Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Arslan Ash Jadi Pemain Pakistan Pertama yang Disponsori Red Bull

Nama Arslan Siddique alias Arslan Ash belakangan ini tentu sudah tidak asing lagi di kalangan penggemar fighting game, khususnya Tekken. Tidak seperti kebanyakan atlet esports lain yang mendaki tangga karier secara perlahan-lahan, Arslan muncul secara tiba-tiba dan langsung membuat kegemparan setelah ia mengalahkan Knee di tahun 2018.

Pencapaiannya menjadi pemenang EVO Japan dan EVO Las Vegas di tahun yang sama tidak hanya membuat sejarah, tapi juga mengangkat nama Pakistan jadi negara yang disegani di dunia esports. Seolah mengendarai ombak yang diciptakan Arslan, pemain-pemain Tekken hebat dari Pakistan kini semakin bermunculan di panggung internasional, seperti Imran Khan, Awais Honey, dan Atif Butt.

EVO 2019 - Tekken 7 Champion
Arslan Ash ketiak menjuarai EVO 2019 | Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Arslan Ash sebetulnya sudah memiliki sponsor dari tim esports lokal yang bernama vSlash eSports. Tim ini tidak hanya menaungi atlet-atlet dari Pakistan, tapi juga negara-negara MENA (Middle East and North Africa) lainnya. Di samping Tekken, vSlash eSports memiliki atlet yang bertanding di cabang Street Fighter, The King of Fighters, Samurai Shodown, hingga Counter-Strike: Global Offensive.

Namun baru-baru ini ia mengumumkan kabar yang cukup menggembirakan. Arslan telah dikontrak oleh Red Bull untuk menjadi salah satu bagian dari roster Red Bull Gaming. Ia menjadi pemain asal Pakistan pertama yang bergabung dengan jajaran atlet Red Bull, bersama dengan pemain-pemain hebat lainnya termasuk Bonchan (Masato Takahashi) sang juara EVO 2019, Big Bird (Adel Anouche) sang juara Eropa CPT 2019, serta Gachikun (Tsunehiro Kanamori) yang menjuarai Capcom Cup 2018.

Ini bukan berarti Arslan Ash akan keluar dari tim vSlash eSports. Sponsor yang diberikan Red Bull Gaming sifatnya adalah sponsor pribadi, jadi ia bisa terus bermain dengan tim lamanya namun sambil juga menyandang atribut Red Bull. Sponsorship personal seperti ini memang hal yang lumrah di dunia esports fighting game. Daigo Umehara contohnya, bahkan memiliki empat sponsor berbeda, yaitu dari Red Bull, Twitch, HyperX, dan Cygames.

Penampilan terakhir Arslan Ash baru-baru ini adalah turnamen Tekken 7 bernama ROXnROLL Dubai. Sayangnya di turnamen tersebut ia tidak menjadi juara, dan harus puas finis di peringkat 5. Arslan Ash juga menggelar acara fighting game di kampung halamannya, kota Lahore, Pakistan. Di sana Arslan memberi kesempatan pada beberapa pemain Tekken lokal untuk melakukan sparring melawan dirinya di atas panggung.

Perjalanan Arslan Ash di dunia esports Tekken baru saja dimulai, dan selain berjuang untuk dirinya sendiri, Arslan Ash juga akan terus berusaha mengembangkan komunitas kompetitif di negara asalnya. Bisakah Arslan Ash menjuarai Tekken World Tour 2019 Finals di Bangkok pada bulan Desember nanti?

Sumber: Arslan Ash, Mehak Majid

Selesai Diselenggarakan, Ini Jawara-Jawara Gelaran SEACA 2019

Setelah 3 hari pelaksanaan (8-10 November 2019), gelaran South East Asia Cyber Arena (SEACA) 2019 kini telah menemukan juara-juaranya. Dilaksanakan di Kartika Expo, Balai Kartini, Jakarta, SEACA 2019 mempertandingkan beberapa game, termasuk: Dota 2, Free Fire, dan PUBG Mobile, dengan tambahan Chess Rush, dan Tekken 7.

Sebelumnya, saat pembukaan, Ashadi Ang sempat berbagi visi dari kompetisi SEACA 2019. Satu tujuan yang ingin ia capai adalah menjadikan SEACA sebagai wadah bagi pemain dari berbagai kalangan yang ingin menunjukkan bakatnya dan menjadikan SEACA sebagai gerbang bagi aspiring gamers untuk menuju ke tingkat profesional.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Tak heran jika SEACA 2019 punya ragam cabang pertandingan game yang mempertandingkan 464 peserta, yang terbagi dalam 66 tim, untuk memperebutkan total hadiah sebesar Rp2,4 miliar. “UniPin SEACA 2019 menjadi modal awal bagi para atlit secara material, fisik, ataupun mental sebelum maju ke kancah internasional.” Ucap Ashadi Ang saat penutupan SEACA 2019.

