan pada penghasilan yang mana itu berupa gaji, honorarium, upah, komisi, tunjangan, dan lain-lainnya. Beberapa kategori yang dibebani pajak PPh 21 di antaranya adalah pegawai, penerima pensiun, anggota dewan komisaris, mantan pekerja, dan lain sebagainya.

Penghitungan Pajak PPh Pasal 21 akan sangat berkaitan dengan tarif pajak, ketentuan biaya jabatan, dan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Biaya jabatan adalah biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan yang mana biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan setiap individu yang bekerja sebagai pegawai tetap. Biaya jabatan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 250/PMK.03/2008 adalah sebesar 5 persen maksimal Rp6 juta setahun atau Rp500.000 sebulan.

PTKP merupakan besaran pendapatan pribadi dari wajib pajak yang dibebaskan dari PPh. Cara untuk menghitung PTKP adalah sebagai berikut.

  • Wajib pajak pribadi dapat membebaskan sejumlah Rp54 juta per tahun untuk tidak dimasukkan dalam perhitungan PPh.
  • Ketika wajib pajak telah menikah, wajib pajak dapat mengurangkan sejumlah Rp4,5 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami, wajib pajak dapat mengurangkan lagi sebanyak Rp54 juta per tahun untuk tidak dihitung dalam PPh
  • Setiap tambahan tanggungan (pada misalnya anak atau anggota keluarga lain) membuat wajib pajak dapat mengurangi pendapatannya yang dihitung PPh sebanyak Rp4,5 juta per tahun.

 Tarif dari pajak PPh 21 adalah berikut ini.

  1. Apabila penghasilan selama satu tahun pajak adalah Rp50 juta, maka tarif pajaknya adalah sebanyak 5%
  2. Jika penghasilan berada di antara Rp50 juta – Rp250 juta, maka tarif pajak yang dibebankan adalah 15%
  3. Ketika penghasilan berkisar di antara Rp250 juga hingga Rp500 juta, maka tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak adalah sebesar 25%
  4. Terakhir, sewaktu penghasilan wajib pajak berada di atas Rp500 juta, tarif pajak yang dibebankan yakni 30%

PPh Pasal 22

PPh Pasal 22 merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak yang melaksanakan kegiatan ekspor dan impor. Pajak ini biasanya berlaku untuk badan usaha baik itu merupakan badan usaha milik negara atau badan usaha swasta yang melakukan kegiatan perdagangan barang. Tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak PPh Pasal 22 bervariasi berdasarkan objek pajak dan jenis transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak.   

PPh Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dibebankan atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, hadiah, penghargaan, atau hal lain di luar yang telah tercatat di PPh Pasal 21. Pada dasarnya PPh Pasal 23 dibebankan pada wajib pajak yang sedang melakukan transaksi. Tarif yang dikenakan untuk PPh Pasal 23 berdasar pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau nilai bruto dari penghasilan. 

PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 adalah pajak yang pembayarannya dapat diangsur. Pajak ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib pajak dalam pembayaran pajak yang biasa dilakukan tahunan. Pembayaran pajak ini harus dibayar sendiri tanpa diwakilkan oleh orang lain. Jika pembayaran atas pajak ini terlambat, wajib pajak akan mendapat sanksi denda sebanyak 2% per bulan. 

PPh Pasal 26

Pajak ini adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan yang sumbernya dari Indonesia dan didapatkan oleh wajib pajak yang berasal dari luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia (BUT). 

PPh Pasal 29

Pajak Penghasilan Pasal 29 merupakan pajak kurang bayar yang perlu untuk dibayarkan oleh wajib pajak, dan beban pajak tersebut telah tertulis dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Secara sederhana, pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sisa PPh yang terutang pada tahun pajak tertentu dan dikurangi dengan jumlah kredit PPh.

PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) seringkali dikenal dengan PPh final. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan pada wajib pajak atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapat. Pemotongan pajak ini bersifat final (hanya sekali dalam satu periode pajak) seperti namanya jadi pajak ini tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang. 

