Peran Manajemen Dalam Kemenangan NARA Pixies di BUBU Esports Tournament 2019

Akhir pekan lalu, telah selesai terlaksana kompetisi BUBU Esports Tournament 2019. Dari dua hari pelaksanaan (13-14 September 2019) akhirnya tim Bigetron RA jadi juara untuk kategori putra dan NARA Pixies keluar sebagai juara untuk kategori putri.

Kemenangan NARA Pixies di kompetisi ini menjadi hal yang sebenarnya cukup menarik untuk dibahas. Pasalnya, tim ladies yang satu ini punya penampilan yang konsisten belakangan ini. Terakhir kali, mereka juga mendapat peringkat 2 di kompetisi PINC Ladies 2019.

Membahas lebih lanjut soal ini, kami mewawancara General Manager tim NARA EsportsErzal Savero Muhammad. Bagaimana peran manajemen dalam mempersiapkan tim NARA Pixies? Berikut hasil bincang-bincang yang kami lakukan.

Akbar (A): Halo Erzal pertama-tama selamat atas kemenangan tim Nara Pixies di kompetisi BUBU Esports Tournament kemarin ya

Erzal Savero (ES): Ya, terima kasih

(A): Bagaimana komentar manajemen atas kemenangan tim NARA Pixies?

(ES): Kemenangan tim NARA Pixies adalah kemenangan bersama atas kerja sama player, manajemen NARA Esports, para sponsor, juga berkat dukungan para fans. Kemenangan NARA Pixies tidaklah mudah, kemenangan tersebut adalah hasil latihan keras, evaluasi, serta perjuangan kawan-kawan NARA Pixies yang tak kunjung henti. Saya sampaikan juga kepada mereka, jangan cepat puas karena ini justru langkah awal untuk perjalanan karir mereka. Serta jangan lupa untuk bersyukur kepada tuhan YME.

(A): NARA Pixies cukup konsisten mendapat posisi 4 besar di dua kompetisi khusus perempuan. Menurut Erzal apa faktor terbesar penampilan tim NARA Pixies yang stabil ini?

(ES): Menurut saya faktor tersbesar adalah mental, karena para pemain NARA Pixies punya mental juara. Saya juga jadi mengingat apa yang dikatakan oleh OG.N0tail “Siapa menenangkan permainan dari sisi mental, maka merekalah yang jadi juara.”.

Saat tim lain mempermasalahkan bug karena PUBG Mobile yang baru update, tim kami fokus melakukan evaluasi dan memberikan solusi. Saya kerap memberi contoh dan menanamkan mindset fokus pada solusi kepada mereka. Jadi jika terjadi suatu masalah, lebih baik segera dicari jalan keluar atau solusi, agar masalah tersebut selesai.

(A): Jelang kompetisi dari BUBU, ada pergantian roster di dalam tim Nara Pixies. Dampaknya dalam persiapan untuk kompetisi bagaimana?

Jelang kompetisi tim Pixies ditinggal oleh pemain yang penting yaitu sang kapten (Thalia “Dust” Salsabilah). Tim Pixies sebetulnya cukup kalang kabut untuk mencari pemain baru, walau sebenarnya ketika itu ada banyak kandidat yang bisa mengisi kekosongan team.

Sumber: Instagram @naraesports
Sumber: Instagram @naraesports

Beberapa di antaranya saya interview langsung, tapi saya tidak ingin salah mengambil keputusan. Bahkan sempat ada perselisihan antara manajemen dengan tim, karena ada kandidat pemain yang diinginkan oleh tim, tapi ditolak oleh pihak manajemen tim.

Tapi saya sampai sampaikan kepada mereka, jika mereka tidak bisa diajak kerjasama dan berkomunikasi dengan baik, maka saya akan mengambil keputusan agar NARA Pixies mundur dari BUBU Esports Tournament.

Tetapi saya rasa kejadian itu malah jadi titik balik kebangkitan NARA Pixies. Jelang deadline kami menemukan 2 pemain Lisa “NARA.FROST” Tjeadi dan Mery “NARA.REDZ” Vianita yang ingin bergabung dengan NARA karena kesamaan visi-misi. Tetapi di luar dari hal itu, saya salut dengan Alexa “NARA.ALEXA”, Maharani “NARA.CINONYX” Dwi Ayu Sekar Wangi, Ayu “NARA.AYU” Pratiwi, Lisa “NARA.FROST” Tjeadi  dan Mery “NARA.REDZ” Vianita yang pada akhirnya memilih tetap bertahan, berjuang, bekerja keras, fokus latihan dan tidak pernah menyerah.

(A): Bagaimana peran manajemen dalam mempersiapkan Nara Pixies untuk kompetisi BEST 2019?

