Proyek Tekken X Street Fighter Dipastikan Batal

Di jaman sekarang, kolaborasi antar game atau yang dalam bahasa kerennya disebut crossover menjadi hal yang paling banyak dilakukan oleh banyak game. Sayangnya, di tengah hingar-bingar tren crossover tersebut ada proyek kolaborasi besar yang dikonfirmasi batal yaitu Tekken X Street Fighter.

Game ini dulunya sempat diumumkan oleh Bandai Namco pada gelaran San Diego Comic-Con pada Juli 2010. Game ini bertujuan sebagai pelengkap Street Fighter X Tekken yang telah dirilis oleh Capcom pada 2012 lalu.

Street Fighter X Tekken sebenarnya telah jadi bukti bahwa kerja sama lintas game fighting ini bisa menghasilkan kolaborasi yang unik. Bagaimana karakter-karakter 3D di Tekken dalam game tersebut berubah menjadi 2D dengan gerakan ala Street Fighter.

Dan Tekken X Street Fighter tentu adalah mimpi bagi para fans yang ingin melihat aksi para karakter 2D Street Fighter bila diterjemahkan dalam game fighting 3D milik Bandai Namco Tersebut.

Sayangnya setelah kurang lebih 10 tahun tanpa kejelasan, akhirnya pengembang Bandai Namco mengonfirmasi bahwa proyek Tekken X Street Fighter resmi dibatalkan.

Hal ini secara resmi disampaikan langsung oleh sang produser dari Tekken, Katsuhiro Harada dalam acara “Harada’s Bar Studio”. Dalam talkshow tersebut Harada berbincang dengan game director Tekken 7, Kouhei Ikeda.

“Ya, pengembangannya berhenti tapi kita sudah menyelesaikannya sekitar 30%. Kami ingin menunjukkannya, namun proyek ini telah mati.” Ungkap Harada.

Harada juga menjelaskan bahwa mereka telah mengerjakan banyak hal termasuk desain karakter dan juga gerakan-gerakannya. Hal tersebut dikaitkan dengan karakter Akuma yang hadir sebagai karakter tamu di Tekken 7.

Chun Li seharusnya akan muncul dalam Tekken X Street Fighter (Image Credit: Capcom)

Karakter-karakter Street Fighter lain juga disebut seperti Dhalsim yang sebenarnya telah berhasil ditranslasikan ke dalam Tekken sesuai harapan mereka. Begitu juga dengan Chun-Li yang telah dikerjakan dengan sangat hati-hati dan mendetail.

“Saya berharap saya bisa menunjukkannya kepada Anda. Saya cukup percaya diri.” Lanjut Harada mengenai proyek Tekken X Street Fighter tersebut.  Ikeda kemudian juga berkomentar tentang concept art game-nya yang telah dibuat.

Sang Director Ceritakan Kisah di Belakang Layar Pembuatan Karakter Street Fighter

Nama Street Fighter mungkin sudah menjadi ikon dalam ranah game fighting. Salah satu alasannya adalah karena game tersebut jadi pionir di genre fighting. Pertama kali diciptakan tahun 1987 untuk mesin arcade, seri Street Fighter bahkan masih bertahan hingga kini, sekitar 34 tahun dari game tersebut pertama dibuat. Mempertahankan ciri khas dan kesuksesan sebuah game dalam jangka waktu yang begitu panjang tentu bukan proses mudah.

Street Fighter V, iterasi ke-32 dari Street Fighter, sudah ada sejak 2016 lalu. Beberapa bulan lalu, Street Fighter V baru merilis Season 5 yang berisi beberapa karakter dan konten baru. Mengutip dari InvenGlobal, Takayuki Nakayama selaku Director of Street Fighter V pun berbagi seputar proses pembuatan karakter Street Fighter V.

Takayuki Nakayama telah terlibat di dalam pengembangan seri Street Fighter selama 9 tahun. Takayuki pun bercerita soal bagaimana tim pengembang Capcom menyajikan sebuah karakter (baik karakter lama atau karakter baru) ke dalam Street Fighter V. Ia berkata bahwa proses pembuatannya mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek teknis seperti struktur gerakan dan strategi bermain satu karakter, sampai kepada aspek kreatif seperti kepribadian ataupun asal muasal sang karakter.

Sumber Gambar - Capcom Official YouTube.
Takayuki Nakayama pada saat menjelaskan Summer Update tahun 2020 lalu. Sumber Gambar – Capcom Official YouTube.

“Kami melakukan riset dan review atas rekaman pertandingan dari suatu karakter untuk melihat ragam gerakannya. Bersamaan dengan hal tersebut, kami juga memikirkan bagaimana perjalanan karakter itu sejauh ini, bagaimana mereka (karakter-karakter yang dibuat) bisa punya cerita yang tersambung dengan masa lalu ataupun masa depan dari dunia Street Fighter. Kombinasi dua aspek tersebut lah yang menjadi proses tersajinya berbagai karakter di dalam Street Fighter V.”

Takayuki juga menambahkan bahwa dirinya dan tim juga mempertimbangkan hal apa yang mungkin dilakukan dengan grafis 3D yang diusung SF V saat ini. Hal tersebut mengingat Street Fighter terdahulu dibuat dengan grafis 2D yang menampilkan visual ala kartun.

Setelahnya, Takayuki pun bercerita secara lebih detil soal tantangan dan peluang dalam membuat karakter terbaru yang hadir di Season V yaitu Dan, Rose, Oro, serta Akira.

Dalam menciptakan karakter yang konyol seperti Dan, Takayuki bercerita bahwa salah satu proses yang paling banyak dikerjakan adalah membuat ekspresi wajah. “Kami banyak menempatkan usaha kami dalam membuat ekspresi wajah seorang Dan Hibiki, mempersiapkan animasi wajah sedihnya, dan juga mempersiapkan efek unik yang akan muncul ketika Dan melakukan sesuatu, contohnya seperti gerakan Legendary Taunt.”

https://twitter.com/StreetFighter/status/1371899146580398089

Selain soal wajah dan gerakannya, Takayuki juga menceritakan sedikit soal penciptaan kostum milik Dan. Takayuki bercerita, dalam membuat kostum Dan, ia dan tim mencoba memikirkan cerita latar dari sang karakter seraya berusaha menonjolkan personalita seorang Dan Hibiki. Karenanya, ada kostum alternatif yang terlihat casual karena hubungan karakter Dan Hibiki dengan Blank serta Sakura. Selain itu, warna alternatifnya juga dibuat untuk mengingatkan pemain dengan sosok ayah seorang Dan Hibiki yaitu Gou hibiki yang diceritakan meninggal di beberapa seri Street Fighter sebelumnya.

Berikutnya soal Rose. Karakter tersebut sudah sempat muncul di beberapa seri Street Fighter. Walau begitu, Takayuki menceritakan bahwa mereka tetap membuat ulang karakter tersebut agar sesuai dengan zaman. “Kami ingin karakter Rose menampilkan kesan bermartabat dan kalem. Karenanya kami sangat teliti dengan gerakan-gerakannya, berusaha membuat berbagai elemen gerakannya tetap mempertahankan kepribadian tersebut.” Ucap Takayuki kepada InvenGlobal.

Capcom sendiri menggunakan teknologi motion capture dalam menciptakan gerakan-gerakan karakter di Street Fighter V. Membahas hal tersebut, Takayuki mengatakan bahwa mereka banyak melakukan diskusi pada saat memperagakan sebuah gerakan karakter. Dalam prosesnya, bukan hanya tim kreatif Capcom yang memikirkan gerakannya, para profesional yang bekerja sebagai aktor mo-cap terkadang juga turut memberi saran soal bagaimana suatu gerakan dilakukan.