Ilustrasi Mengenali Perbedaan PPh dan PPN | Pixabay

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Kepanjangan dari PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai. PPN adalah pajak yang dikenakan pada proses produksi serta distribusi suatu produk dan pajak ini dibebankan pada konsumen akhir dari produk. Melalui informasi ini, kita dapat melihat bahwa perbedaan PPh dan PPN pada dasarnya adalah pada pembebanan kedua pajak ini. PPh membebankan pajak pada subjek yakni orang yang menerima penghasilan. Akan tetapi PPN membebankan pajak pada objek di mana pajak ini tidak melihat pada kondisi wajib pajak akan tetapi ia melihat pada sifat objek pajaknya (berupa barang konsumsi).

Pajak Pertambahan Nilai dapat dikenakan pada siapa saja yang membeli suatu barang tertentu. Pada misalnya, kamu membeli paket makanan dan minuman di suatu restoran cepat saji, kamu dapat melihat sebagian dari uang yang kamu keluarkan digunakan untuk membayar pajak ini. 

Objek dari PPN

  1. Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di area pabean tempat pengusaha melakukan proses bisnis
  2. Impor BKP
  3. Pemanfaatan BKP yang tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  4. Pemanfaat JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
  5. Ekspor BKP baik berwujud maupun tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP. PKP merupakan pihak yang diwajibkan 

PPN dikenakan oleh barang dan jasa di antaranya sebagai berikut. 

  • Barang hasil tambang atau barang hasil pengeboran yang ia langsung diambil dari sumbernya
  • Makanan serta minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan, dan lain sebagainya
  • Kebutuhan pokok yang banyak menjadi kebutuhan orang
  • Uang, emas batangan serta surat berharga.
  • Produk layanan digital yang berasa dari luar negeri seperti langganan Netflix, Spotify, Game Steam, dan lain sebagainya.

PPN kurang lebih memiliki dua jenis tarif. Tarif PPN 10% dikenakan pada objek PPN, Sementara itu, tarif PPN 0% dikenakan kepada ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. Dulunya, produk transaksi dengan transaksi online seperti Spotify dan Netflix tidak dikenai pajak PPN, akan tetapi, pemberlakukan PPN kepada produk digital ini ditetapkan mulai Agustus 2020.

Pengenaan pajak ini berdasar pada PMK Nomor 48/PMK.03/2020. Aturan tersebut menyebutkan bahwa Perdagangan Melalui Sistem Elektronik atau dikenal sebagai PMSE dikenai PPN sebesar 10%. Pun objek pajak yang dibebani oleh PPN PMSE di antaranya adalah layanan streaming musik, film, aplikasi, dan game digital.

Perbedaan PPh dan PPN

Dari definisi serta jenis masing-masing pajak yang telah dijelaskan di atas, mungkin kamu telah menemukan perbedaan dari dua jenis pajak yakni PPh dan PPN. Berikut ini adalah perbedaan PPh dan PPN.

  • PPN dan PPh memiliki objek pengenaan pajak yang berbeda. PPN membebankan pajak pada proses produksi maupun distribusi dari suatu barang dan jasa. Sementara itu, PPh dikenakan terhadap penghasilan yang dimiliki oleh wajib pajak.
  • Tarif dari kedua pajak ini berbeda. Tarif PPN atas objek pajak PPN adalah senilai 10% sementara itu perhitungan tarif PPh cenderung lebih kompleks karena menyesuaikan kepada jenis PPh yang cenderung banyak jenisnya.
  • PPh dibebankan kepada wajib pajak yang memiliki penghasilan, sedangkan PPN dibebankan kepada konsumen dari suatu barang dan jasa.
  • Jenis PPh lebih banyak yakni PPh pasal 21, 22, 23, 25 dan lainnya sedangkan pajak PPN memiliki jenis yaitu pajak masukan (pajak atas pembelian barang atau jasa) dan dan keluaran (pajak atas penjualan barang dan jasa yang dikenai pajak). 

Terkadang mungkin kita tidak menyadari seberapa sering kita bertemu dengan pajak pada kehidupan sehari-hari. Pada nyatanya, produk yang biasanya kita pakai saat ini, Spotify dan Netflix, telah dikenai dengan PPN. Nah, sekarang apakah kamu sudah dapat mengidentifikasikan perbedaan dari PPh dan PPN?