Berikut daftar pemenang dari gelaran SEACA 2019.

Dota 2
  1. Alter Ego
  2. PG.Orca
  3. Resurgence

PUBG Mobile

  1. ONIC Esports
  2. BOOM Esports
  3. Bigetron Esports
UniPin Indomaret Championship (Free Fire)
  1. BOOM CERBERUS
  2. PBM HYPER REBORN
  3. KLPR PROJECT
UniPin City League (Free Fire)
  1. ONIC OLYMPUS
  2. LOUVRE GOLDEN TULIP
  3. LOUVRE INDOPRIDE
Exhibition Free Fire
  1. PBM HYPER REBORN
  2. LOUVRE GOLDEN TULIP
  3. ONIC OLYMPUS
Chess Rush 
  1. BOOM_York
  2. NXL.GummuG
  3. ITNOS
Tekken 7
  1. MYTH.hun-ki (Widi)
  2. WIF.Abel (Abel)
  3. MYTH.Jinrei ( Mario )
Sumber: Dokumentasi SEACA
Sumber: Dokumentasi SEACA

Terkait kemenangannya, tim ONIC Esports selaku juara PUBG Mobile sempat menyatakan komentarnya seputar UniPin SEACA 2019. “Saya senang sekali bisa juara, terutama buat tim saya yang akhirnya bisa mengangkat piala. Satu hal yang juga ingin saya sampaikan atas kemenangan ini adalah, bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil.” ucap Matthew, anggota tim ONIC Esports kepada awak media.

Kemenangan ini merupakan langkah awal bagi para tim dan pemain untuk menjadi lebih baik lagi ke depannya. Bagaimanapun, tantangan yang akan mereka hadapi di masa depan nanti tentu akan semakin berat. Entah dalam kompetisi tingkat nasional, regional, ataupun internasional. Selamat bagi tim dan pemain yang menjadi juara, semoga karir mereka sebagai seorang gamers bisa melejit selepas dari gelaran SEACA 2019 selesai diselenggarakan.

Dua Kali Tumbangkan Oil King, Tokido Raih Gelar Canada Cup 2019

Bulan November telah tiba, dan itu artinya jumlah turnamen yang tersisa di sirkuit kompetisi Capcom Pro Tour hanya tinggal hitungan jari. Lebih tepatnya hanya tinggal tiga event lagi yang perlu kita lalui. Pertama yaitu Canada Cup 2019 di tanggal 1 – 3 November, North America Regional Finals 2019 pada tanggal 16 – 17 November, dan terakhir adalah turnamen puncak yaitu Capcom Cup 2019 di tanggal 13 – 15 Desember.

Turnamen pertama di bulan November ini adalah Canada Cup 2019 yang baru saja dilaksanakan akhir pekan lalu. Selain merupakan wadah turnamen CPT tingkat Premier, Canada Cup juga menjadi bagian dari kualifikasi untuk SNK World Championship yang mempertandingkan game Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV. Tekken World Tour 2019 juga hadir di acara ini dalam wujud turnamen tingkat Dojo.

Tokido - Canada Cup 2019
Tokido memamerkan trofi Canada Cup 2019 | Sumber: Capcom Pro Tour

Mengingat Capcom Cup sudah semakin dekat, wajar bila kemudian Canada Cup dihadiri oleh banyak atlet hebat Street Fighter yang berusaha mengumpulkan CPT Point di saat-saat terakhir. Termasuk di antaranya adalah GamerBee, Justin Wong, Dogura, John Takeuchi, Nemo, Daigo, NuckleDu, dan lain-lain.

Menariknya lagi, ketika turnamen sudah mencapai babak Top 8, seluruh karakter tampil mengandalkan karakter yang berbeda. Salah satu pemain yaitu Mago bahkan memainkan Cammy di Top 8, sebuah pemandangan yang jarang terjadi di kancah Street Fighter V kompetitif. Sementara itu Justin Wong membuktikan bahwa Poison bukan karakter “low tier” seperti anggapan banyak orang.

Pada akhirnya, dua pemain yang bertemu di Grand Final adalah dua veteran yang sudah tak asing, yaitu Tokido dan Oil King. Mereka sebelumnya sudah berhadapan di babak Winners Final, namun di sana Oil King kalah dengan skor 2-3. Setelah mendaki Losers Bracket, Oil King datang kembali untuk membuat perhitungan, tapi ia masih belum bisa mengalahkan permainan Tokido. Oil King pun menyerah dengan skor 1-3 di Grand Final, tanpa sempat melakukan bracket reset.