“Selain itu juga, kami kerap mengundang martial artist profesional ke dalam tempat syuting. Kehadiran sosok profesional tersebut sangatlah membantu kami, terutama untuk memberi pengetahuan tambahan bagi tim developer. Lalu selain itu, apabila Anda sadar, beberapa gerakan terlihat tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Karenanya, kami juga menggunakan kabel besi atau memecah satu gerakan ke dalam beberapa gerakan kecil saat melakukan motion capture.”

Menutup perbincangan antara Takayuki Nakayama dengan InvenGlobal, sosok Director of Street Fighter V tersebut juga membicarakan soal pembuatan Oro dan Akira. Dalam hal Oro, Takayuki berkata bahwa menciptakan karakter tersebut sangatlah sulit. Salah satu alasannya adalah karena penggemar fanatik karakter tersebut dari game Street Fighter sebelumnya. Alasan lainnya adalah karakter Oro yang bertarung dengan satu tangan saja di ruang 2D menciptakan kesulitan teknis tersendiri pada saat tim developer ingin menuangkannya ke dalam ruang 3D.

Dalam hal Akira, Takayuki justru mengatakan bahwa menciptakan karakter tersebut tergolong lebih mudah walau karakter tersebut datang dari game lain. “Karena Rival Schools: United by Fate masih tersambung dengan dunia SF, maka membuat karakter tersebut jadi tidak terlalu sulit. Rasanya sangat menyenangkan sekali bisa menyertakan sebuah elemen yang akan diapresiasi oleh para penggemar seri Rival Schools.” Tuturnya.

Season Pass 5 dari SF V sendiri sebenarnya sudah tersedia sejak dari bulan Februari 2021 lalu. Terlepas dari itu, wawancara terhadap Takayuki Nakayama sendiri tentunya menjadi gambaran bagaimana menghadirkan sebuah karakter bukan proses mudah yang melibatkan aspek teknis dan aspek kreatif.

Ikuti Tren, Capcom Ciptakan Mesin Arcade Mini Bernama Capcom Retro Station

Di titik ini, developer game Jepang yang menciptakan sebuah mesin arcade mini berisikan deretan game legendarisnya sudah menjadi semacam tren yang tidak terbendung. SNK memulainya di tahun 2018 lewat Neo Geo Mini, lalu Sega menyusul beberapa bulan yang lalu lewat Astro City Mini.

Kedua perangkat tersebut punya banyak kesamaan, di antaranya wujud mungil yang imut-imut, serta hadir membawa sejumlah permainan klasik yang pre-installed. Formula ini bisa dibilang cukup berhasil, sebab sekarang Capcom pun juga ikut menerapkannya.

Mereka baru saja menyingkap Capcom Retro Station, dengan kombinasi warna biru dan kuning khas perusahaan yang berjasa memperkenalkan kita terhadap Street Fighter tersebut. Seperti yang bisa kita lihat, perangkat ini masuk kategori all-in-one, lengkap dengan panel layarnya sendiri yang berukuran 8 inci plus speaker.

Sama halnya seperti Neo Geo Mini maupun Astro City Mini, Capcom Retro Station turut dilengkapi colokan HDMI untuk disambungkan ke TV. Kendati demikian, dimensi panel layarnya sendiri jauh lebih luas daripada milik Neo Geo Mini yang cuma 3,5 inci.

Hal ini pun juga berarti dimensi fisik Capcom Retro Station tidak semungil yang kita bayangkan: 329 x 280 x 315 mm, dengan berat sekitar 2,1 kg. Mungkin itulah mengapa Capcom tidak berpikiran untuk menyelipkan kata “Mini” pada namanya, berbeda dari Neo Geo Mini dan Astro City Mini yang keduanya sama-sama cukup ringkas untuk diletakkan di atas genggaman tangan.

Yang mungkin terdengar agak aneh adalah terkait jumlah game yang pre-installed. Terlepas dari ukurannya yang cukup bongsor, Capcom Retro Station hanya mengusung 10 permainan saja, 5 dari franchise Street Fighter, dan 5 lainnya dari franchise Mega Man:

  • Street Fighter II
  • Street Fighter II Champion Edition
  • Super Street Fighter II
  • Super Street Fighter II Turbo
  • Super Puzzle Fighter II Turbo
  • Mega Man The Power Battle
  • Mega Man 2 The Power Fighters
  • Mega Man X
  • Mega Man Soccer
  • Mega Man & Bass (Japanese Console Version)

Entah kenapa Capcom tidak menambahkan judul-judul legendaris lain seperti 1942, Final Fight, maupun Bionic Commando, meski memang tidak bisa dipungkiri Street Fighter dan Mega Man adalah yang paling tenar.

Kabarnya perangkat ini diproduksi oleh Gantaku, perusahaan yang sama yang menangani produksi Neo Geo Mini. Di Jepang, Capcom Retro Station bakal dipasarkan mulai 1 Desember 2020 dengan harga 21.780 yen (± Rp2,9 jutaan), atau hampir dua kali lipat harga Neo Geo Mini dan Astro City Mini.

Sumber: SlashGear dan Siliconera.

Street Fighter League Pro Japan Week 2 – Pertarungan Sengit Umehara Gold Dengan Nemo Aurora

Tanggal 2 Oktober 2020 kemarin menjadi pertandingan pekan kedua dari Street Fighter League Pro Japan 2020 (SF League: Pro-JP 2020). Pada pekan kedua, pertandingan mempertemukan Umehara Gold melawan Nemo Aurora, Fuudo Gaia dengan Momochi Spash, dan Mago Scarlet dengan Tokido Flame.

Pertandingan pembuka menjadi yang paling sengit, antara Umehara Gold dengan Nemo Aurora. Kawano menjadi petarung dari Umehara Gold dan Sako dari Nemo Aurora menjadi petarung pertama. Pertarungan antara Kolin yang dipakai Kawano, dengan Seth yang dipakai oleh Sako menjadi sangat sengit. Bertanding dalam seri best-of-3, dua pemain ini saling bertukar kemenangan sampai akhirnya Sako berhasil keluar menjadi pemenang dari seri ini.

Pertarungan dilanjut antara Daigo Umehara melawan Kichipa di game kedua, yang juga menjadi pertarungan yang sengit. Guile karakter andalan Daigo lagi-lagi terkena ban, sehingga “The Beast” dipaksa bermain dengan Seth dalam match kali ini. Daigo tampaknya cukup kesulitan tanpa karakter andalannya, sehingga ia menelan kekalahan melawan Kichipa.

Machabo dari Umehara Gold dan Nemo sendiri dari Nemo Aurora menjadi petarung terakhir untuk Taishou Match. Machabo bermain Necalli dengan solid, sehingga membuat Nemo cukup kewalahan, membuat Nemo harus menerima kekalahan 1-2 dari seri pertandingan best-of-3. Pertandingan Taishou Match memberikan dua poin, sehingga kemenangan Machabo membuat pertandingan antara tim Umehara Gold melawan Nemo Aurora berakhir seri 2-2.

Pertandingan berikutnya adalah antara Fuudo Gaia melawan Momochi Splash. Kepemimpinan Fuudo sepertinya terbukti berhasil membawa kawan-kawannya bermain dengan baik selama dua pekan SF League: Pro-JP ini. Sehingga pada pertandingan melawan Momochi Splash, Fuudo Gaia berhasil mengamankan kemenangan sempurna 4-0. Bahkan Fuudo sendiri berhasil mengamankan harga dirinya sebagai pemimpin tim, dengan mengalahkan Momochi 2-0 lewat permainan R.Mika yang solid.

