Film Uncharted Akhirnya Tunjukkan Foto Pertamanya

Setelah lama muncul dan hilang, film adaptasi dari game petualangan milik Naughty Dog – Uncharted akhirnya terus menunjukkan progresnya. Sebelumnya, foto dari sang pemeran utama – Tom Holland sebagai Nathan Drake muda sudah mengemuka.

Kali ini, Sony akhirnya menunjukkan Nathan bersama sang mentor Victor “Sully” Sullivan yang diperankan oleh Mark Wahlberg. Kali ini adalah penampakan resmi perdana Wahlberg sejak dirumorkan akan memerankan Sully. Di 2010, ia juga dirumorkan akan memerankan Nathan Drake.

Foto ini diunggah pertama kali oleh New York Time dengan sumber gambar langsung dari Sony Pictures Entertainment. Artikelnya sendiri tidak membahas khusus film adaptasi Uncharted ini namun lebih ke usaha Hollywood untuk kembali membawa adaptasi video game.

Foto perdana Uncharted Movie (Image credit: New York Times)

Dalam foto tersebut terlihat keduanya tengah berada di suatu ruangan di dalam gedung tua (katedral ataupun yang lainnya). Nathan Drake terlihat menggunakan kaos biru yang mirip dengan yang dikenakan dalam game ke-4 Uncharted.

Sedangkan Sully  tampil sedikit kontroversial karena dalam foto tersebut Mark Wahlberg tampil tanpa kumis khas milik Sully. Padahal dalam video game-nya Sully tidak pernah ditampilkan tanpa kumis.

Mark Wahlberg dengan kumis lebat ikonik milik Sullyb (Image credit: Push Square)

Hal ini langsung memancing perdebatan para fans apalagi sebelumnya Mark Wahlberg sempat menunjukkan dirinya yang sudah memiliki kumis lebat khas Sully. Tidak sedikit fans yang langsung khawatir bahwa film ini nantinya akan melenceng dari game-nya.

Namun beberapa fans juga memberikan teori bahwa adegan tersebut terjadi di waktu sebelum Sully menumbuhkan kumis ikoniknya. Dan hal tersebut akan menjadi bagian dari “character development” bagi Sully di film tersebut.

Foto Tom Holland sebagai Nathan Drake tahun kemarin (Image Credit: Sony)

Selain Uncharted, PlayStation Productions juga dikabarkan tengah mengerjakan film adaptasi dari game mereka lainnya yaitu The Last of Us bersama HBO dan juga film adaptasi Ghost of Tsushima yang akan dikerjakan oleh sutradara dari film John Wick, Chad Stahelski.

Film adaptasi Uncharted ini dikerjakan oleh Ruben Fleischer yang sebelumnya mengerjakan Venom dan Zombieland. Filmnya direncanakan untuk dirilis pada 18 Februari 2022 mendatang, tentunya bila tidak ada penundaan.

PlayStation 5 Kalahkan Xbox Series X, Switch Dominasi Penjualan 2021

Pertarungan konsol next-gen sudah dimulai sejak keduanya dirilis pada akhir tahun kemarin. Memasuki tahun 2021, ternyata PlayStation 5 jauh mengungguli XboX Series X/S hingga dua kali lipat. Namun penjualan keduanya ternyata masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Nintendo Switch.

Laporan tersebut dikeluarkan oleh Ampere Analysis yang menampilkan bahwa, pada kuartal awal 2021 ini, sudah sebanyak 2,83 juta PS5 berhasil terjual. Lebih dari dua kali lipat dari jumlah konsol Series X yang terjual sebanyak 1,31 juta unit di kurun waktu yang sama.

Meskipun secara angka tertinggal jauh dari Sony, namun Microsoft sendiri melaporkan bahwa keuntungan hardware mereka sendiri naik hingga 232% dari tahun kemarin. Apalagi Microsoft juga tidak hanya bergantung pada penjualan konsolnya saja, namun juga pada layanan Xbox Game Pass mereka.

Baik Sony dan Microsoft sendiri masih diterpa dengan permasalahan produksi dan kesulitan untuk memenuhi permintaan di seluruh dunia. Kondisi ini sendiri diprediksi akan terus berlanjut selama 2021 ini. Sehingga para gamer pun kelihatannya masih akan kesulitan untuk menemukan konsol next-gen dengan harga sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Sony maupun Microsoft.

Di sisi lain, kombinasi angka penjualan duna konsol next-gen ini ternyata masih jauh tertinggal oleh konsol hybrid Nintendo Switch. Yang pada kuartal pertama 2021 ini saja berhasil menjual hingga 5,86 juta unit. Angka tersebut sendiri membuat Switch telah total terjual 84 juta unit sejak dirilis pada 2017 lalu. Dan Nintendo sendiri masih memiliki rencana untuk meningkatkan produksi Nintendo Switch hingga 30 juta unit.

