Mendukung Pertumbuhan Startup Bioteknologi dan “Life Science” Indonesia

Salah satu sektor yang masih sangat niche di Indonesia adalah sektor biotech (bioteknologi) dan life science. Dengan aturan yang begitu kompleks, tidak banyak pemain baru yang ingin masuk ke sektor ini. Angin segar hadir ketika selama setahun terakhir mulai hadir startup-startup yang mendapat dukungan investor untuk mencoba memberikan warna baru. Sebut saja startup seperti Nusantics, Nalagenetics, dan Sensing Self.

DailySocial mencoba memahami seperti apa peluang, tantangan, dan masa depan startup bioteknologi dan life science saat ini. Lebih jauh, bagaimana dukungan investor menyikapi dan menangkap peluang yang ada.

Pasar yang “niche”

Tim Nalagenetics
Tim Nalagenetics

Bagi Nalagenetics, salah satu portofolio East Ventures, menjadi tantangan tersendiri untuk mulai mengembangkan bisnis di Indonesia. Startup yang didirikan oleh Jianjun Liu, Astrid Irwanto, Alexander Lezhava, dan Levana Sani ini hadir menyediakan layanan tes genetik berbiaya murah yang disesuaikan pasar Asia. Penetrasi bisnisnya dimulai di Singapura dan Indonesia.

Co-founder Nalagenetics Levana Sani mengungkapkan, salah satu kendala mengapa startup seperti Nalagenetics kesulitan memperkenalkan produknya ke target pasar adalah kurangnya pengetahuan terkait tes genetik. Proses yang bisa membantu orang banyak beradaptasi dengan obat-obatan yang mereka konsumsi sudah cukup familiar di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Untuk Indonesia, kebanyakan belum memahami lebih jauh.

“Karena hal tersebut terkadang menyulitkan kami untuk melakukan pendekatan ke pihak rumah sakit dan pemerintah. Meskipun para dokter kebanyakan sudah mengetahui layanan yang kami sediakan, tapi sebagian besar pihak terkait belum mengenal lebih jauh,” kata Levana.

Saat ini Nalagenetics telah mendapatkan hibah dan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi terkait di Indonesia, termasuk FKUI, RSCM, dan Litbangkes. Sementara di Singapura, perusahaan juga telah berkolaborasi dengan NUHS, NNI, GIS. Dukungan yang diterima dari investor membantu perusahaan untuk tumbuh dan berkembang lebih baik lagi.

“Menurut saya, sektor ini masih sangat baru, tetapi lebih banyak dikembangkan di beberapa bidang seperti pertanian. Tingkat implementasi juga bervariasi tergantung pada kompleksitas teknologi yang terlibat. Kebanyakan permintaan yang ada datang dari industri swasta, bukan dari kalangan umum atau arahan pemerintah,” kata Levana.

Tim Nusantics
Tim Nusantics

Menurut CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri, meskipun dukungan yang diberikan tidak terlalu besar jumlahnya, namun perhatian investor dan pemerintah telah membantu Nusantics mengembangkan bisnis. Sebagai startup berbasis teknologi, Nusantics fokus pada pengembangan dan penerapan berbagai riset genomika dan mikrobioma untuk memenuhi gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Nusantics juga merupakan portofolio East Ventures.

“Menurut saya, pertumbuhan startup biotech dan life science seperti Nusantics dan lainnya masih dalam tahap awal. Potensi yang ditawarkan cukup besar, namun kebanyakan masih kurang dipahami karena istilahnya yang masih sangat asing, sehingga seseorang harus memulai dari suatu tempat dan terus berkontribusi dalam membangun momentum.”

Pandemi mendorong akselerasi

Pandemi telah mengubah semua kebiasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi momentum baik bagi startup seperti Nusantics dan Nalagenetics. Bagi mereka, kondisi pandemi menjadi ideal untuk melakukan uji coba dan mempercepat akselerasi, sekaligus ajang pembuktian bahwa teknologi yang mereka tawarkan sangat relevan.

“Pandemi telah meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat yang cukup besar akan pengujian genetik di rumah,” kata Levana.

Hal senada diungkapkan Sharlini. Meskipun pandemi mempengaruhi bisnis mereka secara negatif, terutama layanan pemeriksaan mikrobioma kulit, di sisi lain perusahaan melihat pandemi juga telah memberikan dampak yang positif ke pipeline bisnis baru, yaitu produk lokal komersial pertama untuk COVID-19 PCR Test Kit.

Bulan April lalu produk serupa juga diluncurkan Sensing Self. Sebagai alat tes mandiri untuk Covid-19, alat tes ini diklaim memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau (Rp160 ribu per unit).

