Pembaruan Produk Cubeacon dan Tantangan Produksi Startup Hardware di Indonesia

Internet of Things (IoT) akhir-akhir ini sering kali menjadi pembahasan utama di berbagai forum atau pagelaran berbasis teknologi. Kiprahnya dalam memberikan daya guna berbagai aktivitas di kehidupan memang sudah tak diragukan lagi. Menyadari besarnya potensi tersebut, di dalam negeri, startup pengembang IoT pun terus berlomba menghasilkan kreasi terbaiknya. Baru-baru ini kabar datang dari startup IoT asal Surabaya bernama Cubeacon atas prestasinya menjadi finalis ASEAN ICT Award (AICTA) 2016 untuk kategori Private Sector.

Produk teknologi yang diusung Cubeacon awalnya memudahkan para pedagang untuk dapat memantau aktivitas para pelanggan mereka melalui smartphone. Dengan perangkat tersebut, para pedagang dapat memantau pergerakan dari para pelanggan mereka melalui aplikasi yang terpasang pada smartphone sang pelanggan. Perangkat Cubeacon tersebut memiliki bentuk menyerupai sebuah kubus kecil dan memanfaatkan konektivitas bluetooth untuk dapat tersambung dengan beragam perangkat elektronik. Setiap satu paket pembelian produk Cubeacon ini berisi tiga buah Beacon dan sebuah baterai terpisah. Saat ini produk Cubeacon sudah berkembang sangat pesat untuk berbagai keperluan.

Pembaruan terkini dari produk dan pengembangan Cubeacon

Dalam sebuah kesempatan interview dengan Tiyo Avianto selaku CEO PT Eyro Digital Teknologi (pengusung Cubeacon) dipaparkan terkait produk Cubeaconcard, varian terbaru dari produk Cubeacon. Secara prinsip menurut Tiyo inovasi teranyar startupnya ini masih sama seperti Cubeacon yang dulu, bedanya pada sisi casing yang lebih tipis, seukuran kartu ATM standar. Pengembangan produk ini dikatakan sebagai salah satu strategi untuk memperkuat market Cubeacon.

Varian produk IoT dari Cubeacon / Cubeacon
Varian produk IoT dari Cubeacon / Cubeacon

Di akhir bulan ini Cubeacon juga akan memperkenalkan versi reader untuk Cubeaconcard. Card-reader ini akan didesain sebagai sebuah perangkat stand-alone dan mampu bekerja secara 24 jam non-stop. Konsep produk ini sedikit berbeda dengan produk iBeacon yang sebelumnya sudah meluncur, yakni menggunakan mekanisme scan dengan smartphone.

Sementara itu untuk informasi layanan Backend as a Services (BaaS) Cubeacon, dari data statistik yang terhimpun tercatat telah digunakan lebih dari 1.300 pengembang. Di dalamnya juga sudah bertanggar hampir 200 Apps untuk iOS dan hampir 600 Apps untuk Android yang dikelola. Pembenahan terhadap layanan ini juga akan menjadi prioritas Cubeacon sehingga bisa menjadi layanan BaaS yang lebih general dan bisa digunakan untuk keperluan di luar iBeacon juga.

Cubeacon di tahun 2016

Secara umum Cubeacon tahun ini masih akan fokus pada perluasan pangsa pasar mereka. Dari sisi pengguna iBeacon, Tiyo mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya akan lebih banyak mengarah ke sektor industri, ketimbang untuk segmentasi lifestyle dan ritel. Namun demikian pihaknya mengungkapkan bahwa untuk lifestyle dan ritel tidak sepenuhnya dibatasi, hanya membutuhkan timing yang tepat untuk memaksimalkan penetrasinya. Sementara di pasar industri saat ini penerimaannya lebih kencang.

Dari data statistik penjualan Cubeacon, hampir 80 persen produk terserap di sektor industri dengan berbagai kategori, di antaranya fleet, warehouse, management access, security dan tracking.

“Awalnya market Indonesia sedikit demam ketika tahu Cubeacon mulai di kenal sebagai produk lokal, tapi dengan layanan dan kualitas produk, akhirnya mereka churn sendiri dari brand sebelumnya,” ujar Tiyo.