(ES): Kami mencoba untuk mempersiapkan mereka dengan semaksimal mungkin. Roster ini sebenarnya terbentuk dalam waktu cukup singkat, tepatnya baru satu pekan saja. Namun saya yakin akan potensi dan kemampuan mereka masing-masing. Secara In-game, saya yakin mereka sudah hebat semua. Tetapi yang menjadi belum terselesaikan adalah menyatukan chemistry atau ikatan batin antar pemain.

Maka dari itu yang saya lakukan adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk bonding. Jadi saya bikin kegiatan tim seperti jalan-jalan ikut event, nonton konser, hangout bareng, ngopi bareng, dan lain sebagainya. Lucunya, gara-gara kebanyakan kegiatan bonding, kapten tim bahkan sampai protes ke saya. Tapi cukup wajar juga, karena sang kapten mungkin kepikiran, merasa bahwa tim harusnya lebih banyak latihan di game juga.

(A): Kalau bicara soal porsi latihan, kira-kira apakah porsi latihan tim perempuan dengan laki-laki sama? Terus apakah program latihannya sama atau tidak?

(ES): Dari manajemen sebetulnya memberikan porsi yang beda antara player laki-laki dengan perempuan, akan tetapi teman-teman NARA Pixies berinisiatif menambah porsi latihan mereka, bahkan kadang-kadang sampai melebihi porsi latihan tim laki-laki.

Biasanya latihan kita programnya mencakup latihan strategi, analisis kemampuan lawan, scrim, latihan one-man squad (1v4). Dari hasil latihan tersebut terbukti cukup efektif, salah satu contohnya adalah saat match pertama, ketika NARA.FROST clutch 1vs4 untuk memperebutkan Chicken Dinner.

Sumber: Instagram @naraesports
NARA Frost sukses menjadi Terminator (kill terbanyak) di dalam kompetisi BUBU Esports Tournament 2019. Sumber: Instagram @naraesports

(A): Apakah ada perbedaan dari manajemen dalam mempersiapkan tim laki-laki dengan tim perempuan?

(ES): Kebetulan saya sebagai general manager NARA Esport yang menangani seluruh divisi yang ada di dalam NARA Esport, termasuk NARA Pixies. Saya rasa dalam persiapan saya tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki. Seluruh player-player yang telah bekerja sama dengan NARA sangat profesional, kita bekerja dengan komitmen kita bersama yang telah dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis, menyesuaikan dengan visi misi NARA Esports yaitu mengedepankan prestasi.

(A): Bicara soal visi-misi, apa sih sebenarnya visi-misi NARA Esports?Lalu apa yang ingin dicapai oleh NARA Esports dengan tim NARA Pixies? Bagaimana kehadiran NARA Pixies dapat membantu NARA Esports mendapai visi-misi organisasi?

(ES): Kalau bicara apa yang ingin dicapai, dalam jangka pendek tentunya mempertahankan gelar juara. Karena para pesaing pastinya akan memperbaiki diri dan semakin berambisi untuk mengalahkan NARA Pixies nantinya. Kalau bicara soal misi, hal yang ingin dicapai oleh NARA Esports sendiri adalah untuk menjadi perusahaan esports terbaik dalam hal prestasi dan inovasi.

Kehadiran NARA Pixies, ditambah dengan prestasi yang mereka peroleh juga bisa membantu kita melakukan inovasi dalam berkreasi. Dengan prestasi dari NARA Pixies, kita punya kesempatan menarik perhatian sponsor yang lebih luas, misalnya saja produk kecantikan mungkin? Hal ini tentunya membuka kesempatan yang lebih lebar bagi organisasi untuk mengembangkan sayap bisnisnya.

Sumber: dokumentasi NARA Esports
Erzal Savero Muhammad (Tengah) bersama tim NARA Pixies. Sumber: dokumentasi NARA Esports

(A): Kompetisi BUBU Esports Tournament menghadirkan konsep baru dengan memberi total hadiah yang sama antara kompetisi untuk laki-laki ataupun perempuan. Pendapat Erzal terhadap hal tersebut?

(ES): Saya rasa usaha menyetarakan gender dengan tidak membedakan prizepool antara perempuan dan laki-laki ini bisa mendorong kemajuan industri esports. Kita bisa lihat sendiri bagaimana ketatnya persaingan pada leaderboard tim-tim perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga punya kemampuan dan menyajikan tontonan kompetisi yang menarik. Melihat hal itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka suatu saat nanti bisa bersaing dengan tim laki-laki.

Sebagai tambahan saya juga ingin berterima kasih kepada penyelenggara BUBU Esports Tournament, terkhusus untuk Ibu Shinta. Semoga nantinya hal ini bisa menjadi contoh bagi pihak penyelenggara lainya.

(A): Tetapi esports sebetulnya bisa diblang hampir nggak ada batasan fisik antara laki-laki dan perempuan. Menanggapi opini tersebut, apa masih perlu ada kompetisi khusus perempuan?