Image credit: Nintendo

Nintendo Switch sendiri mendapat peningkatan pamor yang sangat signifikan sejak pandemi terjadi dan banyak orang yang mencari hiburan untuk di rumah. Ditambah dengan meledaknya peluncuran Animal Crossing: New Horizon pada Maret tahun lalu yang membuat harga dari konsol ini sempat melonjak hingga dua kali lipat.

Baik Sony maupun Nintendo juga dikabarkan tengah bersiap-siap untuk merilis pembaruan untuk konsol mereka. Nintendo Switch akan mendapat penyegaran hardware setelah 4 tahun demi performa yang tentunya lebih baik, sedangkan Sony dirumorkan akan menggunakan arsitektur baru AMD 6nm pada PS5 2022 mendatang.

Polemik Durasi Game: Apakah Semakin Panjang Berarti Semakin Bagus?

Bermain game kini telah menjadi hobi mainstream yang dilakukan oleh banyak orang. Seiring dengan bertambahnya jumlah gamer, maka jenis gamers pun menjadi semakin beragam. Sebagian orang menyatakan dirinya sebagai gamers hardcore, sementara sebagian yang lain sebagai gamer kasual. Sebagian gamer hanya bermain game di platform tertentu, sementara sebagian lain mungkin menikmati game multiplatform.

Keberagaman gamers itu berarti keinginan para gamers juga menjadi semakin beragam. Pasalnya, apa yang diinginkan oleh sekelompok gamers mungkin berbeda dari keinginan dari kelompok gamers lainnya. Sebagai contoh, gamers kasual biasanya akan cenderung menyukai mobile game yang tidak memakan waktu banyak. Sementara gamer hardcore mungkin lebih suka gamegame menantang yang mengharuskannya untuk menghabiskan waktu puluhan atau bahkan ratusan jam untuk ditamatkan.

Sekarang, durasi playtime sebuah game menjadi salah satu topik yang diperdebatkan di kalangan gamers. Sebagian gamers mendukung game dengan durasi panjang, sementara yang lain lebih suka game dengan durasi yang lebih pendek.

 

Durasi Resident Evil Village yang Cenderung Pendek

Harga game sekarang menjadi semakin mahal. Game AAA biasanya ada di rentang harga Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Karena itu, tidak heran jika ada gamers yang ingin agar game AAA punya playtime yang panjang. Jadi, mereka tidak merasa sia-sia telah mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah.

Resident Evil Village yang dirilis pada awal Mei 2021 jelas masuk kategori game AAA. Game itu merupakan bagian dari franchise populer buatan developer yang juga sudah dikenal. Dari segi harga pun — bundle dari RE Village dan Resident Evil Re:Verse dihargai Rp848 ribu di Steam — Resident Evil Village masuk dalam kategori game AAA. Namun, playtime dari game tersebut tidak lama.

RE Village punya playtime yang cenderung pendek dari game-game AAA lain. | Sumber: Steam

Menurut GamesRadar, waktu rata-rata yang diperlukan untuk menamatkan RE Village adalah 10 jam. Jika Anda hanya fokus pada jalan cerita tanpa memedulikan side quest, Anda kira-kira hanya memerlukan waktu sekitar 6 jam. Dan jika Anda adalah seorang completionist yang ingin menemukan semua treasure, weapon, dan upgrade yang ada, serta menjalankan semua side quests yang tersedia, Anda mungkin akan membutuhkan waktu sekitar 12-13 jam. Jika dibandingkan sejumlah game AAA lain, playtime RE Village jauh lebih singkat.

Sebagai perbandingan, berdasarkan laporan Geek Culture, playtime rata-rata kebanyakan game AAA sekarang adalah 30-50 jam. Dan ada beberapa game yang bahkan bisa memakan waktu sekitar 80 jam untuk ditamatkan, seperti The Witcher 3 dan Red Dead Redemption. Bagi sebagian orang, playtime RE Village yang pendek mungkin membuat mereka merasa keberatan untuk membeli game itu. Sementara sebagian gamers lainnya merasa, harga yang ditetapkan oleh Capcom untuk RE Village adalah wajar, mengingat game itu memang memiliki replay value yang tinggi.

Selain itu, playtime yang lebih lama tidak selalu menjamin kualitas yang lebih baik. Berikut penjelasan tentang pro dan kontra dari playtime yang panjang. Namun, sebelum itu, mari kita bicara tentang…

 

Apa Durasi Game Memang Menjadi Semakin Panjang?

Untuk mengetahui waktu rata-rata untuk menamatkan game dari masa ke masa, say menggunakan data playtime game dari situs HowLongToBeat. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pada era 1990-an, durasi playtime memang menunjukkan tren naik. Meskipun begitu, sejak 2000 sampai 2020, playtime game setiap tahunnya cenderung stagnan, pada belasan jam. Walau memang, beberapa anomali, yaitu ketika waktu playtime naik drastis menjadi lebih dari 20 jam atau bahkan hingga 40-an jam.