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit,” kata Co-Founder Sensing Self Santo Purnama.

Startup yang berbasis di Singapura ini, didirikan Santo dan Shripal Gandhi. Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

Dukungan investor

Menurut Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures, sektor ini masih dalam tahap pertumbuhan di Indonesia, karena proses penemuan obat membutuhkan banyak sumber daya dan kemampuan penelitian. Namun, dengan jumlah penduduk yang secara alami menjadi pasar potensial yang besar, startup bioteknologi Indonesia dapat mengambil peran lebih banyak dalam mengembangkan uji klinis bersama perusahaan-perusahaan farmasi (asing). Jalur kemitraan dengan perusahaan farmasi asing ini secara bertahap akan membangun kapabilitas bioteknologi Indonesia.

“Untuk memfasilitasi uji klinis, ketersediaan Rekam Medis Elektronik (EMR) yang terstruktur menjadi sangat penting. Ini adalah enabler yang akan memungkinkan perusahaan bioteknologi / life science memiliki kumpulan data yang lebih besar dan lebih komprehensif untuk dikerjakan. Ini bisa menjadi peluang langsung untuk bekerja di bidang teknologi kesehatan,” kata Tania.

Sebagai investor, Tania melihat peluang yang besar untuk menyasar bidang ini. Saat ini menjadi waktu yang tepat bagi startup Indonesia untuk membangun rekam medis digital health yang akan menjadi infrastruktur pengembangan bidang bioteknologi dan life science di Indonesia.

“Seperti yang kita saksikan dalam lima tahun terakhir, dua negara di Asia, yaitu Tiongkok dan Korea, telah muncul sebagai pemain global di bidang bioteknologi dan life science. Ini adalah sektor yang secara tradisional didominasi perusahaan AS, Eropa, dan Jepang dengan perusahaan global seperti Amgen, GSK, dan Takeda. Startup di sektor ini juga baru-baru ini menemukan jalannya untuk menjadi perusahaan yang terdaftar, seperti Vir Biotechnology, yang didukung oleh Softbank dan Gates Foundation,” kata Tania.

Sementara itu menurut Sr. Executive Director Vertex Ventures Gary Khoeng, ada beberapa alasan mengapa belum banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modal kepada startup yang menyasar biotech dan life science, selain kompleks dan luasnya bidang ini.

Dibutuhkan investasi dalam jangka cukup lama untuk melakukan riset dan membuat produk yang diterima masyarakat.

“Pada akhirnya solusi dan penelitian bioteknologi biasanya memiliki waktu gestation yang sangat lama karena penelitian dan uji coba. Misalnya dengan pengobatan baru untuk penyakit yang menyebar luas atau mengembangkan vaksin baru. Berdasarkan pembayaran dan pendanaan yang ada, harus dipastikan perusahaan dapat bertahan dan juga memiliki rencana akhir yang jelas.”

Sebagai venture capital, Vertex Ventures melihat potensi yang besar untuk berinvestasi ke startup di kategori ini. Salah satu dukungan perusahaan adalah melalui Vertex Healthcare Fund yang fokus ke startup yang menawarkan solusi bioteknologi.

“Dana ini berasal dari Singapura tetapi telah dipindahkan ke Amerika Serikat karena fakta bahwa sebagian besar peluang bioteknologi ada di AS dibandingkan negara lainnya. Meskipun sektor ini cukup tertinggal dan berjalan lambat dibandingkan sektor lainnya, namun memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan oleh startup yang benar-benar memiliki semangat dan kemampuan untuk beroperasi di bidang ini,” kata Gary.

Sensing Self and Its Commitment for Health Democratization through Technology

Digitization in the health industry developed continuously with various innovations for everyone to have equal access to health products and medical experts. Sensing Self becomes one of the healthtech players with a commitment to achieve the vision.

The startup is based in Singapore, founded three years ago by entrepreneurs from Indonesia named Santo Purnama and Shripal Gandhi. Santo has a background in computer science and technology from Purdue University and Standford University. While Shripal has a chemical and biosciences background from the University of Mumbai and the University of California.

They both put Sensing Self as a company that focuses on creating independent health test kits for everyone can detect their own health and get treatment at the earliest possible stage.

“Our main goal is to democratize medical equipment so that it can be tested at home using a mobile phone. To date, if there are patients in remote villages who need urine tests, he may need to take a 2-3 hour vehicle to the nearest clinic with lab service. And the results have to wait a day or two,” Santo explained to DailySocial, Thursday (2/4).

He continued, “Our technology can facilitate urine test by smartphones. That is one of our mission.”

To date, the company has created an app for both the detection and prevention of diabetes or pre-diabetes through saliva and urine tests. Within five minutes, the user already knows the results of their sugar level. It is hoped that with this information, users can pay attention to their lifestyle from their diet and nutrition.