(ES): Sangat perlu, karena menurut saya turnamen khusus perempuan memperluas ruang lingkup esport, sehingga hal ini berdampak kepada semakin luasnya target sponsor yang dapat kita sasar. Dengan market yang menjadi semakin luas, otomatis akan memajukan dan mengembangkan industri esports di Indonesia.

(A): Terakhir, apa pesan-pesannya teruntuk para fans yang sudah mendukung NARA Pixies dan NARA Esports sampai sejauh ini?

Pesan teruntuk fans, mohon selalu untuk mendoakan dan mendukung kami lewat akun media sosial dengan follow instagram @naraesports dan subscribe youtube channel NaraEsports. Kalian tunggu saja, karena kami akan terus menghadirkan konten-konten kreatif dan menarik.

(A): Oke, terima kasih banyak Erzal

(ES): Sama-sama mas Akbar.

Sekali lagi, selamat bagi tim NARA Pixies atas kemenangannya di kompetisi BUBU Esports Tournament 2019. Semoga NARA Esports bisa terus mepertahankan prestasinya, baik di kompetisi khusus perempuan ataupun menembus sampai kompetisi internasional campuran seperti PMCO atau PINC!

[In-Depth] Karena Passion di Esports Saja Tidak Cukup

Sejak 2018 kemarin, perputaran uang di industri esports Indonesia memang sudah mencapai miliaran Rupiah. Menurut catatan kami di Hybrid, kompetisi dengan total hadiah yang ‘hanya’ mencapai Rp1 miliar saja tidak masuk daftar 10 turnamen dengan hadiah terbesar di 2018.

Gemerlap dan hingar bingar esports juga mungkin membuat banyak orang awam takjub dengan industri baru ini. Namun demikian, dari perbincangan saya dengan sejumlah orang-orang di belakang layar, ada sebuah kekhawatiran tentang bagaimana industri dan ekosistem esports di Indonesia bisa sustain untuk jangka panjang dan scaling ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih lebar.

Berhubung saya kebetulan sudah bekerja di industri game (khususnya media) dari 2008, menurut saya pribadi, ada satu kekurangan utama yang menjadi penyebab kekhawatiran atas sustainability dan scalability di industri game dan esports Indonesia yakni: minimnya kapasitas (skills, knowledge, dan perspectives) dan romantisme hiperbolis atas passion. Hal ini juga disadari oleh Yohannes Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD; sekaligus pionir yang membawa esports masuk ke dalam institusi pendidikan formal kala ia menjabat sebagai Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD.

Menurutnya, banyak orang di esports Indonesia saat ini memang tidak mengenal bidang yang ia geluti. Ia memberikan pengandaian seperti seorang ABG yang baru saja punya pacar. ABG tersebut hanya tau yang sebatas kasat mata, seperti namanya siapa, mukanya cantik atau tidak; namun ia tidak memahami level yang lebih mendalam seperti kepribadian, kebutuhan, idealisme, tujuan hidup, impian, dan lain sebagainya.

Masalah kompetensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama di industri ini; bahkan ketika esports belum sebesar sekarang ini. Namun, satu pertanyaan dari kawan saya, Wibi Irbawanto (yang mencoba menggalakan kesadaran dan kebutuhan soal legalitas dan hukum di esports), yang membuat saya akhirnya ‘terpaksa’ menuliskan artikel ini.

Pertanyaannya kala itu ke saya adalah, “apa yang terjadi jika pertumbuhan industri di esports tidak berbanding lurus dengan kapasitas para profesional yang menjalankannya?”

Faktanya, hal tersebut sebenarnya sudah terjadi meski memang gap antara pertumbuhan industri dan kapasitas para profesionalnya memang belum terlalu besar; karena nilai industrinya sendiri juga masih imut-imut menurut saya. Tribekti Nasima, salah satu penggiat esports Indonesia kelas kakap yang juga sudah malang melintang bekerja dari berbagai elemen ekosistem seperti publisher, tim esports, ataupun event organizer ini juga menyatakan keresahannya saat saya ajak berbincang. Menurutnya, rendahnya kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang memunculkan keresahan atas keberlanjutan (sustainabilityesports Indonesia. “Uangnya (industri esports) ada buat sustain tapi kualitas (SDM) nya yang sangat minimalis.” Ujarnya.

Contoh pertama adalah soal konten di ekosistem dan industri game (termasuk esports) di Indonesia. Karena pengalaman saya yang memang lebih banyak di media dan konten, izinkan saya mengutarakan pendapat soal ini.

The Bad

Para pembuat konten dan para pengambil kebijakannya di industri ini masih banyak sekali yang berpatokan pada kuantitas semata, mengesampingkan kualitas, dan bahkan mengorbankan banyak hal lainnya demi kuantitas tadi (seperti reputasi, hubungan baik dengan ekosistem, ataupun paradigma tentang industrinya itu sendiri).