Peringkat Top 8 Canada Cup 2019 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1: ROHTO Z! | Tokido (Akuma)
  • Juara 2: UYU | Oil King (Rashid)
  • Juara 3: RAZER | Xian (Ibuki)
  • Juara 4: Mago (Karin/Cammy)
  • Juara 5: CAG | Dogura (M. Bison)
  • Juara 5: Justin Wong (Poison)
  • Juara 7: FAV | Sako (Menat)
  • Juara 7: LIQUID | Nemo (Urien

Sementara itu di cabang Samurai Shodown dan The King of Fighters XIV, seorang pemain Jepang bernama Akihito “Score” Sawada dari tim Amaterasu berhasil meraih double winner. Artinya ia berhak berkompetisi di SNK World Championship, tanggal 28 – 29 Maret 2020 nanti, di dua game sekaligus. Ini bukan pertama kalinya Score meraih double winner di satu event. Di ajang REV Major 2019 kemarin pun, Score jadi juara di Samurai Shodown dan KOF XIV.

https://twitter.com/score33333/status/1191106594584399878

Kemenangan Tokido di Canada Cup memberikannya hadiah senilai US$7.000 (sekitar Rp98,1 juta), dan 700 CPT Global Point. Saat ini Tokido menduduki peringkat 3 di CPT Global Leaderboard dengan 3.125 poin, di bawah Bonchan (3.845 poin) dan Punk (4.655 poin). Tokido juga menjadi pemain Street Fighter pertama yang berhasil meraih gelar juara CPT Premier sebanyak 10 kali. Bisakah Tokido meraih prestasi serupa di Capcom Cup 2019 nanti?

Sumber: Capcom Pro Tour, EventHubs, Canada Cup

Esports Ability Indonesia Mengenalkan Budaya Gaming Disabilitas di Hybrid Dojo

Akhir pekan lalu (Sabtu 19 Oktober) acara gathering Esports Ability Indonesia (EAI) di Hybrid Dojo telah selesai digelar. Acara berlangsung semarak, ramai dihadiri baik oleh anggota komunitas EAI itu sendiri ataupun teman-teman lainnya yang ingin lebih mengenal soal disabilitas.

Esports Ability Indonesia adalah komunitas yang menjadi wadah bagi penyandang disabilitas yang gemar esports alias bermain game kompetitif. Acara ini menjadi salah satu cara komunitas EAI untuk menjalankan misi mereka, yaitu untuk mengenalkan budaya disabilitas kepada masyarakat dan menjadi pionir kesetaraan dalam berkompetisi esports.

Acara ini sendiri terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu turnamen ringan FIFA 20, Tekken 7, PUBG Mobile, dan Mobile Legends: Bang-Bang. Semua kompetisi dalam acara ini dibuka untuk umum, termasuk untuk kawan-kawan non-disabilitas. Maka dari itu untuk menyetarakan playing-field kompetisi ini, pertandingan hadir dengan beberapa peraturan spesial, terutama bagi peserta non-disabilitas.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata
Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata
Sumber: Dokumentasi EAI
Sumber: Dokumentasi EAI

Untuk PUBGm dan MLBB misalnya, karena kebanyakan peserta dari komunitas EAI yang memainkan game ini adalah teman-teman Tuli, maka peserta non-disabilitas tidak diperbolehkan menggunakan audio untuk mengikuti kompetisi PUBGm dan MLBB.

Begitupun dengan Tekken 7. Berhubung kompetisi ini adalah cara EAI mengenalkan budaya disabilitas kepada khalayak umum, maka ada Elo Kusuma, gamers tunadaksa dari channel Rotti’s Game untuk memperkenalkan cara menggunakan DualShock 4 dengan jari-jari kaki. Maka dari itu, kompetisi Tekken 7 juga mewajibkan seluruh pesertanya untuk bertanding dengan menggunakan jari kaki.

Menariknya, kompetisi Tekken 7 ternyata juga berhasil menarik perhatian kawan-kawan dari DRivals. Bahkan, pemain yang berhasil mencapai peringkat 3 di Hybrid Cup Tekken 7 tempo hari, DRivals | Pricefield, juga turut mencicipi sensasi bermain Tekken 7 dengan menggunakan jari-jari kaki.

“Acara kemarin seru banget sih, difabel yang hadir juga sangat ramah. Untuk kompetisi Tekken pakai jari kaki, ini betul-betul pengalaman baru, karena belum ada kompetisi kaya begini. Seru banget, dan sangat menantang, kalau ada acara kaya gini gue sangat antusias untuk ikut lagi.” ucap Raditya “Pricefield” Putra Pratama menceritakan pengalaman. 