Tayangan SF League: Pro-JP 2020 lalu ditutup dengan pertandingan antara Mago Scarlet melawan Tokido Flame. Moke dari Mago Scarlet sebenarnya memiliki momentum yang positif, setelah mengalahkan Seth dari Ryusei. Namun sayang, dua game setelahnya Moke malah pecah konsentrasi, sehingga ia kalah dua game berturut-turut.

Selanjutnya giliran Tokido sendiri yang turun tangan, melawan Mov daril Mago Scarlet. Tokido sendiri sebenarnya cukup kesulitan menghadapi Chun-Li dari Mov. Namun dia menunjukkan kualitasnya sebagai salah satu pemain Street Fighter asal Jepang yang sudah banyak berkelana di pertandingan internasional, dan berhasil menang bersih 2-0.

Sumber: SF Esports Official
Laman asli ditulis dengan bahasa Jepang, tangakapan gambar merupakan hasil translasi menggunaakn Google Translate. Sumber: SF Esports Official

Pertandingan penutup, Taishou Match, giliran Mago sendiri turun tangan, dan berhadapan dengan StormKUBO. Entah apa yang terjadi dengan Mago, namun StormKUBO sendiri bermain dengan cukup solid, dan bahkan sempat amankan Perfect KO. Momentum positif tersebut berhasil dipertahankan oleh StormKUBO, hingga akhirnya tim Tokido Flame amankan kemenangan sempurna 4-0 atas Mago Scarlet.

Kemenangan tersebut membuat Tokido Flame berada di puncak klasemen sementara dengan 7 poin kemenangan yang diperoleh. Menempel di bawahnya, ada Fuudo Gaia yang punya poin sama, namun memiliki selisih 1 ronde kemenangan dibanding dengan Tokido Flame.

Yoshinori Ono Mengundurkan Diri dari Manajemen Capcom

Komunitas fighting game di seluruh dunia baru saja dikejutkan dengan mundurnya salah satu penggawa dari Capcom yaitu Yoshinori Ono. Di tahun 2020 seolah-olah badai sungguh menghantam ekosistem fighting game esports.

Dalam sebuat tweet dari aku pribadinya, Ono menyampaikan salam perpisahannya dan berencana akan meninggalkan Capcom di musim panas tahun ini. Ono adalah pribadi terbilang sudah sangat-sangat merasakan setiap asam dan garam dalam menghidupkan kembali game berjudul Street Fighter yang bermula dari ketiadaaan.

Awal mula perjalanan Ono bersama Capcom adalah ketika ia bergabung di pertengahan tahun 1998. Pada saat itu game Street Fighter masih mengisi ruang-ruang arcade game center dan belum sebesar seperti saat ini.

Yoshinori Ono | via: PCinvasion.com
Yoshinori Ono | via: PCinvasion.com

Ono mengucapkan banyak terima kasih kepada komunitas fighting game terutama komunitas Street Fighter yang telah bertumbuh bersama sepanjang perjalanan Ono di Capcom.

Hingga berita ini diturunkan masih belum jelas apa yang menjadi alasan utama dari Ono sehingga harus mengundurkan dri dari posisinya. Seperti ayng sedang menjadi perbincangan, bahawa saat ini Capcom tengah mengembangkan game Street Fighter seri terbaru.

Dampak pandemi yang kian merebak juga disinyalir sebagai faktor yang cukup berat untuk dihadapi bagi studio game dan tentu saja bagi atlet esports. Batalnya event EVO di tahun ini seolah belum cukup menambahkan kesedihan bagi komunitas pecinta game Street Fighter. Pemindahan pertandingan secara online sebenarnya menuntut koneksi internet yang stabil. Kekacauan sempat terjadi dari komunitas gamer Street Fighter di saat pertandingan resmi tertimpa dampak dari parahnya koneksi internet yang tidak stabil dan mundurnya beberapa player dari turnamen.

Terlepas demikian karya dan apa saja yang bisa diraih Ono bersama Capcom hingga saat ini adalah yang diberikan Ono sebagai bentuk dedikasinya. Dengan situasi yang tidak memungkinkan seseorang bepergian ke offline event, fitur matchmaking dan online match pada sebuah game seharusnya mendapatakan perhatian khusus di tengah meningkatanya aktivitas online para gamers. Semoga di masa depan akan ada lebih banyak perubahan lebih baik bersama jajaran generasi baru di pengembangna proyek Street Fighter.

Di sisi lain jika memang benar seri game terbari Street Fighter VI tengah dikerjakan, kita masih bisa menunggu sejenak untuk dapat menikmati keseruan pertarungan yang baru.

 

Sejarah Street Fighter, Fighting Game yang Telah Berumur Lebih dari 3 Dekade

Jika Anda mengklik artikel ini, kemungkinan, Anda merupakan fans dari Street Fighter atau setidaknya, fans dari fighting game. Kemungkinan besar, Anda pasti mengenal Street Fighter. Dengan begitu, saya berasumsi saya tak lagi perlu memberikan penjelasan tentang apa itu Street Fighter. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu saran. Artikel ini agak panjang, jadi, silahkan Anda cari posisi enak terlebih dulu. Anda juga bisa menyiapkan kudapan atau minuman jika mau.

Jika sudah, silahkan membaca…

 

Awal Mula Street Fighter: Dari Rasa Bosan

Neccessity is the mother of invention. Dalam kasus Street Fighter, bukan “kebutuhan” yang menjadi alasan di balik game ini diciptakan. Awal dari game Street Fighter adalah dari rasa bosan. Ialah Takashi Nishiyama, yang pernah menjabat sebagai Street Fighter Director di Capcom Jepang.

Dalam satu waktu, dia merasa pertemuan antara tim developer dan tim sales berjalan sangat lama, membuatnya bosan. Untuk mengatasi kebosanannya, dia mengkhayal. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal serupa. Mungkin saat Anda masih duduk di sekolah atau universitas. Mungkin juga, hal serupa terjadi saat Anda sudah bekerja. Sebagai seorang developer game, khayalan Nishiyama tentu saja masih seputar game.

“Saya ingat saya tidak terlalu memerhatikan meeting yang berlangsung dan justru mencorat-coret ide di kertas,” kata Nishiyama. “Ketika ide Street Fighter muncul di kepala saya, saya menuangkannya di kertas selama meeting.” Kebetulan, dia duduk di sebelah Yoshiki Okamoto, yang merupakan seorang Producer di Capcom. Dia lalu menunjukkan corat-coretnya pada Okamoto, meminta pendapatnya. Okamoto menjawab bahwa ide Nishiyama menarik.

Nishiyama mengungkap, dia mendapatkan inspirasi untuk Street Fighter dari game Spartan X alias Kung-Fu Master, yang ketika itu memang sedang dia garap. “Saya sedang memikirkan boss fight di game Spartan X dan saya pikir, menarik kalau membuat game tentang pertarungan melawan bos tersebut,” ujarnya. “Bisa dibilang, Spartan X adalah dasar dari konsep Street Fighter.”

Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube
Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube

Nishiyama mengaku, corat-coret yang dia buat selama meeting tidak tersusun rapi. Namun, dia kemudian mengumpulkan semua catatannya dan menjadikannya sebagai dokumen yang koheren. Dia lalu menggunakan dokumen itu untuk meyakinkan para bos Capcom agar mereka mau membuat game Street Fighter.

“Saya lalu menunjukkan dokumen itu pada Matsumoto. Dialah yang merapikan ide saya setelah itu,” ujar Nishiyama. Matsumoto yang dia maksud adalah Hiroshi Matsumoto, Street Fighter Planner, Capcom Jepang. “Setelah itu, dia bertanggung jawab atas semuanya. Saya memang mengawasi proses pengembangan game itu, tapi, Street Fighter adalah game Matsumoto.”