Rata-rata waktu bermain game dari tahun ke tahun. | Sumber: HowLongToBeat

Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, sejumlah game AAA membutuhkan waktu berpuluh-puluh jam untuk ditamatkan, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild atau Dragon Age: Inquisition. Lalu, apakah game-game tersebut bermasalah? Tidak juga. Salah satu keuntungan game dengan playtime panjang adalah game itu akan dapat menampilkan dunia yang kompleks, membuat pemainnya seolah-olah berada di dalam dunia tersebut (imersif), berpetualang atau menjelajah dunia bersama karakter-karakter yang ada. Dan bagi gamer yang masih muda, yang masih duduk di bangku SMA atau universitas, game dengan playtime panjang bukanlah masalah. Mungkin, bagi mereka, semakin panjang sebuah game, justru semakin bagus. Alasannya, gamer yang lebih muda punya waktu kosong yang lebih banyak.

Masalahnya, para gamers yang sudah lebih tua, yang punya tanggung jawab atas pekerjaan atau keluarga, mereka mungkin akan kesulitan untuk menamatkan game dengan playtime puluhan jam. Selain itu, game dengan durasi yang terlalu panjang juga punya masalah tersendiri, seperti yang disebutkan oleh CBR.

Salah satunya adalah gameplay atau cerita yang repetitif. Menghabiskan waktu puluhan jam untuk mengeksplorasi konten yang baru mungkin akan terasa menyenangkan. Namun, bagaimana jika Anda harus menghabiskan berjam-jam hanya demi grinding? Untuk menaikkan level karakter agar Anda bisa mengalahkan bos di sebuah dungeon atau sekedar meng-upgrade senjata dari tokoh utama? Hal ini justru bisa membuat game terasa menjadi membosankan dan bukannya menyenangkan,

Satu hal lain yang harus diingat, game adalah media hiburan yang berbeda dari buku atau film. Ketika Anda membaca buku, Anda bisa melewati atau sekedar men-skim bagian yang Anda rasa membosankan. Begitu juga dengan film atau seri TV. Namun, lain halnya dengan game. Memang, Anda bisa memilih untuk tidak melakukan side quests dan fokus pada misi utama. Namun, bagaimana jika sebuah game mengharuskan Anda untuk grinding hingga level tertentu? Bagi sebagian orang, grinding memang memberikan kepuasan tersendiri. Namun, bagi sebagian orang lain — termasuk saya — melakukan hal yang sama berulang kali akan lebih terasa sebagai siksaan.

 

Berapa Durasi Playtime yang Ideal?

Menurut Shawn Layden, mantan Worldwide Chairman dari Sony Interactive Entertainment, studio game besar tetap bisa sukses walau mereka membuat game dengan playtime sekitar 12-15 jam. Dia menjelaskan, durasi playtime naik seiring dengan naiknya biaya produksi game. Alasannya, banyak studio game yang merasa bahwa playtime yang panjang merupakan justifikasi dari harga game AAA yang semakin mahal. Namun, dia merasa, tren ini tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang.

“Tidak semua game adventure akan bisa punya playtime selama 50-60 jam, karena hal itu akan membuat biaya produksi jadi terlalu mahal,” kata Layden pada GamesIndustry. “Pada akhirnya, jika playtime menjadi daya tarik utama dari sebuah game, tren itu justru bisa mendorong sejumlah kreator game bangkrut.”

Playtime The Last of Us 2 adalah 25 jam, sementara seri pertamanya hanya membutuhkan 15 jam.

Tidak hanya dari segi developer, Layden percaya, tren playtime yang semakin panjang juga akan menyulitkan para gamers. Pasalnya, tidak semua gamers akan bisa menamatkan game-game yang membutuhkan waktu puluhan jam untuk diselesaikan. Karena itu, dia mendorong para studio game untuk mengubah gaya kerja mereka. Daripada menghabiskan waktu 5 tahun untuk membuat game dengan playtime selama 80 jam, sebaiknya mereka membuat game dengan playtime 15 jam yang bisa dibuat dalam waktu 3 tahun

“Sebagai gamer yang berumur, saya sendiri lebih ingin game AAA dengan playtime sekitar 12-15 jam,” kata Layden, seperti dikutip dari Geek Culture. “Dengan begitu, saya akan bisa menyelesaikan lebih banyak game. Dan, sama seperti film atau buku yang telah diedit dengan baik, game tersebut akan memiliki konten yang lebih padat dan menarik.”

Sony Memperkirakan Kelangkaan PS5 Berlanjut Hingga 2022

Meluncurkan sebuah konsol generasi baru di tengah-tengah pandemi memang bukanlah hal yang mudah. Terlebih distribusi konsol baru ini terkendala dengan banyaknya penimbun yang membuat stok yang terbatas tersebut menjadi semakin langka. 

Sony sebelumnya mengabarkan bahwa mereka telah berhasil menjual 8,7 juta unit PlayStation 5 hingga akhir Maret 2021 lalu. Namun, berita buruknya Sony juga memperkirakan bahwa kelangkaan PlayStation 5 ini akan berlanjut hingga tahun 2022 mendatang.