Melihat antusiasme komunitas gamers disabilitas ataupun khalayak umum yang ingin lebih mengenal budaya disabilitas terhadap acara ini, Shena Septiani selaku Founder Esports Ability Indonesia turut memberikan komentarnya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

“Saya sangat senang diberi kesempatan oleh Hybrid Dojo untuk menyelenggarakan acara ini. Terima kasih juga atas banyak pihak yang sudah mendukung agar acara ini bisa terselenggara dengan lancar. Saya ingin kembali mengingatkan, bahwa tidak perlu kasihan dengan teman-teman difable, karena kita semua itu setara. Kalau kami datang ke suatu acara, mohon sapa kami ya! Kami suka sekali kalau diajak ngobrol….salam inklusi!” Shena berbicara kepada redaksi Hybrid.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Ajie Zata
Para pemenang kompetisi FIFA 20 khusus disabilitas. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Ajie Zata

Esports Ability Indonesia yang secara aktif mengadvokasi akses menikmati esports untuk teman disabilitas adalah satu hal yang positif dan patut didukung. Karena esports harusnya bisa dinikmati oleh semua kalangan, dan wadah seperti ini adalah sesuatu yang diperlukan agar teman disabilitas juga bisa merasakan keseruan sebuah pertandingan esports.

Komunitas Sulawesi Utara Gelar Turnamen Tekken World Tour Dojo di Manado

Perkembangan Tekken 7 di Indonesia tak lepas dari besarnya minat penggemar untuk bermain secara kompetitif di akar rumput. Meski skalanya relatif kecil dibandingkan ajang esports lainnya, turnamen-turnamen kerap diadakan oleh komunitas fighting game berbagai daerah. Tidak hanya di ibukota tapi juga di kota-kota lain di penjuru Indonesia.

Salah satu contoh komunitas itu adalah Sulut Iron Fist (SIF), yang sesuai namanya, merupakan komunitas penggemar Tekken untuk wilayah Sulawesi Utara. Dulunya dikenal sebagai Tekken Center Sulut, komunitas yang berdiri sejak awal 2018 ini baru saja mengumumkan pengadaan turnamen Tekken untuk akhir Oktober nanti. Serunya, turnamen ini terdaftar juga sebagai bagian dari Tekken World Tour (TWT) tingkatan Dojo.

Tekken World Tour 2019 - Ranking Points
Pembagian Ranking Points TWT 2019 | Sumber: Bandai Namco

Dojo adalah sistem turnamen yang baru diluncurkan oleh Bandai Namco di Tekken World Tour 2019. Berkat sistem ini, siapa pun berkesampatan untuk menggelar turnamen yang diakui resmi dan dapat memberikan TWT Ranking Point. Tergantung dari jumlah pesertanya, sebuah turnamen Dojo bisa memberikan hingga 100 TWT Ranking Point kepada sang juara. Hal ini tentunya jadi motivasi tersendiri bagi para penggemar di level akar rumput untuk lebih terlibat di dunia Tekken kompetitif.

Turnamen TWT Dojo di Indonesia sebelumnya sudah pernah ada, turnamen Malang Tekken Brotherhood Dojo yang digelar pada tanggal 22 September lalu. Kini, Sulut Iron Fist Dojo Tournament hadir untuk menawarkan pengalaman serupa khususnya pada para pemain fighting game di wilayah Sulut dan sekitarnya. Turnamennya akan dilaksanakan di IT Center Lt. 5 Sparta Rental, Manado, Sulawesi Utara, tanggal 20 Oktober 2019.

Sulut Iron Fist TWT Dojo
Sumber: Sulut Iron Fist

Bila Anda berminat mengikuti, Sulut Iron Fist membuka pendaftaran yang bisa langsung Anda lakukan lewat situs smash.gg. Peserta diwajibkan membayar biaya registrasi sebesar Rp50.000. Nantinya, seluruh uang registrasi ini akan dikumpulkan untuk menjadi hadiah pemenang, alias prize pool.

Berhubung turnamen ini merupakan TWT Dojo, seluruh aturan resmi Tekken World Tour akan diimplementasikan. Contohnya usia minimum yaitu 13 tahun, pelarangan penggunaan perlengkapan yang memberi keuntungan kompetitif, larangan taruhan/perjudian, dan lain-lain. Anda dapat mencermati terlebih dahulu aturannya di situs resmi Tekken World Tour.