Menurut saya pribadi, salah satu penyebabnya ada di kapasitas orang-orang itu yang memang masih minim. Maksud saya seperti ini, setiap pelaku industri tentu harus punya tolak ukur keberhasilan di ranahnya masing-masing namun karena kapasitasnya masih minim mereka baru mampu melihatnya dari sisi kuantitas. Saya percaya bahwa setiap orang ingin juga mengukur seberapa bagus hasil karya/produksi mereka sendiri namun, karena keterbatasan tadi, acuan yang yang paling mudah digunakan adalah angka-angka yang terpampang jelas seperti jumlah subscriber, follower, pageviews, users, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Argumentasi saya ada dua. Pertama, produk kreatif tak bisa hanya ditakar dari segi kuantitatif. Misalnya saja antara seri Lord of the Rings (Tolkien), seri Harry Potter (Rowling), atau malah Fifty Shades of Grey (James). Buat yang benar-benar tahu soal karya populis, saya kira jawabannya sudah jelas mana yang menang dalam soal plot, penokohan, penyajian cerita, ataupun soal pengaruhnya ke ekosistem di sekitarnya. Lainnya, andai dunia kreatif hanya mengenal popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan, mungkin kita tidak akan punya nama-nama besar seperti Jostein Gaarder, Dream Theater, Quentin Tarantino, George Carlin, dan kawan-kawannya.

Sumber: QuoteFancy
Sumber: QuoteFancy

Kedua, popularitas/viralitas itu tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kita mungkin memang hidup di jaman duopoli digital oleh Google dan Facebook yang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir banyak orang, termasuk para pembuat konten. Berkat kedua perusahaan raksasa tadi, para produsen konten digital dan orang-orang di sekitarnya (seperti sponsor, pengiklan, dkk.) jadi seolah tak mampu berpikir kritis dan menemukan alternatif dari popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan dan keuntungan.

Padahal, kenyataannya, popularitas dan keuntungan perusahaan tidak selalu berbanding lurus. Setelah artikel ini, saya akan lebih detail membahas soal media dan konten karena bisa jadi terlalu panjang untuk dijabarkan semuanya di sini. Namun, satu hal yang pasti, kenapa saya bisa bilang popularitas atau kuantitas itu tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan; karena kelas sosial dan ekonomi itu nyata, sedangkan Google dan Facebook belum mampu mengukur hal tersebut…

Contoh lainnya adalah dari sisi bisnis event di esports. Dari beberapa obrolan saya dengan sejumlah sponsor yang sudah mencoba masuk ke esports, ada sejumlah kekecewaan yang mereka utarakan. Untuk membahas hal ini, saya pun menghubungi kawan saya lainnya, Kris Ardianto yang sekarang menjadi Head of Business Development untuk MET Indonesia. Keistimewaan kawan saya yang satu ini, dibanding orang-orang bisnis lain yang bekerja di perusahaan esports di Indonesia sekarang, ada di pengalamannya yang pernah bekerja untuk perusahaan-perusahaan endemic kelas kakap, seperti NJT (salah satu distributor hardware PC terbesar di Indonesia), NVIDIA, dan ASUS. Karena sebelumnya ia bertanggung jawab mengurus masalah penjualan, pemasaran, dan penjenamaan, ia jadi pernah merasakan bagaimana berada di posisi sponsor. Perspektifnya tentu saja berbeda dari orang-orang bisnis lain yang belum pernah merasakan di posisi yang sama.

Kekecewaan yang diutarakan oleh beberapa sponsor tadi, menurut saya, memang karena banyak pelaku di industri ini masih terlalu mengagungkan yang namanya viewership. Kris pun setuju soal ini. Ia memang tidak menafikkan pentingnya viewership namun tidak hanya itu yang harus dipikirkan oleh para penyelenggara event esports. “Viewership itu ibarat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Penting memang tapi kemampuan seseorang yang sebenarnya kan tidak bisa hanya diukur dari sana.”

Menurutnya, sponsor event di jaman sekarang pasti juga sudah mengejar ke arah engagement ataupun activation. Bentuk konkretnya seperti apa? Kris pun memberikan beberapa contoh. Pertama, ada sponsor yang ingin menargetkan product experience. Ada juga yang ingin langsung mengejar transaksi atau penjualan. Menurutnya, penyelenggara acara yang baik juga seharusnya mampu merumuskan dan menjalankan campaign seperti apa yang diinginkan sponsor.

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3 yang merupakan garapan dari MET Indonesia. Dokumentasi: Hybrid

“Kalau memang ada yang kecewa, itu berarti ada ekspektasi sponsor yang tidak tercapai. Sampai hari ini, selama saya kerja di MET, belum pernah ada sih sponsor yang kecewa.” Ujar Kris yang memulai kariernya sejak 2009.