Dilansir dari Bloomberg, Sony kini dilaporkan telah berbicara dengan kelompok analis tentang masalah kekurangan stok PlayStation 5 hingga mereka merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan yang masih tinggi dikarenakan kekurangan pasokan komponennya seperti semikonduktor.

PlayStation 5 (Image credit: PlayStation)

“Saya tidak berpikir bahwa permintaan (terhadap PS5) akan mereda tahun ini dan bahkan jika kami mengamankan lebih banyak perangkat dan memproduksi lebih banyak unit PlayStation 5 tahun depan, pasokan kami tidak akan mampu mengejar permintaan,” ungkap Kepala Keuangan Sony Group – Hiroki Totoki kepada para analis.

Sony memang sudah kesulitan untuk memenuhi pasokan komponennya sejak dirilis pada November tahun lalu. Namun Totoki memberitahu para analis bahwa Sony akan berusaha untuk meningkatkan produksi secepat mungkin dan memastikan bahwa PlayStation 5 dapat segera didistribusikan ke toko-toko.

“Kami telah menjual lebih dari 100 juta unit PlayStation 4 dan mengingat pasar dan reputasi kami, saya tidak dapat membayangkan permintaan turun dengan mudah,” kata Totoki.

Playstation 4 Pro. Image Credit: Hybrid.co.id

Menurut laporan, PlayStation 4 memang sudah terjual sebanyak 115,9 juta unit hingga sekarang. Yang berarti dalam 8 tahun setelah rilis Sony berhasil menjual 14,5 juta unit PlayStation setiap tahunnya dari 2013 hingga 2021 ini.

Sedangkan PlayStation 5 sendiri sudah berhasil terjual 7,8 juta unit dalam waktu 5-6 bulan setelah rilis, dan Sony memiliki target untuk dapat mengirimkan setidaknya 14,8 juta unit lagi hingga 31 Maret 2022.

Berarti, Sony harus menaikkan produksinya hingga dua kali lipat dari sebelumnya dan mendistribusikannya ke seluruh dunia dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini.

Para fans kelihatannya juga harus ekstra sabar bila berkeinginan untuk membeli konsol PlayStation 5, apalagi dengan harga normal yang seharusnya. Karena tentunya stok yang ada akan sangat terbatas dan harganya pun mayoritas sudah dinaikkan oleh para penjual.

Featured image credit: Pocket Lint

Epic Tawarkan US$200 Juta Kepada Sony untuk Game Eksklusif PlayStation

Game ekslusif tentunya merupakan senjata utama bagi PlayStation sejak bertahun-tahun lalu. Namun semua itu berubah ketika, perlahan tapi pasti, beberapa game eksklusif PlayStation 4 mulai masuk ke platform PC melalui Steam.

Namun rival dari Steam, yaitu Epic Games ternyata punya minat yang sama terhadap game-game eksklusif PlayStation tersebut. Bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka siap menggelontorkan dana hingga $200 juta kepada Sony untuk memasukkan game-game eksklusif PlayStation khusus ke Epic Game Store (EGS).

Dokumen Epic yang diunggah di persidangan (image credit: Raigor Resetera)

Hal tersebut terungkap dari dokumen yang tengah ditampilkan di persidangan Epic v Apple. Dokumen tersebut diunggah ke folder persidangan yang kemudian langsung dihapus. Untungnya salah satu pengguna forum Resetera – Raigor berhasil menyelamatkannya.

Detailnya, Epic menawarkan $200 juta kepada Sony untuk membawa 4-6 judul ekslusifnya ke dalam Epic Game Store. Epic juga membuat penawaran tersebut bersifat MG atau “minimum guarantee”. Artinya, nominal tersebut adalah pendapatan minimal yang digaransikan oleh Epic kepada para publisher, terlepas dari game-nya benar-benar terjual senilai perjanjian tersebut atau tidak saat dipasarkan di EGS.

game eksklusif PlayStation yang kini sudah berada di Epic Game Store

Sampai artikel ini ditulis, sudah ada 2 judul eksklusif dari Sony yang sudah berada di dalam Epic Game Store yaitu ReadySet Heroes dan Predator: Hunting Grounds. Meskipun begitu, tidak ada tanda-tanda bahwa game flagship Sony seperti God of War ataupun Uncharted akan masuk ke dalam perjanjian ini.

Lebih lanjut, Epic ternyata juga mencoba melakukan pendekatan kepada Microsoft dan juga Nintendo. Sayangnya, percakapan mereka dengan Microsoft tidak berjalan lancar dikarenakan Microsoft memandang Epic sebagai perusahaan saingan dan Xbox Game Pass milik Microsoft dianggap bertentangan dengan apa yang mereka kerjakan. Ditulis juga bahwa bos Xbox – Phil Spencer dan bos Valve – Gabe Newel terkadang melakukan pertemuan.