Selain itu BaaS juga akan menjadi perhatian utama dalam daftar inovasi Cubeacon tahun ini. Diprediksikan awal Oktober akan ada rilis ulang untuk layanan BaaS. Selain itu akan ada satu produk hardware lagi yang akan segera dirilis. Harapannya awal tahun depan produk tersebut siap tersedia di pasar.

Tantangan produksi startup hardware di Indonesia

Menjelaskan seputar tantangan untuk proses produksi Cubeacon, Tiyo memaparkan tentang tiga proses yang menjadi fase produksi sebuah startup hardware, yakni Material, Process dan Design.

“Fase ini adalah kitab kami untuk menghitung cost-efficient dalam fase produksi hardware. Saya paham kawan-kawan sudah tahu juga tiga fase lean startup. Tiga fase di atas wajib dilakoni oleh Product Manager di startup hardware,” ungkap Tiyo.

Ia juga urut memaparkan detail ketiga proses tersebut.

“Jika diketahui harga materialnya mahal, berarti ktia harus menghemat pada siklus proses (cara mencetak, memotong, jumlah cetakan dan potongan, jenis mesin dll). Jika siklus kedua (proses) belum mampu menekan harga, lakukan di fase ketiga (desain). Jangan buat desain yang susah, menghabiskan banyak bahan, dan prosesnya sulit. Buat packing dengan banyak lipatan, dilem, dipanasi, dicetak dll. Desain bagus itu belum tentu mahal,” jelas Tiyo.

Studi kasus proses produksi produk di Cubeacon

Tantangan produksi hardware di Indonesia / Shutterstock
Tantangan produksi hardware di Indonesia / Shutterstock

Tiyo menyimpulkan bahwa pada setiap fase pengembang perlu menanyakan terkait beberapa hal berikut: (1) Materialnya menggunakan apa? (2) Caranya memprosesnya bagaimana? (2) Desainnya seperti apa? Lalu putar tiga siklus itu untuk mendapatkan fase harga yang pas dengan dana produksi.

Berikut studi kasus yang dituliskan Tiyo membandingkan antara proses produksi di dalam dan di luar negeri (dalam hal ini di Tiongkok):

Di batch awal kami memproduksi Cubeacon Reader AR25, kami kerjakan di Indonesia, kami menghitung total justru mahal di Tiongkok kalau hanya mencetak antara 100 – 1.000 pcs. Memang nantinya di fase produksi selanjutnya kalau dihitung jatuhnya akan mahal di Indonesia saat angka produksinya 2.000 – 5.000 pcs ke atas. Namun kita perhatikan dulu pertimbangan penting di bawah ini:

Kasus Material. Menentukan dan memilih PCB Multi-layer atau Single-layer, dan proses finishing PCB.

Kasus Proses. Produksi di Tiongkok minimal membutuhkan dana $1.000-10.000 untuk setup lini produksi. Estimasi saya adalah per 1.000-10.000 pcs kita butuh 8-10 operator manual untuk mengerjakan hand-tool, selain proses lainnya dikerjakan dengan mesin. Ketika blueprint salah dan proses produksi gagal, proses produksi harus setup ulang, termasuk mesin yang dipakai.

Di Surabaya kami hanya membayar Rp 300 ribu setiap kali gagal membuat film/desain PCB, rusak 3 – 4 kali pun tidak masalah. Operator masih bisa dinego borongan, artinya bayar yang sudah benar saja. Komunikasi masih nyaman karena sama-sama orang Indonesia, di Tiongkok jangan harap mereka (para rekanan) lancar berbahasa Inggris. Timing koordinasi pun semakin panjang dan itu menghabiskan waktu.

Sayangnya penghematan di atas (produksi di Indonesia) berbanding terbalik dengan tenaga yang kami keluarkan. Kami harus bantu workshop dan pemilik mesin untuk setup awal, kami harus bolak balik ke kantor dan ke workshop untuk memastikan kembali prosesnya benar, materialnya benar, proses pemotongannya benar. Sekilas masih murah dalam proses produksi, tapi secara effort kita harus berdarah darah. Namun meskipun kita masih berdarah-darah ternyata kita bisa menghemat pengeluaran.