Sumber gambar header: Pixabay.

Cara Hitung PPN Tarif Baru 11 Persen, UMKM Wajib Tahu!

Mulai 1 April 2022 lalu, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah naik menjadi 11 persen, dari sebelumnya 10 persen. Kebijakan baru itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pemungutan PPN sering kali ditemui dalam kegiatan sehari-hari. Misalnya, saat berbelanja di mall, makan di restoran, dan lain sebagainya. Maka dari itu, penting bagi masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha untuk paham perhitungannya.

Dengan adanya perubahan tarif PPN, perhitungannya juga turut berubah. Sehingga, penting untuk mengetahui rumus menghitung PPN tarif baru 11 persen. Berikut ini penjelasan lengkap terkait pengertian PPN hingga langkah-langkah perhitungannya.

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pemungutan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi atas barang dan jasa yang memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya, dari konsumen dan produsen. PPN disebut juga Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST).

PPN merupakan jenis pajak yang bersifat tidak langsung, objektif dan kumulatif. Maksud tidak langsung di sini adalah iuran pajak tidak disetorkan langsung oleh penanggung pajak kepada pemerintah.

Melainkan, iuran pajak tersebut dibayarkan oleh konsumen selaku penanggung pajak, lalu diterima oleh pelaku usaha sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang kemudian akan menyetorkan dan melaporkannya kepada pemerintah.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Beberapa objek yang dikenakan PPN, antara lain sebagai berikut:

  • Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) maupun JKP (Jasa Kena Pajak) di dalam daerah Pabean yang dilakukan pengusaha.
  • Impor BKP (Barang Kena Pajak).
  • Pemanfaatan BKP (Barang Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah Pabean, namun berasal dari luar daerah Pabean.
  • Pemanfaatan JKP (Jasa Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah Pabean, namun berasal dari luar daerah Pabean.
  • Ekspor BKP (Barang Kena Pajak) berwujud atau tidak berwujud oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).
  • Ekspor JKP (Jasa Kena Pajak) berwujud atau tidak berwujud oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Langkah Menghitung PPN Tarif Baru

Pada kebijakan baru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN resmi naik menjadi 11 dan 12 persen, dari sebelumnya hanya 10 persen.

Rumus Perhitungan

Ada pun untuk menghitung besaran PPN yang perlu ditanggung, dapat menggunakan rumus berikut:

Tarif PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa

Contoh Perhitungan

Budi merupakan konsumen yang membeli makanan di sebuah restoran. Budi memesan beberapa jenis makanan dengan total harga Rp240 ribu. Jika transaksi yang dilakukan Budi senilai Rp240 ribu, dengan DPP sebesar 11%, besaran yang perlu dibayar Budi adalah:

PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa

= 11% x 240.000

= 26.400

Lalu, 240.000 + 26.400 = 266.400

Dari perhitungan tersebut, maka tarif PPN yang perlu dibayarkan Budi adalah Rp 26.400. Lalu, jika ditambah dengan total harga pesanan Budi Rp 240.000, maka jumlah uang yang perlu diberikan Budi kepada restoran yakni sebesar Rp 266.400.

Meski Ada Pajak Digital, Startup Lokal Masih Belum Kompetitif Terhadap Layanan Global

Peran layanan digital dari luar negeri makin penting dalam menemani hari-hari sunyi banyak orang selama masa pandemi ini. Dianggap makin penting karena layanan digital luar negeri menghadirkan pilihan alternatif bagi konsumen Indonesia.

Ambil contoh Netflix. Animo konsumen begitu besar ketika kabar Telkom akhirnya membuka blokir mereka terhadap Netflix. Telkom bahkan menyebut ada kenaikan trafik data yang cukup tinggi di jaringan mereka setelah pelanggannya sudah bisa mengakses Netflix.

Di masa pandemi ini juga, pemerintah akhirnya bisa mulai menarik pajak digital lewat pajak penjualan (PPn) atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) per 1 Agustus kemarin. Besaran PPn yang ditarik adalah 10% dari harga produk yang ditawarkan. Ini artinya layanan dari pelaku usaha PMSE luar negeri, seperti Amazon, Google, Google, Spotify, serta Netflix akan membebankan pelanggannya dengan pajak tersebut.