Lalu apa rule of thumb untuk mereka yang ingin terjun jadi orang bisnis? Saya pun bertanya. “Know your market. Know your product. Semuanya harus based on data. Memang ga bisa kalau nekat.”

Dua contoh konkret tentang pemahaman pasar yang ia maksud tadi misalnya adalah berapa banyak kompetitor di pasar ini dan seberapa besar pasarnya? Selain 2 itu tadi, ada satu skill lagi yang dibutuhkan di semua profesi termasuk bisnis, yaitu komunikasi. “Contohnya di ranah bisnis soal komunikasi itu ya soal mencari tahu ekspektasi klien. Kalau sampai ekspektasinya bisa ga sinkron ya berarti skill komunikasinya yang kurang.”

Namun demikian, di sisi lain, Joey (panggilan Yohannes Siagian) juga menambahkan soal ketidaksesuaian ekspektasi bisnis. Menurutnya, “Sebagian masalah soal kekecewaan sponsor tentang esports itu datang dari mereka juga sih. Mereka cuma melihat angka-angka viewer dan mendengar popularitas esports. Tapi mereka tidak punya orang yang benar-benar paham esports. So they make bad or misinformed investments, then they are disappointed with results.”

Itu tadi beberapa contoh konkret dari yang saya lihat di ekosistem kita sekarang. Namun demikian, terlalu picik juga rasanya jika kita tidak mencoba mencari tahu akar permasalahannya. Daniel J. Boorstin, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.”

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Joey. “Banyak juga orang esports yang sangat tertutup mengenai input dari luar pemahaman mereka mengenai esports. Tidak sekali dua kali saya mendengar dari orang yang dianggap ‘ahli’ bahwa “ini kan esports”, berbeda dengan olahraga atau bidang lainnya. Ada semacam pandangan di antara beberapa komponen ekosistem bahwa esports itu bidang yang unik dan berbeda yang tidak bisa dipahami oleh orang dari luar ekosistem esports.

Menurutnya, hal itu juga lah yang menyebabkan banyak pelaku di esports yang hanya punya parameter kesuksesan itu-itu saja.

Berhubung saya memang fans beratnya Socrates, saya percaya bahwa hal terpenting yang harus dimiliki setiap manusia untuk berkembang adalah kesadaran diri bahwa kita memang belum tahu apa-apa tentang hidup, dunia ini, dan segala macam yang ada di dalamnya. Sebaliknya, merasa sudah tahu dan berhenti bertanya membuat kita terjebak dalam kebodohan kita sendiri.

Sebenarnya ada satu lagi penyebab yang diutarakan oleh Yohannes mengenai minimnya kompetensi di antara para pelaku esports. “Overall, the whole esports industry is lacking experience; and I’m not just talking esports experience but things like life experience and maturity as well. The average age in the esports industry is pretty low in comparison to other fields that have similar amounts of money flowing through it.

Di satu sisi, saya setuju dengan pendapatnya bahwa usia dari kebanyakan para pelaku esports yang relatif muda – jika dibandingkan dengan nominal uang yang berputar di dalam industri ini – memang bisa berarti minimnya pengalaman, baik soal pengalaman hidup ataupun pengalaman sebagai seorang profesional. Saya percaya minimnya pengalaman hidup (personal) dan bekerja (profesional) memang berpengaruh terhadap kekayaan perspektif ataupun tingkat kesadaran menjalani proses namun, di sisi lain, saya harus menambahkan perspektif saya agar hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Pertama, saya percaya bahwa usia dan kedewasaan berpikir itu bisa saja tidak berbanding lurus. Maksudnya, ada orang-orang yang masih muda tapi cukup dewasa dalam berpikir. Sebaliknya, ada juga generasi tua yang berpikir kekanak-kanakan. Di sisi lainnya, usia muda ataupun minimnya pengalaman itu tidak bisa jadi alasan untuk malas belajar dan lamban menyadari proses.

The Solution

Lalu, bagaimana solusinya?

Sumber: Instagram ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Sebelum ke sana, saya harus tegaskan bahwa bukan berarti tulisan ini menihilkan pentingnya passion di esports. Bagaimana pun juga, saya percaya passion tetap bisa jadi landasan yang baik untuk menggeluti dan belajar di satu bidang. Namun, seperti judulnya, tujuan saya menuliskan artikel ini adalah untuk menyuguhkan argumentasi agar kita semua tidak terjebak dalam romantisme passion yang terlalu hiperbolis karena ada hal-hal lanjutan yang harus disadari dan dipelajari.

