Twitter Akuisisi Layanan untuk Membuat dan Berbagi Klip SnappyTV

Jika Anda termasuk pengguna yang gemar berkomentar di Twitter mengenai acara di televisi yang sedang berlangsung, kemungkinan besar Anda adalah segmen pengguna yang menjadi target utama ekspansi layanan Twitter. Setelah merilis program Nielsen Twitter TV Rating pada Oktober 2013 lalu, Twitter kali ini mengakuisisi sebuah layanan untuk membuat dan berbagi klip dari siaran live stream bernama SnappyTV.

Sebelum diakuisisi oleh Twitter, SnappyTV bekerjasama dengan beberapa stasiun televisi internasional seperti Fox, Fox Sports, dan Universal Sports. Dengan kerjasama tersebut, SnappyTV memungkinkan pemirsa stasiun-stasiun televisi tadi untuk bisa membuat dan mengedit klip dari siaran live stream yang sedang ditonton. Klip yang sudah selesai dibuat dan disunting kemudian bisa dibagikan dalam format video maupun GIF ke berbagai media sosial, termasuk Twitter.

Bagi para stasiun televisi sebagai produsen dan pemilik konten, SnappyTV memungkinkan stasiun televisi untuk mengetahui bagaimana distribusi konten-konten mereka di media sosial. Menggunakan layanan SnappyTV, stasiun televisi bisa mengetahui gambaran tentang siapa saja pemirsanya dan bagaimana perilaku online mereka.

Setelah akuisisi ini, Twitter menjanjikan integrasi yang lebih terpadu antara fitur-fitur yang disediakan oleh SnappyTV dengan layanan utama Twitter. Meskipun demikian, Twitter juga menjanjikan akan tetap membuka kesempatan bagi pengguna asli SnappyTV untuk membagikan klip yang mereka buat ke platform media sosial lainnya seperti yang sudah berjalan selama ini.Belum ada informasi mengenai kapan fitur-fitur yang dimiliki oleh SnappyTV akan mulai terintegrasikan dengan media sosial Twitter. Sebagai perbandingan, Nielsen Twitter TV Rating baru beroperasi sekitar 10 bulan sejak kerjasamanya diumumkan. Jadi sepertinya kita masih harus sedikit mennunggu sampai bisa membuat klip dari live stream langsung dari halaman aplikasi Twitter.

Mengikuti Tren Sentimen Terhadap Capres di Media Sosial dengan Sentigram

Terlepas dari Anda suka politik atau tidak, pastinya Anda merasakan betapa gaduhnya percakapan mengenai politik selama Pilpres 2014 ini di berbagai media sosial. Salah satu dampak, entah baik atau buruk, dari perkembangan teknologi informasi adalah hiruk pikuk Pilpres pun kini bisa kita rasakan dalam berbagai interaksi di media sosial. Sebuah layanan bernama Sentigram berusaha untuk mengkuantifikasikan interaksi-interaksi tersebut.

 

Informasi menarik: Facebook Election Tracker Tampilkan Popularitas Capres Berdasarkan Percakapan di Facebook

 

Ada dua hal yang berusaha diukur oleh Sentigram dari interaksi pengguna media sosial selama Pilpres 2014 ini. Pertama adalah sentimen. Sentigram menggunakan metode pemodelan Support Vector Machine (SVM), algoritma N-Gram dan terakhir dengan algoritma MRA dalam memproses konten-konten media sosial yang hendak diukur. Hasilnya, Sentigram bisa mengklasifikasikan apakah sebuah konten sosial media memiliki nilai sentimen positif atau negatif terhadap salah satu atau kedua pasang calon presiden dan wakil presiden.

Sentigram - 3

Sentigram mengklaim bahwa metode yang digunakannya memiliki akurasi sebesar 75% untuk mengukur sentimen sebuah konten. Saat tulisan ini dibuat, menurut data Sentigram, pasangan Prabowo-Hatta memiliki sentimen positif sebesar 61% dan sentimen negatif sebesar 39% sementara pasangan Jokowi-JK memiliki sentimen positif sebesar 64% dan sentimen negatif sebesar 36%.

