Facebook Andalkan Teknologi Hologram untuk Ciptakan Prototipe VR Glasses yang Amat Ringkas

Sebagai salah satu pemimpin industri virtual reality, Facebook dan Oculus tentu punya ambisi menciptakan VR headset yang jauh lebih ringkas ketimbang yang sudah ada sekarang. Mereka tidak segan memamerkan sejauh apa progres mereka di bidang miniaturisasi teknologi VR ini, dan rumor yang beredar mengindikasikan eksistensi penerus Oculus Quest yang berukuran lebih kecil.

Sekarang, lewat sebuah publikasi ilmiah berjudul “Holographic Optics for Thin and Lightweight Virtual Reality”, divisi Facebook Reality Labs ingin menjabarkan pencapaian terbaru mereka, yakni struktur optik baru yang dapat disematkan ke perangkat sekecil kacamata biasa. Ketimbang memakai lensa refraktif seperti pada VR headset tradisional, struktur optik baru ini melibatkan lensa hologram dan teknologi optical folding berbasis polarisasi sehingga tebal keseluruhannya bahkan bisa kurang dari 9 mm.

Bukan cuma lebih tipis, komponen optik baru ini turut menjanjikan spektrum warna yang lebih luas berkat penerapan teknologi iluminasi LCD berbasis laser. Pun begitu, klaim tersebut belum bisa sepenuhnya dibuktikan, sebab prototipenya sejauh ini hanya bisa menampilkan satu warna (hijau) saja – Facebook punya prototipe lain yang dapat menampilkan warna, tapi bentuknya bukan kacamata.

Facebook holographic optics for VR headset

Prototipe kacamatanya sendiri disebut mempunyai resolusi 1200 x 1600 pixel per mata, dengan field-of-view seluas 93 derajat – setara Oculus Quest dan lebih luas daripada Microsoft HoloLens 2 maupun Magic Leap One yang juga sama-sama memanfaatkan teknologi hologram. Bobot prototipenya disebut berkisar 10 gram, tapi ini dengan satu panel display saja, dan itu juga belum termasuk komponen-komponen esensial lain macam sistem tracking, baterai maupun elektronik lainnya.

Facebook tidak lupa menekankan bahwa semua ini baru sebatas riset dan realisasinya masih cukup jauh. Facebook juga bukan satu-satunya pihak yang ingin mewujudkan visinya perihal miniaturisasi VR. Beberapa bulan lalu, Panasonic sempat memamerkan prototipe VR glasses besutannya, meski teknologi yang digunakan berbeda (micro OLED, bukan hologram). Huawei malah sudah memasarkan perangkat serupa di Tiongkok.

Sumber: 1, 2, 3.

VR Headset Oculus Go Resmi Dipensiunkan

Diumumkan sekitar tiga tahun lalu, Oculus Go merupakan salah satu pelopor kategori virtual reality headset bertipe standalone atau all-in-one. Harganya memang lebih mahal daripada VR headset macam Samsung Gear VR, akan tetapi penggunaannya jelas lebih praktis karena perangkat dapat beroperasi tanpa perlu diselipi smartphone atau tersambung ke komputer.

Namun kalau dibandingkan dengan headset non-portable macam Oculus Rift, Oculus Go jelas terkesan amat terbatas kemampuannya. Yang paling utama, Go cuma mendukung tracking 3DoF, bukan 6DoF. Ini berarti Go tidak bisa memonitor pergerakan kepala secara menyeluruh; perangkat tidak akan mengenali perpindahan posisi kepala (naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan).

Maka dari itu ketika Oculus Quest diperkenalkan setahun setelahnya, pamor Go pun langsung redup. Quest sama-sama berwujud standalone dan dapat beroperasi secara mandiri, tapi di saat yang sama ia menawarkan kapabilitas tracking 6DoF sehingga menjadikannya sangat cocok untuk keperluan gaming.

