Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Ubisoft Tuntut Google dan Apple Untuk Hapus Game Area F2

Beberapa waktu lalu sempat muncul ke permukaan sebuah game berjudul Area F2, yang dipromosikan sebagai game FPS CQB (Close-Quarter Battle) pertama di seluler. Bagi gamers mobile, Area F2 mungkin terlihat inovatif dengan konsep yang segar. Tapi gamers PC tentu sudah paham bahwa ini adalah tiruan versi mobile dari FPS CQB besutan Ubisoft, Rainbow Six Siege.

Menanggapi hal ini, Ubisoft gerak cepat, dan dikabarkan menuntut Google dan Apple untuk menghapus game ini dari Application Store mereka masing-masing. Mengutip dari Bloomberg, Ubisoft mengatakan bahwa Area F2 yang dibuat oleh bagian dari Alibaba Group Holdings Ltd, Ejoy.com, meniru Rainbow Six Siege secara habis-habisan dalam berkas tuntutannya yang diberikan kepada pengadilan federal di Los Angeles.

Sumber: Tangkapan Layar
Tidak hanya gameplay, Anda pemain R6S tentu familiar dengan tampilan menu seperti ini bukan? Sumber: Tangkapan Layar

Masih dari Bloomberg, Ubisoft dikabarkan sudah membicarakan hal ini kepada Apple dan Google sebelum melakukan tuntutan. Ubisoft mengatakan bahwa game tersebut melanggar hak cipta Rainbow Six Siege kepada Apple dan Google , namun mereka menolak untuk menghapus game tersebut dari Apple App Store dan Google Play Store.

“R6S adalah merupakan salah satu game multiplayer kompetitif terpopuler di dunia, dan merupakan salah satu properti intelektual paling berharga milik Ubisoft. Secara virtual, Area F2 meniru hampir semua aspek dari R6S, mulai dari menu utama, menu pemilihan operator, menu akhir saat pengumuman skor, dan hampir semua yang ada di antaranya.” ucap Ubisoft kepada Bloomberg.

Memang secara visual, Area F2 bisa dikatakan sepenuhnya meniru R6S. Seperti yang disebut Ubisoft, tiruan dilakukan mulai dari menu utama, mekanisme permainan, bahkan sampai bagian akhir saat pengumuman skor. Peniruan yang dilakukan bisa dibilang hampir mencapai 90%, dengan sedikit atau hampir tidak ada perbedaan sedikitpun dari game berbasis novel Tom Clancy tersebut.

Hingga saat ini, Rainbow Six Siege memang masih menjadi salah satu game besutan Ubisoft yang paling sukses. R6S sudah menghasilkan satu miliar dolar AS (sekitar Rp14 triliun) sejak rilis 2015 lalu, yang didapatkan melalui pembelian game, serta microtransaction untuk pembelian operator, skin, dan lain sebagainya.

Sementara itu Area F2 baru rilis 16 April 2020 lalu, yang bisa diunduh dan mainkan secara gratis lewat Google Play Store dan Apple App Store. Jelang perilisan, game ini sudah mendapat perhatian yang cukup besar, karena secara aktif melakukan promosi di kanal media sosial lewat iklan digital.

Terkait penuntutan, Apple dan Google masih belum memberikan komentarnya hingga saat ini. Jika Ubisoft memenangkan tuntutan ini, masih belum diketahui apakah nantinya Area F2 akan sepenuhnya hilang dari peredaran, atau sekadar berganti nama serta desain tampilan saja.

Hybrid Monthly Cup Qualifier Wave 2 Dimenangkan oleh Neuvrion.Limitless

Akhir pekan lalu (2 Mei 2020) pertandingan Hybrid Monthly Cup Qualifier Wave 2 telah selesai diselenggarakan. Setelah pertandingan yang cukup sengit, akhirnya kembali terpilih 2 tim yang akan melaju ke babak Playoff dari Hybrid Monthly Cup Rainbow Six Siege.

Pada 18 April kita melihat tim Insen 2.0 dan Markicep yang berhasil lolos ke babak Playoff setelah bertarung di Hybrid Monthly Cup R6S Wave pertama. Ketika itu Insen 2.0 dan Markicep menunjukkan permainan yang cukup dominan semenjak dari awal bracket. Pada babak Final, Insen 2.0 akhirnya berhasil menjadi pemenang setelah mengalahkan Markicep di babak Final.

Pada wave kedua, 2 tim yang lolos adalah Neuvrion Limitless dan Shaolin Monkey. Babak Final Hybrid Monthly Cup kali ini menunjukkan pertandingan yang tak kalah menarik dibandingkan dengan wave pertama. “Walaupun dua tim tersebut (Neuvrion Limitless dan Shaolin Monkey) sebenarnya sudah pasti lolos, namun mereka tetap berjuang dengan maksimal, bahkan bertanding sampai map 3 di babak Final.” ucap Ajie Zata (WildLotus) menceritakan babak Final dari Hybrid Monthly Cup.

Lucunya, pertandingan paling menarik di Hybrid Monthly Cup Wave kedua ini malah terjadi di babak Semi-Final. Pertandingan itu adalah antara Shaolin Monkey melawan GBH esports. “Ini pertandingan penentuan yang lolos ke Playoff. Pertandingan Semi-Final jadi sangat sengit, juga mencapai map 3. Tim ini sebenarnya berisi pemain lama, cuma berganti nama. Contohnya Chronos, dulu dia di 1z, sekarang karena 1z bubar dia bikin tim bernama Shaolin Monkey. GBH ini dulunya Tim Tobat, dengan sedikit pergantian pada beberapa member.” Aji lanjut menceritakan.

