Kebun Indoor dengan Tenaga Kerja Robot Sebagai Solusi Atas Menurunnya Jumlah Pekerja Bidang Agrikultur

Bicara soal pemanfaatan teknologi di industri agrikultur, yang kita ingat mungkin hanya sebatas bertambah banyaknya drone komersial yang dirancang khusus untuk membantu para petani dan pemilik kebun. Namun siapa yang menyangka pembahasan ini sebenarnya bisa berlanjut ke bidang automasi alias tenaga kerja robot.

Visi tersebut tengah diwujudkan oleh sebuah startup asal Amerika bernama Iron Ox. Terus menurunnya jumlah tenaga kerja bidang agrikultur di AS memaksa mereka untuk bereksperimen dengan bidang robotik demi merealisasikan kebun otomatis yang bisa beroperasi sendiri tanpa bantuan tangan manusia.

Meski belum sepenuhnya berhasil, upaya mereka sudah mulai kelihatan hasilnya. Mereka baru saja membuka kebun hidroponik indoor di kota San Carlos. Luas fasilitas itu memang cuma sekitar 750 m², akan tetapi kapasitas produksinya bisa mencapai 26.000 bonggol sayur per tahun, setara kebun outdoor yang luasnya lima kali lebih besar.

Iron Ox automated farm

Dua jenis robot yang diperkerjakan di antaranya adalah robot besar yang bertugas memindah bak demi bak berisi tanaman, serta robot yang bertugas untuk memindah bonggol demi bonggol sayur ke bak yang baru sesuai dengan usia perkembangannya.

Agar robot-robot tersebut bisa saling membantu satu sama lain, dibutuhkan software yang mengatur semuanya. Iron Ox mengembangkannya sendiri dan menjulukinya “The Brain”. Beberapa tugasnya antara lain adalah memonitor kadar nitrogen, suhu, serta lokasi tiap-tiap robot.

Hampir semua pekerjaan di kebun Iron Ox ini ditangani oleh robot. Untuk sekarang, yang belum adalah tahap pembibitan dan pengolahan hasil panen. Ke depannya, Iron Ox berharap tahap-tahap ini juga bisa diautomasi dengan robot.

Iron Ox automated farm

Hasil panen dari kebun Iron Ox juga belum dijual selagi mereka masih bernegosiasi dengan restoran dan pedagang setempat. Puluhan ribu bonggol selada yang dihasilkan untuk sementara baru disimpan di gudang makanan setempat, sekaligus dijadikan santapan di kantin karyawan Iron Ox sendiri.

Apa yang dilakukan Iron Ox ini sejatinya bisa menjadi contoh bahwa tidak selamanya robot atau AI harus menjadi momok buat tenaga kerja manusia. Permintaan akan sayuran terus naik, sedangkan jumlah pekerjanya turun; peran automasi dan robot di sini tidak lain dari membantu mengatasi masalah.

Di samping itu, Iron Ox juga ingin mempersingkat waktu perjalanan sayuran dari kebun ke konsumen, sehingga yang mereka dapat adalah sayuran yang lebih segar. Berhubung yang diperkerjakan adalah robot, Iron Ox pun tidak harus memusingkan masalah standar gaji kawasan perkotaan yang lebih tinggi daripada daerah pinggiran.

Sumber: MIT Technology Review.

DJI Ciptakan Drone Pintar untuk Para Petani

Drone bukan lagi sekedar mainan atau barang hobi. Banyak videografer yang telah membuktikan pengaplikasian drone di bidang profesional. Kini DJI semakin memperkuat bukti tersebut dengan merambah ke bidang pertanian lewat DJI Agras MG-1.

MG-1 sangat berbeda dari drone biasa. Ia juga tak bisa disebut quadcopter karena mengusung 8 rotor. Dirinya pun tak dilengkapi kamera, melainkan alat penyemprot pupuk cair, lengkap dengan tangki berkapasitas 10 liter.

Menurut klaim DJI, kinerja drone anti-air dan anti-korosi ini sangatlah efisien – lebih dari 40 kali lipat lebih efisien ketimbang menyemprot secara manual. Setiap jamnya, MG-1 sanggup menjangkau lahan seluas 4 hektar.

DJI Agras MG-1

MG-1 punya kecepatan maksimum 8 meter per jam. Selagi mengudara, komponen radar microwave akan memindai apa saja yang berada di bawah drone. Dengan demikian, MG-1 dapat mengatur ketinggian secara otomatis berdasarkan jarak optimal antara alat penyemprot dan tanaman. Ia juga bakal menyesuaikan deras tidaknya semprotan berdasarkan kecepatannya mengudara.

Penyemprotan ini bisa dilakukan secara otomatis, semi-otomatis atau manual menggunakan remote control. Hal lain yang cukup menarik adalah, putaran setiap baling-balingnya ikut membantu pergerakan pupuk cair yang disemprotkan ke bawah.

Dari segi fisik, MG-1 tak cuma menarik berkat penggunaan 8 rotor. Ia turut mengemas sistem pendingin yang cerdas, memanfaatkan udara dari luar yang masuk lewat ventilasi di bagian depan bodinya, lalu disalurkan ke masing-masing rotor supaya tidak cepat panas.

DJI turut membekalinya dengan kemampuan mengingat lokasi terakhir penyemprotan. Jadi semisal baterainya akan habis, ia akan kembali secara otomatis untuk di-charge. Setelah terisi penuh, MG-1 akan terbang kembali menuju titik terakhir penyemprotan dilakukan dan melanjutkan tugasnya. Saat sedang tak digunakan, lengan masing-masing rotornya bisa dilipat ke dalam agar mudah dibawa-bawa.

DJI Agras MG-1

Sejauh ini kita bisa melihat bahwa DJI Agras MG-1 bukanlah produk yang ditujukan untuk konsumen secara umum. DJI berencana memasarkannya terlebih dulu di Tiongkok dan Korea, baru setelah itu menyusul ke kawasan lain. Harganya belum diketahui secara pasti, tapi dikabarkan bisa mencapai angka $15.000.

Mengingat Indonesia merupakan negara yang cukup memprioritaskan sektor agrikultur, saya kira DJI juga akan tertarik memasarkan Agras MG-1 di sini sesegera mungkin.

Sumber: SlashGear dan The Verge.