VALORANT Ignition Series, Rangkaian Turnamen Kolaborasi Riot Games Dengan Komunitas

Rilis 2 Juni 2020 lalu, game FPS besutan Riot Games ini segera mendapat penerimaan yang positif. Walau jumlah penontonnya di Twitch menurun, namun game ini tetap memiliki antusiasmenya tersendiri, bahkan sampai menarik perhatian sosok-sosok komunitas FPS di Indonesia. Dengan latar belakang nama besar Riot Games yang sukses membawa League of Legends menjadi esports global, pengembang asal California ini jadi mengemban beban untuk dapat membawa VALORANT mencapai titik kesuksesan yang sama.

Sebelumnya, Riot sudah sempat umumkan bahwa mereka tidak akan tangani turnamen esports VALORANT sendiri untuk sementara waktu. Namun bukan berarti Riot Games lepas tangan sepenuhnya, karena baru-baru ini mereka mengumumkan sebuah rangkaian kompetisi yang diberi nama VALORANT Ignition Series.

Sumber: VALORANT Official
Sumber: VALORANT Official

Anda penggemar fighting game mungkin sudah terbiasa dengan format ini. VALORANT Ignition Series ibarat seperti Capcom Pro Tour di Street Fighter V atau Tekken World Tour di Tekken 7. Jadi dalam Ignition Series, penyelenggara pihak ketiga diperkenankan membuat turnamen Valorant mereka masing-masing. Para penyelenggara lalu diperkenankan untuk mengajukan turnamen ini kepada Riot Games agar turnamen besutannya diberi lisensi dan masuk dalam rangkaian Ignition Series; seperti IFGC Max yang mendapat lisensi Challenger Event pada rangkaian TWT 2020.

Pada laman khusus VALORANT Ignition Series, Riot Games mengatakan “VALORANT Ignition Series adalah langkah pertama setelah peluncuran game, untuk memfasilitasi laga kompetitif yang terorganisir. Rangkaian ini membebaskan penyelenggara pihak ketiga untuk bereksperimen dengan ragam format dan bentuk kompetisi, agar nantinya bisa menjadi fondasi bagi skena kompetitif Valorant.”

Dalam rangkaian ini, Riot Games mengumumkan dua kompetisi terlebih dahulu, yaitu G2 Esports VALORANT Invitational untuk regional Europe, Middle East, Africa (EMEA) dan RAGE, turnamen VALORANT dari Jepang. Dua kompetisi tersebut diselenggarakan pada tanggal yang sama yaitu dari 19-21 Juni 2020 mendatang.

Riot juga menjelaskan bahwa mereka telah bekerja sama dengan lebih dari 20 organisasi esports di seluruh dunia. Jadi, walau saat ini hanya ada dua turnamen yang diumumkan, namun kita akan melihat rangkaian Ignition Series lainnya yang diselenggarakan di Amerika Utara, Brazil, Amerika Latin, Korea Selatan, Jepang, Asia Tenggara, Oseania, Eropa, Rusia, Turki, dan Timur Tengah.

Terkait esports VALORANT untuk regional Asia Tenggara dan Indonesia, Justin Hulog General Manager Southeast Asia and Taiwan for Riot Games, sempat mengungkap rencana yang ia pikirkan lewat sebuah wawancara eksklusif yang saya lakukan.

Justin mengatakan bahwa salah satu fokus yang ingin ia capai untuk tahun ini adalah memastikan ekosistem VALORANT di Asia Tenggara memiliki tim dan liga lokal yang kuat. “Agar jika nanti menjadi besar, esports VALORANT tak hanya sukses untuk sesaat, tetapi juga bisa berkelanjutan sampai jangka panjang.” Tambahnya.

Melihat hal ini, apakah artinya penyelenggara turnamen lokal punya kesempatan untuk mengajukan rencana turnamen VALORANT miliknya kepada Riot Games untuk jadi bagian dari Ignition Series?

[Exclusive Interview] Apa Rencana Riot Games untuk Valorant di Indonesia?

Tanggal 2 Juni 2020 lalu, Riot Games akhirnya secara resmi merilis game FPS buatannya, Valorant. Antusiasme para gamers terhadap Valorant terbilang cukup tinggi. Riot Games pertama kali mengumumkannya sebagai Project A pada ulang tahunnya yang ke-10, bersama dengan League of Legends versi Mobile (Wild Rift), game kartu Legends of Runeterra, dan sebuah proyek game fighting League of Legends.

Ketika Valorant pertama kali muncul ke permukaan pada April 2020 lalu, game ini segera mendapat perhatian yang begitu besar. Bahkan, Valorant berhasil mencatatkan rekor sebagai game dengan jumlah penonton terbanyak, dengan 1,7 juta pasang mata menyaksikan konten game ini pada platform game Twitch.

Kini, setelah Valorant rilis, banyak pertanyaan muncul. Bagaimana Riot merencanakan esports untuk Valorant? Apa langkah selanjutnya setelah banyak organisasi esports dan pihak ketiga berinvestasi ke dalam ekosistem Valorant? Dan yang paling penting, akankah ada dukungan bagi para komunitas dan ekosistem esports lokal Indonesia?

Membahas hal ini, saya berkesempatan untuk mewawancara Justin Hulog, General Manager Southeast Asia and Taiwan for Riot Games. Tapi sebelum itu, mari kita bahas singkat bagaimana proses Valorant hingga menjadi seperti sekarang.

Bagaimana Riot Games Membesarkan Valorant Sejauh Ini

Anda penggemar game PC, terutama genre MOBA, besar kemungkinan Anda tahu nama besar Riot Games. Mengasuh League of Legends dari game yang bukan siapa-siapa, bahkan awalnya ditentang keras oleh komunitas pemain Defense of the Ancients, hingga jadi salah satu yang terlaris dan terbaik saat ini.