Matsumoto bercerita, setelah Nishiyama menunjukkan idenya akan Street Fighter, dia mulai membayangkan karakter-karakter yang bisa dimasukkan dalam game tersebut. “Saya memikirkan karakter-karakter yang harus kami buat, gaya bertarung dan gerakan mereka,” ungkapnya. “Ketika itu, saya sangat tertarik dengan seni bela diri, walau hanya sebagai hobi. Saya banyak membaca tentang itu. Jadi, saya sangat bersemangat.”

Menurut Nishiyama, salah satu hal yang membuat Street Fighter unik jika dibandingkan dengan game-game lain pada eranya adalah keberagaman karakter yang ada. Selain itu, para karakter di Street Fighter juga memiliki gaya bertarung yang berbeda-beda. “Kita punya tinju, kickboxing, bojutsu, shorinji kempo, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation
Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation

“Jika Anda membuat fighting game dan Anda hanya mengadu dua petinju, game itu akan jadi sangat sederhana, tapi juga membosankan. Lain halnya, jika Anda mengadu petinju melawan kickboxer, misalnya, atau seseorang yang belajar shoroinji kempo, Anda akan melihat berbagai kombinasi unik,” kata Nishiyama. Setelah itu, dia bekerja sama dengan Mtasumoto untuk membuat cerita yang lebih kompleks dari para karakter.

 

Tantangan Dalam Fase Pengembangan

Street Fighter V: Arcade Edition memiliki 28 karakter yang bisa Anda mainkan. Setiap karakter memiliki jurus khusus yang bisa Anda gunakan. Game Street Fighter pertama tidak secakap itu. Selain dari segi grafik, karakter yang bisa Anda mainkan dalam game itu juga jauh lebih sedikit. Faktanya, dalam Street Fighter pertama, Anda hanya bisa memainkan dua karakter: Ryu dan Ken. Sementara karakter-karakter lainnya hanya muncul sebagai musuh. Memang, ketika itu, Ryu dan Ken sudah memiliki special moves. Hanya saja, gerakan para karakter masih sangat kaku.

“Menurut saya, salah satu masalah terbesar dalam membuat game Street Fighter disebabkan karena programmer utamanya bukanlah seorang game programmer,” kata Matsumoto. Dia bercerita, sang programmer utama Street Fighter dulunya adalah seorang teknisi sistem dan bukannya game programmer. Karena itu, dia tidak terlalu paham tentang cara membuat game, bahkan hal-hal dasar sekalipun.

Matsumoto bercerita, hal ini membuatnya kesulitan untuk menyampaikan ide yang dia miliki. Komunikasi begitu sulit sehingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk menulis sendiri sebagian kode dari game Street Fighter. “Daripada saya mencoba untuk mengajarkannya cara menulis kode yang saya inginkan, akan lebih cepat jika saya membuat kode itu sendiri,” akunya.

“Sekarang, kita bisa menggunakan berbagai tools untuk membuat animasi. Namun, saat itu, kita harus menggunakan tabel untuk melihat setiap frame animasi dari tiap karakter,” ujar Matsumoto. “Membuat animasi adalah pekerjaan yang membosankan karena Anda harus mengatur setiap frame secara manual. Jika Anda ingin membuat animasi yang bergerak dari satu titik ke titik lain, Anda harus memasukkan semua data secara manual. Dan jika ada revisi, hal itu berarti Anda harus mengulang pekerjaan Anda. Semua itu bukan tugas saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Jauh lebih cepat jika saya melakukan semuanya sendiri.”

Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku
Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku

Meskipun sukses membuat game Street Fighter, Nishiyama masih memiliki satu penyesalan. Dia kecewa karena idenya dan Matsumoto untuk membuat banyak karakter yang bisa dimainkan tak bisa direalisasikan. Karena keterbatasan dana dan waktu, Street Fighter hanya memiliki dua karakter yang bisa dimainkan, yaitu Ryu dan Ken. “Saya ingin menampilkan lebih banyak karakter yang bisa dimainkan,” ujar Nishiyama. “Sayangnya, kami hanya bisa membuat dua.”

Matsumoto memiliki cerita yang sama. Ada banyak karakter yang ingin dia masukkan dalam Street Fighter. Sayangnya, Okamoto lalu memutuskan untuk tidak memasukkan sejumlah ide Matsumoto karena keterbatasan waktu. “Okamoto tertarik dengan pengembangan Street Fighter, walau dia tidak terlibat langsung,” kata Matsumoto. “Dia begitu tertarik dengan proyek itu sehingga dia ikut turun tangan dalam diskusi tentang sensor tekanan yang kami ingin gunakan dalam mesin arcade untuk Street Fighter.”

 

Mesin Arcade Khusus untuk Street Fighter

Nishiyama bercerita, pada tahun 1980-an, Sega dan Namco mendapatkan untung besar dari bisnis mesin arcade. Ketika Capcom mengetahui hal ini, mereka juga ingin mencoba masuk ke bisnis tersebut. Memang, saat itu, Capcom sudah membuat game dan menjualnya pada operator arcade yang ingin mengganti game pada mesin arcade mereka. Hanya saja, Capcom juga mulai tertarik untuk menjual mesin arcade bersamaan dengan game buatan mereka. Street Fighter dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan para operator arcade bahwa Capcom dapat membuat mesin arcade dan game yang unik.

Masalahnya, Capcom tidak mengetahui rahasia Sega dan Namco dalam membuat mesin arcade berukuran besar, yang menjadi produk spesialisasi dari kedua perusahaan itu. Alhasil, Capcom memutuskan untuk membuat mesin arcade yang lebih sederhana dengan fitur unik: tombol yang sensitif pada tekanan. Sayangnya, membuat sensor tekanan tidak mudah. Jadi, Capcom lalu meminta bantuan Atari.

Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon
Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon

Pada Mei 1987, Capcom mengumpulkan distributor arcade di sebuah gym di Philadephia, Amerika Serikat. Di hadapan para distributor tersebut, Capcom memamerkan Street Fighter beserta mesin arcade dengan desain yang berbeda dari mesin arcade kebanyakan. Mereka sukses membuat para distributor arcade tertarik dengan Street Fighter beserta mesin arcade-nya.

Ketika Street Fighter diluncurkan di arcade, game tersebut hadir dengan mesin khusus. Mesin arcade untuk Street Fighter dilengkapi dengan sebuah joystick dan dua tombol lebar yang sensitif terhadap tekanan. Anda bisa menekan kedua tombol itu untuk melakukan tendangan atau pukulan.

“Idealnya, sensor pada tombol akan bisa mendeteksi seberapa kuat sang pemain menekan tombol tersebut,” kata Nishiyama. “Dan para pemain akan bisa mengeluarkan jurus yang berbeda tergantung pada seberapa kuat mereka menekan tombol itu.”

Masalah Pada Mesin Arcade Street Fighter

Capcom sukses membuat Street Fighter beserta mesin arcade khusus dari game itu. Sayangnya, hal itu bukan berarti Capcom tak menemui masalah baru. Kali ini, masalah Capcom adalah memainkan Street Fighter pada mesin arcade dengan tombol yang sensitif pada tekanan menghabiskan banyak tenaga.

“Tujuan Capcom untuk masuk ke bisnis arcade adalah untuk menjaring banyak konsumen, yang rela menghabiskan uang untuk memainkan game kami sehingga kami bisa mendapatkan untung,” ujar Nishiyama. “Dan kami tidak akan bisa mencapai tujuan itu jika memainkan game yang kami buat membuat para gamer lelah.”

