The Washington Post dan Bloomberg Mulai Tertarik Bahas Industri Game

Di negara-negara Barat, tak banyak media besar yang tertarik untuk membahas industri game secara mendalam. Biasanya, media-media niche seperti IGN, Kotaku, dan Destructoid yang mendominasi jurnalisme di dunia gaming. Selama 10 tahun belakangan, mereka menyajikan berbagai artikel tentang game, mulai dari review game sampai artikel investagasi soal industri game.

Namun, belakangan, hal ini mulai berubah. Semakin banyak media besar yang tertarik untuk membahas industri game secara mendetail. Salah satu alasannya adalah karena industri game telah menjadi industri besar dengan nilai mencapai US$159,3 miliar.

Beberapa media besar yang tertarik untuk membahas industri game dengan lebih dalam antara lain The Washington Post, Bloomberg, dan Wired. Mereka ingin menyediakan artikel tentang dunia gaming layaknya Hollywood dan Silicon valley. Khususnya, mereka ingin mmbuat artikel investagasi terkait bisnis dan budaya perusahaan game dengan harapan menarik perhatian masyarakat awam dan juga para gamer.

Bulan lalu, Wired Games resmi diluncurkan. Sebenarnya, kali itu bukanlah pertama kalinya Wired mencoba menyediakan segmen khusus game. Editor-in-Chief Nicholas Thompson mengaku, topik game tak lagi jadi perhatian ketika dia kembali bekerja di Wired pada 2017.

“Saya tidak tahu kenapa mereka berhenti membuat artikel game,” kata Thompson, menurut laporan CNN. “Sesekali, Wired akan membahas tentang game, tapi tidak sering. Padahal saya pikir, game punya peran penting dalam budaya kita, sehingga kita seharusnya bisa membahas banyak hal tentang game.”

Sementara itu, Bloomberg memang telah sejak lama membahas keuangan perusahaan-perusahaan game, seperti Nintendo dan Sony. Namun, sekarang, mereka juga akan mulai membuat artikel tentang budaya di perusahaan game. Pada April 2020, Bloomberg memperkenalkan segmen baru bernama Screentime, yang membahas tentang industri hiburan, termasuk game.

“Industri game sangat besar, tapi kurang mendapatkan perhatian media,” kata Mike Hume, Editor Launcher, segmen gaming dari The Washington Post. “Ada audiens yang tertarik dengan dunia gaming. Jika media besar membuat artikel tentang gaming secara mendalam, hal ini akan menarik minat masyarakat. Ada banyak cerita menarik di dunia game yang bisa kita bahas. Kami hanya terdiri dari 6 orang. Kami tidak akan bisa membahas semua berita penting di dunia game.”

Sumber header: Depositphotos.

[Opini] Posisi Media Esports Ketika Esports Semakin Diminati Media Mainstream

Ketika suatu bidang berkembang menjadi industri, maka bidang tersebut pasti tak akan lepas dari yang namanya jurnalisme. Jurnalisme video game telah menjadi hal yang lumrah semenjak era 90an dulu, dan kini pun mengikuti perkembangan ke arah kompetitif sebagai jurnalisme esports. Malah meskipun keduanya masih beririsan, dapat dikatakan bahwa reportase video game (core gaming) dengan reportasi esports merupakan hal yang sebetulnya jauh berbeda. Sebab fokus hal yang dibahas, cara pembahasan, serta target pasarnya pun berbeda.

Bila kita menengok beberapa tahun ke belakang, lima tahun lalu misalnya, media yang membahas tentang esports masih tergolong jarang. Akan tetapi sekarang esports telah menjadi buzzword yang sangat populer, dan tayangan esports pelan-pelan berubah dari sesuatu yang geeky menjadi hiburan umum di kalangan anak muda. Ditambah dengan nilai industrinya sendiri yang begitu besar, wajar bila kemudian semakin banyak media esports bermunculan. Fenomena yang mulai terjadi belakangan adalah bukan hanya media khusus esports yang membahas tentang esports, namun juga media-media mainstream.