Membawa nama besar Riot Games, tak heran jika Valorant memiliki ekspektasi serupa dari komunitas. Apalagi Anna Donlon, Executive Producer di Riot Games, kerap kali mengatakan bahwa dirinya dan tim pengembang Valorant ingin membawa game tersebut bertahan untuk jangka panjang layaknya League of Legends.

Punya tujuan yang besar, usaha Riot untuk mencapai itu juga tidak main-main. April 2020, Valorant memasuki fase beta. Mereka melakukan satu strategi yang juga jadi andalan EA saat ingin memperkenalkan Apex Legends, menggandeng para streamer Twitch.

Para kreator konten diajak menjadi rekan Riot Games untuk main dan menayangkan Valorant pada kanal mereka masing-masing. Lalu bagaimana nasib gamers lain yang ingin tahu dan coba Valorant? Mereka diajak menonton channel Twitch yang sudah menjadi rekan Riot Games, agar bisa mendapatkan beta-keys Valorant. Berkat strategi tersebut, Valorant berhasil memcahkan rekor jumlah penonton Twitch, mencapai 1,7 juta concurrent viewers.

Tidak hanya dari segi promosi saja, Riot Games juga menunjukkan bahwa keseriusan mereka dalam menggarap game lewat beberapa sajian diari sang developer. Dari segi teknis, mereka menyiapkan server super responsif, bahkan sampai memiliki layanan internet khusus yang diberi nama Riot Direct. Mereka juga mempersiapkan server dengan 128 tick rate, yang dipercaya memberi respon lebih jitu di dalam permainan.

Dari segi gameplay, walau secara umum punya pengalaman bermain yang mirip dengan CS:GO, namun Riot Games juga secara serius ingin menyajikan sesuatu yang baru seraya mempertahankan apa yang mereka sebut sebagai Competitive Integrity. Semua dirancang untuk menyeimbangkan antara keseruan permainan adu tembak dengan kreativitas penggunaan skill masing-masing karakter dalam mencapai kemenangan.

Hal ini ternyata mendapat apresiasi yang positif dari komunitas. Shroud, sosok streamer kenamaan di komunitas FPS bahkan sampai berkata bahwa Valorant adalah game yang luar biasa, yang bisa membuat dirinya merasa malas untuk kembali memainkan FPS lain.

Kombinasi penggarapan yang serius dilengkapi strategi marketing yang efektif membuat bibit-bibit ekosistem esports Valorant mulai tumbuh, terutama di Amerika Serikat tempat Valorant memulai popularitasnya. Selanjutnya, banyak organisasi esports jadi mulai membentuk tim, mulai dari T1, G2 Esports, dan berbagai tim lainnya. Lalu, banyak pihak ketiga juga jadi tidak ragu membuat turnamen Valorant, mulai dari Twitch, ESPN, bahkan T1 juga tak mau kalah.

Whalen Rozelle, Riot Games Senior Director of Esports bahkan menceritakan kepada ESPN, bahwa mereka berbincang dengan lebih dari 120 tim profesional sebelum akhirnya memutuskan membuat Valorant. “Kebanyakan waktu kami dihabiskan untuk bertanya dan mendengarkan, bagaimana pengalaman mereka di esports FPS lain? Apa yang ingin mereka lihat di esports Valorant? Bahkan kami menceritakan rencana internal kepada mereka dan meminta komentarnya. Kami belajar banyak dan kebanyakan dari organisasi tersebut sekarang sudah punya tim, membuat turnamen, atau bahkan keduanya.”

Bagaimana Valorant dibuat, dipasarkan, dan dikembangkan, menunjukkan komitmen Riot Games agar mereka dapat kembali mendulang kesuksesan layaknya League of Legends. Namun kebanyakan proses tersebut terjadi di Amerika Serikat. Lalu bagaimana nasib Indonesia yang ada di regional Asia Tenggara?

Cara Riot Games Menyajikan Valorant Untuk Komunitas Indonesia

Walau Riot punya nama besar dan tersohor di seluruh dunia, tapi komunitas League of Legends Indonesia boleh jadi kecewa dengan pengembang asal Los Angeles ini. Awal 2010an League of Legends pertama rilis dan heboh di seluruh dunia. Walau cukup diantisipasi oleh pasar lokal, sayang Riot Games memutuskan tidak turun tangan langsung menangani game tersebt di Asia Tenggara.

Pengembangan komunitas League of Legends pada akhirnya diberikan kepada publisher lokal. Dukungan publisher lokal sempat membuat League of Legends cukup populer di Indonesia. MOBA ini bahkan sempat punya liga esports lokal, yang mendefinisikan apa itu esports profesional, karena menerapkan sistem gaji untuk tim peserta. Tapi akhirnya League of Legends di Indonesia tidak bertahan lama, server lokal Indonesia tutup dan digabung ke server SG/MY pada April 2019 lalu. Seiring dengan penutupan server dan berhentinya sokongan terhadap komunitas lokal, League of Legends pun meredup di Indonesia.

Ketika Valorant rilis, muncul satu tanda tanya besar yang kembali dipertanyakan. Akankah Riot Games kembali lepas tangan terhadap Valorant dan komunitasnya dengan menyerahkan game ini kepada publisher lokal?