Untuk informasi lebih lanjut tentang Sulut Iron Fist Dojo Tournament, Anda bisa mengikuti media sosial Sulut Iron Fist di Facebook, atau bertanya langsung kepada contact person (Vincent) via WhatsApp di nomor 0813-4292-2768.

Sumber: Sulut Iron Fist

Indonesia Comic Con 2019 Gelar Kompetisi Street Fighter, CTR, dan Tekken

Indonesia Comic Con (ICC) adalah festival yang digelar sejak tahun 2015 untuk memberi ruang pada masyarakat Indonesia agar dapat merayakan kecintaan mereka pada budaya pop. Selama empat tahun berjalan, festival ini terus tumbuh menjadi salah satu festival pop terbesar di Indonesia. Dari tadinya dihadiri 80 exhibitor dan 16.000 pengunjung menjadi 300 exhibitor dan 100.000 pengunjung.

Acara ini juga kerap menghadirkan bintang tamu tokoh penting di dunia kultur pop dari dalam dan luar negeri. Termasuk di antaranya Is Yuniarto (komikus Garudayana), Kristian Nairn (pemeran Hodor di Game of Thrones), Ario Anindito (komikus di Marvel dan DC), dan lain-lain.

ICC 2019 - Tekken 7
Turnamen Tekken 7 ICC 2019 | Sumber: Indonesia Comic Con

Tahun 2019 ini Indonesia Comic Con hadir kembali, dengan acara yang akan digelar pada tanggal 12 – 13 Oktober nanti di Jakarta Convention Center. Tahun ini Indonesia Comic Con digelar sebagai hasil kerja sama dengan Shopee, dan salah satu isi acaranya adalah berbagai macam aktivitas menarik untuk para gamer. Salah satu pengisi booth ICC 2019 adalah Konami, yang pastinya sudah kita kenal sebagai penerbit franchise Pro Evolution Soccer dan Yu-Gi-Oh. Tersedia juga hiburan arcade game, board game, trading card game, hingga permainan airsoft gun yang didukung oleh komunitas Jakarta Reenactor.

ICC 2019 - SFVAE
Turnamen Street Fighter V: Arcade Edition ICC 2019 | Sumber: Indonesia Comic Con

Bagi penggemar game kompetitif, ICC 2019 juga menyediakan turnamen untuk tiga game berbeda, yaitu Street Fighter V: Arcade Edition, Tekken 7, dan Crash Team Racing: Nitro-Fueled. Tapi ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan bila ingin mengikuti turnamen tersebut. Pertama, Anda diharuskan membayar biaya pendaftaran senilai Rp150.000 yang sudah termasuk tiket masuk ICC 2019 selama 1 hari.

Kedua, setiap cabang game memiliki jumlah slot kompetisi terbatas. Turnamen Tekken 7 digelar pada tanggal 12 Oktober dengan batasan 64 peserta. Sedangkan untuk Street Fighter V: Arcade Edition dan Crash Team Racing: Nitro-Fueled diadakan pada tanggal 13 Oktober dengan batasan 32 peserta. Seluruh pertandingan dilakukan menggunakan console PS4.

ICC 2019 - CTR
Turnamen Crash Team Racing: Nitro-Fueled ICC 2019 | Sumber: Indonesia Comic Con

Ketiga, ada perbedaan aturan antara pertandingan Tekken 7 dengan Street Fighter V: Arcade Edition. Di turnamen Tekken 7, Anda boleh menggunakan semua karakter termasuk karakter DLC, dan boleh menggunakan semua stage (dipilih secara random). Sementara di turnamen Street Fighter V: Arcade Edition, karakter DLC hanya diperbolehkan dari Season 1 dan Season 2 saja. Artinya Anda tidak bisa memainkan karakter seperti Kage, Lucia, Poison, dan E. Honda. Ada 3 pilihan stage yang dilarang, yaitu Kanzuki Beach, Skies of Honor, dan Flamenco Tavern.

Untuk melakukan pendaftaran, Anda bisa langsung mengisi formulir lewat tautan berikut. Atau bila ada pertanyaan lebih lanjut, Anda dapat menghubungi contact person yaitu Jojo lewat nomor 0878-8800-1155. Bagaimana, Apakah Anda berminat menghadiri Indonesia Comic Con 2019 dan bertanding di sana?

Sumber: Indonesia Comic Con

Sepak Terjang Meat dan TJ di Turnamen Tekken 7 REV Major 2019 Filipina

Akhir pekan lalu (28 – 29 September), dua atlet esports yang tergabung dalam kontingen SEA Games 2019 Indonesia untuk cabang Tekken 7 telah menghadapi tantangan besar. Mereka harus bertarung dalam sebuah turnamen fighting game di luar negeri, yaitu REV Major 2019 di Filipina. Turnamen ini bukan main-main, sebab merupakan bagian dari Tekken World Tour dengan tingkatan Master.