Last Chance Qualifier, Kesempatan Terakhir Melaju ke babak Playoff Hybrid Monthly Cup

Setelah dua gelombang kualifikasi Hybrid Monthly Cup berlangsung pada 18 April dan 2 Mei, kini tersisa satu gelombang lagi, yang menjadi kesempatan terakhir bagi semua tim untuk bisa melaju ke babak Playoff. Setelah melalui fase pendaftaran yang berlangsung sejak 5-8 Mei 2020, kini sudah terkumpul 24 tim yang akan bertanding untuk memperebutkan 4 slot menuju ke babak Playoff.

Sumber: Toornament
Sumber: Toornament

Peserta akan bertanding pada tanggal 9 Mei 2020 mendatang dengan format Single-Elimination, dengan pertandingan best-of-1 di semua pertandingan, kecuali Semi-Final dan Final yang menggunakan seri best-of-3.

Babak Playoff akan diselenggarakan pada tanggal 16 Mei 2020 mendatang dengan mempertandingkan 8 tim yang sudah melalui babak kualifikasi tersebut. Hasil rekaman pertandingan nanti akan diunggah ke channel Hybrid IDN, pastikan kalian subscribe agar tidak ketinggalan keseruan Hybrid Monthly Cup.

Kira-kira, siapakah tim yang akan menjadi pemenang Hybrid Monthly Cup Rainbow Six Siege 2020?

Jadwal Six Invitational 2020, Akankah Tercipta Juara Baru?

Setelah satu musim kompetisi esports Rainbow Six (Februari 2019 – Januari 2020), kulminasi dari semua gelaran tersebut adalah Six Invitational 2020. Berbagai tim dari berbagai regional bertemu di dalam gelaran ini demi memperebutkan tahta sebagai raja skena kompetisi Rainbow Six: Siege internasional. Jadwal Six Invitational 2020 sudah dimulai sejak 7 Februari 2020 lalu, dimulai dengan babak grup sampai 9 Februari 2020.

Jadwal Six Invitational 2020 lalu dilanjut dengan pembukaan babak playoff mulai dari 11 – 12 Februari 2020, dan ditutup dengan gelaran puncak yang akan hadir mulai dari 14 – 16 Februari 2020 mendatang. Tahun ini, Six Invitational hadir dengan banyak kejutan.

Sumber: Twitter ESLRainbowSix
Sumber: Twitter @ESLRainbowSix

Dari grup A ada Fnatic, tim asal regional Asia Pasific (APAC) yang secara mengejutkan berhasil mengalahkan dan mendepak juara Six Invitational 2019, Team Empire, dan lolos dari fase grup. Lalu di grup B ada Team SoloMid, yang berhasil membuat Navi terpojok. Grup C juga muncul dengan kejutan, berupa tim MiBR (Made in Brazil) yang berhasil mendepak Team Liquid, yang sebenarnya sedang punya performa baik di musim 2019-2020 ini. Terakhir ada grup D yang menyisakan satu-satunya wakil regional Eropa, G2 Esports, setelah berhasil mengalahkan BDS Esports dan Team Reciprocity.

Jumat sampai Minggu nanti (14-16 Februari 2020) pertandingan Six Invitational akan mencapai puncaknya. Agar Anda tidak ketinggalan dengan keseruannya, berikut jadwal Six Invitational 2020 yang sudah dikonversi ke dalam waktu WIB.

Sumber: Ubisoft Official Blog
Sumber: Ubisoft Official Blog

Jadwal Six Invitational 2020 Hari Pertama – 14/02/2020 (Waktu dalam WIB)

23:30 – 03:00 ❘ Match 1 (Lower Bracket)
03:00 – 05:00 | Showmatch
05:00 – 08:00 | Match 2 (Lower Bracket)

Jadwal Six Invitational 2020 Hari Kedua – 15/02/2020 (Waktu dalam WIB)

23:30 – 03:00 ❘ Match 3 (Lower Bracket)
03:00 – 05:30 | Season Panel
05:30 – 08:30 | Match 4 (Lower Bracket)

Jadwal Six Invitational 2020 Hari Ketiga – 16/02/2020 (Waktu dalam WIB)

23:30 – 03:00 ❘ Match 5 (Lower Bracket Finals)
03:00 – 05:30 | Season Panel
05:30 – 08:30 | Grand Final + Trophy Ceremony

Semua pertandingan Six Invitational 2020 akan ditayangkan via livestream di kanal Twitch resmi Rainbow Six: Siege. Berikut beberapa tautan penting terkait Six Invitational 2020.

Nonton Bareng R6 IDN

Seperti tahun-tahun sebelumnya, akan ada juga acara nobar Six Invitational 2020 untuk kalian yang berada di daerah Jakarta dan sekitarnya. Tahun ini, nobar Six Invitational akan kembali diadakan di kantor Hybrid IDN, pada tanggal 16 Februari 2020 mendatang mulai dari pukul 21:00 sampai selesai.

Sumber: Facebook R6 IDN
Sumber: Facebook R6 IDN

Acara nobar akan menghadirkan berbagai hal menarik mulai dari merchandise, free snack, R6 credit dan lain sebagainya. Anda bisa pergi ke laman Facebook komunitas R6 IDN untuk informasi lebih lanjut seputar acara nonton bareng Six Invitational 2020.

Kira kira kejutan apa lagi yang akan hadir di Six Inivitational 2020? Akankah G2 Esports merengkuh kembali trofi Six Invitational setelah melewati pertarungan Lower-bracket yang panjang? Atau Fnatic akan mempertahankan tren performa positifnya, dan menjadi tim APAC pertama yang memenangkan Six Invitational?