Coba saja Anda melakukan pencarian di Google News dengan kata kunci “Mobile Legends”, maka Anda akan menemukan sejumlah nama-nama media non-esports, bahkan non-gaming, muncul di sana. Mulai dari Liputan 6, Republika, Detik, Kompas, hingga Tribun, semuanya kini membahas esports. Esports memang belum 100% menjadi mainstream di kalangan masyarakat, tapi dengan banyaknya media mainstream yang membahas, tampaknya tren mulai bergerak ke arah sana.

Tentunya tetap ada perbedaan antara “media mainstream yang membahas esports” dengan “media esports”. Secara simpel, perbedaannya ada pada level fokus dan dedikasi. Jurnalis atau media yang memang mengkhususkan diri untuk membahas esports, selain mengabarkan berita-berita umum juga dapat memberikan wawasan lebih mendalam terhadap berbagai aspek industri esports.

Jurnalis esports senior Duncan “Thooorin” Shields menyatakan bahwa orang-orang seperti inilah yang dibutuhkan oleh industri esports. Mereka yang benar-benar paham seluk-beluknya, sudah lama menggelutinya, dan dapat menyampaikan kisah-kisah industri esports lewat konten bermutu. Dalam hal ini, kita bisa menyimpulkan bahwa media esports tidak akan kalah dari media mainstream, setidaknya dalam hal kedalaman dan ketajaman konten esports yang disajikan.

Thooorin - Esports Journalist Award
Duncan “Thooorin” Shields menerima gelar Esports Journalist of the Year | Sumber: Esports Awards

Akan tetapi lain ceritanya bila kemudian ada media mainstream yang merekrut kru khusus untuk membahas esports secara terdedikasi. Seperti dilakukan The Washington Post beberapa waktu lalu. Mereka membuka beberapa lowongan untuk reporter video game serta editor esports, untuk “membantu mengembangkan cakupan industri video game yang terus tumbuh serta dunia esports”. Terlebih lagi posisi ini bukan posisi untuk junior, mereka menginginkan editor dan reporter yang sudah berpengalaman. Artinya dalam waktu dekat kita bisa saja melihat adanya konten dengan kualitas setara media khusus esports, namun tampil di media mainstream.

Bagi sesama pelaku media, langkah The Washington Post ini dapat memunculkan kekhawatiran. Karena bila kelebihan media esports—yaitu kualitas kontennya—bisa dimiliki juga oleh media mainstream, masyarakat akan kehilangan alasan untuk mengakses media esports. Lebih baik mereka membuka media mainstream saja, toh isinya sama. Apalagi bila nantinya, jurnalis yang masuk ke dalam media mainstream itu adalah jurnalis senior yang dulunya punya pengaruh besar di industri esports.

The Washington Post
Sumber: The Pulitzer Prizes

Sebaliknya, bagi industri esports secara keseluruhan, langkah The Washington Post ini adalah kabar yang menggembirakan. Dengan jangkauan massa yang jauh lebih besar, berita di industri esports akan menyebar lebih luas dan lebih cepat. Prestasi-prestasi para atlet akan mendapat lebih banyak apresiasi, begitu juga para pemilik brand akan lebih tertarik untuk berinvestasi karena visibilitas mereka meningkat. Tidak menutup kemungkinan di masa depan esports akan jadi hal yang sangat lumrah di masyarakat, tak ubahnya industri sepak bola profesional, dan stigma negatif akan esports akan benar-benar hilang sepenuhnya.

Meski demikian bukan berarti media esports akan mati. Hanya saja segmentasinya pelan-pelan akan berubah. Karena bagaimana pun juga selama media mainstream itu masih menjadikan esports sebagai hanya “bagian dari mereka”, mereka pun tetap akan menemui keterbatasan. Baik itu keterbatasan jumlah kru, ruang konten di media, hingga keterbatasan topik yang dapat dibahas. Tidak mengherankan bila media mainstream pada akhirnya hanya membahas cabang esports yang mainstream saja. Sementara cabang-cabang esports lainnya hanya jadi topik sampingan.