Sedangkan untuk Nintendo sendiri tertulis bahwa mereka belum memulai perbincangan. Meskipun tertulis catatan “Moonshot” yang artinya Nintendo menargetkan hasil yang tinggi dan muluk-muluk.

Epic memang terus berusaha untuk menaikkan posisinya sebagai launcher game PC terpopuler yang kini ditempati oleh Steam. Epic sudah mencoba berbagai cara, mulai dari memberikan game gratis setiap minggunya sejak awal peluncurannya dan juga membawa beberapa game eksklusif untuk masuk ke dalam platform-nya tersebut. Namun kelihatannya perjuangan Epic masih panjang untuk dapat menyaingi Steam.

Sony Stop Jual Kamera DSLR

Eksistensi kamera mirrorless macam Sony A1 membuat kategori DSLR semakin tidak relevan di tahun 2021 ini. Saya tidak bilang DSLR sudah mati begitu saja, tapi arahnya sepertinya bakal ke sana jika melihat tren yang sedang berlangsung di industri kamera.

Baru-baru ini, situs Sony Alpha Rumors melaporkan bahwa Sony diam-diam sudah berhenti memasarkan lini kamera DSLR-nya yang menggunakan dudukan lensa A-mount. Kamera-kamera DSLR (DSLT kalau menurut kamus Sony) seperti Sony A68, Sony A77 II, maupun Sony A99 II semuanya sudah tidak bisa lagi ditemukan di situs resmi Sony maupun di peritel kenamaan macam B&H Photo Video.

Sejauh ini memang belum ada konfirmasi resmi dari Sony mengenai hal ini, tapi kabar ini sebenarnya sudah bisa kita tebak dari jauh-jauh hari. Pasalnya, terakhir kali Sony meluncurkan kamera DSLR adalah di bulan September 2016, yakni Sony A99 II yang membanggakan teknologi 4D Focus.

Kala itu, Sony bilang bahwa 4D Focus belum bisa diaplikasikan ke lini kamera mirrorless A7 karena keterbatasan ruang. Sekarang, 4D Focus bahkan sudah ada di kamera mirrorless sekelas A6100 sekalipun. Sony bisa dibilang sudah tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan kiprahnya di kategori DSLR.

Lineup kamera mirrorless Sony sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan banyak kalangan sekaligus, dari yang baru memulai hobi fotografi, sampai yang sudah berkarir secara profesional di bidang fotografi maupun videografi selama bertahun-tahun. Sony merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap popularitas kamera mirrorless sekarang, jadi tidak mengherankan apabila mereka merasa sudah waktunya untuk meninggalkan segmen DSLR sepenuhnya.

Sebagai informasi, Sony merilis DSLR perdananya, Sony A100, di tahun 2006 setelah sebelumnya lebih dulu mengakuisisi divisi kamera milik Konica Minolta. Sekitar empat tahun setelahnya, Sony merilis kamera mirrorless pertamanya, yakni Sony NEX-3 dan Sony NEX-5 yang sama-sama mengusung sensor APS-C. Barulah di tahun 2013, Sony merilis A7, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor full-frame.

Sumber: Engadget.

Sony Indonesia Hadirkan FX3, Kamera Cinema Line Paling Ringkas Dirancang Untuk Handheld Shooting

Sony telah resmi meluncurkan kamera FX3 (model ILME-FX3) di Indonesia. Kamera paling ringkas dari rangkaian Cinema Line ini dirancang untuk memberikan pengalaman sinematik yang sangat cocok digunakan oleh para kreator muda yang menekuni genre dokumenter, musik, dan komersial.

Cinema Line merupakan rangkaian kamera yang memiliki tampilan filmis yang dikembangkan dari pengalaman panjang Sony dalam produksi sinema digital. Mencakup kamera sinema digital VENICE yang sangat diakui untuk produksi film dan film serial di industri, kamera profesional FX9 dan FX6.

Sony FX3 hadir sebagai kamera paling ringkas pada rangkaian Cinema Line, posisinya berada di antara Sony A7S III dan FX6, dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari FX6. Berbeda dengan saudaranya yang hadir dengan desain kotak, FX3 mengadopsi desain seperti lini kamera Alpha.

Industri perfilman kini semakin berkembang, begitu juga dengan kebutuhan para kreator untuk menghasilkan karya. Melihat kebutuhan dan perkembangan tersebut, kami berupaya untuk terus mendukung industri perfilman dunia dengan menghadirkan perangkat dengan teknologi terdepan melalui spesifikasi tingkat tinggi yang kami hadirkan dalam kamera full-frame FX3. Kami tidak sabar melihat para kreator bereksplorasi mewujudkan imajinasi visual mereka dan menghasilkan karya yang luar biasa,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Sony FX3 akan segera tersedia di Indonesia pada bulan Juni 2021 dengan harga Rp59.999.000. Pembelian secara pre-order dapat dilakukan mulai tanggal 30 April – 30 Mei 2021 di seluruh Sony Authorized Dealer. Khusus pembelian dalam masa pre-order, konsumen akan mendapatkan paket spesial senilai hingga Rp8.800.000 berupa satu buah kartu memori 160GB CFexpress Type-A dan dua buah baterai NP-FZ100.