Sejumlah pemain veteran internasional juga hadir dalam acara ini. Dari Korea Selatan misalnya, ada pemain seperti LowHigh, Knee, Rangchu, dan JDCR. Dari Jepang, ada pemain seperti Nobi, Tanukana, Mimi, dan YUYU. Ini belum ditambah tokoh komunitas fighting game di luar Tekken, seperti Filipino Champ, Fenritti, JJRockets, dan masih banyak lagi.

Sayangnya, Awais Honey dari Pakistan batal mengikuti ajang ini, padahal tentu banyak pemain yang penasaran ingin menonton permainannya setelah mengalahkan Knee di ajang FV Cup Malaysia beberapa waktu lalu. Awais Honey beserta rekan satu timnya yaitu Atif Butt tidak bisa berangkat karena visa mereka ditolak.

Atlet SEA Games kita yaitu Meat (Muhammad Adriansyah) dan TJ (Anthony) masuk ke turnamen REV Major 2019 lewat jalur Pool yang berbeda. Meat masuk di Pool 8, satu Pool dengan pemain luar negeri seperti Take, Chanel, dan (seharusnya) Atif Butt. TJ mendapatkan Pool 7, bersama dengan Qudans, Ulsan, serta (seharusnya) Awais Honey.

Meat sempat meraih satu kemenangan di Winners Round, namun ia terlempar ke Losers Round setelah kalah dari PBE | Doujin. Tapi ia tak menyerah, dan berhasil mendapatkan empat kali kemenangan di Losers Round. Meat akhirnya tereliminasi di Losers Round 5 setelah kalah dari Nexplay | Haji.

TJ juga demikian, sempat meraih kemenangan di Winners Round tapi kemudian terlempar ke Losers Round setelah kalah oleh Suha XCTN | Prime. Di Losers Round ia berhasil mendapat satu kemenangan lagi, sebelum tereliminasi oleh pemain bernama NameLess di Losers Round 4.

Cukup disayangkan atlet-atlet kita belum berhasil menembus babak Top 16 ataupun Top 8, tapi partisipasi mereka di turnamen ini tetap merupakan sebuah pengalaman berharga. “Harapan saya ya mereka bisa lebih kuat dari yang sebelumnya. Yang penting mereka sudah memberikan yang terbaik,” demikian komentar Bram saat berbincang dengan Hybrid.

Juara REV Major 2019 sendiri untuk cabang Tekken 7 akhirnya diraih oleh UYU | LowHigh, setelah mengalahkan Yamasa | Nobi di Grand Final. LowHigh, yang merupakan juara REV Major tahun sebelumnya, menjadi juara dengan karakter Shaheen sebagai andalannya. Nobi di lain pihak mengandalkan Dragunov, yang dalam Season 3 ini baru mendapat buff besar-besaran. Tapi rupanya buff itu, ditambah dukungan dari penonton yang membahana, masih belum cukup juga untuk menurunkan LowHigh dari takhtanya. Anda dapat menonton pertandingan Grand Final lewat video di bawah.

Berikut ini daftar peringkat Top 8 REV Major 2019 Tekken 7:

  • Juara 1: UYU | LowHigh
  • Juara 2: Yamasa | Nobi
  • Juara 3: Liquid | Gen
  • Juara 4: AMPLFY | Rangchu
  • Juara 5: ROX | Chanel
  • Juara 5: JDCR
  • Juara 7: THY | Chikurin
  • Juara 7: ROX | Eyemusician

Sumber: EventHubs

Produser Tekken: Awalnya Kami Tak Berencana Merilis Lebih dari 1 Season Pass

Para penggemar fighting game tentu mengenal Katsuhiro Harada sebagai sosok produser atau director di balik seri Tekken. Akan tetapi sebetulnya sejak tengah tahun 2019 kemarin telah terjadi sebuah pergantian jabatan di Bandai Namco. Posisi produser utama (main producer) untuk seluruh franchise Tekken kini dipegang oleh Michael Murray, terhitung dari bulan April 2019. Ia bertanggung jawab terhadap seluruh hal yang berhubungan dengan properti intelektual Tekken baik di Jepang maupun di luar Jepang, termasuk juga urusan merchandising.

Belum lama ini, media game Shacknews/GamerHubTV mengadakan wawancara dengan Michael Murray terkait Tekken 7, terutama masa depannya dan situasinya setelah peluncuran Season 3. Ada beberapa hal menarik yang disampaikan Murray, berikut ini di antaranya.