Ketentuan penarikan pajak PMSE ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang diatur lebih rinci dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020. Alasan yang kerap digaungkan oleh pemerintah mengenai penarikan pajak ini adalah penyamarataan level kompetisi antara penyedia jasa luar negeri dan dalam negeri.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah pajak itu benar-benar bisa membantu pemain lokal bersaing dengan para raksasa digital tadi?

Jarak terlalu jauh

Salah satu jarak paling jauh antara pemain lokal dan asing dalam bisnis digital di Indonesia adalah layanan komputasi awan. Amazon Web Service, Google Cloud, Microsoft Azure, dan Alibaba Cloud adalah penguasa pangsa pasar komputasi awan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemain lokal umumnya masih menjadi minoritas di bawah para raksasa tadi.

Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto mengakui perbedaan kelas dengan para pemain luar negeri sangat besar dari aspek modal, teknologi, maupun sumber daya manusia. Jarak yang begitu mencolok itu membuat Alex skeptis pemberlakuan PPn sudah cukup untuk menyetarakan kesempatan bersaing dengan pemain lokal.

“Kami melihatnya ini belum fair,” tegas Alex.

Alex berpendapat, komponen pajak lain perlu diterapkan terhadap OTT asing seperti halnya yang dialami pemain lokal. Memang dalam rencananya, pemerintah juga akan membuat aturan turunan yang memungkinkan mereka menarik pajak penghasilan (PPh) dan pajak transaksi elektronik (PTE). PTE sendiri adalah pajak layanan digital (digital service tax/DST) yang kini sudah diterapkan berbagai negara.

Namun membagi beban setara pun tak otomatis membuat medan kompetisi berimbang. Pemerintah juga punya sikap berhati-hati agar tidak membuat kabur investor lari karena beban pajak yang terlalu tinggi. Itu sebabnya Alex berharap ada semacam insentif bagi pemain lokal yang selama ini ia rasa belum ada.

Level playing field ini seharusnya bukan hanya sharing beban yang sama. Ini kan soal kelas bulu lawan kelas berat. Seharusnya [pemerintah] mengangkat kelas bulu tadi dengan memberi tambahan support, yang kelas berat dikasih beban agar setara,” jelas Alex.

Alex mungkin ada benarnya. Pemerintah Tiongkok, misalnya, melakukan apapun untuk membesarkan dan membantu perusahaan teknologi lokalnya agar mampu bersaing di level global. Tanpa insentif bagi penyedia layanan digital lokal, argumen bahwa pajak untuk OTT luar negeri untuk menyetarakan arena kompetisi bisa jadi hanya alasan tempelan belaka. Ia merasa tanpa insentif khusus ke pemain lokal, maka tinggal menunggu waktu mereka tergilas hegemoni raksasa tersebut.

“Jadi kalau ditanya mampu bersaing atau tidak, kalau jawab mampu dan bisa ya itu terlalu pede. Kita memang suffer. Dari capital kalah, dari teknologi kalah, dari dukungan pemerintah pun tak ada,” imbuh Alex.

Jika menelisik sedikit ke belakang, adakah sebenarnya pemain lokal yang saat ini sanggup berkompetisi dengan Google, Netflix, AWS, hingga Spotify? Di antara keempatnya, mungkin hanya di sektor video on demand pemain lokal masih punya kesempatan bersaing ketat melalui Vidio atau GoPlay

Berdasarkan survei DailySocial pada April dan Mei lalu, layanan Vidio dikonsumsi hingga 25% responden, menjadi pilihan setelah Netflix (42%), Viu (36%), iflix (32%), dan Hooq (28%) yang saat ini sudah berhenti beroperasi. Angka itu terbilang cukup baik, apalagi jika digabung dengan pangsa pasar GoPlay (14%) dan Genflix (11%).

Kepada DailySocial, Vidio menyebut pihaknya mendukung penuh pemberlakuan PPn bagi OTT asing untuk menyetarakan lapangan berkompetisi. Namun hampir senada dengan Alex soal insentif, Vidio berharap negara dapat memberi dukungan lebih besar dalam memberantas pembajakan konten.