Singkat cerita, tracking 6DoF ibarat syarat wajib yang harus dipenuhi VR headset, terutama jika gaming merupakan ranah yang dituju, dan Oculus beserta Facebook menyadari hal itu. Mereka memutuskan untuk berhenti menjual Go tahun ini juga, dan mereka memastikan bahwa ke depannya tidak akan ada lagi VR headset baru dari mereka yang cuma menawarkan tracking 3DoF seperti Go.

Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus
Fokus Oculus kini dialihkan ke Quest yang jauh lebih kapabel / Oculus

Meski sudah di-discontinue, Oculus Go dipastikan tetap bisa dipakai seperti biasa. Oculus tetap akan merilis sejumlah perbaikan via software sampai tahun 2022, namun jangan mengharapkan adanya fitur baru buat Go. Menjelang akhir tahun nanti, Oculus Go juga tidak akan lagi kedatangan aplikasi baru maupun update terhadap yang sudah ada.

Dipensiunkannya Go ini berarti Oculus bisa mengerahkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk mengembangkan Quest beserta Rift. Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan suksesor Quest yang lebih ergonomis sekaligus lebih canggih. Namun sebelum itu terealisasi, Oculus akan lebih dulu menyempurnakan Quest yang ada sekarang.

Caranya adalah dengan mempermudah proses distribusi konten. Memasuki awal tahun depan, aplikasi untuk Quest tak hanya bisa didapat dari Oculus Store saja, tapi bisa juga dari developer-nya langsung dan tanpa melibatkan proses sideloading yang rumit. Mekanisme baru ini tentunya lebih memudahkan pihak developer mengingat mereka tak lagi perlu menunggu aplikasinya disetujui di Oculus Store, dan Oculus berharap ini bisa memicu gelombang baru konten berkualitas buat seluruh konsumen Quest.

Sumber: Upload VR dan Oculus.

VR Headset Terbaru HP Lebih Sempurna Berkat Campur Tangan Valve

Beberapa bulan lalu, beredar kabar bahwa Valve, HP dan Microsoft sedang mengembangkan VR headset baru, dan sekarang kita tahu bahwa headset tersebut adalah sekuel dari HP Reverb yang dirilis setahun sebelumnya.

Dinamai HP Reverb G2, perangkat masih mempertahankan keunggulan pendahulunya, yakni resolusi display yang sangat tinggi, persisnya 2160 x 2160 pixel per mata. Yang berbeda kali ini adalah lensa yang digunakan pada display-nya.

Lensa display baru ini merupakan hasil rancangan Valve, dan dipercaya mampu meningkatkan ketajaman gambar secara signifikan. Sayang refresh rate-nya tetap 90 Hz, bukan 120 Hz seperti yang Valve Index unggulkan, dan field of view-nya pun juga sama persis di angka 114 derajat.

HP Reverb G2

Selain peningkatan kualitas visual, Reverb G2 turut menawarkan kualitas spatial audio yang lebih baik, lagi-lagi berkat bantuan Valve yang mendesain speaker-nya. Tracking pergerakan controller juga kian sempurna berkat penambahan sepasang kamera, masing-masing di sisi kiri dan kanan perangkat. Berbekal 4 kamera ini, Reverb G2 mampu menawarkan tracking 6DoF tanpa bantuan sensor eksternal.

Bicara soal controller, perangkat pendamping itu juga ikut direvisi di sini. Desainnya kini semakin menyerupai controller Oculus Touch, dengan layout tombol yang optimal sehingga lebih mudah digunakan. Hilang sudah trackpad di setiap unit controller, digantikan oleh sepasang tombol action (A + B dan X + Y).

HP Reverb G2

Secara estetika, Reverb G2 tidak jauh berbeda dari Reverb orisinal. Kendati demikian, HP mengklaim Reverb G2 lebih nyaman digunakan berkat bantalan wajah yang lebih tebal sekaligus distribusi berat yang lebih seimbang. Headset juga dapat dilipat 90° ke atas sehingga pengguna tak perlu melepas headset secara menyeluruh ketika hendak melihat sekitarnya.