Asal-usal karakter Leroy Smith

Pengumuman karakter Leroy Smith di EVO 2019 kemarin cukup menghebohkan komunitas fighting game. Selain karena gerakan bertarungnya yang terinspirasi bela diri Wing Chun (kini populer di pop culture karena film Ip Man), Leroy Smith juga banyak dipuji karena dianggap berhasil merepresentasikan kultur African-American dengan baik. Penampilan serta cerita latar belakangnya pun unik dan terkesan “badass”. Bagaimana awalnya ide karakter ini terwujud?

Murray berkata bahwa tim developer Tekken sudah lama mendengar fans yang ingin ada karakter baru berbasis bela diri sungguhan. Wacana memunculkan karakter berbasis Wing Chun sering jadi diskusi, tapi mereka belum memiliki visi yang jelas. Baru-baru ini saja para desainer Tekken memperoleh ide untuk mewujudkannya secara keren.

Beberapa elemen ikonik dari Wing Chun akan dimunculkan sebagai bagian dari gerakan bela diri Leroy. Salah satunya jurus “one inch punch” yang terkenal, sebagaimana dapat kita lihat di video trailer Leroy Smith. Leroy juga akan memiliki gerakan parry sambil menyerang layaknya teknik Wing Chun sungguhan.

Satu spekulasi tentang Leroy Smith adalah bahwa nama karakter ini diambil dari tokoh film The Last Dragon bernama Bruce Leroy, tapi Murray berkata bahwa hal itu tidak benar.


View this post on Instagram

Let me tell you somethin bruh!!! @tekken #leroysmith #cosplay @dragoncon @xavierwoodsphd

A post shared by T-Pain (@tpain) on

Sulitnya memunculkan kembali karakter lama

Ketika Tekken 7 pertama dirilis, game ini mendapat kritik karena adanya karakter-karakter lama yang tidak muncul, contohnya Lei Wulong atau Craig Marduk. Di Season 3 pun Tekken 7 baru mendapat satu karakter lama lagi yaitu Zafina. Menurut Murray, ada kesulitan tersendiri untuk menghadirkan karakter lama di Tekken 7.

Salah satu penyebabnya adalah karena pergantian engine ke Unreal Engine 4. Di game sebelumnya (Tekken 6 dan Tekken Tag Tournament 2), Bandai Namco menciptakan engine sendiri, tapi mereka beralih ke UE4 agar bisa menciptakan kualitas visual terbaik namun dengan performa tinggi. Akibatnya, mereka harus menciptakan model karakter baru dari nol lagi. Semua animasi karakter diperhatikan secara khusus supaya akurat dan memiliki balance yang tepat. Jadi memasukkan karakter lama tidak semudah porting model karakter yang sudah ada.

Kendala lainnya adalah karena Tekken 7 memiliki karakter-karakter tamu yang keren dan banyak disukai penggemar (Geese, Akuma, dsb). Tim developer ingin karakter-karakter lama bisa sama kerennya dengan karakter tamu tersebut, dan bisa menciptakan hype yang sama. “Jadi kami menambahkan kejutan baru. Kali ini dia (Zafina) memiliki jurus spesial, seperti Anda lihat dia memiliki Rage Arts dan animasi-animasi lain di mana ia memiliki tangan Azazel, bos yang Anda lawan di Tekken 6.”

Tekken 7 hanya direncanakan punya satu Season

Sudah bukan rahasia bahwa pihak Bandai Namco—termasuk Katsuhiro Harada—sendiri tidak menyangka bahwa Tekken 7 bisa sesukses sekarang. Harada pernah berkata, biasanya fighting game punya umur satu atau dua tahun sebelum developer membuat sekuel. Tapi Tekken 7 sudah memasuki tahun ketiga dan masih terus sukses, bahkan partisipan kompetisinya di EVO terus meningkat.

Murray berkata bahwa pada awalnya mereka hanya merencanakan satu Season DLC ketika Tekken 7 diluncurkan. Ternyata Season 1 sukses dan para penggemar berharap ada dukungan Season 2. Murray dan kawan-kawannya kemudian harus buru-buru menyelesaikan administrasi di perusahaan untuk meluncurkan rencana Season 2.

Murray juga tak yakin apakah mereka akan merilis Season 4 atau tidak. Tapi ia merasa bahwa ekosistem kompetitif adalah faktor yang berpengaruh terhadap panjangnya umur Tekken 7 di pasaran, lebih dari ekspektasi developernya.