“Maka dari itu kami membutuhkan dukungan dan bantuan pemerintah untuk membantu kami para pelaku bisnis OTT lokal untuk mengedukasi masyarakat luas dalam menikmati tayangan hiburan secara legal dan berbayar,” tulis VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar.

Di sektor lain, seperti layanan streaming musik, keadaannya jauh lebih timpang. Dari sekian pemain, hanya LangitMusik (27%) yang terlihat masih bisa bersaing dengan Spotify (71%) dan Joox (61%).

Sementara layanan komputasi awan didominasi raksasa digital yang punya kekuatan modal dan teknologi paling unggul. Maka tidak heran pangsa pasar mereka secara global begitu dominan. AWS misalnya sebagai pemimpin pangsa pasar global berani berinvestasi hingga US$2,5 miliar atau Rp35 triliun untuk Indonesia saja.

Negara membutuhkan pajak

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal ada dua hal yang dipetik dari pengenaan PPn terhadap OTT asing. Pertama adalah formalisasi kehadiran Netflix dkk. melalui instrumen pajak. Fithra menilai hal ini menjadi keputusan semua-menang. “Sebelumnya kan ini sembunyi-sembunyi, tapi sekarang jadi win-win solution bagi mereka, pemerintah, perusahaan telekomunikasi, juga pengguna,” ujar Fithra.

Hal kedua yang menurutnya perlu digarisbawahi adalah kebutuhan pemerintah mencari kanal pemasukan baru di tengah ancaman resesi ekonomi. Kekhawatiran akan resesi ekonomi global sudah menjadi ancaman dari tahun lalu. Pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut. Hasilnya laporan keuangan kuartal kedua Indonesia diumumkan turun hingga -5,32%.

Potensi tambahan pemasukan dari pajak digital merupakan sedikit titik cerah bagi pemerintah. Kementerian Keuangan dalam naskah akademik RUU Omnibus Law telah memperkirakan negara bisa mengantongi hingga Rp10,4 triliun dari tujuh jenis transaksi elektronik sebesar Rp104,4 triliun.

“[PPn] ini saya rasa bentuk ketanggapan pemerintah karena ke depan akan ada perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi layanan digital. Oleh karena itu pemerintah coba menangkap peluang ekonominya,” pungkas Fithra.

Hadirkan Pelaporan Pajak Melalui Aplikasi, Sleekr Resmikan Kemitraan dengan OnlinePajak

Hari Selasa, (29/8), platform SaaS HR Sleekr meresmikan kolaborasi dengan OnlinePajak. Sebelumnya informasi ini sudah disebutkan Founder dan CEO Sleekr Suwandi Soh di sebuah kesempatan, tapi peresmiannya baru dilakukan saat ini. Dalam acara penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) ini, turut hadir Direktur OnlinePajak Charles Guinot.

Kepada media, Suwandi mengungkapkan fitur terbaru yang bisa dinikmati dalam platform HR dan akunting tersebut memudahkan korporasi dan UMKM melakukan penghitungan pajak karyawan dan pajak lainnya berdasarkan sistem yang tersedia dalam aplikasi Sleekr. Selanjutnya, dengan integrasi secara langsung dengan OnlinePajak, laporan pajak bisa segera dilakukan.

“Fitur pajak dalam Sleekr ini merupakan feedback yang kami dapatkan dari klien kami. Dengan alasan itulah pada akhirnya Sleekr melakukan integrasi data dengan Online Pajak.”

Pelaporan PPh dan PPN

Dengan beberapa langkah mudah, semua proses penghitungan hingga pelaporan pajak PPh 21 dan PPN di perusahaan yang biasanya menyita waktu bisa diselesaikan secara otomatis hanya dalam waktu 5 menit saja menggunakan teknologi Application Programming Interface (API) antara Sleekr dan OnlinePajak. Kemudahan dan fleksibilitas ini memungkinkan bisnis dengan skala yang masih kecil bisa dengan mudah melaporkan kewajiban pajak.