Fitur dan Spesifikasi Kamera Cinema Line Full-Frame FX3

Sony FX3 mengusung sensor CMOS Exmor R back-illuminated full-frame dengan resolusi 10,2MP dan mesin pengolahan gambar BIONZ XR yang menawarkan sensitivitas tinggi dengan noise rendah. Rentang ISO standar dari kamera ini adalah 80 hingga 102.400 (dapat ditingkatkan hingga 409.600 saat merekam film) dan memiliki dynamic range lebar 15+ stop.

Untuk menciptakan tampilan sinematik tanpa pasca-produksi, FX3 dilengkapi profil tampilan S-Cinetone yang terinspirasi dari colour science kamera sinema digital VENICE yang juga digunakan pada kamera Cinema Line FX9 dan FX6. S-Cinetone menghadirkan mid-tone natural, warna lembut, dan highlight halus yang penting untuk tampilan sinematik. Juga didukung perekaman 4K hingga 120 frame per detik untuk slow-motion yang halus hingga 5x dengan autofokus.

Lebih lanjut, FX3 mendukung perekaman internal dalam format XAVC S dan XAVC S-I dalam 4K (QFHD) serta FHD dan format XAVC HS (MPEG-H HEVC/H.265, hanya 4K). Output video 4K 60p dalam format 10-bit 4:2:2 atau 16-bit RAW dapat dikeluarkan ke perangkat eksternal melalui jack HDMI Type-A pada FX3.

Agar dapat merekam terus menerus, FX3 menggabungkan kipas untuk pendinginan aktif dengan pembuangan panas efektif untuk memungkinkan perekaman 4K 60p tanpa gangguan dan penghentian termal. Bodinya tahan debu dan kelembapan, dengan casis magnesium alloy yang tahan lama dan  mendukung pengisian daya secara cepat USB PD (Power Delivery).

Selama perekaman film, Sony FX3 menawarkan Fast Hybrid autofocus (AF) dengan menggunakan sistem focal plane phase-detection 627 titik. Lengkap dengan Touch Tracking (Real-time Tracking) di mana hanya dengan menyentuh subjek yang diinginkan pada layar monitor, fokus otomatis dan pelacakan pada subjek tersebut akan memulai.

FX3 memiliki 5-axis optical in-body image stabilization yang sangat efektif untuk pengambilan gambar secara handheld. Stabilisasi gambar dalam bodi artinya stabilisasi efektif dapat tercapai dengan berbagai lensa, termasuk lensa E-mount yang tidak memiliki stabilisasi sendiri. Menariknya lagi, kamera FX3 merekam metadata stabilisasi gambar yang dilakukan dengan penyesuaian lebih mudah saat pasca-produksi menggunakan Catalyst Browse/Prepare.

Kamera ini juga dilengkapi fitur konektivitas canggih dengan fungsionalitas LAN nirkabel berkecepatan tinggi (band 2.4 GHz atau 5 GHz) dan koneksi kabel LAN melalui adaptor USB-ke-Ethernet yang kompatibel. FX3 ini juga mendukung pengambilan gambar jarak jauh dari PC dengan aplikasi Imaging Edge Desktop “Remote” melalui WiFi atau koneksi Superspeed USB 5Gbps melalui terminal USB Type-C.

Dengan bodi ringkas, kamera Cinema Line ini sangat ideal untuk melakukan perekaman menggunakan genggaman tangan (handheld shooting), gimbal, dan pemasangan pada drone. Beratnya hanya 715 gram termasuk baterai dan kartu memori. Bodi kamera ini memiliki tinggi 77,8 mm dengan lebar 129,7 mm dan kedalaman 84,5 mm – tanpa tonjolan.

Pada sekitar bodinya terdapat 5 thread hole (1/4-20 UNC) untuk memasang aksesori yang kompatibel dengan mudah. Unit pegangan XLR yang sudah tersedia dapat terpasang dengan aman ke bodi kamera melalui Multi Interface Shoe tanpa memerlukan alat khusus juga telah dilengkapi dengan 3 thread hole tambahan untuk aksesoris: dua di bagian atas dan satu di bagian ujung.

Dirancang tanpa kompromi dalam hal kontrol dan pengoperasian profesional. Tombol yang sering digunakan dalam perekaman film seperti penyesuaian ISO, iris, white balance terletak di grip dan di atas bodi. Selain itu, ada 140 fungsi yang dapat ditetapkan ke 15 tombol kustom.

Selain itu, lampu perekaman (tally) tersedia di bagian depan atas dan belakang kamera, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan saat kamera dalam kondisi menyala. Monitor LCD panel sentuh vari-angle bukaan samping memungkinkan pengoperasian mudah dan cocok untuk pemasangan pada gimbal, pada sudut yang sulit, pengoperasian handheld dan masih banyak lagi.

