Powerbrain “Menghijaukan” Bangunan Lewat Manajemen Energi Berbasis IoT

DailySocial.id kembali mengeksplorasi jejak pelaku startup berdampak (impact) di Indonesia yang membawa misi terhadap peningkatan kualitas hidup dan lingkungan. Kali ini, kami berkesempatan berbincang dengan Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha.

Sekilas informasi, Powerbrain berdiri di awal 2020 dan menawarkan solusi smart energy management berbasis IoT dan aplikasi bagi segmen bangunan di Indonesia. Powerbrain juga terpilih sebagai salah satu finalis peserta program Startup Studio Indonesia oleh Kementerian Kominfo.

Berawal dari pengalamannya bekerja di perusahaan terdahulu di bidang energi, Irvan terinspirasi untuk berkontribusi terhadap penghematan energi di Indonesia demi mengurangi efek pemanasan global.

Seperti diketahui, penggunaan listrik dan panas lewat pembakaran bahan bakar fosil merupakan salah satu faktor utama yang memicu global warming. Indonesia memang telah menerapkan penggunaan energi terbarukan, tetapi baurannya baru mencapai 11,5% menurut data Badan Pusat Statistik di 2020.

Sementara, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi listrik di Tanah Air mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021 atau setara dengan 92,2% dari target 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita.

Bagaimana Powerbrain dapat mengoptimalkan operasional bisnis melalui sistem manajemen energi cerdas dan berkontribusi terhadap pengurangan emisi?

Awal mula

Ketertarikan Irvan Farasatha untuk berkontribusi terhadap pengurangan efek pemanasan global bermula ketika ia bekerja di HydroSmart Srl, sebuah perusahaan di bidang energi terbarukan berbasis di Italia. Saat itu, ia menggarap proyek untuk memonitor, melacak, dan mengoptimalkan konsumsi energi.

Irvan terpikir untuk menerapkan proyek ini di Indonesia karena sesuai dengan visinya dalam mendukung upaya zero carbon emission. Melihat perkembangan kondisi pemanasan global, Indonesia berpotensi terdampak signifikan mengingat posisinya sebagai negara tropis dengan suhu panas dan dilewati oleh garis khatulistiwa.

“Saya pikir [proyek] ini dapat diimplementasi di Indonesia. Along the way, saya bertemu dengan Rilwanu Lukman (Co-founder) untuk mendirikan bisnis [Powerbrain] ini,” ungkap Irvan.

Mengutip sebuah riset, ia mengatakan bahwa efek pemanasan global utamanya dipicu oleh aktivitas yang bersifat energy activation process, 30% disumbang dari industri manufaktur, 20% dari transportasi, dan 20% dari pemakaian listrik untuk barang elektronik.

Dengan terlibat dalam upaya mendukung zero carbon emission, ujarnya, ia bisa saja beralih ke pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, bukan berarti harus masuk ke produksi energi terbarukan (renewable). 

Menurutnya, di lingkup energi terbarukan, Irvan menilai masih ada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah intermitensi atau ketidakmampuan pembangkit listrik energi terbarukan untuk menghasilkan energi secara terus menerus.

Pain point

Di 2020, Irvan, Rilwanu, dan timnya mulai mengembangkan smart energy management sebagai solusi penghematan konsumsi energi pada bangunan.

Berdasarkan riset yang dilakukan, ia menemukan bahwa pemilik usaha atau bangunan kecil dan medium jarang menerapkan sistem manajemen energi. Pada bangunan berskala besar, sistem semacam ini memang terpasang, tetapi penerapannya kurang optimal karena mungkin pengetahuan pekerja terbatas.

Di samping itu, ia juga menemukan pemilik bangunan jarang mempekerjakan building manager dengan keahlian optimalisasi energi. Posisi ini istilahnya semacam versi digitasi dari energy manager untuk bangunan. Ada opsi lain, misalnya menyewa engineering team, tetapi biayanya tidak murah.

Menurutnya, manajemen energi identik dengan labor-intensive process dan capital-intensive process. Artinya, butuh proses kerja dan modal yang besar untuk mencapai sebuah hasil.

Sumber: Powerbrain

“Untuk itu, kami memulai dari kecil, mengumpulkan data terkait konsumsi energi. Di sini, kami dapat membantu pelaku bisnis untuk mengoptimalkan konsumsi energi mereka. Kami melihat banyak bangunan yang konsumsi energinya melebihi dari kemampuan optimal,” ujarnya.