Kasus Desain. Ketika designer hardware menyodorkan kertas RAB dan BOQ-nya, saya tercengang dengan harga PCB Board (termasuk proses coating dan labeling), harga di Indonesia untuk PCB Multi-layer luar biasa sekali. Nilai yang tidak masuk akal ini berbanding terbalik dengan target harga kami, akhirnya saya paksa designer hardware untuk mengubah PCB Multi-layer dengan PCB Single-layer, walhasil semua pada sakit kepala. Jalurnya semakin padat dan sudah tidak ada ruang karena terbatasnya ukuran board. Jalan satu-satunya adalah menambah “jumper” atau komponen resistor dengan nilai 0 ohm (untuk melewatkan jalur agar bisa tetap di buat di PCB Single-layer).

Big wow-nya adalah 50 persen pengeluaran bisa diredam, ibarat kalau harga cetak PCB Multi-layer Rp 100 juta, kita bisa menghemat Rp 50 juta. Desainnya berubah, kita bisa menekan harga produksi luar biasa. Pastinya berbanding terbalik dengan proses. Jalur PCB semakin rumit proses soldering makin padat, tapi 50 persen penghematan tadi tidak sebanding dengan effort di fase proses.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Model Bisnis yang Sering Digunakan oleh Startup Hardware

Di Indonesia hiruk-pikuk perihal startup hampir selalu didominasi oleh layanan berbentuk perangkat lunak. Sangat jarang melihat nama-nama startup yang bergerak di bidang hardware dibicarakan di masyarakat dalam kesehariannya. Bukan tidak ada, startup hardware hanya belum banyak dikenal karena memang mengambil segmentasi niche, yang tidak begitu umum. Selain perihal sumber daya, model bisnis mereka juga sedikit berbeda dengan model bisnis startup kebanyakan.

Nama-nama mentereng di ranah startup hardware asal Indonesia seperi Cubeacon,  e-fishery dan PowerCube misalnya. Masing-masing memiliki model bisnis yang berbeda. Ada yang menjual hardware dengan bonus layanan, atau sebaliknya, menjual layanan berbonus penggunaan hardware. Ini tergantung pendekatan yang dilakukan masing-masing. Founder Bolt Venture Capital Ben Einstein dalam laman resminya membagikan tiga bentuk model bisnis yang biasa diterapkan untuk startup hardware. Sesuatu yang bisa dipertimbangkan bagi Anda yang sedang membangun startup hardware.

Model bisnis pertama yang biasa digunakan adalah hardware as a services. Model bisnis ini disebutkan sebagai model bisnis yang paling sering digunakan oleh startup yang menawarkan produk hardware. Di model bisnis ini startup mendapatkan keuntungan dari penjualan atau penyewaan perangkat yang bisa digunakan dengan membayar biaya berlangganan. Bisa berdasarkan waktu, tahunan atau bulanan, atau berdasarkan penggunaan data. Sederhananya model bisnis ini tidak menjual hardware secara langsung, tetapi menjual layanan yang mendukungnya untuk menutup biaya hardware.

Model bisnis selanjutnya yang bisa digunakan adalah hardware-enabled services. Model bisnis ini hampir serupa dengan model bisnis hardware as a services. Hanya saja model bisnis ini menggunakan produk layanan freemium. Pengguna dibebankan biaya untuk mendapatkan hardware mereka. Selanjutnya mereka akan mendapatkan layanan pendukung terbatas, seperti kapasitas penyimpanan dan fitur. Untuk mendapatkan layanan full service atau menambah kapasitas mereka kembali dibebankan biaya berlangganan. Harus penuh perhitungan dalam menentukan harga, karena semua tergantung pengalaman pengguna.

Model bisnis ketiga adalah consumable. Model bisnis ini yang paling ringkas. Menjual hardware langsung tanpa embel-embel layanan yang mengikatnya. Seperti yang dilakukan Amazon dengan Kindle-nya. Hanya saja untuk menerapkan model bisnis seperti ini perlu perhitungan dan pertimbangan yang matang. Seperti pengalaman pengguna dan kemungkinan penjualan berulang.