Sentigram - 2

Hal kedua yang diukur oleh Sentigram adalah elektabilitas. Berdasarkan keterangan dari Robin Ma’rufi, kreator Sentigram, elektabilitas untuk masing-masing pasangan capres-cawapres diukur berdasarkan persentase sentimen positif yang diterima pasangan tersebut dikurangi dengan sentimen negatif yang diterimanya kemudian dibagi dengan total data yang masuk.

Saat tulisan ini dibuat, Sentigram menghasilkan angka elektabilitas sebesar 41,78% untuk pasangan Prabowo-Hatta dan 43,92% untuk Jokowi-JK. Angka ini agak berbeda dengan hasil-hasil dari lembaga survei konvensional yang menempatkan angka elektabilitas pada angka 41,1% (versi Poltracking) dan 38,7% (versi LSI) untuk pasangan Prabowo-Hatta serta 48,5% (versi Poltracking) dan 45% (versi LSI) untuk pasangan Jokowi-JK.

Menanggapi perbedaan dengan data dari lembaga survei konvesional, Robin menyatakan, “Sentigram juga pernah mendapatkan selisih 6-7% untuk keunggulan Jokowi-JK [seperti hasil yang diperoleh lembaga survei konvensional]”. Robin kemudian menjelaskan bahwa data yang muncul pada portal Sentigram juga merupakan data real time sehingga sangat mungkin berbeda dengan hasil dari lembaga survei konvensional yang perlu jeda antara waktu pengumpulan data dengan waktu pengolahan dan rilis.

Mengenai korelasi antara angka elektabilitas para capres-cawapres di media sosial dengan elektabilitas di dunia nyata, Robin berkomentar, “menurut saya media sosial sangat berpengaruh [terhadap elektabilitas pasangan capres-cawapres di dunia nyata], karena Indonesia merupakan salah satu pengguna media sosial terbesar dunia, pengaruhnya sama kuatnya dengan pemilu presiden Amerika Serikat [yang dimenangkan oleh] Barrack Obama yang waktu itu sangat kuat kampanye di media sosial”.

Berbeda dengan Robin, saya sendiri cenderung skeptis dalam menanggapi hasil analisis elektabilitas kedua pasangan capres-cawapres berdasarkan data media sosial. Saya masih berpendapat bahwa pengguna media sosial Indonesia belum menghadirkan demografis yang representatif berbanding kesuluruhan populasi. Tapi tentunya penghakiman yang tepat mengenai akurasi analisis media sosial dibandingkan dengan lembaga survei konvensional dan hasil pemilu aktual hanya bisa kita lakukan setelah keluar hasil penghitungan setelah tanggal 9 Juli nanti.

 

Update: sebelumnya tertulis dekripsi yang tidak tepat mengenai alur proses metode dan algoritma yang digunakan oleh Sentigram dalam memproses konten-konten media sosial.

Suara Bandung, Portal Monitoring Performa Akun Media Sosial Pemerintah Kota Bandung

Dua pengembang aplikasi lokal asal Bandung, NoLimit dan RGB, baru-baru ini merilis sebuah portal yang berfungsi untuk melakukan monitoring terhadap akun-akun media sosial pemerintahan kota Bandung. Diberi nama Suara Bandung, portal tersebut memonitor tak kurang dari 23 “akun dinas” milik berbagai elemen pemerintahan kota Bandung.

Sedikit kilas balik, salah satu terobosan unik yang dilakukan oleh walikota Bandung yang baru saja terpilih pada akhir 2013 lalu adalah mewajibkan berbagai elemen pemerintahan kota Bandung untuk memiliki akun media sosial, utamanya media sosial Twitter. Harapannya, dengan menghadirkan berbagain instansi pemerintahan tersebut ke ranah media sosial, publik akan lebih mudah untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan keluhan. Nah, pertanyaan yang lantas muncul tentu adalah seberapa efektif inisiatif media sosial Pemkot Bandung ini?

Dengan portal Suara Bandung, NoLimit dan RGB berusaha untuk membantu menjawab pertanyaan tersebut. Di portal ini, tiap-tiap akun dinas tadi dinilai performanya berdasarkan parameter “response rate“. Parameter ini diukur dari jumlah tanggapan akun dinas berbanding dengan keluhan yang masuk ke akun dinas tersebut. Akun-akun dinas ini kemudian diberi peringkat berdasarkan response rate tadi.