Hipotesis Irvan adalah setiap pelaku bisnis ingin menghemat energi tanpa perlu mengganggu aktivitas di bangunan tersebut. Biayanya lebih terjangkau dan tidak lebih besar dibandingkan pengurangan energi yang bisa didapatkan oleh pemilik usaha atau gedung.

Produk yang ditawarkan

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

“Kami melihat kebutuhan data di sektor energi sangat besar. Ketika kita memutuskan untuk menuju zero emission carbon, data akan menjadi fundamental,” ucapnya.

Dari ketiga produk ini, hanya software dan backend yang digarap sendiri oleh Powerbrain untuk mendukung transfer data dan analitik. Sementara, perangkat IoT-nya diproduksi dan diimpor dari Tiongkok.

Solusi Powerbrain tidak dikembangkan secara kustom, kecuali untuk jumlah instalasi perangkat. Pengguna juga tidak dikenakan biaya instalasi perangkat, melainkan lewat model berlangganan per bulan dengan maksimal target penghematan energi sebesar 30%. Powerbrain menggunakan skema profit sharing dari penghematan yang dihasilkan.

Contoh penghematan energi oleh klien Powerbrain / Sumber: Powerbrain

Pada salah satu use case-nya, penggunaan Smart Relay (salah satu perangkat Powerbrain) yang terintegrasi dengan server dapat memampukan cooler untuk bekerja secara full-load selama jam operasional. Di luar jam operasional, Smart Relat bisa menjaga temperatur dalam suhu ruang dengan menyesuaikan compressor. Pemilik usaha dapat menghemat 40% atau Rp1,7 juta per tahun.

Saat ini, Powerbrain dijalankan oleh tujuh orang, termasuk di antaranya Irvan dan Rilwanu. Di sepanjang 2021, Powerbrain telah mendapatkan 60 proyek instalasi, di mana 90% berasal dari kawasan Jabodetabek.

Pendanaan dan scale up

Di tahun pertamanya mengembangkan Powerbrain, Irvan mengaku mengalami kesulitan untuk mengakselerasi bisnisnya. Hal ini disebabkan oleh belum siapnya pasar dalam memahami pentingnya konsumsi energi. Ini juga yang membuat sales process di Powerbrain cukup panjang karena perlu upaya edukasi pasar.

Kedua, sektor energi merupakan salah satu industri raksasa di dunia. Jika bicara soal peralihan ke energi terbarukan saja, misalnya, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu karena produknya tidak 100% digital. Adopsinya tidak akan bisa secepat disrupsi pada e-commerce yang platformnya mencakup one-for-all.

“Energi termasuk high-risk tolerance dalam konteks inovasi. Masyarakat pun memiliki risk tolerance yang tajam terhadap error di bidang energi. Bayangkan saja jika ada kesalahan sedikit terhadap transmisi energi, hal ini bisa berpotensi blackout. Dampaknya sangat signifikan terhadap bisnis, bisa rugi ratusan juta atau miliar rupiah dalam beberapa detik,” paparnya.

Ketiga adalah sumber permodalan. Venture Capital belum banyak yang tertarik berinvestasi ke sektor ini karena isu skalabilitas bisnis. Kendati begitu, Powerbrain mengandalkan bootstrapping serta berhasil memperoleh pendanaan dari program bootcamp Shell LiveWIRE dan angel investor untuk menggerakkan bisnisnya. “Malahan, baru-baru ini kami menutup pendanaan pre-seed. Namun, kami belum bisa sebutkan nilai dan investornya,” tuturnya.

Untuk mengukur pertumbuhan bisnis, Powerbrain menggunakan metrik pendapatan dari instalasi perangkat dan software di bangunan. Adapun, metrik dampak diukur dengan mengacu pada penghematan konsumsi energi yang dihasilkan dan pengaruhnya terhadap zero emission carbon.

Standardisasi produk

Mengingat model bisnis ini masih terbilang baru, Irvan menargetkan pendanaan ini difokuskan untuk standardisasi perangkat dan memperkuat lini produk. Terlebih, bisnis di bidang manajemen energi terbilang risiko tinggi sehingga membutuhkan SNI.