“Hingga kini saya melihat hanya korporasi skala besar saja yang sudah rutin melaporkan pajak karyawan dan perusahaannya, sementara untuk pelaku bisnis UKM dan sejenisnya masih sedikit yang melaporkan pajak,” kata Charles.

Salah alasan mengapa masih sedikit pelaku UKM dan pemilik usaha skala kecil melaporkan pajak, menurut Charles, karena masih belum ada kejelasan serta minimnya edukasi tentang jenis usaha dan tipe pajak yang sesuai. Dengan adanya fitur dari Sleekr yang telah terintegrasi dengan data OnlinePajak, diharapkan kesulitan tersebut bakal terjawab.

Perjanjian kerja sama integrasi API ini memungkinkan para pengguna aplikasi Sleekr melakukan impor data transaksi keuangan dan data karyawan, yang berhubungan langsung dengan perpajakannya, ke aplikasi OnlinePajak agar dapat melakukan hitung, setor, dan lapor pajak online.

Bantu pemerintah tingkatkan kepatuhan pajak

Selama ini Sleekr telah melakukan kemitraan startegis dengan beberapa startup yang bertujuan untuk memberikan layanan lebih kepada kliennya. Peresmian kemitraan Sleekr dengan Online Pajak ini diharapkan merangkul lebih banyak klien baru.

“Sleekr dan OnlinePajak berharap dengan adanya integrasi ini dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dari perusahaan, terutama UKM, di Indonesia. Sleekr tentunya akan terus mengembangkan layanannya guna mendukung perkembangan bisnis UKM di Indonesia agar semakin dapat memberikan nilai-nilai positif di masa yang akan datang,” jelas Suwandi.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Penjelasan Kewajiban Pendirian Bentuk Usaha Tetap bagi Perusahaan Teknologi Asing

Menjelang akhir Februari lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) memastikan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan peraturan mengenai kewajiban pembentukan bentuk usaha tetap bagi para pelaku usaha asing yang menyediakan konten aplikasi internet yang populer (over-the-top atau OTT) dan beroperasi di Indonesia, seperti Facebook, WhatsApp, dan Netflix. Tujuan utama dari peraturan ini adalah penertiban para pengusaha OTT asing yang meraih keuntungan dari kegiatan usahanya di Indonesia, khususnya penertiban di bidang pemasukan pajak dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

Penjelasan peraturan Pajak Penghasilan (PPh)

Kerangka pajak penghasilan (“PPh”) sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPh”).

Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang digunakan oleh:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
b. orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
c. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia;
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Dalam penjelasan pasal di atas dijelaskan bahwa bentuk usaha tetap menandakan adanya suatu tempat usaha bagi usaha orang atau badan luar negeri tersebut. Tempat usaha ini tidak melulu terpatok pada bangunan, tapi juga berbagai fasilitas terkait yang digunakan dalam menjalankan suatu usaha, seperti peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui Internet sebagaimana relevan dalam pembahasan artikel ini.

Singkat kata, bentuk usaha tetap merujuk pada tempat dan fasilitas usaha yang bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, objek pajak penghasilan bentuk usaha tetap adalah:
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh, seperti dividen, royalti, dan imbalan jasa, yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

[Baca juga: Tanpa Badan Usaha Tetap di Indonesia, Layanan OTT Bakal Diblokir]

Sekilas, objek pajak penghasilan yang disebutkan pada huruf b dan c di atas adalah serupa. Namun, contoh berikut diharapkan dapat memudahkan pemahaman atas perbedaan kedua jenis objek pajak penghasilan tersebut.

Contoh untuk penghasilan yang dimaksud dalam huruf (b) adalah:

Sebuah bank asing di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia, namun bank tersebut memberikan pinjaman secara langsung kepada perusahaan di Indonesia, langsung dari banknya yang berdomisili asing, bukan melalui bentuk usaha tetap yang ada di Indonesia, padahal pinjaman tersebut merupakan salah satu produk yang juga disediakan oleh bentuk usaha tetap dari bank asing yang bersangkutan.

Sedangkan untuk contoh penghasilan pada huruf (c) adalah:

Perusahaan asing A mengadakan perjanjian lisensi merek dengan perusahaan asing B dan bentuk usaha tetap dari perusahaan asing A membantu perusahaan asing B dalam memasarkan produk dari merek yang dilisensikan perusahaan A tersebut.