Jika kita berbicara soal solusi, ada 2 yang opsi yang sebenarnya bisa dipilih atau dijalankan bersama-sama. “Salah satunya menarik SDM berkualitas masuk. Karena orang bagus akan menarik orang-orang bagus juga. Namun pertanyaannya adalah bagaimana caranya membuat orang-orang tersebut tertarik masuk ke esports.” Ujar Bekti.

Hal ini sebenarnya jugalah yang sudah dilakukan oleh MET Indonesia. Selain kawan saya Kris tadi, ada juga beberapa nama profesional berpengalaman dari industri terkait yang ditarik ke MET Indonesia, seperti Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing MET Indonesia) ataupun Herry Wijaya (Head of Operation MET Indonesia).

Sayangnya, nama-nama di atas memang berasal dari industri terkait. Reza sebelumnya dari ASUS dan Acer. Sedangkan Herry merupakan salah satu senior di ranah EO esports Indonesia yang paling dipandang. Menarik saja rasanya, menurut saya, andai ada para senior dari industri non-endemik (perbankan, hukum, properti, dkk.) yang berubah halauan ke esports karena ada perspektif baru yang bisa ditawarkan. Itulah sebabnya, Yohannes Siagian sering jadi target narasumber saya di banyak artikel berat (wkakwkkwa) karena ia sudah mengantongi belasan tahun pengalaman dari industri pendidikan.

Mencari orang-orang yang tepat dan punya jam terbang tinggi di spesialisasi tertentu itu, bagi saya, salah satu cara yang tepat untuk memperbesar peluang kesuksesan sebuah perusahaan ataupun keseluruhan ekosistem. Sayangnya sampai hari ini, tidak sedikit juga yang masih meremehkan ranah-ranah tertentu.

Mungkin memang gampang kalau yang dikejar adalah kualitas KW 2; namun untuk tingkatan yang benar-benar dapat dijaga konsistensi kualitas atau performanya, saya kira hal tersebut tidak mudah diberikan. Ibaratnya, anak SD saja juga bisa masak mie instant ataupun merebus air. Tapi untuk meracik hidangan yang sekelas hotel ataupun restoran bintang 5?

Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian
Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian

Selain solusi pertama menarik orang-orang yang memang sudah punya kapasitas (baik dari industri endemik ataupun non-endemik), solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksa para profesional yang sudah ada di industri esports sekarang (ataupun akan datang) untuk belajar dengan cepat dan terbiasa untuk melihat segala sesuatunya dari beragam perspektif.

Ada banyak sekali hal yang bisa dikejar untuk meningkatkan kemampuan, tergantung dari skill yang diinginkan. Menurut Bekti, misalnya, buat yang ingin jadi orang bisnis, mereka bisa baca Never Eats Alone (Keith Ferrazi & Tahl Raz) ataupun buku-buku lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan skill jualan. Di sisi lain, jika yang dibutuhkan adalah posisi Project Manager (PM), “PM itu kan paling utama ada di organizational skill nyaJadi, harus belajar terstruktur. PM itu juga harus mempelajari semua hal yang dikerjakan oleh anak buahnya sehingga bisa menakar beban kerja masing-masing anggotanya. Belajar stress management dan self development itu juga saya kira penting buat yang mau jadi PM berkualitas.” Ujarnya.

Buku-buku teori tentunya bisa jadi sumber utama bagi mereka-mereka yang memang serius ingin belajar. Namun, berhubung saya tahu kadang waktu kita sebagai para pekerja sudah tidak sebanyak dibanding saat kita kuliah dulu, berbagai video seminar bisa jadi semacam ‘cemilan sehat’. Artikel-artikel panjang seperti yang kami coba tawarkan di Hybrid (Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah OpiniUpaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 IndonesiaRegenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi, dkk.) juga sebenarnya bisa jadi langkah awal untuk mengusik rasa keingintahuan. Promosi dulu yak… Wkwkawkwak.

Berbicara soal belajar, saya kira saya juga harus membahas soal ilmu yang kita dapatkan dari institusi pendidikan formal. Pasalnya, menurut saya, ada salah kaprah yang terjadi di pola pikir kaum muda termasuk di para pekerja esports. Dari perbincangan saya dengan banyak orang, tidak sedikit yang percaya bahwa ilmu yang didapat di bangku kuliah itu tidak relevan lagi termasuk di bidang esports.

Memang, belajar itu bisa dilakukan di mana pun kita berada; tak harus terkurung di ruang-ruang edukasi formal. Memang, tidak semua teori yang kita dapatkan saat sekolah dan kuliah itu punya nilai pragmatis di setiap desk job kita sebagai seorang profesional. Namun, saya sungguh percaya mindset dan logika berpikir yang bisa dipelajari dari ruang pendidikan formal itu bisa digunakan di setiap keputusan kita (jika memang disadari dan dipahami).