“Di 2022, kami akan memperkuat produk dan energy analytic karena kami ingin mengejar another milestone dengan target sales lebih dari Rp5 miliar. Tahun lalu, kami generate more than Rp1 miliar di 2021,” ujarnya.

Secara business nature, ungkapnya, kegiatan operasional Powerbrain tidak membakar uang untuk mengakuisisi pelanggan. Artinya, Powerbrain tidak perlu melakukan fundraising berkali-kali.

“Kami ingin coba menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang memiliki extensive product di energy analytic. Kami akan siapkan infrastrukturnya di tahun ini. Kalau berjalan dengan lancar, rencananya kami ingin masuk ke infrastruktur data untuk kendaraan listrik di tahun mendatang.”

Startup Studio Indonesia Genjot Kompetensi Startup Lokal Lewat Pendekatan “Product Market Fit”

Prediksi nilai ekonomi digital Indonesia yang bakal terus bertumbuh pesat hingga senilai ratusan miliar dolar, nyatanya selaras dengan upaya menggenjot pertumbuhan industri startup digital tanah air. Di tengah pangsa pasar internet yang mencapai hampir lebih dari 200 juta pengguna, industri startup Indonesia punya potensi besar.

Di samping telah melahirkan beberapa startup bervaluasi “unicorn”, industri startup Indonesia juga  telah memiliki 43 startup bervaluasi “centaur” (perusahaan dengan valuasi di atas USD 100 juta), yang tentu berpotensi pula menjadi startup unicorn selanjutnya. Meski demikian, di balik potensi yang gemilang, tentu ada tantangan yang perlu kita hadapi bersama, salah satunya terkait dengan kemampuan daya saing startup lokal. Hal ini patut jadi perhatian, sebab, dalam laporan yang dirilis oleh Startup Genome Report, 70 persen kegagalan startup disebabkan oleh rencana penskalaan bisnis yang prematur, dengan salah satu faktornya yakni ketidaksiapan startup dalam meramu produk dan kegagalan menjawab kebutuhan pasar.

Lalu bagaimana semestinya industri menyikapi tantangan tersebut? Metode penguatan produk dan model bisnis melalui pendekatan “product market fit” bisa menjadi metode yang diadaptasi oleh para pelaku startup. Marc Andreessen, seorang investor kawakan dari ventura kapital ternama Silicon Valley, Andreessen Horowitz mendefinisikan, product market fit adalah sebuah skenario (situasi) di mana bisnis (startup) berada di posisi pasar yang baik, dengan produk yang dapat memuaskan pasar tersebut. Product market fit dianggap tidak berjalan dengan baik apabila respon pasar terhadap jasa atau produk yang ditawarkan tidak memberikan value, tidak adanya promosi organik dari mulut ke mulut, hingga nihilnya ulasan dari konsumen. Bagi calon pendiri startup yang sukses, hal ini tentu jadi pekerjaan rumah yang mesti ditanggulangi sejak dini – atau setidaknya sejak startup berada di fase early-stage (awal).

Tantangan itu yang menjadi latar belakang bagi banyak entitas di dalam lingkup ekosistem teknologi dan ekonomi, untuk menggerakkan inisiatif program inkubasi yang menargetkan lahirnya startup-startup lokal berdaya saing global. Seperti yang dihadirkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dalam meluncurkan Startup Studio Indonesia, sebuah program inkubasi intensif yang berfokus pada pembangunan kompetensi startup yang berada di fase early-stage

Diinisiasi untuk menjawab berbagai tantangan di atas, program inkubasi Startup Studio Indonesia membuka akses yang lebih besar bagi startup yang berada di fase awal tersebut, untuk mengembangkan dan memperkuat bisnis, sehingga mampu berkompetisi baik di kancah lokal maupun global.

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Semuel Abrijani Pangerapan, B.Sc mengatakan  “Kominfo secara konsisten berkomitmen untuk terus memajukan ekosistem startup Indonesia. Melalui program Startup Studio Indonesia, Kominfo menyediakan fasilitas akses bagi early-stage startup mengembangkan potensi bisnisnya yang menitikberatkan pada penguatan produk (product market fit) dan akses jejaring bisnis.”