Seakan ingin menebus dosa lamanya, berita menggembirakan muncul ketika Riot Games mengumumkan bahwa Valorant akan memiliki server Asia Tenggara lewat dukungan langsung dari sang pengembang. Tak hanya itu, Valorant bahkan menyambut hangat komunitas gamers Indonesia, dengan menyediakan opsi bahasa Indonesia di dalam game.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Alih-alih sekadar menyajikan nama skill dengan bahasa Inggris, translasi ini menjadi satu wujud keseriusan bagi Riot Games dalam menyajikan sebuah game yang bisa diterima oleh semua kalangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Membahas ini Justin Hulog lalu menjelaskan alasan kenapa sampai ada bahasa Indonesia di dalam Valorant. Ia mengatakan bahwa menyertakan bahasa Indonesia ke dalam Valorant merupakan salah satu yang hal yang didiskusikan oleh dirinya dan tim Riot Games Asia Tenggara sedari lama. “Maka dengan perilisan ini, saya bersama Riot Games dengan bangga mengatakan bahwa Valorant bisa dibilang menjadi game pertama kami yang menyertakan translasi bahasa Indonesia di dalamnya.” Ujar Justin.

Lebih lanjut Justin pun menjelaskan prosesnya. “Pada awalnya apa yang kami lakukan adalah mempelajari, kira-kira negara mana yang punya potensi, apakah negara tersebut (Indonesia) akan tertarik memainkan game tersebut jika kami menyediakan translasi? Setelah game dirilis dalam bahasa Inggris, kami lalu memulai proses translasi, entah dengan translator dari tim developer Riot ataupun translator dari vendor lokal.”

Saya paham betul kebanyakan gamers mungkin tidak perlu-perlu amat translasi bahasa Indonesia, toh sedari dulu kita juga sudah terbiasa main game dengan bahasa Inggris. Namun saran saya Anda perlu menyempatkan diri untuk mencicipi translasi bahasa Indonesia di dalam Valorant.

Bisa jadi, Anda akan terkagum sendiri melihat bagaimana usaha Riot melakukan translasi, bahkan termasuk terhadap beberapa kemampuan milik Agents. Beberapa contoh translasi yang membuat saya kagum adalah skill Blade Storm milik Jett, yang ditranslasi menjadi Badai Belati. Lalu ada juga skill ultimate milik Agents terbaru, Reyna, yang ditranslasi dari Empress dalam bahasa Inggris, menjadi Maharani dalam bahasa Indonesia.

Tentunya translasi ini bukan tanpa cacat. Ada juga beberapa bagian translasi yang membuat saya jadi kebingungan, seperti mode Spike Rush yang ditranslasi sebagai Spike Segera dalam bahasa Indonesia. Namun secara umum, saya tetap merasa bahwa translasi yang dikerjakan secara serius ini adalah salah satu bentuk komitmen Riot Games terhadap komunitas gamers Indonesia.

Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Dalam bahasa Inggris ini seharusnya bertuliskan Episode 1: Ignition. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi
Tapi bukan berarti translasi bahasa Indonesia di Valorant tanpa cacat. Contoh paling terasa lansgung tampil di depan mata. Bertuliskan Ignition: Episode 1 dengan bahasa Inggris, translasi menjadi “Nyala: Babak 1” justru membuat tulisan tersebut seolah tak punya arti. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi

Translasi bahasa sudah jadi pertanda positif bagi komunitas gamers di Indonesia, lalu apa langkah selanjutnya dari Riot terhadap komunitas di Indonesia? Sejujurnya, Justin belum bisa menjelaskan secara terperinci soal apa-apa saja rencana yang akan Riot lakukan untuk komunitas di Indonesia saat saya wawancara hari Kamis 4 Juni 2020 kemarin. Selain karena game ini baru rilis 2 Juni 2020 kemarin, pandemi COVID-19 juga jadi alasan lainnya.

“Ini jujur ya, jika saja tidak ada pandemi COVID-19, saya mungkin saat ini sudah berada di Indonesia… Haha. Saya mungkin sudah berkeliaran mencoba mencari tahu kira-kira dukungan apa yang bisa diberikan oleh Riot agar Valorant mendapat penerimaan yang lebih baik di komunitas Indonesia.” Ucap Justin kepada saya.

Namun, untungnya Justin sempat membagikan beberapa pandangan dan rencana yang mungkin akan ia lakukan untuk mengembangkan komunitas Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia. “Pertama-tama, kami ingin memastikan Valorant siap dari sisi server dan dapat menampung Anda semua yang ingin memainkan game terbaru dari kami.” Justin membuka pembahasan. “Baru beberapa bulan setelahnya kami mendorong lebih jauh, melakukan lebih banyak hal agar Valorant bisa diterima lebih banyak orang.”

Justin mengatakan, bahwa bentuk dukungan yang diberikan bisa berbeda-beda, tergantung kebutuhan dari komunitas di masing-masing negara. “Sebagai contoh, saya sadar betul bagaimana warnet atau iCafe masih memegang peran penting dalam pasar PC gaming di Indonesia dan Filipina, negara tempat saya berasal. Jadi kalau memang demikian, apa yang kami lakukan adalah dengan mengajak iCafe untuk bekerja sama agar bisa menyajikan Valorant ke lebih banyak gamers di komunitas lokal.” Ujar Justin.

Rencana Esports Valorant di Asia Tenggara dan Indonesia

Setelah kita bicara soal cara Riot Games menyajikan Valorant untuk komunitas di Indonesia, esports jadi topik lain yang tak kalah menarik untuk dibahas. Apalagi karena sampai saat ini, nama besar Riot Games tercipta karena esports untuk League of Legends. Seperti Anda, saya juga jadi berpikir bahwa kemungkinan besar Valorant dipersiapkan oleh Riot Games untuk menjadi esports kelas dunia layaknya League of Legends.