Misalnya, mereka-mereka yang belajar dan memahami aljabar linear bisa mencari logika apa yang ada di balik sistem itu. Saya sendiri yang lulusan Fakultas Sastra juga bisa menggunakan mindset storytelling (atau malah teori Hegemoni dari Gramsci) yang saya dapatkan saat saya kuliah dulu dalam banyak hal yang saya lakukan sebagai seorang pekerja sekarang: bagaimana bercerita tentang perusahaan, produk, event, atau apapun. Setidaknya menurut Yuval Noah Harari, cerita dengan kekuatan narasi yang istimewa bahkan mampu menguasai dunia.

Saya sungguh percaya ada banyak benang merah yang bisa ditemukan dari teori-teori yang kita dapat di institusi pendidikan formal dengan yang kita hadapi sehari-hari (personal ataupun profesional), asalkan kita memang mampu memahaminya di tingkat yang paling dalam.

The Good News

Meski penjabaran dan argumentasi saya tadi mungkin terasa pesimistis, perspektif positif sebenarnya juga bisa digunakan untuk membaca kondisi esports kita sekarang ini.

Dengan kapasitas SDM saat ini saja, esports Indonesia sudah berhasil menarik perhatian banyak pihak dan mengalirkan dana yang lumayan. Bayangkan jika SDM nya bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi…

Saya sudah berada di industri ini cukup lama dan melihat naik turunnya bak jungkat-jungkit. Bagi saya, hal ini tidak bisa dimaklumi, apalagi dijadikan pembenaran. Jujur saja, ambisi pribadi saya saat ini adalah bagaimana industri ini tidak kehilangan momentumnya sehingga bisa terus berkembang dan memakmurkan semua pihak yang terkait di dalamnya.

Semoga saja, artikel ini bisa menjadi memancing kesadaran dan keinginan belajar bagi semua orang yang berkepentingan dan berkeinginan melihat industri game dan esports Indonesia bisa terus berkembang dan bertahan. Satu hal yang saya percayai sejak lama, belajar itu bisa juga menyenangkan. Apalagi buat mereka-mereka yang memang punya passion bermain game, proses pembelajaran itu sendiri juga bisa dimaknai sebagai sebuah permainan.

Akhirnya, izinkan saya menutup artikel panjang ini dengan sebuah kutipan dari salah satu tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan bermain game.

The spirit of playful competition is, as a social impulse, older than culture itself and pervades all life like a veritable ferment. Ritual grew up in sacred play; poetry was born in play and nourished on play; music and dancing were pure play….We have to conclude, therefore, that civilization is, in its earliest phases, played. It does not come from play…it arises in and as play, and never leaves it.” Johan Huizinga (Homo Ludens: A Study of the Play-Elements in Culture).

10 Fighting Game Unik dan Seru yang Kini Hilang Ditelan Zaman

Sejak dipopulerkan oleh Street Fighter II di awal tahun 90an, genre fighting game terus mengalami evolusi, baik itu karena perkembangan teknologi ataupun karena kreativitas para pembuatnya. Luasnya variasi ini kemudian memberikan daya tarik tersendiri. Anda bisa saja tak cocok dengan suatu judul—katakanlah, Tekken—tapi dengan begitu banyak judul fighting lainnya, besar kemungkinan akan ada salah satu yang pas dengan selera Anda.

Sayangnya, besarnya variasi itu juga menjadi semacam pedang bermata dua. Sering ada developer yang menciptakan fighting game unik namun tidak berhasil meraih audiens mainstream. Akibatnya, banyak judul fighting yang kemudian hanya jadi relik sejarah, kalah dengan judul-judul yang lebih populer dan hilang ditelan zaman.

Saya ingin mengajak Anda mengenang sejenak beberapa fighting game unik tersebut. Beberapa di antaranya mungkin pernah Anda mainkan, tapi mungkin ada juga yang bahkan tidak pernah Anda dengar. Mana di antara judul berikut yang pernah mengisi hari-hari Anda?

Ehrgeiz

Ehrgeiz
Sumber: The Fighters Generation

Mendengar nama perusahaan Square Enix atau Squaresoft, hal pertama yang terpikirkan oleh kita pasti adalah judul-judul RPG ternama seperti Final Fantasy atau Kingdom Hearts. Tapi tahukah Anda bahwa Squaresoft juga pernah menerbitkan fighting game? Game itu berjudul Ehrgeiz, atau lengkapnya, Ehrgeiz: God Bless the Ring.

Dirilis untuk PS1 pada tahun 1998, Ehrgeiz merupakan fighting game 3D yang unik karena memiliki gameplay yang terinspirasi dari gulat profesional, dan memiliki fitur-fitur aneh yang biasanya tak ada di fighting game lain. Contohnya arena yang bertingkat-tingkat, sistem kombinasi tombol yang unik, hingga sistem “magic point” untuk mengeluarkan jurus spesial tertentu.