Mengusung konsep “More Brainstorming, Less Classes” program inkubasi Startup Studio Indonesia fokus memberikan pembekalan ilmu dan wawasan praktis. Di antara lain; pendalaman kompetensi akan metode product market fit, pengembangan talenta, hingga menyediakan dukungan bimbingan dan konsultasi oleh mentor dan coaching yang datang dari lebih 60 pendiri dan praktisi startup aktif dan terkemuka di Indonesia seperti dari; Sayurbox, Gojek, Xendit, Moka, Halodoc, Sociolla hingga partner dari East Ventures, serta perusahaan terkemuka lainnya yang berkomitmen memajukan industri startup tanah air.

Di samping itu, Startup Studio Indonesia juga senantiasa berperan aktif dalam menjalin semangat kolaborasi antar pemain startup, dalam membangun ekosistem ekonomi digital yang tangguh melalui transfer pengetahuan.

Italo Gani, Dewan Kurator Startup Studio Indonesia, dan Managing Partner Impactto mengapresiasi dukungan Kominfo terhadap komunitas early-stage startup. Menurut Italo, industri startup di Indonesia membutuhkan lebih banyak pendiri yang memiliki kemampuan menciptakan inovasi produk yang menjawab permasalahan yang ada di masyarakat, dan mengeksekusi ide tersebut dengan sangat baik. “Indonesia masih kekurangan product person yang dapat memetakan kebutuhan pasar lokal dan mengembangkan customer traction secara konsisten. Padahal kekuatan produk sangat penting dalam memastikan keberlangsungan bisnis. Startup Studio Indonesia diharapkan dapat mencetak para pendiri startup yang kuat dalam aspek ini.”  

Dalam program inkubasi tiga bulan tersebut para pendiri early-stage startup akan mengikuti serangkaian kegiatan mentoring dan coaching dalam program bernama Founder’s Camp dan 1-on-1 Coaching oleh lebih dari 60 pendiri dan praktisi startup aktif dan terkemuka dari berbagai sektor bisnis. 

Startup yang hadir bisa berkonsultasi, berdiskusi, juga brainstorming guna menemukan solusi dari masalah yang dihadapi oleh para startup. Di akhir program, tiap startup yang bergabung akan diberikan kesempatan mempresentasikan bisnis startupnya kepada para stakeholders yang menghadiri acara Milestone Day, yakni dari lembaga pemerintah, pemodal ventura, korporasi dan media, sehingga dapat memberikan kesempatan menjalin koneksi kedepannya pada setiap pemangku kepentingan yang hadir.

Startup Studio Indonesia terbuka untuk semua early-stage startup yang saat ini dalam tahap pendanaan Bootstrap, Angel, Pre-seed, hingga seed, maupun yang sedang mencari pendanaan Seed, Pre-Series A, hingga Series A. Adapun sejumlah syarat dan ketentuan yang patut diperhatikan bagi calon peserta, antara lain startup yang dimiliki telah memiliki traksi selama 3 hingga 6 bulan, telah berbadan hukum, memiliki tim pendiri (founder) secara penuh waktu, dan yang tak kalah penting, calon peserta juga mampu menunjukan potensi menuju product market fit dan market scale-up.

Program dari Kominfo ini tak perlu diragukan, Startup Studio Indonesia mampu membawa 2 startup lulusannya mendapatkan investasi dari Venture Capital yaitu Justika dan Feedloop. Pun alumni batch pertama, Verihubs, sebuah startup platform verifikasi untuk fintech terpilih sebagai salah satu startup dari Indonesia yang mendapat kesempatan diakselerasi oleh salah satu akselerator terbaik di dunia asal Amerika, Y Combinator. Bahkan, sekitar 40% lulusan Startup Studio Indonesia memiliki lebih dari 20% month-to-month traction growth, di atas rata-rata industri.

Setelah sukses membantu 20 perusahaan rintisan mengembangkan bisnis mereka pada batch 1 dan 15 perusahaan rintisan pada batch 2. Startup Studio Indonesia hadir kembali membuka pendaftaran batch 3 untuk memberikan akses pemerataan pengetahuan, kompetensi, dan koneksi bagi early-stage startup di Indonesia. Pendaftaran dibuka 15 Juli – 15 Agustus 2021 dan gratis tanpa memungut biaya dari peserta. Temukan solusi bagi permasalahan bisnismu sekarang. Daftar segera di https://startupstudio.id/.