Zafina saat ini sudah bisa dimainkan di Tekken 7, sementara Leroy Smith akan dirilis pada musim dingin 2019. Kemudian Season Pass 3 masih akan menghadirkan dua karakter lagi, tapi ia mengonfirmasi bahwa dua karakter itu bukanlah karakter tamu. Keduanya akan dirilis pada tahun 2020, begitu juga dengan konten lain di dalam Season Pass 3. Menurut Anda, akankah Tekken 7 terus sukses sampai ada Season Pass 4?

Sumber: EventHubs, GamerHubTV

Kontingen SEA Games 2019 Tekken 7 Indonesia Bertandang ke REV Major Filipina

SEA Games 2019 semakin mendekat, dan itu artinya persiapan para atlet untuk menyambut ajang olahraga tersebut juga semakin menguat. Demikian juga dengan atlet-atlet esports yang terpilih untuk mewakili Indonesia, mereka pun menjalani program latihan sesuai dengan cabang tandingnya masing-masing. Salah satunya kontingen Tekken 7 yang telah dipilih lewat kompetisi Tokopedia IENC pada bulan Juli lalu.

Tekken 7 - Emas untuk Indonesia

Kontingen Tekken 7 Indonesia terdiri atas dua pemain, yaitu Meat (Muhammad Adriansyah) sebagai juara pertama Tokopedia IENC, dan TJ (Anthony) selaku juara kedua kompetisi tersebut. Ada beberapa macam program yang harus mereka jalani sebelum terjun ke SEA Games, baik berupa kegiatan latihan saja maupun partisipasi dalam turnamen Tekken yang telah ditentukan.

Salah satu kegiatan latihan itu adalah pelatnas yang digelar pada tanggal 12 – 18 Agustus kemarin, bertempat di hotel Golden Tulip Surabaya. Selain itu, yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat adalah keberangkatan Meat dan TJ ke Filipina untuk mengikuti turnamen REV Major 2019.

Pelatnas SEA Games 2019
Suasana pelatnas SEA Games 2019 | Sumber: Dokumentasi Bram Arman

Bagi Anda yang belum tahu, REV Major merupakan ajang fighting game terbesar di Filipina, dan sejak tahun 2017 telah tercatat sebagai bagian dari sirkuit resmi Tekken World Tour (TWT). Untuk tahun 2019 ini REV Major memiliki kasta Master, artinya turnamen ini merupakan turnamen dengan level kedua tertinggi di TWT. Hanya ada satu turnamen level di atasnya, yaitu kasta Master+ yang dipegang oleh EVO 2019.

REV Major 2019 akan digelar pada tanggal 28 – 29 September 2019, bertempat di The Tent Solaire Resorts & Casino. Selain Tekken 7 ajang ini juga mempertandingkan beberapa judul game lain, termasuk di antaranya Dragon Ball FighterZ, Soulcalibur VI, Street Fighter V: Arcade Edition, Samurai Shodown, dan banyak lagi. REV Major 2019 juga merupakan bagian dari Dragon Ball FighterZ World Tour 2019/2020 sebagai turnamen tingkat Tenkaichi.

Karena REV Major 2019 merupakan turnamen berlevel Master, sudah jelas akan banyak pemain top yang hadir di sini. Salah satu yang dikabarkan akan hadir adalah Awais Honey, pemain asal Pakistan yang Agustus lalu menjadi juara FV Cup 2019 mengalahkan Knee.

REV Major 2019 - LowHigh
Sumber: REV Major PH

Selain itu akan datang juga LowHigh (juara bertahan) dan Knee dari Korea Selatan, YUYU dan Tanukana dari Jepang, dan lain-lain. Daigo Umehara serta Katsuhiro Harada (produser Tekken) juga dikabarkan akan hadir sebagai bintang tamu. Tidak menutup kemungkinan mereka akan bertemu dengan kontingen SEA Games negara lain juga, terutama atlet tuan rumah.

Mengapa Meat dan TJ dikirim untuk bertanding di turnamen besar seperti ini? “Tujuannya adalah sebagai tryout pemantapan atlet-atlet Tekken Indonesia. Membiasakan diri bermain di turnamen besar, melatih mental dan kepercayaan diri,” demikian kata Prana Adisapoetra, Sekjen IeSPA, kepada Hybrid, “Harapannya agar hasil tryout bisa maksimal sehingga mesin atlet-atlet tersebut sudah ‘panas’ menjelang SEA Games.”

REV Major 2019 - Schedule
Sumber: REV Major PH

Untuk informasi lebih lanjut tentang REV Major 2019, Anda dapat mengikuti akun media sosial resmi REV Major PH di Twitter. Jangan lupa juga untuk menunjukkan dukungan kepada para atlet kita dan menonton pertandingan mereka via streaming pada tanggal 28 – 29 September nanti. Ayo tunjukkan bahwa Indonesia bisa!