Sensing Self has targeted India as a key country for these products. In the area, this test kit has been used to detect more than 120 million adults and pre-diabetic children and 70 million detected diabetes.

Around the globe, according to data from the global diabetes association and federation, there are 750 million people who have pre-diabetes and diabetes. For most countries, this disease threatens more people of working age and children.

“Applications for testing for diabetes through saliva and urine have not yet entered Indonesia. Given the Covid-19 problem, we will continue our efforts to enter Indonesia after the pandemic has passed. ”

The next product that was successfully released was a self-test kit for Covid-19. This test tool provides fast and accurate detection results because it uses enzyme analysis. Enabling everyone to test at their own homes, within 10 minutes, and an affordable price of around Rp160 thousand per unit.

Diabetes test kit by Sensing Self / Sensing Self
Diabetes test kit by Sensing Self / Sensing Self

The company also holds various international licenses from Europe (CE certification), India (approved by the National Institute of Virology and Indian Council of Medical Research), and the United States. Specifically in the US, the Food and Drug Administration (FDA) gives its approval that the terms of use must be done in a formal medical institution.

“The presence of this independent test tool can help the government to provide access to tests that are safer, practical, and affordable. When there are positive patients, they can immediately isolate themselves or get treatment in the hospital. ”

“That way, medical workers can really focus on treating Covid-19 patients with moderate-severe symptoms, instead of spending time testing thousands of people,” he continued.

The product has been distributed by India, which ordered millions of units. He claimed intention to enter Indonesia but still hampered by approval from the authorities. The price sold, according to him, is the price of production because it carries a social mission to save more human lives.

“We have sent these test kits to well-known research institutions such as Mayo Clinix, University of California, and Chan Zuckerberg Biohub.”

The company’s business plans

As he said, Sensing Self is targeting developed countries with a low ratio of medical tools with massive citizens. India and Indonesia are both the best example of these criteria. “And they are our focus.”

Furthermore, Santo avoids specifying the product sales contribution to the company in terms of business. He believed that what the company provided was to improve things around humanity. “[Therefore] revenue and profit will come naturally.”

The next innovation the company has been preparing is the Covid-19 infection detection test kit as early as possible with a nucleic acid test. Santo claims the test results are able to detect with an accuracy of up to 99% on the first day they are exposed to the virus. This product will be released in the near future.

Innovations that move around COVID-19 by making an independent rapid test tool are actually also carried out by East Ventures along with its portfolios. They collaborated to collect non-profit funds with a total target of IDR10 billion.

Of the total budget, Rp9 billion will be used to support Nusantics to provide 100 thousand test kits, and the rest will be used for the whole genome sequencing project (mapping the mutation of the virus that causes Covid-19 to spread in Indonesia).

This project is part of Nusantics’ task as a member of the Task Force for Research and Technology Innovation for Handling COVID-19 (TFRIC19) formed by BPPT.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sensing Self dan Komitmennya Demokratisasi Kesehatan Lewat Teknologi

Digitalisasi industri kesehatan terus berlanjut dengan berbagai inovasi yang dihasilkan agar setiap orang punya akses yang sama untuk mendapatkan obat dan menjangkau dokter. Sensing Self menjadi salah satu pemain startup healthtech yang berkomitmen untuk mewujudkannya visi tersebut.

Startup ini berbasis di Singapura, didirikan tiga tahun lalu oleh pengusaha asal Indonesia bernama Santo Purnama dan Shripal Gandhi. Santo berlatar belakang ilmu komputer dan teknologi dari Purdue University dan Standford University. Sementara Shripal berlatar belakang teknik kimia dan biosains dari University of Mumbai dan University of California.

Mereka berdua menempatkan Sensing Self sebagai perusahaan yang fokus menciptakan alat tes kesehatan mandiri, agar setiap orang dapat mendeteksi kesehatannya sendiri dan mendapatkan pengobatan di tahap sedini mungkin.

“Tujuan utama kita ialah mendemokratiskan peralatan medis, sehingga dapat diuji sendiri di rumah dengan menggunakan mobile phone. Saat ini, apabila ada pasien di pelosok desa yang perlu tes air seni, dia mungkin perlu naik kendaraan 2-3 jam ke klinik terdekat yang mempunyai lab. Dan hasilnya harus ditunggu satu dua hari,” terang Santo kepada DailySocial, Kamis (2/4).

Ia melanjutkan, “Teknologi kami dapat memberikan kemudahan untuk tes air seni hanya dengan ponsel. Itulah salah satu misi kami.”