Di Amerika Serikat, HP Reverb G2 kabarnya bakal dipasarkan mulai musim semi seharga $599. Perangkat ini kompatibel dengan platform Windows Mixed Reality maupun SteamVR, menjadikannya sebagai alternatif yang lebih terjangkau dari Valve Index untuk mencicipi Half-Life: Alyx.

Sumber: HP.

 

XRSpace Mova Adalah Standalone VR Headset Persembahan Eks CEO HTC

Belum lama ini, beredar rumor bahwa Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru yang diperkirakan bakal dirilis tahun depan. Namun sebelum itu terwujud, ada perangkat lain yang ingin mencuri panggung. Namanya XRSpace Mova.

Sebagian besar dari kita pasti baru pertama kali ini mendengar nama XRSpace. Namun ternyata startup asal Taiwan ini punya pengalaman yang cukup panjang di industri VR. Itu dikarenakan pendirinya adalah eks CEO HTC, Peter Chou, dan XRSpace memastikan perangkat bikinannya lebih superior daripada yang sudah ada sekarang.

XRSpace Mova

Benar saja, dari segi spesifikasi, Mova selangkah lebih unggul ketimbang Oculus Quest maupun HTC Vive Focus. Chipset yang digunakan adalah Snapdragon 845 (bukan 835 seperti di Quest dan Vive Focus), RAM-nya berkapasitas 6 GB (bukan 4 GB), dan baterainya punya kapasitas 4.600 mAh (Quest cuma 3.648 mAh).

Istimewanya, semua itu dikemas dalam perangkat berdimensi hanya sekitar separuh Vive Focus. Bobotnya juga cuma berkisar 470 gram, jauh lebih ringan daripada Quest (571 gram) maupun Vive Focus (695 gram). Mova juga dipastikan kompatibel dengan jaringan 5G.

XRSpace Mova

Terkait display, Mova memakai panel beresolusi 2880 x 1440 pixel dengan refresh rate 90 Hz. Ukuran layarnya belum dirincikan, demikian pula luas sudut pandangnya, tapi semestinya lebih kecil dari biasanya mengingat kepadatan pixel-nya cukup tinggi di angka 702 ppi.

Juga menarik adalah bagaimana Mova dapat memonitor pergerakan kaki. Tracking-nya mungkin tidak sekomprehensif jika dibantu sensor eksternal, akan tetapi sudah cukup untuk memungkinkan penggunanya bermain sepak bola di dalam VR. Lebih lanjut, kemampuan tracking kaki ini juga mewujudkan pembuatan avatar digital berukuran satu badan penuh.

XRSpace Manova

XRSpace percaya avatar mereka jauh lebih immersive ketimbang milik platform social VR lain yang sering kali hanya menampilkan separuh tubuh ke atas. Avatar ini krusial untuk interaksi sosial antar sesama pengguna Mova, namun itu baru sebagian dari cerita lengkapnya.

Hal lain yang tak kalah penting adalah soal kemudahan. Setiap paket penjualan Mova dilengkapi satu unit controller untuk sesi gaming, akan tetapi metode navigasi utamanya mengandalkan hand tracking.

XRSpace Manova

Gesture yang dapat dikenali begitu beragam. Dari yang simpel seperti berjabat tangan antar avatar, sampai yang kompleks seperti mengambil objek dan melemparkannya. XRSpace menjanjikan banyak aktivitas yang dapat dilakukan di platform social VR-nya, Manova. Ya, XRSpace tidak bergantung pada platform seperti Viveport atau Steam. Mereka sudah menyiapkan sendiri platform konten untuk Mova.

Sepintas XRSpace Mova memang terkesan agak kelewat ambisius, apalagi mengingat harganya dipatok cukup mahal di angka $599. Untuk sekarang, perangkat ini baru dipasarkan di Taiwan, sebelum menyusul ke dataran Eropa dalam waktu dekat.

Sumber: Engadget.