Penjelasan peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Selain pajak penghasilan, pemerintah juga berharap untuk dapat menertibkan pemasukan dari pajak pertambahan nilai terkait pengusaha OTT asing. Kerangka peraturan pajak pertambahan nilai (“PPN”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (secara bersama-sama disebut sebagai “UU PPN”).

Pada dasarnya, objek pajak pertambahan nilai dari bentuk usaha tetap adalah setiap barang dan/atau jasa kena pajak yang diserahkan ataupun dimanfaatkan oleh bentuk usaha tetap di wilayah Indonesia. Sebagai tambahan informasi, kebocoran pemasukan dari pajak pertambahan nilai inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat wacana Menkominfo untuk mewajibkan pengusaha OTT asing sebagai wajib pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap. Pasalnya, nilai usaha iklan digital para pengusaha OTT asing tersebut bisa mencapai nilai ratusan juta Dolar Amerika Serikat dan pemerintah tidak mendapatkan apapun dari jumlah tersebut.

Terkait dengan obyek pajaknya, UU PPN tidak menjelaskan secara khusus untuk setiap barang dan/atau jasa yang dapat dikenai pajak, namun Pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN justru memberikan patokan barang dan/atau jasa yang tidak dapat dikenai pajak pertambahan nilai.

Barang-barang yang tidak dapat dikenai pajak, meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, serta makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering) dan barang berupa uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai meliputi jasa-jasa yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti jasa-jasa di bidang pelayanan kesehatan, sosial, keuangan, asuransi, pengiriman surat dengan perangko, pendidikan, keagamaan, penyiaran yang tidak bersifat iklan, kesenian dan hiburan, jasa penyediaan tempat parkir, dan lainnya.

Selanjutnya mengenai status bentuk usaha tetap, Pasal 2 ayat (2) UU PPh mengatur bahwa perlakuan pajak bagi subjek pajak bentuk usaha tetap dipersamakan dengan perlakuan terhadap wajib pajak badan dan oleh karenanya prosedur perolehan status sebagai bentuk usaha tetap pun dipersamakan dengan prosedur perolehan status sebagai wajib pajak badan, sebagaimana diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah beberapa kali dan terakhir oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa wacana untuk mewajibkan pengusaha OTT asing membuka bentuk usaha tetap di Indonesia memang didasari oleh tujuan yang sangat ideal.

Namun, pemerintah jelas wajib melakukan lebih banyak diskusi yang melibatkan seluruh stakeholder mengenai baik buruknya pemberlakuan kewajiban bentuk usaha tetap ini dalam rangka menghindari dampak negatif berupa turunnya minat para pengusaha OTT asing untuk beroperasi di Indonesia. Selanjutnya, hasil diskusi tersebut juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai ketentuan pelaksanaan atas peraturan Menkominfo tersebut kelak, mengingat bidang usaha ini merupakan bidang yang masih baru dan sulit untuk ditentukan standarnya karena cakupannya yang tak terbatas.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Kesiapan Indonesia Menghadapi Rencana Pajak E-Commerce

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bakal segera memberlakukan pajak bagi toko online. Seperti dikutip dari Kontan, nantinya setiap transaksi online akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dari nilai jual. Rencana ini sudah disampaikan oleh pihak Ditjen Pajak dalam pertemuan dengan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII). Ini merupakan langkah lanjutan Ditjen Pajak menggenjot pendapatan negara, setelah sebelumnya juga menarget sektor Usaha Kecil Menengah (UKM, yang bernilai 1%) dan pengusaha properti.

(null)

Indonesia’s Readiness Ahead of E-Commerce Tax Plan

The Indonesian Tax Directorate General is mulling a plan to implement taxes for online transaction. According to Kontan, a 10% value added tax will be applied to all online transactions on top of the transaction value. This plan had been tabled by the Directorate in its meeting with the Indonesian Internet Service Provider Association (APJII). This is another step by the government to drive state revenue collection after targeting the small business and the real estate sectors.

Continue reading Indonesia’s Readiness Ahead of E-Commerce Tax Plan