Pada akhirnya, Capcom memutuskan untuk mengubah desain mesin arcade untuk Street Fighter. Mereka mengganti dua tombol yang sensitif pada tekanan dengan enam tombol. Dengan begitu, untuk mengeluarkan jurus yang berbeda, Anda cukup menekan kombinasi tombol yang sama sekali berbeda, tanpa harus mempertimbangkan seberapa kuat Anda menekan tombol tersebut. Keputusan Capcom untuk mengubah desain mesin arcade mereka juga sempat mengalami masalah, khususnya terkait peletakan tombol. Pasalnya, ketika Street Figter pertama kali dirilis, kebanyakan game hanya memerlukan joystick dan dua tombol.

“Kami ingin membuat mesin arcade dengan enam tombol. Kami mendapatkan banyak protes dari tim sales karena mereka khawatir orang-orang tidak akan tahu cara untuk memainkan game dengan enam tombol,” ujar Nishiyama. “Meskipun begitu, pada akhirnya kami tetap meluncurkan mesin arcade dengan enam tombol. Dan kami justru mendapatkan banyak komentar positif dari para konsumen.”

SNK “Membajak” Developer Capcom

Street Fighter pertama memang jadi awal mula dari franchise fighting game tersebut. Namun, ekosistem esports dari Street Fighter baru muncul saat Street Fighter 2 diluncurkan pada 1991. Hanya saja, lagi-lagi, jalan Capcom tak mulus. Tidak lama setelah Street Fighter dirilis, seorang headhunter berhasil meyakinkan Nishiyama untuk meninggalkan Capcom dan bergabung dengan SNK. Seolah itu tidak cukup buruk, Nishiyama juga mengajak Matsumoto dan sebagian besar timnya ke SNK. Hal ini membuat hubungan antara kedua perusahaan memburuk.

Dalam beberapa tahun ke depan, persaingan antara Capcom dan SNK memanas. Kedua perusahaan tidak hanya mengembangkan game yang mirip, mereka juga menyelipkan ledekan dalam game mereka. Menariknya, hubungan antara pekerja Capcom dan SNK justru tidak mengalami masalah. Ada banyak developer dari kedua perusahaan yang berasal dari sekolah yang sama atau bermain di arcade yang sama. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga masih sering hang out setelah kerja. Bahkan ada seorang developer SNK yang menikah dengan seseorang yang bekerja di Capcom.

“Saya pikir, memang ada persaingan antara SNK dan Capcom pada era 1980-an,” ungkap Nishiyama. “Tsujimoto dari Capcom dan Kawasaki dari SNK pada awalnya merupakan teman. Namun, hubungan mereka memburuk karena ada sesuatu yang terjadi.” Dua orang yang Nishiyama bicarakan adalah Kenzo Tsujimoto, CEO Capcom dan Eikichi Kawasaki, pendiri SNK.

Setelah Nishiyama bekerja di SNK, dia membuat fighting game baru, Fatal Fury. Dia berkata, jika dia bertahan di Capcom, kemungkinan, sekuel dari Street Fighter akan mirip dengan Fatal Fury. Timnya juga terus berusaha untuk mengeksplor cerita dari masing-masing karakter dalam game itu. Dia juga memperkenalkan konsep baru dalam fighting game, misalnya, kemampuan untuk melompat dari background ke foreground atau sebaliknya.

Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull
Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull

Sementara itu, Capcom membuat sekuel dari Street Fighter. Tim developer untuk Street Fighter 2 dipimpin oleh Yoshiki Okamoto. Dalam sekuel Street Fighter, dia berhasil memperbaiki hampir semua aspek dari game pertama, mulai dari tampilan game, gameplay, sampai jumlah karakter yang bisa dimainkan.

Bagaimana Street Fighter Jadi Game Esports?

Komunitas esports dari Street Fighter mulai muncul setelah Capcom merilis Street Fighter 2. Game itu diluncurkan untuk arcade pada 1991. Satu tahun kemudian, game tersebut bisa dimainkan di konsol. Turnamen grassroots mulai muncul di berbagai arcade lokal, khususnya di Jepang dan pesisir Barat dan Timur dari Amerika Serikat.

Pada 2004, muncul dua pemain bintang di scene esports Street Fighter, yaitu Justin “Marvellous” Wong dan Daigo “The Beast” Umehara. Pertarungan antara keduanya sempat menjadi viral, membuat turnamen Street Fighter menjadi semakin populer. Ketika itu, Daigo menggunakan Ken sementara Justin memainkan Chun-Li. Justin berhasil mendesak Daigo, yang health bar-nya sudah sangat tipis. Namun, Daigo berhasil membalikkan keadaan. Dia tidak hanya berhasil menangkis serangan Justin, dia juga dapat meng-KO lawannya.

Banyak orang percaya, pertarungan antara Daigo dan Justin tersebut membuat banyak orang kembali tertarik tidak hanya dengan turnamen Street Fighter, tapi juga scene esports dari fighting game.

Pada 2008, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk arcade  di Jepang. Saat itu, banyak fans Street Fighter yang mengira bahwa Capcom tak lagi tertarik dengan franchise tersebut. Tak heran, mengingat terakhir kali Capcom merilis game Street Fighter adalah pada 1999, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike. Namun, Producer Capcom, Yoshinori Ono berhasil meyakinkan perusahaan untuk menghidupkan kembali franchsie Street Fighter. Pada 2009, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk konsol. Keputusan Capcom tersebut berhasil menghidupkan kembali scene esports dari game tersebut.

“Alasan utama mengapa kami meluncurkan Street Fighter 4 adalah karena banyak media yang membahas game tersebut dan minat fans akan game Street Fighter yang tidak ada habisnya,” kata Ono. “Ketika itu, saya hanya ingin membuat game yang bisa ditonton oleh keluarga saat saya memainkannya. Scene esports Street Fighter sekarang mungkin terlahir dari konsep ini. Namun, ketika itu, saya tidak memiliki rencana sejauh itu.”

Sementara itu, Matt Dahlgren, Product Manager, Capcom mengatakan, melalui Street Fighter 4, Capcom mencoba untuk mengembalikan fitur-fitur dalam Street Fighter 2 yang membuat game itu sangat disukai oleh banyak orang, seperti sistem Focus Attack.

Sejak peluncuran Street Fighter 4, komunitas fighting game terus tumbuh. Evolution Championship Series alias Evo kini menjadi salah satu turnamen fighting game terbesar. Jumlah penonton Evo, baik yang menonton secara langsung langsung maupun secara online, terus naik. Seiring dengan semakin populernya Evo, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor dari turnamen itu.

Semakin populernya turnamen fighting game menarik perhatian sejumlah publisher game. Sebagian dari mereka memutuskan untuk memasukkan game mereka dalam kompetisi seperti Evo. Dan ketika Capcom mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan penerus dari Street Fighter 4, para pemain profesional dan penyelenggara turnamen sibuk untuk mengembangkan scene esports dari fighting game agar menjadi semakin profesional.

Pada 2013, Capcom mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan liga profesional premier sendiri, yaitu Capcom Pro Tour. Kompetisi tersebut akan melibatkan sejumlah turnamen internasional yang disponsori oleh Capcom. Saat Capcom merilis Street Fighter 5 pada 2016, Capcom memanfaatkan momentum untuk mengembangkan komunitas Street Fighter.

 

Penutup

Street Fighter sukses menjadi salah satu franchise game paling sukses. Sekarang, komunitas esports dari game ini juga terus berkembang. Berbagai turnamen Street Fighter ada di skala global, menarik banyak sponsor. Hal ini akan membuat ekosistem esports Street Fighter dapat bertahan. Dan esports bisa menjadi alat marketing yang baik bagi sebuah game untuk menarik gamer baru.