Penerus Oculus Quest Rumornya Lebih Ringkas dan Punya Display Lebih Mumpuni

Oculus sedang mengerjakan standalone VR headset baru, demikian laporan yang diberitakan Bloomberg berdasarkan informasi dari sejumlah sumber internal. Perangkat ini dimaksudkan menjadi penerus Oculus Quest, VR headset yang dapat beroperasi secara mandiri, tanpa harus tersambung ke PC maupun smartphone.

Beberapa prototipe standalone VR headset yang tengah diuji disebut 10% – 15% lebih ringkas ketimbang Quest. Bobotnya pun juga lebih ringan di kisaran 450 gram. Bandingkan dengan Oculus Quest yang berbobot sekitar 566 gram, yang mungkin terlalu berat untuk sejumlah orang, apalagi setelah digunakan cukup lama.

Salah satu cara yang sedang dipertimbangkan untuk memangkas bobot perangkat adalah dengan mengganti bahan kain di bagian samping menjadi plastik. Lebih lanjut, Oculus juga berniat mengganti material karet dan velcro pada bagian strap dengan bahan yang lebih elastis. Harapannya tentu supaya perangkat jadi lebih nyaman digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Selain lebih ringkas dan lebih ergonomis, VR headset baru ini juga bakal menawarkan display dengan refresh rate 90 Hz agar konten bisa tersaji secara lebih mulus. Mengapa tidak 120 Hz sekalian? Oculus juga sedang sibuk mengujinya, namun 90 Hz sepertinya bakal menjadi pilihan demi memperpanjang daya tahan baterai.

Sebagai perbandingan, display Oculus Quest memiliki refresh rate 72 Hz, sedangkan Oculus Rift S yang lebih powerful menawarkan refresh rate 80 Hz. Belum diketahui seberapa tinggi resolusinya maupun jenis panelnya, namun semestinya tidak mungkin lebih rendah dari 1440 x 1600 pixel (resolusi display OLED milik Oculus Quest).

Oculus Quest

Pembaruan lain yang Oculus terapkan ada pada controller-nya. Berkat rancangan baru, controller-nya jadi lebih nyaman digunakan sekaligus tidak lagi terkendala penutup baterai yang mudah lepas. Kabar baiknya, controller anyar ini juga akan kompatibel dengan Oculus Quest.

Perihal tracking, perangkat ini masih akan menawarkan tracking 6DoF seperti Oculus Quest. Jadi menggunakan empat kamera bawaannya, perangkat bisa memonitor pergerakan kepala sekaligus tubuh pengguna tanpa harus dibantu oleh sensor eksternal.

Fitur-fitur lain yang masih akan dipertahankan mencakup tuas fisik untuk mengatur jarak antar display supaya pas dengan posisi mata, serta dukungan terhadap Oculus Link, yang memungkinkan perangkat untuk disambungkan ke PC (via kabel) demi meningkatkan performa secara signifikan.

Awalnya Oculus berniat meluncurkan perangkat ini menjelang akhir tahun 2020. Namun berhubung pandemi melanda, perilisannya tak akan berlangsung hingga setidaknya tahun depan. Belum diketahui pula apakah perangkat ini bakal menggantikan Oculus Quest sepenuhnya, atau malah dijual sebagai model yang berbeda.

Sumber: Bloomberg.

HTC Tunjukkan Visi Mereka Akan Extended Reality Lewat Headset Project Proton

HTC menyingkap tiga varian baru Vive Cosmos. Dalam kesempatan yang sama, mereka juga mengungkap visinya akan VR headset generasi mendatang. Gambar di atas adalah Project Proton, prototipe XR glasses yang tengah HTC kembangkan.

XR? Ya, cross reality atau extended reality tampaknya bakal menjadi fokus HTC kali ini. Jadi selain menyajikan realitas buatan (virtual), perangkat juga dirancang untuk menyuguhkan realitas tertambah (augmented). Sepasang lingkaran di depan itu adalah kamera, tapi belum jelas apakah gunanya untuk mewujudkan inside-out tracking (VR) atau sebagai passthrough view (AR).