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN) – Sumber Header: Twitter @R6esports

Road to Hybrid Cup 2 R6S Dimenangkan Nite Rusher, Libas 1z Esports 2-0

Pekan lalu, gelaran Road to Hybrid Cup 2 Rainbow Six: Siege telah selesai digelar. Setelah bertanding selama 3 hari dari Rabu 22 Januari 2020 sampai Jumat 24 Januari 2020, tim Nite Rusher keluar sebagai juara setelah berhasil mengalahkan 1z Esports 2-0 dalam seri best-of-3.

Pertandingan ini bisa dibilang rematch dari Road to Hybrid Cup 1, yang mana Nite Rusher kalah melawan 1z Esports di babak semi-final. Kali ini Nite Rusher bermain dengan lebih solid, walau sempat kecolongan di beberapa ronde. Map game 1 adalah Coastline, salah satu map yang punya banyak ruang terbuka, dan memungkinkan permainan agresif dari berbagai sisi.

Pada first-half (6 ronde pertama), pertarungan antar kedua tim masih cukup imbang. Malah pada second-half (6 ronde kedua) Nite Rusher segera mendominasi permainan ketika mendapat peran sebagai sebagai Attacker. Sudah mendapat 6 poin kemenangan, Nite Rusher mulai goyah, membuat 1z Esports sempat mencuri satu ronde pada keadaan tersebut. Ronde 10, keadaan jadi menegangkan, saling bertukar kill sampai menyisakan pertarungan 1v1 antara Sky dari 1z dengan Jetz dari Nite Rusher. Mencoba mengelabui dengan fake defuse, Sky malah terkelabui karena posisi Jetz yang ada di sudut ruangan.

Sumber: Facebook Page Hybrid.IDN
Momen saat Sky akhirnya terkelabui pergerakan dari Jetz. Sumber: Facebook Page Hybrid.IDN

Map game 2 adalah Bank. Pertarungan kali ini jadi lebih berimbang, setidaknya pada 4 ronde pertama. Namun setelahnya Nite Rusher lagi-lagi kembali mendominasi permainan sampai skor menjadi 6-2. Kejadian pada game 1 seakan terulang, permainan Nite Rusher kembali goyah. Mereka dipaksa tunduk sampai skor jadi 6-5. Untungnya pada pertandingan penentuan Nite Rusher berhasil bangkit dan memenangkan match-point.

“Nite Rusher betul-betul merusak ekspektasi banyak orang. Membuat para penonton terkejut, termasuk gue sendiri.” Ujap Ajie Zata (Wildlotus) shoutcaster dari R6 IDN. “Secara historis 1z Esports sebenarnya memukau di beberapa pertandingan sebelumnya. Namun demikian, kemenangan Nite Rusher sangat tidak gue duga, apalagi mereka menang 2-0 tanpa balasan dari 1z esports.” lanjut Ajie.

“Dari pertandingan kemarin, pemain yang patut jadi sorotan sih Elang dan Dempsey. Dua pemain ini bisa dibilang yang jadi penentu tempo permainan Nite Rusher di final Road to Hybrid Cup 2 kemarin. Elang bisa dibilang entry fragger dengan tingkat kesuksesan tertinggi. Sekali masuk dia bisa dapat satu sampai dua kill, dan itu memberi momentum yang baik pada tim. Lalu Dempsey adalah pemain yang mengontrol ritme permainan. Dia bermain dengan sangat baik, tahu cara memposisikan diri di game kemarin.” Ajie menjelaskan soal sosok pemain yang jadi sorotan dari Road to Hybrid Cup 2 kemarin.

Dengan ini berikut daftar 8 besar dari gelaran Road to Hybrid Cup 2 R6S.

  • Champion – Nite Rusher – Rp1.000.000
  • 2nd Place – 1z Esports – Rp600.000
  • 3rd Place – NEUVRION LIMITLESS – Rp400.000
  • 4th Place – Reckless Lads – Rp200.000
  • 5-8th Place – Obeasty -Rp200.000
  • 5-8th Place – BOS Esports – Rp200.000
  • 5-8th Place – Kintay – Rp200.000
  • 5-8th Place – Team Sixth Rising – Rp200.000

Kemenangan tersebut memberikan Nite Rusher kesempatan untuk melaju ke babak utama! Yaitu Hybrid Cup Series – Play on PC: R6S. Rangkaian Road to Hybrid Cup kini sudah usai, tersisa gelaran utama yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 2020 mendatang. Saat ini, sudah ada Team Scrypt dan Nite Rusher yang menunggu di sana.

Akankah ada tim yang muncul dan bisa mengalahkan salah satu tim Rainbow Six terbaik di Indonesia, Team Scrypt? Akankah Nite Rusher bisa mempertahankan tren performa baiknya?

Hybrid Cup Series Play on PC disponsori oleh AMD dan Corsair, dengan dukungan dari AerocoolThunderX3TecwareRapooVPROViewSonic, dan ASRock.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Hybrid Cup dan program-program lain ke depannya, jangan lupa untuk memantau situs Hybrid.co.id dan follow akun media sosial Hybrid di TwitterFacebookInstagram, dan YouTube.

[VIDEO] Bobby Rachmadi Bicara Soal Komunitas dan Esports R6S di Indonesia

Jika kita bicara soal esports game FPS, nama Counter Strike: Global Offensive (CS:GO) mungkin bisa dibilang masih jadi raja tak terkalahkan. Namun demikian, belakangan muncul sebuah game yang disebut-sebut bisa mengalahkan dominasi panjang CS:GO.