Sumber: Polygon, RedBullThe Esports Observer

Sumber header: PlayStation

Daigo Juara CPT Online Asia East #1, Tarung Sengit lawan Fuudo

Akhir pekan lalu (25 Juli 2020) menjadi puncak dari gelaran Capcom Pro Tour Online Asia East #1. Kompetisi ini diikuti oleh pemain dari negara-negara Asia Timur, dengan Korea Selatan dan Jepang sebagai dua negara yang paling mendominasi. Setelah rangkaian pertandingan yang sengit, Daigo Umehara “The Beast” akhirnya muncul sebagai juara.

Walau Daigo bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik di Asia, namun bukan berarti ia menang mudah dalam gelaran ini. Lawan Daigo di babak final adalah Fuudo. Daigo sendiri masuk babak final melalui Upper Bracket, sementara Fuudo datang dari Lower Bracket. Beban mental Fuudo seharusnya lebih berat, namun pertandingan berjalan dengan sengit sekali, bahkan Daigo sempat beberapa kali terdesak.

Sepanjang pertandingan Final Daigo menggunakan Guile dan Fuudo menggunakan Poison. Pada fase Reset Bracket, Daigo melakukan permainan agresif yang mungkin akan membuat pemain lain menjadi gentar. Namun demikian Fuudo tetap tenang dan fokus pada pertandingan. Alhasil, Daigo dengan sendirinya melakukan kesalahan-kesalahan.

Setidaknya dua kesalahan besar yang paling terlihat dalam babak Reset Bracket adalah Daigo yang tidak bisa menghabisi Fuudo setelah melakukan Combo sebanyak 22 Hits, dan tendangan Low Kick Sweep yang berkali-kali berhasil dibaca yang langsung di-punish oleh Fuudo. Alhasil, setelah pertarungan yang menegangkan, Fuudo berhasil menang dan melakukan reset terhadap bracket. Kini skor jadi 0-0 lagi.

Setelah Bracket Reset, Daigo kembali melakukan serangan-serangan Sonic Boom yang agresif. Namun pada beberapa kesempatan Fuudo berhasil membaca gerakan-gerakan Guilde milik Daigo dan memanfaatkan celah tersebut. Namun, sebutan “The Beast” pada Daigo bukan berasal dari omong kosong belaka. Pembuktian sempat terlihat pada saat Daigo sedang akan mengejar poin. Ketika HP Daigo tinggal setitik, namun ia sangat sabar menahan pergerakan yang berbuah pada Whiff yang dilakukan oleh Fuudo.

Pada saat skor menjadi 2-2, Fuudo malah terlihat lengah. Padahal, ia adalah pemenang dari set pertandingan sebelumnya. Melihat keadaan ini, tentu saja Daigo segera memanfaatkan keadaan, dan kembali melakukan serangan-serangan agresif. Benar saja, pada set terakhir, Fuudo tidak berdaya, dilibas 2-0 oleh Daigo.

Dengan ini, maka berikut hasil dari CPT Online Asia East #1.

Babak final CPT Online Asia East #1 benar-benar menyajikan pertandingan yang sangat menghibur bagi para penggemar esports Street Fighter V. Juga tak kalah seru, sebelumnya ada CPT Online SEA, yang mana pemain Indonesia seperti Aron Manurung berhasil mendapat prestasi yang luar biasa. Gelaran CPT Online masih akan berlanjut, dan yang patut ditunggu tentunya sepak terjang pemain Indonesia di CPT Online SEA berikutnya yang menurut Aron akan hadir September mendatang.

Intel World Open: Path to Tokyo akan Dimulai pada Bulan Maret 2020

Setelah pengumuman Intel World Open pada bulan September 2019 lalu. Akhirnya Intel memberikan informasi lengkap mengenai pre-event Olimpiade Tokyo 2020 ini. Para pemain yang ingin mewakili negaranya harus melalui dua tahap kualifikasi yaitu online qualifier dan LAN qualifier di Katowice. Delapan negara teratas di LAN qualifier berhak untuk bermain di Tokyo.

Tetapi, ada beberapa negara yang berhak lansung mengikuti LAN qualifier. Negara-negara tersebut adalah Australia, Brazil, Kanada, Perancis, Jerman, Tiongkok, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, negara lain harus masuk melalui online qualifier yang dibagi untuk enam region yaitu Afrika, Asia (Mainland), Asia (Maritime & Oceania), Eropa, Amerika Latin dan Timur Tengah. Online qualifier-nya akan dimulai pada bulan Maret untuk game Street Fighter V dan bulan Mei untuk Rocket League. Pemenang dari setiap region berhak melaju ke LAN qualifier di Katowice.

Babak LAN qualifier di Katowice akan diselenggarakan pada tanggal 11 sampai 14 Juni 2020. 16 negara yang bertanding di Katowice akan dibagi menjadi dua grup. Menggunakan sistem round robin, negara di peringkat dua teratas langsung mendapatkan tempat di final Intel World Open Tokyo. Sementara tim yang tersisa akan menjalani bagan double elimination untuk mencari tiga negara yang berhak untuk bermain di final Intel World Open Tokyo.

Babak utama Intel World Open yang diikuti oleh 8 negara akan berjalan pada tanggal 22 sampai 24 Juli 2020 di Zepp DiverCity Tokyo.  Berbeda dengan LAN qualifier, pada babak ini para negara peserta akan bertanding menggunakan bagan single elimination untuk memperebutkan hadiah total US$500 ribu.

Ini adalah pertama kalinya turnamen Rocket League yang mempertandingkan perwakilan negara sehingga turnamen ini mungkin akan menyuguhkan tontonan yang berbeda dari yang biasanya. Pemilihan game Street Fighter V juga sangat tepat. Pasalnya, Street Fighter V atau genre fighting games sangatlah populer di Jepang. Dengan demikian, ini akan mempermudah Intel untuk memperkenalkan esports kepada masyarakat Jepang tepat sebelum dimulainya Olimpiade Tokyo 2020.

Bagi Anda yang ingin mewakili Indonesia di ajang ini, pendaftaran akan dibuka pada tanggal 2 Maret 2020. Anda bisa mendaftarkan diri melalui website resmi Intel World Open.

[OPINI] 4 Alasan Kenapa Anda Perlu Main Fighting Game

Fighting game merupakan salah satu genre game tertua yang masih lestari sampai kini, bahkan belakangan sedang hangat-hangatnya berkembang. Saking hangatnya perkembangan fighting game, jumlah judul yang dimainkan dan dipertandingkan sebagai esports bahkan jadi terbilang terlalu banyak; membuat para developer jadi berebut pasar yang sama.

Namun demikian, di luar dari geliat perkembangan fighting game yang sedang hebat-hebatnya, genre ini masih punya masalah yang sama, yaitu soal persepsi orang-orang terhadap entry barrier fighting game. Pemain cenderung enggan mencoba fighting game, karena merasa genre ini punya mekanik permainan yang lebih sulit dibanding genre game lainnya.

Mungkin kebanyakan gamers terlanjur segan gara-gara melihat command list satu petarung yang bisa mencapai ratusan macam kombinasi tombol? Atau mungkin segan karena melihat kombo atau respon ajaib pro player yang bermain? Atau mungkin karena dalam fighting game, kita tidak bisa menyalahkan siapapun ketika kalah kecuali diri kita sendiri… Ups.

Walakin, genre yang satu ini tetap punya nilai tersendiri, baik nilai hiburan secara tontonan atau permainan, bahkan dalam beberapa aspek punya nilai kehidupan yang bisa dipelajari. Maka dari itu ada beberapa alasan mengapa, siapapun Anda, baik seorang gamers atau mungkin pacarnya gamers harus mencoba bermain fighting game.