Sejak awal Riot sempat mengatakan bahwa mereka tidak akan menangani esports Valorant secara langsung untuk sementara waktu. Tetapi apakah ini artinya tidak akan ada esports untuk Valorant? Justin lalu menyatakan bahwa sustanability dan ekosistem lokal yang sehat menjadi fokus awal bagi dirinya dan tim Riot Games di Asia Tenggara, sebelum menuju ke perkara esports.

Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson, yang tempo hari juga sempat Hybrid wawancari. Sumber: IGN SEA
Justin Hulog (Kiri) bersama dengan Jennifer Poulson (kanan) yang juga sempat Hybrid wawancarai tempo hari. Sumber: IGN SEA

“Kami mungkin bisa saja mengucurkan dana besar-besaran untuk turnamen, dan secara instan menciptakan esports global. Tetapi tanpa ekosistem lokal yang kuat, hal tersebut akan jadi tidak berarti dan mungkin jadi investasi yang tidak berarti. Yang saya maksud dengan ekosistem lokal kuat adalah termasuk, sekelompok pemain yang mencintai game tersebut dan memainkannya setiap saat ataupun kompetisi untuk sekelompok pemain amatir yang nantinya punya kesempatan untuk menjadi semi-pro lalu profesional.” Justin memberi pandangannya.

Saya mengerti apa yang dimaksud Justin di sini. Alih-alih membuat esports secara tiba-tiba, Riot Games ingin membiarkan pemain kenalan terlebih dahulu dengan game yang dibesut. Lalu jika bicara esports, Riot juga ingin membuat esports Valorant lahir dari yang paling mendasar yaitu komunitas.

“Maka dari itu fokus saya pada tahun ini untuk regional SEA adalah memastikan nantinya regional ini memilki tim dan liga lokal yang kuat. Agar jika nanti menjadi besar, esports Valorant tak hanya sukses untuk sesaat, tetapi juga bisa sustainable dan bertahan lama.” Justin memperjelas pandangannya.

Mungkin sampai saat ini, baru itu saja yang bisa dibagikan Riot Games kepada komunitas Indonesia terkait rencana mereka untuk mengembangkan Valorant. Namun, cukup melegakan mendengar bagaimana penjelasan dan pandangan dari Justin. Setidaknya kita bisa sedikit yakin dengan satu hal, yaitu Riot tidak lagi meninggalkan para gamers di Asia Tenggara dan Indonesia untuk kedua kalinya.

Jadi, bukan tidak mungkin jika Valorant nantinya akan memiliki liga atau kompetisi lokal, atau mungkin berbagai event seru yang bisa dinikmati oleh para pemain di iCafe terdekat.

Penonton Valorant Justru Menurun Setelah Rilis, Ada Apa?

Kemarin, FPS besutan Riot Games yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya rilis. Jelang perilisannya, Valorant memang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh para gamers. Dalam sebuah rilis Riot Games mengatakan bahwa selama fase closed-beta yang diadakan di Amerika Serikat dan Eropa, Valorant sudah ditonton total selama 470 juta jam dan dimainkan hampir oleh 3 juta pemain.

Antusiasme game ini juga menjadi semakin tinggi, apalagi setelah banyak pihak ketiga yang terjun turut meramaikan Valorant. Mulai dari T1, G2 Esports, dan beberapa organisasi esports lainnya yang segera mencari pemain untuk tim Valorant. Beberapa organisasi juga menyelenggarakan turnamen Valorant, seperti Twitch yang mengadakan Twitch Rivals, ESPN, bahkan termasuk organisasi esports seperti T1.

Terlepas dari antusiasme yang sangat tinggi saat game ini pertama kali diperkenalkan, dan diberikan aksesnya kepada para pemain secara terbatas, muncul tanda tanya besar setelah game ini dirilis. Dapatkah Riot mendapatkan kesuksesan yang sama seperti League of Legends pada Valorant?

Secara bisnis, Whalen Rozelle, Senior Director of Esports Riot Games mengatakan bahwa Riot Games berdiskusi dengan 120 organisasi dan tim profesional selama pengembangan closed-beta Valorant. Namun menariknya, terlepas tingginya antusiasme game ini pada masa closed-beta, jumlah penonton konten Valorant malah menurun pada saat rilis secara terbuka pada 2 Juni 2020 kemarin.

Mengutip dari Twitchtracker, jumlah penonton rata-rata konten Valorant di Twitch justru mencapai puncaknya pada bulan April 2020, dengan rata-rata penonton sebanyak 478.682. Jumlah rata-rata penonton menurun pada bulan Mei menjadi 194.576 orang meskipun jumlah Channel yang menyiarkan Valorant masih sama, yaitu sebanyak 6.397 channel. Jumlah ini lalu menurun lagi di bulan Juni, menjadi hanya memiliki rata-rata penonton sebanyak 76.947 orang.

Sumber: TwitchTracker
Sumber: TwitchTracker

Mungkin ada beberapa faktor yang menyebabkan ini, salah satunya adalah promosi dari Riot Games yang bisa dibilang cenderung menurun ketika melakukan perilisan secara global. Pada saat merilis closed-beta di bulan April, Riot memberi satu insentif yang membuat game ini bisa memecahkan rekor penonton Twitch dengan 1,7 juta concurrent viewers.

Insentif yang diberikan adalah berupa beta keys Valorant untuk mereka yang menonton beberapa channel Twitch yang bekerja sama dengan Riot Games. Sebagai game yang baru rilis, dan dibuat oleh pengembang yang sudah terkenal lewat League of Legends, tak heran jika jutaan orang jadi tertarik untuk menonton dan mencoba Valorant.