Game tersebut adalah Rainbow Six Siege (R6S), sebuah game yang disebut sebagai tactical shooter, yang belakangan geliat perkembangannya mulai terlihat. Secara global, potensi R6S sudah sudah mulai terlihat, dari kompetisi Raleigh Major salah satunya.

Tetapi bagaimana dengan di Indonesia? Antusiasme gamers R6 di gelaran Gamers Land Party mungkin bisa jadi salah satu contoh geliat komunitasnya. Mencoba membahas lebih lanjut, kami mengundang Bobby Rachmadi Putra, Founder R6 IDN, satu-satunya komunitas Rainbow Six Siege di Indonesia yang mendapat dukungan langsung dari sang pengembang, Ubisoft.

Pada #HybridTalk Episode 10, kami berbincang dengan Bobby membahas peran komunitas dan juga potensi besarnya R6S sebagai esports di Indonesia. Lebih lanjutnya, Anda dapat langsung menyaksikan wawancara saya dengan Bobby pada video di bawah ini.

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN)

Akuisisi Tim Immortals, MiBR Kini Punya Divisi Rainbow Six: Siege

MiBR (Made in Brazil) kini punya tim Rainbow Six: Siege. Tim tersebut merupakan hasil akuisisi tim Immortals. Selama ini, MiBR dikenal dengan tim CS:GO mereka. Ini adalah kali pertama MiBR membuat tim untuk game lain selain CS:GO.

Tim CS:GO MiBR berhasil mengumpulkan fans yang tidak sedikit. Setiap kali mereka mengadakan siaran, ada ribuan orang yang menonton. Dengan membuat tim Rainbow Six, mereka berharap, mereka akan mendapatkan fans baru yang sama antusias.

Untuk komposisi dalam tim sendiri, tim ini masih terdiri dari Daniel “Novys” Novy sebagai kapten, Jaime “Cyb3r” Ramos, José “Bullet1” Victor, Lucca “MKing” Coser , dan Matheus “pX” Freire. Kelimanya merupakan warga negara Brasil.

Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah penambahan Guilherme “Guile” Scalfi sebagai pelatih. Sebelum menjadi pelatih, Guile bekerja di Ubisoft sebagai analis.

“Sebuah kebanggaan untuk mengenakan kaos seragam yang membuat banyak warga Brazil senang,” kata Bullet1 seperti dikutip dari ESPN Brazil. Dia juga mengungkap harapannya untuk dapat “menguasai dunia” di bawah bendera MiBR.

“Saya senang dan optimistis untuk mewakili tim legendaris seperti MiBR di Rainbow Six: Siege,” kata MKing. “Ini akan menjadi pengalaman yang hebat. Sebuah tim yang dibanggakan oleh semua orang bergabung dengan komunitas Rainbow Six yang terus berkembang setiap harinya. Saya tidak sabar untuk mewakili tim ini, saya harap saya akan bisa mendapatkan prestasi dan membuat fans kami bangga.”

Tim yang dulunya membawa nama Immortals ini berhasil masuk ke Pro League Season 10 untuk kawasan Amerika Latin. Sayangnya, musim ini dalam 7 pertandingan yang telah mereka lalui, mereka tidak pernah mendapatkan satu kemenangan pun. Mereka hanya dapat berhasil mendapatkan 3 hasil seri dan 4 kekalahan. Dengan 3 poin, tim ini kini ada di posisi kedua dari belakang.

Padahal, pada Season 9, tim tersebut berhasil meraih peringkat dua. Dengan adanya pelatih baru, tim Rainbow Six ini mungkin akan bisa memperbaiki performa mereka.

Immortals resmi berdiri pada Oktober 2015 dengan membeli franchise untuk bisa bertanding di North American League of Legends Championship. Meski pada awalnya mereka hanya bertanding di LoL, Immortals lalu memperluas sayapnya.

Mereka mengakuisisi tim Brasil, Tempo Storm untuk bertanding di CS:GO pada Juni 2016. Selain itu, Immortals juga memiliki tim untuk bersaing di beberapa game lain, seperti Dota 2, Clash Royale, dan lainnya.

Sumber: Dot Esports, Dexerto, Daily Esports, ESPN Brazil

Pembagian Grup Six Major Raleigh, Usaha Meruntuhkan Dominasi G2 Esports

Kompetisi Major, Rainbow Six: Siege kembali hadir. Bertempat di Raleigh, Carolina Utara, Amerika Serikat, ini adalah kali kedua Ubisoft menyelenggarakan kompetisi R6S dengan titel “Major”. Sebelum ini, ada Six Major Paris, yang kembali dimenangkan oleh tim G2 Esports.

Untuk gelaran Six Major Raleigh, sebelumnya sudah diumumkan 16 tim yang akan bertanding. Mereka datang dari berbagai komponen, seperti dari sang juara Six Invitational, 8 finalis Pro League Season IX, 4 tim dari Open Qualifier, 1 tim juara Allied Esports Vegas minor, 1 juara DreamHack Valencia, dan 1 tim undangan negara tuan rumah.

Setelah pengumuman 16 tim peserta, hal berikutnya yang ditunggu adalah pembagian grup untuk Six Major Raleigh. Diumumkan pada 30 juli 2019 lalu, berikut pembagian grup untuk Six Major Raleigh.