Karena fighting game bersifat 1-on-1

Dalam game kompetitif berbasis tim seperti MOBA atau First-Person Shooter, skill individu tidak selalu bisa membawa kepada kemenangan. Mengapa? Alasannya jelas, dua game tersebut memang dirancang sebagai game berbasis tim. Jadi 5 pemain biasa saja dengan kerja sama yang kompak bisa jadi punya kemungkinan menang yang lebih besar daripada seorang Faker atau Sumail dibantu 4 pemain kelas teri yang tidak mengerti caranya main ataupun kerja sama.

Maka dari itu jika Anda kesulitan mencari teman mabar yang rutin di dalam game berbasis tim seperti MOBA atau FPS, fighting game bisa jadi pilihan untuk dimainkan. Ini juga jadi salah satu alasan kenapa saya mulai, sedikit demi sedikit, mendalami fighting game lewat Tekken 7. Daripada kelimpungan dengan segala toxic yang ada dalam solo matchmaking game MOBA, fighting game menawarkan sebuah pengalaman pengembangan diri secara lebih personal. Ini membuat setiap kemajuan yang Anda alami terasa lebih manis, daripada sekadar push rank yang hanya mengejar statistik tanpa merasakan perkembangan kemampuan diri.

Sumber: Bandai Namco Official Media
Sumber: Bandai Namco Official Media

Ini yang membuat fighting game punya nilai jual lebih, dibanding permainan kompetitif lain yang berbasis tim. Dalam pertandingan satu lawan satu, hanya ada pikiran dan jempol Anda sendiri untuk menggerakkan karakter yang Anda mainkan. Tanggung jawab menang atau kalah benar-benar bergantung kepada pada Anda sendiri.

Memang, kekalahan jadi terasa lebih pahit dalam fighting game, karena Anda harus menerima kenyataan pahit bahwa kemampuan bermain Anda belum seberapa dibanding musuh yang dilawan. Tapi mengecap kemenangan akan terasa jauh lebih manis, apalagi jika Anda bisa menang dari keadaan yang sulit atau menang setelah berkali-kali kalah melawan rekan latih tanding Anda.

Memberi perasaan proses perkembangan diri yang menyenangkan

Banyak orang beranggapan bahwa fighting game itu sulit. Jujur, saya juga setuju dengan anggapan tersebut. Memang kenyataannya fighting game itu sulit, terlepas dari judul game yang Anda mainkan. Sebagai gambaran seberapa sulit fighting game, lagi-lagi saya meminjam genre MOBA sebagai perbandingan.

Dalam MOBA setiap karakter biasanya dibatasi hanya punya 4 “jurus” saja. Anda cukup tekan satu tombol (Dota 2 atau LoL biasanya menggunakan tombol Q,W,E,R) untuk setiap jurus. Dalam fighting game, walau serangan dasar hanya terdiri dari 4 sampai 6 tombol saja, namun mengeluarkan jurus mengharuskan Anda menekan kombinasi tombol. Jurus paling dasar, Hadouken milik karakter Ryu dari Street Fighter misalnya, mengharuskan Anda menekan tombol arah bawah, serong bawah maju, dan maju, ditambah tombol pukul. Itu baru satu gerakan dari satu karakter. Bayangkan jika Anda ingin bisa lebih dari satu karakter, yang berarti harus hapal banyak gerakan dan cara main dari masing-masing karakter.

Jumlah jurus atau gerakan-per-karakter pada game seperti Street Fighter mungkin lebih sedikit, hanya ada pada angka puluhan saja. Sementara gerakan-per-karakter pada fighting game tiga dimensi seperti Tekken 7 kadang bisa mencapai seratus lebih, walau tidak semuanya terpakai.

Tetapi ini juga yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan dan menjadi alasan kenapa Anda harus mencobanya. Dengan ragam kombinasi gerakan yang bisa dipelajari, Anda bisa merasakan sendiri proses perkembangan personal. Saya jadi teringat pengalaman saya pribadi mempelajari Bryan, karakter Tekken 7 pertama yang saya pelajari.

Berawal dari hanya button mashing, perlahan-lahan saya mulai mempelajari satu-per-satu gerakan. Selanjutnya saya mulai sedikit demi sedikit belajar melakukan satu rangkaian gerakan Combo paling dasar. Saya ingat menghabiskan seharian penuh berkutat di Infinite Azure hanya untuk mengulang satu jenis gerakan Combo saja. Dengan jari jemari yang masih kaku, saya berusaha keras menekan tombol demi tombol, sambil memperhatikan efek visual yang terjadi di layar. Beberapa kali Combo-nya terjatuh, tapi ketika berhasil, saya begitu kegirangan, karena perasaaan sense-of-accomplishment yang saya rasakan setelah berjam-jam dan berhari-hari berlatih.

Proses belajar ini yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan untuk dimainkan. Pada beberapa aspek saya bahkan merasa proses mempelajari gerakan Combo dalam fighting game seperti mempelajari alat musik. Seperti bermain gitar, berawal dari mempelajari kunci dasar, yang dilanjut mempelajari kombinasi kunci-demi-kunci untuk memainkan satu lagu penuh.

Walau belajar Combo mungkin tidak disarankan bagi pemula Tekken 7 (atau fighting game lainnya), tapi tetap saja hal tersebut menyenangkan untuk dipelajari. Apalagi prosesnya yang bisa membuat Anda yang awalnya hanya pemain biasa-biasa jadi merasa sangat jago.

Itu hanya baru sebatas melakukan Combo saja. Nyatanya masih ada banyak hal lagi yang bisa Anda pelajari di dalam fighting game. Mulai dari yang paling mendasar seperti cara menangkis atau membalas serangan, sampai kepada hal yang paling geeky seperti frame data. Belum lagi seiring proses belajarnya, Anda akan mendapat hadiah berupa momen-momen kemenangan atau naik ranking di pertandingan online. Di antara momen, bisa jadi terselip di antaranya adalah momen ketika Anda bisa mengalahkan orang yang mainnya berkali lipat lebih jago dari Anda, yang akan memberi perasaan seperti memenangkan kompetisi tingkat dunia.

Lebih lanjutnya, Anda juga bisa baca tulisan pengalaman Patrick Miller atau paththeflip, salah satu sosok yang cukup dikenal di dunia FGC sebagai seorang pemain dan pembuat konten.

Mengajarkan nilai hidup, mengasah ragam soft-skill

Ini mungkin terdengar seperti romantisasi atas fighting game, namun inilah pengalaman yang saya rasakan sendiri dari perjalanan saya mencoba bermain fighting game selama beberapa tahun belakangan. Selain menekan tombol demi tombol dengan irama untuk mengeluarkan serangan Combo, saya juga belajar beberapa hal dengan bermain fighting game. Beberapa hal tersebut termasuk beberapa soft-skill dan sedikit nilai hidup yang bisa Anda gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Saya merasa bahwa lewat genre ini, Anda dapat belajar mengelola serta mengenal emosi, belajar soal arti kekalahan, dan juga nilai-nilai ketekunan.

Nilai ketekunan sedikit banyak sudah saya jelaskan pada poin sebelumnya, yang mana genre ini menuntut Anda untuk tekun dalam banyak hal. Mulai dari tekun mempelajari gerakan demi gerakan, Combo, ataupun mengantisipasi gerakan lawan. Namun selain itu hal menarik yang akan Anda pelajari dari bermain fighting game adalah soal kemampuan mengelola dan mengenal emosi.