HTC Project Proton

Bentuk Proton juga sangat berbeda dari keluarga besar Vive. Wujudnya mengingatkan saya pada Magic Leap dan Panasonic VR Glasses. Pada kenyataannya, HTC memang merancang Proton supaya lebih terasa seperti kacamata ketimbang headset.

Sejauh ini Proton terdiri dari dua model yang berbeda. Model yang pertama adalah yang bertipe all-in-one, dengan semua unit pemrosesan yang diposisikan ke bagian belakang strap. Dengan demikian, bagian depannya bisa jadi lebih ramping, namun distribusi bobotnya tetap seimbang berkat modul belakangnya.

HTC Project Proton

Model yang kedua malah lebih mirip lagi dengan kacamata biasa, sebab sepasang tangkainya tidak sampai mengitari seluruh kepala. Berhubung tidak punya unit pemrosesan sendiri, model ini harus mengandalkan bantuan perangkat lain, seperti smartphone misalnya. Juga absen di sini adalah sepasang headphone seperti yang terpasang pada strap model yang pertama.

Berhubung Proton masih berstatus eksperimental, HTC belum membeberkan banyak detail. Namun buat yang penasaran apa rahasia di balik wujud ringkasnya, HTC bakal menjawab “microdisplay“. Kekurangan microdisplay sejauh ini adalah viewing angle yang lebih sempit, dan kendala yang sama juga bisa kita jumpai pada prototipe Panasonic VR Glasses itu tadi, yang sendirinya mengandalkan panel micro OLED.

Sumber: Engadget dan Input.

Panasonic Pamerkan VR Headset Berwujud Seperti Kacamata Biasa

VR headset tidak selamanya harus berwujud seperti sekarang. Di CES 2020, Panasonic mendemonstrasikan bahwa VR headset juga bisa lebih menyerupai kacamata biasa ketimbang ski goggles.

Seperti yang bisa kita lihat, bentuk prototipe VR glasses bikinan Panasonic ini mirip kacamata bergaya aviator, lengkap dengan sentuhan desain steampunk yang membuatnya pantas menjadi salah satu properti film Sherlock Holmes. Namun yang Panasonic kejar bukan cuma menyangkut nilai estetika saja, melainkan juga aspek kenyamanan dan fungsionalitas.

Di saat mayoritas VR headset mengandalkan strap yang mengikat kepala, perangkat ini cukup dipakai layaknya kacamata tradisional. Namun yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kualitas display-nya? Apakah bentuk yang tidak umum ini bisa berpengaruh buruk pada visual yang ditampilkan?

Panasonic VR glasses

Nyatanya tidak demikian. Perangkat ini mengandalkan panel micro OLED beresolusi UHD (3840 x 2160 pixel) hasil kerja sama antara Panasonic dan Kopin. Berkat resolusi yang amat tinggi, efek screen door yang selama ini umum menjangkiti VR headset pun dapat dieliminasi. Lebih lanjut, display-nya juga siap menampilkan konten dalam format HDR yang kaya warna.

Meski terdengar mengesankan, display-nya bukanlah tanpa kekurangan. The Verge yang sempat mencobanya langsung melaporkan bahwa viewing angle-nya lebih sempit ketimbang VR headset tradisional. Juga belum sempurna adalah distribusi beratnya, sehingga perangkat mudah melorot ke arah hidung.

Panasonic VR glasses

Dalam merancang VR glasses ini, Panasonic tak lupa membubuhkan teknologi unggulan dari sejumlah produknya. Di sektor audio, ada desain akustik yang selama ini diterapkan pada lini earphone Technics. Desain optik yang digunakan pada lini kamera Lumix, tidak ketinggalan juga teknologi signal processing milik TV dan Blu-ray player Panasonic, turut berkontribusi melahirkan perangkat ini.