Sumber: Twitter @R6esports
Sumber: Twitter @R6esports

Melihat pembagian grup ini, mungkin bisa dibilang terbagi cukup merata. Mengingat semua grup punya kesulitannya masing-masing. “Tapi kalau dibilang grup neraka, bisa dibilang grup A sama grup D menurut gue.” Ujar Ajie “WildLotus” Zata, salah satu sosok shoutcaster dari komunitas R6IDN.

“Tetapi memang, fase grup ini betul-betul panas, bukan cuma dari dua grup tersebut saja.” Ajie menambahkan. ” Ada beberapa pertandingan yang sangat dinanti, seperti dari grup B ada G2 vs Rogue, lalu di grup C ada EG vs Looking for Organization. Lalu dari grup A dan D, yang tentunya ditunggu-tunggu adalah Team Empire vs TSM dan Fnatic vs DarkZero.”

Enam Belas tim tersebut akan bertanding memperebutkan total hadiah sebesar US$500.000 (sekitar Rp7 miliar). Sejauh ini, kancah kompetisi Rainbow Six: Siege masih dikuasai oleh asal Jerman, G2 Esports. Belakangan, mereka tercatat berhasil menang tiga kompetisi besar secara berturut-turut, yaitu: Six Major Paris, Pro League Season 8 – Finals, dan Six Invitational 2019.

Raleigh #2
Sumber: Ubisoft Official Media

Penantangnya sendiri masih belum banyak memunculkan potensi di tahun ini. “Kalau prediksi gue, final Six Major Raleigh mungkin bakal Team Empire vs G2 Esports.” Ajie mengatakan. “Tapi, kemungkinan besar G2 Esports mempertahankan kemenangannya tetaplah besar. Bedanya, tahun ini jalan mereka bakal lebih sulit karena Team Empire dan EG, ditambah tim pendatang baru yang kuat seperti TSM, Team Secret, dan FaZe Clan.”

Six Major Raleigh 2019 akan mulai bertanding pada 12 Agustus sampai 18 Agustus 2019 mendatang. Siapa tim yang Anda jagokan? Saya sendiri menjagokan G2 Esports, mengingat permainan tim ini yang masih solid dan kuat.

 

Luminosity Gaming Melebarkan Sayap ke R6S

Setelah TSM (Team SoloMid) masuk ke esports R6S, kali ini giliran Luminosity Gaming (LM) yang turut meramaikan esports FPS besutan Ubisoft. Sama seperti TSM yang mengakuisisi tim yang sudah jadi (Excelerate Gaming), LM juga mengakuisisi tim jagoan asal Amerika Utara; 92 Dream Team.

Roster tim ini saat dibeli terdiri dari Muteeb “PiXeL” Chaudary, Tom “Tomas” Kaka, Richie “Rexen” Coronado, Kian “Hyena” Mozayani, Coal “awD” Phillips, dan coach Anthony “ViiRuS” Ybarra.

PiXeL adalah pemain yang sudah bermain NA Challenger League selama 3 musim. Sedangkan Tomas adalah pemain R6S sejak Season 1 (sekarang Season 10) yang sebelumnya melatih untuk TSM. ViiRuS juga sudah bermain R6S dari Season 1 di console sebelum hijrah ke PC. Hyena adalah sang kapten tim yang sebelumnya bermain CS:GO. Rexen merupakan sang entry fragger untuk LM saat ini. Bersama dengan Hyena, Rexen berhasil memanjat rank T3 ke tingkat Pro League hanya dalam waktu 6 bulan. Terakhir ada awD, pemain R6S yang sebelumnya jadi atlit atletik saat ia masih sekolah.

Di artikel yang dirilis oleh LM di situs mereka sendiri, Steve Maida, President of Luminosity Gaming, sempat memberikan komentarnya. “Kami sangat kagum melihat perkembangan Pro League R6S. Tak hanya soal jumlah penontonnya tapi juga bagaimana pendekatan Ubisoft dalam menciptakan ekosistem esports yang stabil. Ekosistem adalah satu aspek yang mendukung pertumbuhan sehat bagi para pemain dan organisasinya. Kami sungguh tidak dapat menemukan tim yang lebih baik dari 92 Dream Team. Mereka adalah sekumpulan anak muda yang hebat yang berhasil meraih pencapaian dengan sumber daya yang sangat terbatas. Kami tak sabar melihat mereka terbang dan menjulang tinggi membawa bendera Luminosity Gaming.”

Dengan demikian, LM otomatis turut meramaikan Pro League R6S wilayah NA (North America) bersama dengan EG dan TSM. Untuk tambahan informasi, tim Indonesia sendiri juga ada yang turut meramaikan Pro League R6S, yaitu Team Scrypt, di wilayah APAC (Asia Pacific).

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Buat yang belum tahu, Luminosity Gaming sendiri merupakan organisasi esports yang mengawali perjalanan mereka di CS:GO dan cukup berprestasi di scene ini. LM sendiri juga pernah menjadi rumah bagi streamer dan pemain Fortnite paling populer di dunia, Tyler “Ninja” Blevins.

LM juga baru-baru ini melakukan ekspansi ke Apex Legends sebelum ke R6S.

Menilik Geliat dan Perkembangan Esports R6S di Indonesia

Buat yang memang peduli dengan ekosistem esports Indonesia, sebenarnya masih banyak komunitas game tertentu yang termarginalkan seperti Fighting Game Community, komunitas PES, Hearthstone, FIFA, CS:GO, Sim Racing, dan yang lain-lainnya. Kali ini, kita akan membahas satu lagi yaitu komunitas esports R6S (Rainbow Six: Siege) di Indonesia.