Satu hal lagi adalah, bulan Juni yang baru saja dimulai, membuat data yang terkumpul sebenarnya belum bisa sepenuhnya menggambarkan tingkat penonton Valorant di Twitch. Namun demikian Riot Games tidak tinggal diam. Mereka tetap menggenjot promosinya, salah satunya dengan mengadakan Valorant Launch Showdown dengan hadiah sebesar US$200.000.

Melihat antusiasmenya yang sangat tinggi pada saat awal perilisan, membuat banyak pihak jadi penasaran, dan bahkan mungkin sedang mempertimbangkan untuk menginvestasikan diri ke ekosistem Valorant. Apalagi bagi ekosistem esports di Asia Tenggara, yang sejauh ini masih minim dukungan secara esports dari Riot Games.

Kita lihat saja, apakah Riot Games bisa mempertahankan keberlanjutan antusiasme pemain terhadap Valorant, dan apakah Riot Games akan memberi dukungan kepada ekosistem esports di Asia Tenggara dan Indonesia untuk game yang satu ini?

Bisakah Riot Mengulang Kesuksesan League of Legends dengan Valorant?

Riot Games resmi meluncurkan Valorant pada 2 Juni 2020. Setelah sukses menjadikan League of Legends sebagai salah satu game esports paling populer, muncul pertanyaan apakah Riot akan bisa kembali sukses dalam mengembangkan ekosistem esports Valorant. Satu hal yang pasti, bahkan sebelum game tactical shooter itu diluncurkan, beberapa pelaku esports, seperti Twitch, T1, G2 Esports, dan ESPN, telah membuat turnamen Valorant di Amerika Utara dan Eropa.

Sebelum ini, Riot mengatakan, mereka akan membiarkan pihak ketiga membuat turnamen Valorant. Mereka tidak akan langsung menyelenggarakan liga Valorant dengan model franchise, lain halnya dengan liga League of Legends. Sekarang, liga League of Legends di Amerika Utara, Eropa, dan Tiongkok telah menggunakan model franchise, sementara liga di Korea Selatan akan mulai mengaplikasikan model tersebut pada 2021.

“Jika kami menawarkan kerja sama permanen sejak awal, tanpa memberikan kesempatan pada gamer dan komunitas untuk mencari tahu apa yang mereka inginkan, hal ini akan menyulitkan kami untuk berubah jika kami menemukan sesuatu yang baru dalam waktu satu atau dua tahun ke depan,” kata Whalen Rozelle, Senior Director of Esports, Riot Games, menurut laporan ESPN. “Menggunakan model lisensi untuk mengadakan turnamen terbuka memungkinkan kami belajar dan melakukan penyesuaian sehingga kami dapat menemukan format terbaik untuk para fans Valorant.”

Namun, membiarkan pihak ketiga menyelenggarakan turnamen bukan berarti Riot tidak akan membuat kompetisi Valorant sendiri sama sekali. Faktanya, bersamaan dengan peluncuran Valorant, Riot mengadakan turnamen Valorant Launch Showdown.

ekosistem esports Valorant
Valorant menarik perhatian bahkan sebelum ia diluncurkan.

Rozelle berkata, dengan mengumpulkan data tentang scene esports Valorant, Riot berharap, mereka bisa mengembangkan ekosistem yang menghargai baik tim profesional maupun para sponsor. Memang, selama mengembangkan scene esports League of Legends, Riot pernah mendapatkan sejumlah kritik karena dianggap gagal memberikan insentif bagi tim yang memang serius di League of Legends.

“Setelah mengadakan turnamen League of Legends selama 10 musim, tidak bisa tidak, kami menyadari bahwa ada beberapa hal yang kami harap bisa kami ubah,” ujar Rozelle. “Misalnya, kami seharusnya menjalin kerja sama dengan tim lebih cepat.” Belajar dari kesalahan, Riot mengajak lebih dari 120 organisasi dan tim profesional untuk berdisksui sebelum meluncurkan versi beta dari Valorant.

“Tujuan kami adalah memulai kerja sama dengan organisasi-organisasi tersebut, atau mempererat hubungan kami dengan tim yang sudah terlibat dalam League of Legends,” kata Rozelle. “Kami menghabiskan banyak waktu untuk saling bertanya jawab — game esports FPS lain apa yang pernah mereka mainkan? Apa yang ingin mereka temukan di ekosistem esports Valorant? Kami juga mendiskusikan tentang rencana kami dan pendekatan kami akan kritik dan saran yang kami terima.”

Sebagai game esports, Valorant memiliki beberapa fitur unik. Salah satunya adalah keberadaan spectator mode. Para pemain mungkin tidak akan merasakan manfaat dari fitur ini. Namun, bagi penyelenggara turnamen, keberadaan fitur tersebut akan sangat membantu. Sayangnya, selama beta, spectator mode di Valorant belum bekerja sempurna. Terkait hal ini, Ryan “Morello” Scott, character designer Valorant mengatakan, specator mode memang bukan salah satu fitur utama yang mereka fokuskan pada peluncuran. Namun, Rozelle menyebutkan, timnya tengah mengusahakn untuk memperbaiki sejumlah masalah yang ada dalam game, termasuk terkait spectator mode.

Selama Fase Beta, Valorant Dimainkan Hampir 3 Juta Pemain Setiap Harinya

Valorant resmi meluncur hari ini. Setelah lebih dari satu dekade, Riot Games akhirnya punya game yang bukan berasal dari lore League of Legends. Valorant tentunya juga lebih berbobot ketimbang Teamfight Tactics yang ber-genre auto chess maupun Legends of Runeterra yang merupakan digital collectible card game (CCG).

Penggemar game first-person shooter (FPS) kompetitif tentunya juga lebih banyak daripada auto chess maupun CCG, dan ini bisa kita lihat dari data seputar fase closed beta Valorant.