Tidak berhenti di sana, Suara Bandung juga mengukur sentimen yang diperoleh oleh tiap-tiap akun dinas tersebut. Dengan engine analisis sentimen yang dimiliki oleh NoLimit, semua mention yang diterima oleh masing-masing akun dinas dianalisis dan akhirnya diberi skor berdasarkan berapa banyak sentimen positif atau negatif yang diterima.

Suara Bandung - 2

Portal Suara Bandung sendiri saat ini masih lebih fokus kepada response rate dalam memberi peringkat kepada akun-akun dinas yang dimonitor. Dalam pernyataan melalui email kepada Trenologi, CEO NoLimit, Aqsath Rasyid menyatakan bahwa hal ini memang disengaja karena Suara Bandung masih berfokus untuk meningkatkan ketanggapan para akun dinas tersebut.

Terakhir, Suara Bandung juga mengajak masyarakat Bandung untuk berpartisipasi dalam menyampaikan aspirasinya melalui Twitter dengan menggunakan tanda pagar #suarabdg.

Dalam pandangan saya, pendekatan public engagement melalui media sosial di bidang pemerintahan masih jarang dipraktekkan di Indonesia, apalagi untuk sampai ke tahap pengukuran dampak dan efektivitasnya. Terlepas dari persepsi bahwa media sosial seperti Twitter masih sangat besar biasnya kepada tren masyarakat urban saja, upaya-upaya untuk membuka kanal bagi pemerintahan untuk melakukan sikap transparan dan akuntabel seperti ini menurut saya sangat patut untuk diapresiasi.

[Rumor] Facebook Persiapkan Fitur Bookmark

Media sosial seperti Facebook atau Twitter tak jarang dijadikan sumber berita utama bagi para penggunanya. Saya pribadi cukup sering mengetahui mengenai berita-berita terbaru lebih dulu dari media sosial ketimbang media konvensional, baik yang online maupun offline. Oleh karena itu, fitur “favorite” yang ada pada Twitter sering beralih fungsi menjadi alat bookmark untuk artikel-artikel yang hendak saya baca lagi di lain waktu.

Facebook nampaknya kian menyadari pentingnya peran media sosial sebagai sumber berita bagi para penggunanya. Salah satunya ditunjukkan dari rumor yang beredar yang menyatakan bahwa Facebook saat ini sedang mempersiapkan fitur untuk melakukan bookmark dengan nama “save for later reading“.

Seperti yang dilansir oleh blog teknologi My Tech Skool, Facebook kedapatan sedang mengujicobakan fitur “save for later reading” ini pada beberapa pengguna. My Tech Skool bahkan mempublikasikan beberapa gambar yang disinyalir sebagai screenshot dari fitur ini.

Facebook Bookmark - 1 Facebook Bookmark - 2

Jika Facebook akhirnya jadi merilis fitur ini, tentu akan menjadi ancaman besar bagi aplikasi-aplikasi sejenis seperti Pocket atau Instapaper. Meski berdasarkan rumor yang berkembang fitur ini masih terbatas untuk artikel-artikel yang dibagikan di aplikasi Facebook, bukan tidak mungkin di masa depan Facebook mengembangkan fitur ini menjadi tombol yang bisa ditambahkan ke berbagai halaman situs lain seperti tombol “like“.

 

Sumber: My Tech Skool.

Connected Classrooms, Studi Tur Virtual Ala Google+

Menghadirkan berbagai aktivitas menarik ke dunia virtual sudah menjadi eksperimen yang banyak dilakukan Google belakangan ini. Di tahun ini saja Google sudah menghadirkan versi digital dari rute Tour de France, set Diagon Alley, hingga gunung-gunung tertinggi di dunia melalui berbagai teknologi yang dimilikinya.

Kali ini, melalui inisiatif terbarunya yang disebut dengan Connected Classrooms, Google berusaha mewujudkan aktivitas studi tur kelas secara virtual. Connected Classrooms dilakukan dengan menggunakan salah satu fitur pada Google+ yakni Google+ Hangouts. Dengan Google+ Hangouts, pihak yang menjadi tujuan studi tur bisa berinteraksi dua arah dengan beberapa kelas sekaligus. Pada edisi perdananya, Connected Classrooms bekerjasama dengan Seattle Aquarium, kebun binatang Minnesota, dan Solar Impulse.