Saya pribadi dan Hybrid sendiri memang menolak untuk hanya membahas apa yang sedang ramai di Indonesia. Kenapa? Karena saya tahu betul bagaimana rasanya dipinggirkan… Plus, sudah banyak juga media-media lain yang membahas game dan esports yang sedang jadi tren saat ini.

Jadi, tanpa basa basi lagi, mari kita berkenalan lebih dekat dengan salah satu komunitas esports yang mungkin kecil dari sisi jumlah namun dewasa dan ambisius, R6 IDN.

Kali ini, saya ditemani oleh Bobby Rachmadi Putra yang merupakan Community Leader untuk R6S di Indonesia untuk menjadi narasumber kita.

Awal Mula dan Cerita Komunitas R6S di Indonesia

Sumber: Komunitas R6S Indonesia
Sumber: Komunitas R6S Indonesia

Sebelum komunitas ini bermukim di Facebook Group, menurut cerita Bobby, sudah ada komunitas R6S di KASKUS sejak trailer pertama R6S dirilis untuk E3 2013. Namun demikian, saat game ini dirilis di Desember 2015, thread starter di forum digital terbesar tadi justru tidak membeli game-nya. Karena itulah, Bobby bersama 3 orang lainnya (Izzan, DarkTangoCat, dan Harris) membuat komunitas Discord untuk R6S.

Di saat yang sama, ternyata Bobby pun menemukan sudah ada yang membuat grup di Facebook untuk R6S. 2 komunitas dari platform yang berbeda ini pun bergabung.

Kegiatan komunitas R6S di grup Facebook ini pun sudah beragam mulai dari diskusi alias tanya jawab seputar tips dan trik R6S, membantu pihak Ubisoft menyelesaikan masalah bug in-game, nonton bareng turnamen internasional, gathering di event offline (kala itu ESL Clash of Nation), ataupun Art Competition (cosplay dan fan art). Satu hal yang menarik, Ubisoft sendiri yang menyediakan hadiah (total Rp3,5 juta) untuk Art Competition komunitas ini.

Satu hal yang saya sendiri kagumi dengan komunitas R6S ini adalah anggotanya yang boleh dibilang cukup dewasa soal perilakunya. Kebetulan saja, saya sendiri juga moderator untuk 2 game esports populer di Indonesia saat ini; jadi saya tahu betul bagaimana perbandingannya. Saya tak perlu sebutkan nama game-nya ya berhubung saya takut dihujat warganya; yang jelas 2 game esports (mobile) tersebut adalah 2 dari 3 game esports paling ramai saat ini.

Sayangnya, kebanyakan pelaku industri esports Indonesia saat ini masih hanya memperhatikan jumlahnya semata, tanpa memperhatikan kedewasaan perilaku para pemainnya. Sayangnya, memang kebanyakan pelaku industri esports Indonesia masih terjebak pada soal volume sebagai satu-satunya tolak ukur. Mungkin lain kali, kita akan bahas lebih jauh soal ini.

Tentang Ajang Kompetitif R6S di Indonesia

R6 IDN Star League S1 - Poster
Sumber: R6 IDN

Meski bisa dibilang kecil dari sisi jumlah, komunitas R6 IDN cukup rajin dalam memberikan ruang kompetitif.

Sebelum kita membahas turnamen-turnamennya yang ada saat ini, mari kita melihat ke belakang sejenak untuk melihat perkembangan ekosistem esports R6S dari waktu ke waktu.

Bobby bercerita bahwa turnamen R6S pertama yang mereka buat adalah kompetisi 17an di tahun 2016. Kala itu, hadiah turnamennya masih berupa kaos custom. Di tahun ini, masih belum ada turnamen lainnya meski memang komunitas ini kerap bermain bersama (random fun match).

Tahun 2017, komunitas ini kembali menggelar kompetisi 17an namun dengan peserta yang lebih banyak. Di tahun ini, R6 IDN juga menggelar turnamen rutin mereka yang diberi nama Indonesian Series League (kala ini masih disebut Indonesian Tournament Series).

Untuk turnamen pertama mereka ini, total hadiahnya sebesar Rp3 juta yang didapat dari biaya pendaftaran dan iuran para pengurus komunitas. Turnamen ini dimulai saat itu karena mereka melihat komunitasnya sudah mulai ramai. Selain itu, tujuan turnamen ini adalah untuk menggaet lebih banyak pemain R6S untuk bergabung bersama komunitasnya.

Di tahun 2018, R6 IDN pun membuat turnamen baru yang jenjangnya lebih rendah, yang diberi nama Community Cup.

Sumber: R6IDN Official Media
Sumber: R6IDN

Indonesian Series League (ISL) pun berlanjut di awal tahun (sekitar bulan April) 2018. Namun, ISL kedua ini masuk dalam rangkaian turnamen Run N Gun 4 Nations. Kala itu, ISL 2 berfungsi sebagai kualifikasi untuk menentukan siapa wakil Indonesia yang bisa berlaga di turnamen yang melibatkan peserta dari 4 negara, Indonesia, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Di bulan April 2018 ini juga, Bobby pun mengaku sudah cukup intens berkomunikasi dengan pihak Ubisoft. Kita akan membahas lebih jauh tentang dukungan Ubisoft ke R6 IDN di bagian selanjutnya.

ISL 3 adalah turnamen pertama R6 IDN yang mendapatkan dukungan langsung dari Ubisoft. Total hadiah yang ditawarkan oleh turnamen ini pun mencapai Rp10 juta. Kala itu, ISL 3 juga sudah diikuti oleh 32 tim (satu tim berisikan 5 orang pemain). Bulan Desember 2018, ISL 4 pun digelar.