Riot mengklaim bahwa kalau dirata-rata, ada hampir tiga juta orang yang memainkan Valorant setiap harinya selama fase beta. Sebagai perbandingan, CS:GO pada bulan Maret lalu sempat memecahkan rekor 1 juta concurrent player. Memang tidak apple-to-apple mengingat rekor CS:GO itu adalah untuk jumlah pemain yang online di saat bersamaan, tapi setidaknya kita punya gambaran sebesar apa hype Valorant.

Tidak kalah mengesankan adalah total durasi yang dihabiskan para penonton Valorant di Twitch. Tercatat bahwa dalam kurun waktu kurang dari dua bulan (7 April – 28 Mei), 470 juta jam habis terpakai untuk menonton sesi permainan Valorant. Pernah dalam satu hari, 1,7 juta orang menonton streaming Valorant secara bersamaan.

Dengan dirilisnya Valorant secara resmi, kita tidak perlu terkejut seandainya jumlah pemain hariannya terus bertambah banyak lagi. Demi meramaikan peluncurannya, Riot juga telah menambahkan seorang Agent baru bernama Reyna, map baru bernama Ascent, dan mode permainan baru bertajuk Spike Rush.

Sumber: PC Gamer.

Minggu Depan, Riot Games Bakal Adakan Valorant Launch Showdown

Riot Games akan meluncurkan Valorant secara resmi pada 2 Juni 2020. Dalam rangka merayakan peluncuran game tactical shooter barunya, Riot bekerja sama dengan Twitch untuk mengadakan kompetisi Valorant Launch Showdown. Total hadiah yang ditawarkan dalam kompetisi itu mencapai US$200 ribu. Sayangnya, Riot belum menentukan tanggal pasti dari turnamen tersebut. Satu hal yang pasti, kompetisi itu akan diadakan bersamaan dengan Summer Games Fest dari Twitch, yang diselenggarakan pada 5-7 Juni 2020.

Riot Games akan mengadakan turnamen Valorant Launch Showdown untuk enam kawasan, yaitu Amerika Utara, Brasil, Amerika Latin, Eropa, Korea Selatan, dan Jepang. Turnamen Valorant ini akan disiarkan di channel khusus gaming dan esports baru dari Twitch, yaitu /twitchgaming. Memang, Twitch dikenal sebagai platform streaming game. Namun, channel terbaru itu akan secara khusus menayangkan berita tentang game, berbagai event terkait game, dan konten eksklusif game. Channel ini juga akan menampilkan wawancara eksklusif dengan para developer serta menampilkan sejumlah game indie, lapor The Esports Observer.

Valorant Launch Showdown akan menjadi turnamen Valorant pertama yang diadakan oleh Riot. Sebelum ini, memang telah ada pihak ketiga yang menyelenggarakan turnamen Valorant, seperti organisasi esports Korea Selatan, T1. Valorant Launch Showdown juga akan menjadi awal dari rencana Riot untuk mengembangkan ekosistem esports dari game shooter terbarunya. Riot mengatakan, saat ini, mereka tidak akan turun tangan langsung dalam penyelenggaraan turnamen Valorant. Sebagai gantinya, mereka akan membiarkan pihak ketiga bertanggung jawab atas pengembangan ekosistem esporst Valorant. Namun, Forbes memperkirakan, dalam waktu beberapa tahun ke depan, Riot akan mengadakan turnamen Valorant sendiri.

Untuk mempersiapkan peluncuran Valorant pada minggu depan, Riot akan menutup versi closed beta. Saat diluncurkan, Valorant akan menawarkan konten baru, seperti peta dan operator baru. Tak tertutup kemungkinan, Riot juga akan merilis mode baru. Sejauh ini, para fans puas dengan versi beta Valorant. Jutaan orang telah mencoba game tersebut. Namun, game ini juga memiliki sejumlah masalah, seperti ping tinggi, kesulitan untuk registrasi, dan tentu saja, orang-orang yang bermain curang. Riot mengklaim, mereka telah mengatasi masalah tersebut.

Tinggalkan Fase Beta, Valorant Resmi Diluncurkan 2 Juni

Valorant, game FPS kompetitif persembahan Riot Games, sudah menjalani fase pengujian closed beta sejak 7 April kemarin. Namun belum dua bulan berselang, Riot rupanya sudah tidak sabar untuk merilis Valorant secara resmi.

28 Mei nanti, fase pengujian Valorant akan berakhir, dan Riot bakal menghapus semua akun pemain yang ada. Lalu tanpa harus menunggu lama, kita semua dipersilakan untuk memainkan game free-to-play ini mulai tanggal 2 Juni.

Valorant

Sekadar mengingatkan, Valorant boleh dibilang merupakan hasil perkawinan antara Overwatch dan CS:GO. Ada beberapa hero – Agent kalau dalam kamus Valorant, dan sejauh ini jumlahnya sudah ada 10 – yang bisa dipilih yang menawarkan beragam skill uniknya masing-masing, akan tetapi variasi senjatanya sama untuk setiap karakter.

Entah kebetulan atau tidak, karakteristik senjata Valorant sangat mirip seperti di CS:GO, dan ini tentunya merupakan kabar gembira bagi para pemain profesional CS:GO yang pindah haluan ke Valorant. Di saat yang sama, pemain Overwatch mungkin memerlukan waktu ekstra buat beradaptasi, namun itu tidak mencegah salah satu bintang terbesarnya untuk banting setir.