Mengelola emosi adalah sesuatu yang penting dalam bermain fighting game, apalagi jika sudah turun sampai ke tingkat kompetitif. Secara ilmiah, hal ini disebut juga dengan istilah Mental Block; keadaan ketika pikiran Anda menahan kemampuan Anda yang sesungguhnya. Walau Anda sudah berlatih, berhari-hari, berminggu-minggu atau mungkin bertahun-tahun, namun Anda masih merasa belum cukup atau bahkan masih merasa takut kalah ketika menghadapi kompetisi. Ini juga jadi hal yang dilatih jika Anda bermain Fighting Game

Perasaan seperti ini sebenarnya bukan monopoli genre fighting game saja, bermain game lain juga bisa memberi Anda perasaan ini. Tetapi menurut saya, satu yang istimewa dari fighting game adalah, perasaan ini bahkan bisa Anda rasakan ketika bermain secara online melawan musuh berat yang Anda bahkan tidak tahu wujudnya seperti apa. Rasa ragu bisa muncul kapan saja, perasaan lebih lemah dari musuh yang dihadapi juga kerap muncul. Satu-satunya yang bisa membawa Anda menang adalah dengan mengatasi dan mengenal emosi-emosi negatif tersebut dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk memenangkan permainan.

Aspek terakhir yang juga terlatih dengan bermain fighting game menurut saya adalah belajar bertanggung jawab atas pahitnya kekalahan. Penolakan, kekalahan, kegagalan, bisa dibilang sebagai beberapa emosi negatif yang sulit untuk diterima oleh kita manusia. Pada game yang sifatnya beregu seperti MOBA atau FPS, Anda bisa dengan mudah kabur dari emosi-emosi tersebut. Kalah main rank di MLBB sebagai carry? Ini pasti salah support yang tidak melindungi saya. Main PUBG lalu mendapat Too Soon? Ini pasti salah kawan saya yang terlalu lama looting.

Namun jangan harap Anda bisa kabur dari perasaan tersebut di dalam fighting game. Kalah berarti kalah, dan Anda dipaksa menelan pil pahit tersebut. Anda tidak bisa mendadak beralasan Heihachi tidak pakai sandal membuat gerakan Anda jadi lebih lambat, atau jaket Jin Kazama membuat jangkauan serangannya jadi lebih pendek; walau masih bisa alasan Joystick Anda tidak enak ditekan. Dalam fighting game, Anda dipaksa menerima kegagalan atas diri Anda sendiri. Kalah artinya Anda harus lebih cermat. Kalah artinya Anda harus belajar lagi, belajar mengoptimasi gerakan yang Anda gunakan atau mempelajari gerakan yang digunakan musuh.

Lebih menyenangkan saat bermain dengan teman

Walau fighting game pada dasarnya adalah permainan individu, namun bukan berarti tidak ada interaksi antar manusia di dalam permainan ini. Pada titik tertentu, Anda mungkin akan jemu hanya berlatih sendirian atau main online melawan musuh yang Anda tidak tahu bentuknya apa. Maka dari itu berkomunitas tetap menjadi salah satu bagian penting dari Fighting.

Selain menambah teman, bertemu dengan komunitas juga akan membantu meningkatkan kemampuan Anda secara lebih cepat lebih . Pastinya akan ada lawan-lawan yang lebih berat ketika Anda mencoba hadir ke acara kumpul dan saling tarung seperti Hybrid Dojo. Tetapi di sana Anda dapat belajar lebih banyak seputar fighting game yang Anda mainkan. Anda mungkin bisa menemukan celah dari gerakan Anda yang selama ini tak pernah bisa ditebak oleh musuh. Anda mungkin jadi menemukan cara bermain baru dari karakter Anda, karena didesak oleh cara main musuh yang tidak biasa.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Komunitas Hybrid Dojo. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Belum lagi jika Anda sudah menemukan rival yang tepat untuk dilawan, yang mungkin akan membuat Anda semakin terpacu untuk belajar fighting game yang dimainkan secara lebih dalam. Komunitas Fighting Game di Indonesia juga terbilang punya sejarah yang panjang. Bramanto Arman, Co-Founder Advanced Guard, jadi salah satu yang terus berusaha mengembangkan komunitasnya di Indonesia. Jika Anda mulai penasaran dengan fighting game, dan ingin tahu tentang perjuangan komunitasnya, Anda mungkin bisa mulai dari cerita Bram soal perkembangan esports fighting game di Indonesia.

Hal tersebut juga, menurut saya, jadi nilai lebih dari bermain fighting game. Bahkan terkadang saya merasa bahwa jalinan pertemanan komunitas fighting game terasa lebih kuat dibanding dengan jenis game lainnya. Memang, bukan berarti pada jenis game lain, Anda tidak bisa merasakan jalinan persahabatan yang erat. Beberapa game lain malah bisa menciptakan jalinan percintaan. Namun demikian, pertemanan di dalam komunitas fighting game sebenarnya terbilang unik, karena tercipta dari momen baku hantam dan rivalitas digital.

Street Fighter V dan Konten Season 3 Bisa Dinikmati Gratis di Bulan Agustus 2019

Saat Street Fighter V meluncur di awal 2016, banyak orang mengeluhkan minimnya konten dan pilihan karakter, serta sejumlah kendala teknis yang mengurangi kualitas pengalaman bermain. Akibat masalah-masalah itu, penjualan Street Fighter V gagal mencapai target yang Capcom tetapkan. Menariknya, hal ini punya dampak positif: developer terpanggil untuk meluncurkan permainan secara lebih lengkap lewat Arcade Edition.

Kini, Street Fighter V merupakan salah satu judul esport fighting terfavorit. Dan ada kabar gembira jika Anda, seperti saya, ingin mencobanya namun masih ragu buat membelinya atau Anda bermaksud buat lebih dulu mencari tahu seberapa bersahabat komunitasnya. Lewat akun Twitter resmi Street Fighter, Capcom mengumumkan agenda untuk menggratiskan game selama kurang lebih 10 hari.

Gerbang akses gratis bermain Street Fighter V akan dibuka pada tanggal 1 Agustus dan berakhir di 11 Agustus 2019. Menariknya, Capcom tak hanya mempersilkan kita menikmati konten dasar saja, tapi juga menyertainya bersama seluruh karakter Season 3. Itu artinya, kita disuguhkan lebih dari 20 pilihan petarung – beberapa adalah nama-nama familier dan ada pula tokoh-tokoh baru. Ini dia daftar lengkapnya:

  • Birdie
  • Cammy
  • Chun-Li
  • Dhalsim
  • F.A.N.G.
  • Karin
  • Ken
  • Laura
  • M. Bison
  • Nash
  • Necalli
  • R. Mika
  • Rashid
  • Ryu
  • Vega
  • Zangief

Karakter di DLC Season 3:

  • Blanka
  • Cody
  • Falke
  • G
  • Sagat
  • Sakura

Di versi cuma-cuma ini, kita tidak bisa memilih tokoh-tokoh Season 1 dan 2 semisal Alex, Guile, Abigail serta Akuma. Jika kebetulan sudah mempunyai permainan, Anda bisa memainkan petarung-petarung Season 3 hingga periode free trial usai. Selain itu, kita juga dipersilakan menikmati mode story serta mengumpulkan kredit in-game. Semua progres tersebut akan tersimpan dan bisa dilanjutkan begitu Anda memutuskan untuk membeli game.

Walaupun usianya sudah menginjak tiga tahun lebih, Street Fighter V ialah salah satu permainan esports genre fighting terpopuler saat ini. Ambil contohnya di turnamen EVO 2019. Street Fighter V menempati urutan kedua dengan peserta terbanyak (di belakang Super Smash Bros. Ultimate), melampaui Tekken 7, Mortal Kombat 11, Dragon Ball FighterZ serta Soulcalibur 6.

Street Fighter V versi gratis tersaji di dua platform, yaitu PC via Steam serta PlayStation 4. Jika tertarik membelinya, Capcom menawarkan permainan dalam beberapa pilihan edisi: standar, Arcade Edition (plus konten Season 1 dan Season 2), serta Arcade Edition Deluxe (semua konten yang ada sejauh ini). Tersedia pula DLC berisi bundel kostum dan stage musim 2016.

Via DualShockers.