Di 2019 ini, R6 IDN sudah merencanakan jenjang kompetitif yang lebih rapih dari sebelumnya. ComCup masih ada (sampai artikel ini ditulis, sudah sampai ComCup ke 12) dan menjadi turnamen dengan jenjang terendah. R6 IDN juga menyesuaikan beberapa peraturan untuk ComCup di awal tahun ini agar lebih sesuai dengan jenjangnya.

Di atas ComCup, ISL juga masih dipertahankan untuk menjadi turnamen dengan jenjang yang lebih tinggi. Selain ComCup dan ISL yang sudah ada di tahun sebelumnya, R6 IDN juga memperkenalkan 2 turnamen baru yang ditujukan untuk jenjang yang lebih tinggi lagi: Star League dan Major Event.

Star League sendiri sudah berjalan dari awal tahun (Januari) 2019. Turnamen ini diposisikan di atas ISL karena memang ada kualifikasinya dan dibagi jadi 2 kelas. Untuk Major Event, Bobby masih belum bisa banyak bercerita tentang ini. Namun yang pasti, Major Event ini akan menjadi kulminasi dari semua ajang kompetitif R6S di Indonesia.

Dari penjelasan tadilah, saya kira memang komunitas ini bisa disebut ambisius. Pasalnya, setidaknya dari yang saya tahu, tidak banyak scene esports game lainnya yang punya jenjang kompetitif yang rapih seperti yang yang coba ditawarkan oleh R6 IDN. R6 IDN ini punya jenjang kompetitif dari tingkat rookie (ComCup), semi-pro (ISL), dan profesional (Star League); hingga kulminasi dari semua jenjang kompetitif tadi (Major Event).

Padahal, R6 IDN memang hanya komunitas biasa (bukan perusahaan EO ataupun publisher) meski memang mereka dapat dukungan langsung dari Ubisoft; yang bisa dibilang sebagai salah satu publisher game terbesar di dunia saat ini.

Bentuk Dukungan Ubisoft ke R6 IDN dan Rencana Mereka

Seperti cerita Bobby tadi, Ubisoft sendiri sebagai publisher R6S sudah memberikan dukungan langsung ke komunitas dan esports scene R6S di Indonesia. Namun seperti apa sebenarnya dukungan mereka?

Menurut cerita Bobby, semua kegiatan dari komunitas R6 IDN mendapatkan dukungan dari Ubisoft. Bentuk dukungan tersebut meliputi prize pool (uang tunai untuk hadiah kompetisi, termasuk art competition-nya), in-game currency (R6S Credits), ataupun merchandise (seperti kaos, gantungan kunci, dan kawan-kawannya).

Saat awal dukungan, Ubisoft juga mengirimkan dana yang dapat digunakan untuk komunitas ini membeli perlengkapan streaming.

Lalu apa sebenarnya tujuan Ubisoft memberikan dukungan langsung ke komunitas ini? Bobby pun bercerita bahwa tujuan Ubisoft adalah untuk mendukung semua kegiatan komunitas R6S, sekaligus meningkatkan popularitas game ini di Indonesia. Rencana Ubisoft ini sebenarnya tak hanya untuk Indonesia tapi juga untuk Asia Tenggara dan Asia secara keseluruhan.

Rencana konkret Ubisoft sendiri sebenarnya sudah cukup banyak untuk Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia. Namun hal tersebut masih tak dapat dibuka untuk publik. Semoga saja, Ubisoft dan sejumlah rekanannya dapat turut meramaikan kembali esports PC di Indonesia ya!

Scene Esports & Notable Teams R6S di Indonesia

Jika tadi saya sudah menjelaskan kompetisi-kompetisi R6S di Indonesia dan jenjangnya, sekarang mari kita lihat kondisi scene esports R6S di Indonesia.

Saat ini, menurut data dari ComCup terakhir, ada 30 tim yang ikut serta turnamen tersebut. Ada belasan tim lain juga yang sudah sering terdengar di berbagai kompetisi garapan R6 IDN. Sayangnya, berhubung akan jadi terlalu panjang, saya tak bisa menyebutkan semuanya.

Meski demikian, ada beberapa notable tim R6S yang yang patut diceritakan. Pertama, ada tim yang bernama iNation. iNation merupakan salah satu tim R6S tertua di Indonesia. Selain itu, saat artikel ini ditulis, pemilik tim iNation (yang juga punya bisnis warnet) juga punya 3 tim lagi selain iNation.

Selain iNation, ada tim Ferox. Tim Ferox juga salah satu tim tertua di sejarah kompetisi R6S di Indonesia. Istimewanya, tim ini memiliki para pemain yang punya skill individu dan gameplay yang unik. Permainan mereka bisa saja berubah tergantung dari siapa lawan yang dihadapi.

Setelah itu, ada yang namanya tim Scrypt. Scrypt bisa dibilang sebagai tim R6S Indonesia yang paling baik catatan prestasinya. Pasalnya, tim ini pernah mewakili Indonesia bertanding di ajang ESL Pro League APAC Finals tahun 2018. Kala itu, tim ini juga diakuisisi oleh Aerowolf, organisasi esports Indonesia yang bisa dibilang paling fokus mengejar esports PUBG.

Sudah berpisah dengan Scrypt, Aerowolf sekarang juga masih punya tim R6S sebenarnya. Namun tim R6S Aerowolf saat ini terdiri dari para pemain asal Singapura. Aerowolf, Scrypt, dan Ferox, ketiganya masuk ke dalam ESL Pro League kawasan APAC untuk musim ini.