Untuk bisa ikut studi tur virtual ala Connected Classrooms, guru atau sekolah yang tertarik bisa mendaftarkan kelas atau sekolahnya melalui tautan ini. Selain bisa berpartisipasi di studi tur virtual, guru-guru yang terdaftar di Connected Classrooms juga bisa berinteraksi dengan guru-guru lain sesama pengguna Connected Classrooms untuk berbagi berbagai informasi seputar kegiatan belajar mengajar menggunakan media digital.

Nah, seperti apa kira-kira studi tur virtual ala Google ini? Simak video berikut untuk gambaran awal atau kunjungi situs Connected Classrooms di tautan ini.

[youtube id=”GDwEjqkgwyI” width=”620″ height=”360″]

[TanyaBangwin] Apakah Ada Aturan Khusus Bagi Caleg dalam Menggunakan Social Media?

TanyaBangwin adalah kolom di Trenologi yang dijalankan bekerja sama dengan Abang Edwin SA, seorang social media consultant dan online business advisor. Untuk kolom kali ini akan dibahas tentang bagaimana calon legislatif bisa menggunaan social media dalam membangun nilai elektabilitas. Mari kita simak.

Pertanyaan:

Hai Bang Win,

Berkaitan dengan makin dekatnya tahun 2014 dimana suhu politik di dalam negeri pasti akan makin bergejolak maka pertanyaan saya adalah adakah aturan main yang baik bagi para calon legislatif dalam menggunakan social media sehingga bisa berdampak pada nilai elektabilitas mereka dimata masyarakat?

Syamsuddin

Jawaban:

Halo mas Syamsuddin,

Sebenarnya tidak ada aturan baku ya, namun sebenarnya bisa digunakan best practice pada bidang-bidang lain juga karena tidak ada perbedaan yang signifikan. Misalnya secara etika kaidah-kaidah dan norma-norma yang kita pegang di dunia nyata masih tetap bisa dijadikan acuan, misalnya tidak boleh memperlakukan orang lain dengan perilaku tidak menyenangkan, atau hindari pertentangan secara fisik, dan lain sebagainya. Khususnya caleg, saya pikir bisa menggunakan social media sebagai sarana agar bisa mengangkat awareness terhadap mereka. Juga bisa menggunakan social media untuk penyampai pesan dan juga pencitraan jika dibutuhkan.

Perlu diingat, dunia online itu seperti dunia yang berbeda dengan dunia real, padahal sama. Jadi aturan-aturan umum masih berlaku. Jadi memang mesti hati-hati juga terhadap jebakan-jebakan di internet yang kadang kala harus dibayar sangat mahal dengan nama dan reputasi para caleg tersebut.

Kira-kira begitu…

Salam,

Abang Edwin SA

Catatan:

Bagi yang ingin bertanya tentang hal-hal yang kaitannya dengan social media, community management dan online business pada kolom [TanyaBangwin] ini, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke tanyabangwin[at]gmail[dot]com.

Jangan lupa menyertakan akun Twitter/FB nya sehingga bisa di mention ketika kolom ini terbit. Usahakan pertanyaan yang diberikan bisa memicu penjelasan yang berbentuk artikel (salah satu ketentuan agar pertanyaannya bisa terpilih nantinya).

Gambar header: social media via Shutterstock. 

Daftar Infografis Alat Social Media Monitoring

Anda pengguna media sosial dan membutuhkan pilihan social media monitoring tools untuk membantu pekerjaan menganalisis akun media sosial perusahaan Anda atau akun pribadi? Infografis di bawah ini mungkin bisa membantu menentukan pilihan.

Continue reading Daftar Infografis Alat Social Media Monitoring

[TanyaBangwin] Apakah Social Media Bisa Membantu Proses Belajar Mengajar di Daerah Terpencil?

TanyaBangwin adalah kolom di Trenologi yang dijalankan bekerja sama dengan Abang Edwin SA, seorang social media consultant dan online business advisor. Untuk kolom kali ini akan dibahas tentang bagaimana social media bisa berperan dalam dunia pendidikan. Mari kita simak.