Valorant

Terkait gameplay, Riot kabarnya sudah menyiapkan mode baru yang akan tersedia bersamaan dengan peluncuran resmi Valorant. Mode utamanya sendiri adalah mode yang sudah tidak asing lagi buat siapapun yang pernah memainkan Counter-Strike; satu tim bertugas menanam bom di titik yang ditentukan, sedangkan tim lainnya harus mencegah aksi teror tersebut (5 vs 5).

Timing peluncuran resmi Valorant ini hanya terpaut beberapa hari setelah Crucible, hero shooter besutan Amazon yang sudah lebih dulu hadir di Steam. Meski begitu, kedua game sebenarnya sangat berbeda. Bahkan dari segi tampilan saja sudah kelihatan perbedaannya, mengingat Crucible menyajikan permainan dari sudut pandang orang ketiga seperti Fortnite.

Sumber: Riot Games via VentureBeat.

T1 Investasi ke Startup Analitik Esports, Mobalytics

Organisasi esports T1 Entertainment & Sports mengumumkan bahwa mereka menanamkan investasi di startup analitik esports, Mobalytics. Sayangnya, tidak disebutkan berapa besar investasi yang T1 tanamkan. Dalam kerja sama ini, fokus pertama dari kedua perusahaan adalah Valorant, game shooter buatan Riot Games yang kini masih dalam tahap beta. Mobalytics akan membuat program latihan untuk tim Valorant dari T1.

“Semua pemain, pelatih, dan tim di T1 menggantungkan diri pada analisa in-game. Inilah alasan mengapa kami pikir, kami harus berinvestasi di Mobalytics,” kata CEO T1, Joe Marsh, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Kami sangat senang dapat bekerja sama dengan tim Mobalytics dalam membuat program latihan baru untuk tim Valorant. Jadi, kami akan bisa mengembangkan talenta baru dan berkembang dalam game terbaru dari Riot.”

Mobalytics memenangkan TechCrunch Disrupt Battlegrounds pada 2016. Tak hanya itu, mereka juga telah menjalin kerja sama dengan sejumlah publisher game. Selain membuat program latihan untuk Valorant, Mobalytics juga akan menyediakan tool dan analitik untuk game-game buatan Riot lainnya, seperti League of Legends, Teamfight Tactics, dan Legends of Runeterra. Sebelum ini, Mobalytics juga pernah bekerja sama dengan tim esports League of Legends lain, seperti Golden Guardians.

T1 Mobalytics
Brax jadi pemain Valorant pertama dari T1. | Sumber: ONE Esports

“T1 akan menjadi rekan strategis yang sangat baik untuk Mobalytics,” kata Marsh. “Dari segi tim, para pemain dan pelatih Valorant kami dapat memberikan insight penting untuk tool mereka. Sementara untuk produk terkait League, setelah tool tersebut dioptimasi untuk liga Korea Selatan, kami akan bekerja sama dalam mendekatkan diri dengan komunitas esports Korea Selatan dan fans T1 agar dapat meningkatkan performa tool mereka. Saya juga akan menjadi penasehat internal bagi tim Mobalytics saat mereka berusaha membuat lebih banyak layanan baru.”

T1 paling dikenal dengan tim League of Legends mereka. Tim tersebut berlaga di League of Legends Champions Korea (LCK). Saat ini, mereka adalah tim dengan jumlah trofi League of Legends World Championship (LCW) paling banyak. T1 juga tertarik untuk masuk ke dalam scene esports Valorant. Mereka telah merekrut Braxton “Brax” Pierce, mantan pemain Counter-Strike: Global Offensive profesional, untuk menjadi anggota tim Valorant. Selain itu, mereka juga telah mengadakan turnamen Valorant pada April 2020 lalu.

“Kami sangat senang dapat bekerja sama dengan T1 dan belajar dari pemain serta staf elite seperti Faker serta Brax dan membantu mereka berlatih dengan lebih baik,” kata pendiri Mobalytics, Amine Issa, menurut laporan Esports Insider. “Tujuan kami adalah untuk membantu semua pemain yang ingin dapat bermain lebih baik, tidak hanya para pemain profesional.”

Banyak Pemain Pro dan Semi-Pro CS:GO Pindah ke Valorant, Kenapa?

Saat ini, Valorant belum resmi diluncurkan. Meskipun begitu, organisasi-organisasi esports ternama telah mulai merekrut pemain untuk membuat tim Valorant, seperti Gen.G, T1, dan G2 Esports. Dari segi pemain, ada cukup banyak pemain profesional atau semi-profesional Counter-Strike: Global Offensive yang memutuskan banting setir dan memainkan Valorant. Salah satu alasannya adalah karena scene esports Valorant diduga akan berkembang. Pasalnya, Valorant dibuat oleh Riot Games, yang sukses dalam membangun ekosistem esports League of Legends.

Sejumlah pemain profesional atau mantan pemain profesional CS:GO yang telah memutuskan untuk pindah haluan ke Valorant antara lain Shahzeeb “ShahZaM” Khan, Hunter “SicK” Mims, Jacob “pyth” Mourujärvi, Victor “food” Wong, Jordan “Zellsis” Montemurro, Austin “crashies” Roberts, dan Ryan “freakazoid” Abadir. Semua pemain ini memiliki satu kesamaan, yaitu mereka tidak dipayungi oleh organisasi esports. Memang, mereka pernah bermain untuk organisasi esports besar seperti Cloud9, Ninjas in Pyjamas, Complexity, dan lain sebagainya. Sayangnya, mereka gagal mempertahankan posisi mereka di organisasi tersebut.