Pertanyaan yang terakhir, kapan perangkat ini berlanjut ke produksi massal? Panasonic enggan menjawabnya, namun kecil kemungkinan Panasonic bakal memproduksinya sebagai perangkat yang bisa dibeli konsumen umum. Mereka lebih tertarik mengeksplorasi pengaplikasiannya dalam konteks komersial, semisal pada Olimpiade Tokyo di pertengahan tahun nanti.

Sumber: The Verge dan Panasonic.

Fitur Fixed Foveated Rendering di Oculus Quest Kini Dapat Aktif Saat Dibutuhkan Saja

Foveated rendering, teknik ini pada dasarnya merupakan salah satu alasan mengapa standalone VR headset macam Oculus Quest dapat menyuguhkan visual secara mulus. Tanpa teknik ini, perangkat bakal kesulitan menjaga frame rate tetap konsisten.

Dari kacamata sederhana, foveated rendering pada dasarnya memungkinkan display perangkat untuk menampilkan kualitas gambar yang paling maksimal pada sebagian area saja, menyesuaikan dengan arah mata pengguna memandang. Area sisanya akan menampilkan grafik dalam resolusi yang jauh lebih rendah, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa secara signifikan.

Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight
Ilustrasi teknik foveated rendering pada VR headset / ZeroLight

Yang menjadi masalah adalah, foveated rendering pada Oculus Quest bersifat fixed, yang berarti cara kerjanya tidak melibatkan sistem eye tracking dan hanya terpusat pada satu titik area di tengah saja. Ditambah lagi, fixed foveated rendering (FFR) pada Oculus Quest akan selalu aktif setiap saat, tidak peduli apakah game-nya benar-benar haus resource atau tidak.

Untuk game yang berat, konsumen mungkin akan lebih memilih performa yang mulus ketimbang memaksakan visual yang bagus tapi frame rate-nya naik-turun. Lain ceritanya kalau game hanya sedang menampilkan cutscene dan sedang tidak ‘menyiksa’ GPU, di sini fitur FFR jelas akan terkesan mengganggu mengingat ada bagian cutscene (bagian di luar area tengah) yang tampak blur.

Singkat cerita, akan lebih ideal seandainya FFR bisa diaktifkan hanya saat diperlukan saja, dan inilah alasan di balik keputusan Oculus untuk menghadirkan fitur dynamic fixed foveated rendering pada Oculus Quest. Kata “dynamic” di sini merujuk pada kemampuannya untuk aktif atau nonaktif tergantung kebutuhan.

Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games
Contoh penerapan teknik foveated rendering pada game Arizona Sunshine / Vertigo Games

Jadi seandainya sedang bermain game dan masuk ke level yang tidak menyajikan banyak detail, atau sedang menampilkan cutscene sehingga tidak memerlukan kinerja GPU yang maksimal, FFR pun bisa dinonaktifkan. Sebaliknya, saat berpindah ke level yang lebih mendetail, FFR bisa diaktifkan supaya frame rate tetap konsisten.

Fitur ini tentunya memerlukan campur tangan developer agar bisa terwujud. Mereka harus meng-update game bikinannya terlebih dulu agar bisa memanfaatkan teknik ini. Buat konsumen, kehadiran dynamic FFR berarti mereka tidak harus selamanya mengorbankan kualitas visual dan dapat menikmati cutscene sebagaimana mestinya.

Sumber: VentureBeat.

Oculus Quest Segera Kedatangan Fitur Hand Tracking Tanpa Controller

Visual bukanlah satu-satunya aspek esensial dalam bidang virtual reality. Kontrol pun juga tidak kalah penting. Semakin bagus input kontrol yang ditawarkan, semakin immersive pengalaman yang didapat konsumen, dan sensasi immersive selama ini selalu menjadi tolok ukur utama keberhasilan suatu perangkat VR.

Dewasa ini, VR headset yang dibekali inside-out tracking macam Oculus Quest sudah tergolong oke perihal kontrol. Menggunakan controller Oculus Touch, pergerakan tangan pengguna sudah dapat dilacak secara cukup akurat tanpa mengandalkan satu pun sensor atau kamera eksternal.