Pertanyaan:

Halo Bangwin,

Nama saya Amir, saya adalah seorang guru di daerah sub-urban. Saya selalu mengikuti tulisan-tulisannya Bangwin di Bangwinissimo.com, di Dailysocial dan juga di Trenologi ini. Selain itu saya juga pengguna social media yang cukup intens, ya maklumlah karena jauh dari keluarga maka saya memanfaatkan social media (Facebook) untuk tetap bisa terkoneksi dengan teman-teman dan keluarga saya di Jogja. Ya syukurlah sinyal 3G masih menjangkau daerah tempat saya bertugas kali ini.

Pada kesempatan ini saya ingin menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai seorang guru. Apakah memungkinkan kita menggunakan social media untuk proses belajar mengajar? Terutama untuk daerah-daerah terpencil. Mohon bimbingannya Bangwin. Terima kasih

salam,

Amir Prasetyo

Jawaban:

Halo mas Amir…

Senang sekali akhirnya ada praktisi pendidikan yang bisa melihat potensi pada social media untuk memajukan dunia pendidikan kita. Topik pemanfaatan social media sebagai alat bantu untuk proses belajar mengajar ini banyak modelnya.

Salah satu yang bisa langsung terbayang adalah menggunakan social media sebagai media penyampaian materi dan interaksi secara remote antara guru dan murid. Misalnya, seorang guru bisa membuat sebuah Facebook Group untuk mata kuliah yang ia ajarkan sementara itu para murid ikutan di dalamnya. Dengan cara seperti ini maka kelas tidak perlu harus selalu dibuat secara tatap-muka. Tentunya model seperti ini akan bisa berjalan dengan baik jika para murid mampu memiliki perangkat komputer ya.

Lalu bagaimana dengan para tenaga pendidik yang ada di daerah terpencil? Dalam kondisi seperti ini social media bisa dimanfaatkan untuk memudahkan para guru agar bisa mendapatkan materi secara kolektif dari sekolah-sekolah yang memiliki materi jauh lebih lengkap. Tentunya juga pada kondisi seperti ini tenaga pengajar mutlak dibutuhkan dan dalam banyak kasus mereka bahkan harus mengajarkan tidak hanya satu mata pelajaran. Dengan adanya koleksi mata pelajaran yang bisa dimanfaatkan oleh guru-guru didaerah terpencil tersebut maka mata pelajaran yang disampaikan pun akan bisa terjaga kelengkapannya.

Kira-kira begitu mas Amir….Jika ada yang ditanyakan lebih lanjut silahkan dilanjutkan di bagian comment d bawah ya mas. 🙂

salam,

Abang Edwin SA

Catatan:

Bagi yang ingin bertanya tentang hal-hal yang kaitannya dengan social media, community management dan online business pada kolom [TanyaBangwin] ini, silahkan mengirimkan pertanyaannya ke tanyabangwin[at]gmail[dot]com.

Jangan lupa menyertakan akun Twitter/FB nya sehingga bisa di mention ketika kolom ini terbit. Usahakan pertanyaan yang diberikan bisa memicu penjelasan yang berbentuk artikel (salah satu ketentuan agar pertanyaannya bisa terpilih nantinya).

Gambar header: online education via Shutterstock. 

[TanyaBangwin] Bagian Mana Saja dari Perusahaan yang Bisa Menggunakan Social Media?

TanyaBangwin adalah kolom di Trenologi yang dijalankan bekerja sama dengan Abang Edwin SA, seorang social media consultant dan online business advisor. Untuk kolom kali ini akan dibahas tentang bagian atau divisi dari perusahaan apa saja yang bisa menggunakan social media untuk memaksimalkan kinerjanya. Mari kita simak.

Continue reading [TanyaBangwin] Bagian Mana Saja dari Perusahaan yang Bisa Menggunakan Social Media?

[TanyaBangwin] Jika Brand Tidak Melakukan Engagement yang Tepat di Social Media

TanyaBangwin adalah kolom di Trenologi yang dijalankan bekerja sama dengan Abang Edwin SA, seorang social media consultant dan online business advisor. Untuk kolom kali ini akan dibahas tentang apa yang terjadi jika merek tidak mau mendengarkan audience di media sosial. Mari kita simak. 

Continue reading [TanyaBangwin] Jika Brand Tidak Melakukan Engagement yang Tepat di Social Media