Meskipun begitu, para pemain CS:GO tersebut masih memiliki peran penting dalam memastikan kualitas ekosistem Tier 2 CS:GO tidak jauh tertinggal dari para pemain di Tier 1. Selain itu, mereka juga bisa membantu para pemain berakat muda dengan berbagi pengalaman mereka. Hanya saja, tidak banyak organisasi esports yang mendukung pemain di Tier 2.

“Dengan keberadaan dua liga baru, ini membuat scene CS:GO di Amerika Utara menjadi aneh,” kata ShahZaM pada VP Esports. “ESL Pro League kini hanya memiliki 2 tim dari NA. Sementara untuk masuk ke Flashpoint, Anda perlu modal yang besar. Dulu, Anda bisa membuat tim bersama dan berlatih keras agar bisa masuk ke turnamen dan menjadi juara. Tapi sekarang, hal ini tidak mungkin lagi.” Apa yang dia ungkapkan kurang lebih mewakili pendapat dari pemain-pemain CS:GO lainya.

“Saya tidak membenci sistem baru ini. Saya mengerti kalau organisasi-organisasi esports mencoba untuk memastikan keberlanjutan ekosistem CS:GO. Namun, kesempatan yang ada kini menjadi semakin terbatas. Dan saya yakin, di masa depan, akan muncul usaha untuk mengembangkan ekosistem Tier 2 di Amerika Utara lagi,” ujar ShahZaM.

Penyelenggara turnamen seperti ESL, Flashpoint, DreamHack, dan lain sebagainya tampaknya harus mulai membuat rencana yang lebih baik untuk mendukung scene Tier 2 dan Tier 3. Jika tidak, semakin banyak pemain profesional atau semi-profesional CS:GO yang akan memutuskan untuk pindah ke game lain.

MVP Overwatch League Pindah dan Mulai Karir di Valorant

Pemain bintang Overwatch League, Jay Won (Sinatraa) mengumumkan kepergian yang sangat mengejutkan dari tim yang ia bela selama ini, San Francisco Shock. Ini menjadi cukup menarik, karena Sinatra sendiri merupakan pemain yang berhasil membawa San Francisco Shock menuju kemenangan yang gemilang pada Overwatch League tahun 2019.

Kepergiannya lebih mengejutkan lagi, karena Sinatra meninggalkan San Francisco Shock untuk mengejar karir di game FPS terbaru besutan Riot Games, Valorant. Ini mungkin terdengar seperti langkah yang terburu-buru dari Sinatra, karena Riot Games sendiri sudah mengatakan untuk tidak turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Valorant dan melepasnya kepada pihak ketiga, pada tahun-tahun awal Valorant.

Namun antusiasme terhadap Valorant memang cukup tinggi, karena ESPN ataupun T1 sudah menyelenggarakan kompetisi, walau game ini masih berada dalam status closed-beta. Lewat sebuah twit, Sinatraa mengungkap alasan ia meninggalkan Overwatch yang dipicu oleh hilangnya rasa passion atas game bergenre Hero Shooter tersebut.

“Gue nggak tahu apa yang jadi pembunuh passion tersebut, tapi mungkin gaya main yang mengharuskan 2 tank 2 dps 2 support di Overwatch, mungkin karena sistem ban, gue tidak yakin. Satu yang gue tahu adalah bahwa berat rasanya hanya untuk log in, bermain, dan gue tidak merasakan sedikitpun kesenangan pada scrims/ranked yang gue lakukan.” Sinatra menjelaskan lebih lanjut soal hilangnya passion yang ia rasakan terhadap Overwatch.

“Ini bukan keputusan yang gue ambil dalam satu hari saja. Selama satu bulan gue nggak tidur karena stres dan terus memikirkan ini secara non-stop setiap hari. Gue tahu ini berat, tapi gue ingin melakukan sesuatu yang benar untuk diri gue sendiri.” Sinatra menjelaskan lebih lanjut.

Kepergian Sinatra menjadi kepergian besar lain di Overwatch League setelah beberapa pada awal Januari lalu, salah satu pionir liga franchise di esports ini ditinggal oleh 5 shoutcaster utama. Kepergian ini juga menjadi lampu kuning bagi OWL, karena pemain dengan karir paling cemerlang seperti Sinatra, bisa dengan mudah pergi dan pindah ke tempat dengan skena kompetitif yang belum terbentuk sempurna.

Pergi dari SF Shock, kini Sinatra berlabuh kepada tim Sentinels untuk bermain Valorant. MVP Overwatch League 2019 ini bermain bersama pemain Apex Legends, Jared Gitlin (Zombs) , Shahzeb Khan (ShahZam), dan Hunter Mims (Sick) yang merupakan mantan pemain CS:GO. Mereka akan bermain untuk mengisi konten dan juga bertanding dalam turnamen esports apapun yang ada dan akan tumbuh nantinya di Valorant.

https://twitter.com/Sentinels/status/1255291066028261377

Rob Moore Founder dan CEO tim Sentinels mengatakan dalam rilis. “Tujuan besar kami sebagai organisasi adalah untuk menghubungkan para penggemar kami dengan game terbesar, paling mengasyikkan di esports, dan merekrut pemain-pemain juara seperti pada divisi Fortnite dan Halo. Perekrutan terhadap Sinatra, Shazam, dan Sick akan menanamkan posisi kami lebih jauh sebagai rumah bagi pemain serta tim kelas dunia.”

Sentinels sendiri merupakan organisasi esports yang masih seumur jagung. Berdiri pada tahun 2019 lalu, namun tim ini menjadi rumah bagi juara dunia Fortnite, Kyle Giersdorf (Bugha).

Melihat keadaan ini sebenarnya memunculkan dua pertanyaan. Bagaimana masa depan Overwatch League nantinya? Akankah Valorant menjadi esports global menyaingi CS:GO dan Overwatch?