Playstation 5 Berhasil Terjual 7,8 Juta Unit, Permintaan Masih Tetap Tinggi

Menjadi salah satu konsol yang paling banyak dinanti oleh gamer di seluruh dunia tentunya membuat Playstation 5 langsung diserbu para konsumennya sejak dirilis pada 11 November 2020 lalu. Apalagi, perilisan Playstation 5 ini sendiri dibilang memiliki banyak problematika karena pandemi.

Mulai dari produksi yang terhambat hingga keberadaan para penimbun membuat para gamer tidak bisa mendapatkan konsol tersebut dengan harga normalnya. Namun nyatanya, Sony berhasil menjual 7,8 juta unit konsol Playstation 5 dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan.

Hal ini sendiri dilaporkan oleh analis industri Daniel Ahmad  lewat postingan di akun Twitternya @ZhugeEX. Dalam cuitannya tersebut, Daniel mengungkapkan bahwa Sony berhasil menjual 7,8 juta unit Playstation 5 hingga 31 Maret 2021 lalu. Angka ini sendiri mengalahkan rekor dari pejualan Playstation 4 yang mencapai 7,6 juta unit dalam kurun waktu yang sama.

Ia juga memberikan memo bahwa permintaan terhadap Playstation 5 ini masih tetap lebih tingi ketimbang suplai yang bisa diberikan oleh Sony. Hal ini sendiri kelihatannya akan masih terus berlanjut hingga tahun depan karena Sony mengaku bahwa komponen hardware untuk Playstation 5 ini masih terus langka.

Meskipun angka penjualan konsol Playstation 5 ini terbilang fantastis namun ternyata keuntungan terbesar Sony adalah dari penjualan game-nya. Dalam cuitan lanjutannya, Daniel menjelaskan bahwa total 338,9 juta game terjual untuk konsol PS4 dan PS5 hingga akhir tahun fiskal mereka yaitu 31 Maret 2021 lalu.

Lebih lanjut, dijelaskan juga bahwa sebanyak 65% atau sekitar 220 juta game yang terjual adalah versi digital, naik sebanyak 12% ketimbang tahun lalu. Sedangkan untuk game first party mereka kelihatannya tidak terlalu mendominasi karena hanya mencapai 17% saja atau sekitar 58,4 juta kopi game.

Image credit: Playstation Plus

Keuntungan lain dari Sony adalah dari para pemain yang berlangganan Playstation Plus yang mencapai 47,6 juta pelanggan hingga akhir Maret lalu.  Jumlah ini naik sebanyak 6,1 juta pelanggan atau sebesar 13% dari pelanggan tahun lalu.

Meskipun secara penjualan hampir di semua lini produk (hardware maupun game dan layanan) Sony terjadi kenaikan, sayangnya jumlah pemain aktif bulanan dari Playstation Network ternyata mengalami penurunan dari 114 juta pemain tahun kemarin menjadi 109 juta pada tahun ini.

Playstation 5 sendiri masih memiliki jalan yang panjang mengingat penjualannya sendiri yang masih belum maksimal, serta masih terhitung sedikitnya game-game eksklusif untuk Playstation 5 yang tersedia.

Sony FE 14mm F1.8 G Master Segera Masuk Indonesia

Pada awal tahun 2021, Sony memperkenalkan lensa full-frame G Master – FE 35mm F1.4 GM. Diikuti lensa FE 50mm F1.2 GM dan tiga lensa seri G yang meliputi FE 50mm F2.5 G, FE 40mm F2.5 G, dan FE 24mm F2.8 G. Kini giliran lensa FE 14mm F1.8 GM yang segera menyapa fotografer dan videografer profesional di Indonesia.

Sony FE 14mm F1.8 GM (model SEL14F18GM) merupakan lensa sudut ultra-lebar dengan bentuk ringkas, berukuran 83mm x 99.8mm dan berat sekitar 460 gram. Dirancang untuk mengabadikan dunia dengan perspektif baru, terutama saat memotret landscape, arsitektur, astrograf, interior, perekaman wide-shot, dan self-vlogging.

Anggota terbaru dari seri G Master Sony, FE 14mm F1.8 GM, memberikan resolusi luar biasa, fokus otomatis yang cepat dan senyap, serta sangat ringkas. Kami senantiasa berinovasi berdasarkan kebutuhan pelanggan kami dan akan terus mengembangkan teknologi terbaik agar mereka dapat mewujudkan visi kreatif mereka,” ujar Kazuteru Makiyama, President Director PT Sony Indonesia.

Lensa ini terdiri dari 14 elemen dalam 11 grup, termasuk dua elemen XA (extreme aspherical) untuk mempertahankan resolusi di seluruh area gambar bahkan di sudut. Dua elemen kaca ED (Extra-low Dispersion) dan satu elemen kaca Super ED untuk penyempurnaan optik yang menekan aberasi kromatik, memberikan kontras yang baik, dan rendering yang presisi di semua aperture.