Progress selanjutnya adalah mewujudkan semua itu tanpa harus melibatkan controller. Kabar baiknya, fitur hand tracking tanpa controller ini bakal segera mendarat di Oculus Quest dalam waktu dekat. Cukup mengejutkan mengingat rencana Oculus sebelumnya adalah merilis fitur tersebut tahun depan.

Perlu dicatat, hand tracking masih dikategorikan sebagai fitur eksperimental di software update v12 untuk Quest. Jumlah aplikasi yang mendukung pun belum banyak, baru beberapa aplikasi bawaan seperti Oculus Browser, Oculus TV maupun Oculus Store. SDK (software development kit) untuk para pengembang aplikasi pihak ketiga baru akan dirilis minggu depan.

Sebelum ini Facebook pernah menjelaskan bahwa kemajuan dalam hal hand tracking ini bisa dicapai berkat sejumlah teknik baru deep learning dan model-based tracking. Selain lebih praktis ketimbang harus menggunakan controller, sistem baru ini juga dapat melacak pergerakan jari-jari pengguna secara lebih presisi dan realistis.

Salah satu hal yang membuat video trailer Half Life: Alyx menurut saya adalah pergerakan tangan dan jari-jari pemain yang kelihatan begitu realistis di layar. Facebook dan Oculus sepertinya ingin mencuri start dari Valve soal ini. Juga penting adalah harapan bahwa hand tracking bisa mendemokratisasikan VR secara lebih baik lagi mengingat konsumen tidak diwajibkan lagi untuk mempelajari cara menggunakan controller.

Sumber: The Verge dan Oculus.

VR Headset HTC Vive Cosmos Resmi Dijual Mulai 3 Oktober Seharga $699

Wujud final HTC Vive Cosmos diungkap bulan Juni lalu, dan sekarang jadwal rilisnya pun sudah tersedia. Pengganti Vive orisinal ini bakal dipasarkan secara global mulai 3 Oktober mendatang seharga $699.

Dibandingkan Vive orisinal, Vive Cosmos unggul jauh perihal display. Resolusi total 2880 x 1700 pixel yang ditawarkannya 88% lebih tinggi ketimbang Vive orisinal, dan HTC juga mengklaim efek screen-door yang dihasilkannya jauh lebih minimal. Ini semua tanpa melupakan jaminan bahwa semua konten akan ditampilkan dengan refresh rate 90 Hz di sudut pandang seluas 110 derajat.

HTC Vive Cosmos

Enam buah kamera yang terpasang pada Vive Cosmos mewujudkan fitur inside-out tracking, yang berarti ia tak lagi membutuhkan dukungan base station seperti Vive orisinal. Pada kenyataannya, Vive Cosmos tak lagi harus bergantung pada SteamVR, sehingga pada akhirnya HTC bisa menyematkan software baru yang mereka juluki Vive Reality System.

Bagaimana seandainya konsumen tetap ingin menggunakan Vive Cosmos bersama base station milik Vive orisinal? Boleh saja, tapi konsumen wajib memasangkan “mod” untuk Vive Cosmos, yakni jenis pelat depan yang berbeda yang dapat mengubah fungsionalitas perangkat. Untuk konteks ini, mod yang dimaksud adalah External Tracking Mod, yang menghadirkan kompatibilitas Lighthouse base station ke Vive Cosmos, demikian pula kompatibilitas dengan Vive Tracker.

HTC Vive Cosmos

Vive Cosmos datang bersama sepasang controller baru yang mirip seperti controller Oculus Touch. HTC mengklaim keenam kamera milik Vive Cosmos dapat mendeteksi posisi controller-nya dengan cakupan seluas 310 derajat, yang berarti bakal sangat jarang controller-nya keluar dari zona yang bisa dilacak.


Sumber: UploadVR dan HTC Vive.