Sejauh ini perusahaan telah menciptakan aplikasi untuk deteksi sekaligus pencegahan diabetes atau keadaan pra-diabetes melalui ludah dan test air seni. Dalam lima menit, pengguna sudah mengetahui hasil sejauh mana level gula mereka. Harapannya dengan informasi ini, pengguna dapat memperhatikan gaya hidup mereka dari pola makan dan nutrisinya.

India menjadi negara yang disasar Sensing Self untuk produk tersebut. Di sana, test kit ini sudah dipakai untuk mendeteksi lebih dari 120 juta orang dewasa dan anak pra-diabetes dan 70 juta deteksi diabetes.

Di seluruh dunia, menurut data dari asosiasi dan federasi diabetes global, ada 750 juta orang memiliki kondisi pra-diabetes dan diabetes. Bagi sebagian besar negara, penyakit ini mengancam lebih banyak orang usia kerja dan anak-anak.

“Aplikasi untuk pengujian diabetes melalui ludah dan air seni masih belum masuk di Indonesia. Mengingat masalah Covid-19, kita akan lanjutkan usaha memasuki indonesia setelah pandemi berlalu.”

Produk berikutnya yang berhasil dirilis adalah alat tes mandiri untuk Covid-19. Alat tes ini memberikan hasil deteksi yang cepat dan akurat karena menggunakan analisis enzim. Memungkinkan setiap orang melakukan pengetesan di rumah masing-masing, dalam waktu 10 menit, dan harga terjangkau sekitar Rp160 ribu per unit.

Alat pengujian diabetes yang dikembangkan Sensing Self / Sensing Self
Alat pengujian diabetes yang dikembangkan Sensing Self / Sensing Self

 

Perusahaan juga mengantongi berbagai lisensi internasional dari Eropa (sertifikasi CE), India (disetujui oleh National Institute of Virology dan Indian Council of Medical Research), dan Amerika Serikat. Khusus di AS, Food and Drug Administration (FDA) memberikan persetujuan dengan syarat penggunaan harus dilakukan di lembaga medis formal.

“Kehadiran alat tes mandiri ini dapat membantu pemerintah untuk menyediakan akses tes yang lebih aman, praktis, dan terjangkau. Ketika terdapat pasien positif, mereka dapat langsung melakukan isolasi mandiri ataupun mendapatkan perawatan di rumah sakit.”

“Dengan begitu, para tenaga medis bisa benar-benar memfokuskan diri untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala menengah-parah, alih-alih menghabiskan waktu untuk melakukan tes pada ribuan orang,” sambungnya.

Produk tersebut telah didistribusi India yang memesan jutaan unit. Dia mengaku ingin masuk ke Indonesia, namun masih terganjal persetujuan dari pihak berwenang. Harga yang dijual, menurutnya, adalah harga produksi, sebab menyimpan misi sosial untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia.

“Kami telah mengirimkan alat tes ini untuk lembaga-lembaga riset ternama seperti Mayo Clinix, University of California, dan Chan Zuckerberg Biohub.”

Rencana perusahaan

Menurutnya, Sensing Self menyasar ke negara berkembang yang memiliki rasio antara peralatan medis yang rendah dan jumlah masyarakat yang banyak. India dan Indonesia adalah dua contoh negara yang mewakili kriteria tersebut. “Dan merekalah yang menjadi fokus kita.”

Lebih lanjut Santo enggan merinci kontribusi penjualan produk untuk perusahaan secara bisnis. Menurutnya, dia meyakini bahwa apa yang diberikan perusahaan adalah untuk memperbaiki hal-hal seputar kemanusiaan. “[sehingga] revenue dan profit akan datang sendirinya.”

Inovasi berikutnya yang sedang disiapkan perusahaan adalah alat test kit deteksi infeksi Covid-19 sedini mungkin dengan tes asam nukleat (nucleic acid test). Santo mengklaim hasil tes ini mampu mendeteksi dengan akurasi sampai 99% pada hari pertama mereka terpapar virus. Produk ini akan dirilis dalam waktu dekat.

Inovasi yang bergerak seputar Covid-19 dengan membuat alat rapid test mandiri sebenarnya juga dilakukan oleh East Ventures bersama jajaran portofolionya. Mereka berkolaborasi menggalang urun dana non profit dengan total target Rp10 miliar.

Dari anggaran tersebut, sebesar Rp9 miliar akan digunakan untuk mendukung Nusantics menyediakan 100 ribu test kit, dan sisanya untuk proyek whole gnome sequencing (memetakan mutase virus penyebab Covid-19 yang menyebar di Indonesia).

Proyek ini adalah bagian tugas Nusantics sebagai anggota Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk Penanganan Covid-19 (TFRIC19) yang dibentuk BPPT.