Klasemen sementara R6 Pro League Wilayah APAC-SEA. Sumber: Pro League
Klasemen sementara R6 Pro League Wilayah APAC-SEA. Sumber: Pro League

Jika berbicara soal jumlah pemain atau penonton, R6S sendiri mungkin memang masih kalah dibanding Dota 2; apalagi dibanding esports game mobile. Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat, pemain ataupun penggemar R6S tadi mungkin memang tak akan mungkin mengalahkan jumlah esports mobile.

Kenapa? Karena R6S sendiri memang game berkelas, jika tak mau dibilang mahal. Saat artikel ini ditulis, R6S masih dibanderol dengan harga Rp229 ribu di Steam. Itu pun versi paling murahnya. Ada versi Deluxe-nya yang di harga Rp345 ribu dan versi paling lengkapnya (Ultimate Edition) yang mencapai nominal Rp1,149 juta.

Itu tadi masih harga game-nya, belum harga komponen (PC) yang dibutuhkan untuk bermain R6S dengan nyaman. Rekomendasi sistem minimal yang dicantumkan di Steam ataupun website resmi mereka memang cukup terjangkau namun spesifikasi tersebut belum ideal untuk kelas esports-nya.

Bobby dan saya setuju bahwa kartu grafis minimal yang dibutuhkan untuk bermain R6S dengan nyaman adalah GeForce GTX 1060 atau yang setara. Belum lagi, saya tahu betul gamer FPS di PC itu adalah yang paling rewel soal monitor yang refresh rate-nya di atas 60Hz. Saya pun mencoba membuat simulasi spek PC yang dibutuhkan agar nyaman bermain R6S. Hasilnya? Saya butuh lebih dari Rp20 juta untuk mendapatkan sebuah desktop gaming untuk R6S. Disclaimer, standar spek PC saya mungkin sedikit lebih tinggi dari kebanyakan gamer; jadi mungkin spek desktop di harga belasan juta bisa dikompromikan untuk yang sedikit lebih terbatas.

Karena itulah, pasar esports R6S, termasuk di Indonesia, memang mungkin tidak akan bisa masif layaknya game ponsel namun para gamer R6S sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam pasar menengah atas. Pasar ini bisa jadi cocok untuk target pemasaran produk-produk mahal (jika menghitung perkiraan daya beli gamer R6S). Namun sayangnya, sepertinya masih belum banyak para pelaku industri esports Indonesia yang memperhitungkan daya beli pasarnya. Lain kali, mungkin saya akan mencoba membahas soal ini lebih detail.

Scene Esports R6S Internasional

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Lalu bagaimana dengan scene esports R6S di dunia internasional? Barangkali ada juga tim-tim lain seperti BOOM ID yang lebih tertarik untuk mengejar prestasi internasional, ijinkan saya sedikit bercerita sedikit tentang ini.

Di dunia internasional, R6S sendiri mungkin memang masih di bawah Dota 2 ataupun LoL dari sisi popularitas ataupun prize pool turnamen. Namun demikian, R6S di sana, menurut saya, sudah sangat mendekati CS:GO (berhubung CS:GO memang tak punya jenjang rapih seperti The International ataupun World Championship).

Di tingkat internasional, R6S punya 2 turnamen utama, yaitu ESL Pro League dan R6 Invitational. Sistem kompetisinya mungkin lebih mirip dengan LoL ketimbang Dota 2. ESL Pro League dapat diibaratkan seperti LCS, LCK, LPL, ataupun liga-liga LoL tiap-tiap kawasan. Pasalnya, Pro League R6S juga dibagi jadi 4 kawasan (Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Asia Pasifik), setidaknya sampai artikel ini ditulis.

Sedangkan R6 Invitational adalah gelaran puncak dari esports R6S di dunia. Turnamen ini bisa diibaratkan seperti World Championship-nya LoL. Selain 2 kompetisi utama tadi, R6S juga punya sejumlah turnamen kelas Minor seperti yang ada di DreamHack 2017 dan 2018. Terakhir kali, G2 yang menjadi juara untuk turnamen paling bergengsi di R6S dan membawa pulang hadiah sebesar US$800K.

Penutup

R6S. Courtesy of Ubisoft.
R6S. Courtesy of Ubisoft.

Akhirnya, Bobby dan kawan-kawan komunitas R6S Indonesia memang punya harapan kepada kawan-kawan media, tim esportsevent organizer, ataupun sponsor untuk turut memeriahkan esports R6S di Indonesia.

Saya pribadi sebenarnya juga tertarik melihat masa depan esports R6S di Indonesia. Pasalnya, bisa dibilang R6S adalah salah satu game esports termahal yang ada di Indonesia (yang bisa mengalahkannya, dari sisi harga perangkat, mungkin hanya dari Sim Racing). Jika R6S bisa populer di Indonesia, hal ini akan mematahkan anggapan banyak orang, lokal ataupun internasional, yang mengatakan bahwa Indonesia hanya cocok untuk pasar low-end.

Plus, di sisi industri esports-nya sendiri, bagi saya pribadi; lebih sehat saja jika industrinya punya target pasar yang berbeda-beda kelas ekonominya. Ponsel saja punya klasifikasi target pasar dari yang kelas bawah sampai kelas sultan. Demikian juga dengan industri-industri subur lainnya, seperti pendidikan, properti, F&B, dkk, semuanya punya klasifikasi pasar yang berbeda-beda.

Sedangkan di esports Indonesia, sepertinya belum banyak yang menyadari hal ini karena kebanyakan pelakunya masih mengejar volume masif yang biasanya memang hanya bisa ditawarkan kelas low-end

Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Rainbow Six: Siege Indonesia Community (R6 IDN)