Sebagian penikmat esports yang sudah puas dengan konten tersebut akan pindah ke media mainstream, dan hal itu tak bisa dihindari. Tapi di antara para penikmat esports itu pun akan ada sebagian yang tidak puas. Mereka lapar akan konten mendalam, dan haus akan reportase cabang-cabang esports tertentu yang tidak ada di media mainstream. Mereka tidak hanya ingin mendengar berita tentang event, namun ingin mengenal esports lebih jauh, siapa tokoh-tokohnya, seperti apa game yang dipertandingkan, hingga bagaimana cara kerja industrinya. Mereka ingin ulasan, opini, dan data. Guide, ulasan, atau sejarah. Analisis seperti Core-A Gaming, gosip seperti Lambe Moba, hingga meme seperti Dota Watafak. Serta segudang jenis konten lainnya.

Hal-hal seperti inilah yang, saya rasa, tidak bisa muncul di media mainstream dan akan menjadi alasan para penggemar esports untuk tetap setia pada media khusus esports. Berbagai data sudah menunjukkan bahwa di era modern ini, keinginan masyarakat akan konten panjang (longform) berkualitas tumbuh semakin besar. Sebagai kreator konten kita dituntut untuk terus stand out, menunjukkan keunikan, melakukan spesialisasi dan memiliki karakter. Karena bila tidak demikian maka kita tidak akan bisa bertahan di tengah lautan media yang kini bisa dibuat oleh siapa saja. Improvise, adapt, overcome. Karena memang itu satu-satunya pilihan yang tersedia.

Sumber Gambar: Joe Brady/Top Mid Esports

The Washington Post Dibeli oleh CEO Amazon, Jeff Bezos

Wajah miliarder yang juga CEO Amazon, Jeff Bezos, menghiasai berbagai media online dalam dua hari terakhir ini setelah keputusan beraninya membeli The Washington Post senilai $250 juta dalam bentuk cash. Pembelian tersebut telah dikonfirmasi oleh The Washington Post semalam waktu Indonesia kepada Engadget.

Disebutkan oleh The Washington Post bahwa bahwa Amazon tidak memiliki peran dalam proses pembelian ini, Jeff melakukan pembelian atas nama pribadi. Setelah proses transaksi pembelian ini selesai maka Jeff Bezos akan resmi menjadi pemilik tunggal The Washington Post. Proses transaksi ini setidaknya membutuhkan waktu 60 hari.

Berbagai respon lantas muncul pasca pemberitaan ini, sebagian berpendapat bahwa keputusan Jeff akan melibatkan dirinya dalam sebuah permainan catur, dan itu bisa menjatuhkan dirinya. Terlebih Jeff punya pandangan yang bisa jadi membuatnya tersadar dengan apa yang baru saja dilakukan, pada sebuah wawancara pada tahun 2012 lalu, Jeff mengatakan bahwa media dalam bentuk print out akan mati 20 tahun mendatang, selain itu Jeff juga mengatakan bahwa di web online, orang tidak mau membayar untuk membaca berita.

Menjadi menarik, dengan pandangan seperti itu Jeff pada akhirnya mau membeli The Washington Post yang memiliki akar di sisi cetak dan menerapkan sistem berbayar pada media online mereka.

Pada kuartal terakhir, media cetak The Washington Post justru mengalami penurunan pendapatan hingga 4%. Sementara pendapatan dari media online dan sebagian besar dari Washingtonpost.com dan properti media Slate justru naik 8% menjadi $25.8 Juta.

Kemudian suksesnya penjualan Kindle Fire juga menandakan bahwa sekarang adalah momen peralihan dari media cetak ke media digital, Jeff juga mengemukakan pendapat bahwa orang mau membayar biaya berlangganan koran di tablet, tablet juga bisa menjadi momentum bagi perkembangan media (koran).

Masih disebutkan dari TechCrunch, Jeff tidak akan ikut campur dalam urusan editorial media yang baru dibelinya ini, Engadget juga menyebutkan bahwa Jeff tidak akan ikut dalam operasional harian The Washington Post, namun akan ada perubahan dalam perusahaan dalam beberapa tahun ke depan.

Seperti apa strategi Jeff untuk The Washington Post, inovasi apa yang akan menghinggapi media yang menjadi salah satu media tertua ini? Integrasi apa yang akan terjadi dengan Amazon serta produk Kindle? Mari kita nantikan gebrakan Jeff Bezos.

Sumber berita: Engadget, Techcrunch dan gambar header: commons.wikimedia.