Sementara, saat memotret dalam kondisi pencahayaan yang menantang, teknologi Nano AR Coating II Sony akan memaksimalkan kejernihan dengan meredam flare dan ghosting. Selain itu, mekanisme aperture 9-blade circular dan aberasi yang dikelola secara optimal memungkinkan FE 14mm F1.8 GM menghasilkan bokeh latar belakang yang indah tanpa efek onion-ring yang tidak diinginkan.

Bodi lensa tahan debu dan kelembaban, elemen lensa depan memiliki lapisan fluor yang menangkis air, minyak, dan kontaminan lainnya. Begitu pula elemen belakang yang juga dilapisi fluor untuk menjaga permukaan tetap bersih saat mengganti filter belakang. Lensa juga memiliki built-in petal hood yang secara efektif memblokir cahaya asing yang dapat menyebabkan flare dan bayangan.

Lensa baru ini juga dilengkapi beberapa opsi kontrol serbaguna, termasuk focus hold button, focus mode switch, dan focus ring untuk memastikan pengoperasian yang mulus dan efisien dalam berbagai lingkungan pengambilan gambar. Untuk penyesuaian tambahan, sejumlah fungsi dapat ditetapkan ke focus hold button dari interface bodi kamera.

Sony FE 14mm F1.8 GM dilengkapi Linear Response MF untuk pemfokusan manual secara tepat dan aperture ring yang memungkinkan kontrol aperture secara intuitif. Juga terdapat dudukan filter belakang yang menerima filter tipe lembar standar untuk ND, koreksi warna, dan lainnya. Dengan jarak fokus minimum 0,25m, FE 14mm F1.8 GM menawarkan kemungkinan yang lebih luas untuk pengambilan gambar still dan video secara close-up.

Dengan menggunakan dua Motor Linear XD (extreme dynamic), fokus dapat diperoleh dan dipertahankan secara akurat bahkan saat memotret dengan depth of field yang sempit di F1.8. Juga memungkinkan AF senyap dengan getaran minimal untuk transisi fokus yang mulus untuk pembuatan konten video. Informasi mengenai harga dan ketersediaannya di Indonesia, akan segera diumumkan.

Sony Demonstrasikan Kestabilan Drone-nya Ketika Terbang di Tengah Tiupan Angin Kencang

Sony memperkenalkan drone pertamanya pada bulan Januari lalu. Ketimbang menyasar segmen consumer drone yang mungkin sudah terlalu didominasi oleh DJI, drone bernama Airpeak itu justru ditujukan untuk kalangan profesional yang perlu melakukan sesi pengambilan gambar dari udara menggunakan kamera mirrorless.

Airpeak masih belum benar-benar final. Sony rupanya masih terus menyempurnakan sejumlah aspek darinya, utamanya sistem propulsinya. Lewat sebuah video, Sony mendemonstrasikan bagaimana Airpeak bisa terbang dengan sangat stabil di tengah tiupan angin yang begitu kencang.

Pengujian tersebut dilakukan di fasilitas milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan melibatkan terowongan angin (wind tunnel) yang berukuran masif. Tujuannya tidak lain dari melihat bagaimana drone dapat terpengaruh oleh tiupan angin yang kencang, dan sampai seberapa jauh drone bisa bertahan di situasi seperti itu.

Usai melihat video di atas, kita bisa mendapat gambaran betapa impresifnya sistem propulsi milik Airpeak. Bahkan di saat angin bertiup sekencang 19,5 meter per detik, atau kurang lebih setara 70 km/jam, Airpeak masih bisa mempertahankan posisinya di udara dengan sangat stabil. Bukan cuma itu, hasil rekaman kamera mirrorless yang dibopongnya pun juga sama sekali tidak terguncang-guncang.

Sony tidak lupa menegaskan bahwa kondisi di lapangan pasti bakal berbeda dibanding di lingkungan yang terkontrol seperti ini. Di lapangan, arah tiupan angin bakal terus berubah secara konstan, dan Sony percaya sebatas meningkatkan kecepatan berputar baling-baling bukanlah solusi yang tepat.

Kuncinya kalau menurut Sony adalah merancang sistem propulsi yang sangat responsif terhadap lingkungan di sekitarnya, sekaligus yang sanggup mempertahankan kontrol di dalam kondisi apapun. Sony pun akan terus menguji teknologi propulsi rancangan mereka ini di berbagai skenario menantang lainnya demi mewujudkan kapabilitas mengudara yang benar-benar stabil untuk Airpeak.

Sayangnya Sony hingga kini masih belum menyingkap jadwal rilis Airpeak secara resmi, tapi kalau berdasarkan pernyataan mereka di bulan Januari kemarin, Airpeak semestinya bakal diluncurkan di musim semi 2021. Ini artinya Sony masih punya waktu buat memfinalisasi Airpeak sampai Juni – Agustus.

Sumber: DPReview dan Sony.