Mungkin fitur paling berkesan dari Ehrgeiz adalah adanya karakter-karakter playable dari Final Fantasy VII seperti Cloud, Sephiroth, Yuffie, dan Zack. Game ini juga memiliki mode petualangan (Quest Mode) yang akan mengingatkan Anda pada game Diablo.

Rival Schools

Rival Schools 2
Sumber: Capcom Database

Rival Schools adalah seri fighting game buatan Capcom yang keren, namun lebih sering dikenang bukan karena pertarungannya. Pasalnya, seri ini menyediakan segudang mode sampingan yang tak kalah seru dari pertarungan itu sendiri. Sesuai judul, Rival Schools memiliki tema kehidupan sekolah, karena itu karakter-karakternya pun dibuat berdasarkan berbagai kegiatan sekolah. Contohnya Roberto yang pemain sepak bola, Shoma yang pemain bisbol, atau Natsu yang pemain bola voli.

Kita dapat memainkan karakter-karakter itu dalam mini-game yang berhubungan dengan kegiatan mereka. Tersedia mini-game adu penalti, memukul home run, bermain voli, dance, dan sebagainya. Lebih seru lagi, Rival Schools juga memiliki mode dating sim, di mana kita menjalani kehidupan sekolah, berinteraksi dengan para karakter dalam game, serta menjalin hubungan persahabatan atau asmara bersama mereka. Semua ini sangat fun!

Seri Rival Schools terakhir kali terbit di Dreamcast dengan judul Project Justice. Beberapa karakter dari Rivals Schools kini muncul dalam Street Fighter V, namun hanya sebagai figuran yang menghiasi latar belakang. Kapankah Capcom akan membangkitkan kembali seri ini?

Gundam Battle Assault

Gundam Battle Assault
Sumber: Gundam Wiki

Fakta ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi Bandai memiliki seri fighting game 2D bertema Gundam yang sangat keren dan sempat berjalan cukup lama. Dikembangkan bekerja sama dengan Natsume, Gundam Battle Assault pertama kali muncul di PS1 dan telah singgah juga di platform lain seperti PS2 dan GBA. Di Jepang, seri ini dikenal dengan judul Gundam: The Battle Master.

Berhubung Gundam adalah pertarungan antar robot, gameplay dalam seri ini agak berbeda dari fighting game pada umumnya. Setiap robot, misalnya, memiliki jatah peluru dan energi untuk serangan spesial yang terbatas dan tidak bisa dipulihkan. Robot-robot ini juga bisa melayang di udara dengan menggunakan thruster, namun durasinya terbatas. Gerakan juga terasa berat dan mengguncang tanah, sebagaimana seharusnya gerakan sebuah robot raksasa.

Saat ini Bandai Namco sudah memiliki seri fighting game Gundam lain yang juga populer, yaitu Gundam Versus. Akan tetapi seri tersebut mengusung sistem permainan 3D, jauh berbeda dengan Gundam Battle Assault.

Fatal Fury

Garou Mark of the Wolves
Sumber: MaiOtaku

Berasal dari seri game apakah karakter Terry Bogard, Mai Shiranui, dan Geese Howard? Kalau Anda menjawab The King of Fighters (KOF), Anda salah. Sebelum muncul di KOF, mereka sudah memiliki seri fighting game orisinal terlebih dahulu dengan judul Fatal Fury (alias Garou Densetsu).

KOF sebetulnya merupakan kompilasi dari berbagai seri game berbeda bikinan SNK, di antaranya Fatal Fury, Art of Fighting, Ikari Warriors, dan Psycho Soldier. Kenal karakter Athena Asamiya dan Sie Kensou? Mereka berasal dari game Psycho Soldier, karena itulah tim mereka di KOF dikenal dengan nama “Psycho Soldier Team”. Hal serupa juga berlaku untuk beberapa karakter lain, seperti Ryo Sakazaki atau Leona Heidern.

Sayangnya, judul-judul yang merupakan “rumah” dari banyak karakter KOF itu kini justru tak diproduksi lagi. Fatal Fury sendiri terakhir muncul pada tahun 1999, dengan judul Fatal Fury: Mark of the Wolves. Di kalangan penggemar fighting game retro, judul ini masih sering dibahas sebagai salah satu game terbaik era tersebut.

One Piece: Grand Battle

One Piece Grand Battle 3
Sumber: Game Planet

Satu lagi seri fighting game keren yang dibuat berdasarkan anime adalah One Piece: Grand Battle. Game ini memiliki kontrol yang cukup sederhana, dengan jurus-jurus spesial yang bisa dikeluarkan dengan menekan dua tombol saja. Namun meski kontrolnya sederhana, One Piece: Grand Battle punya gameplay yang cukup solid dan layak dimainkan dengan serius.

Ketika muncul di era PS1, One Piece: Grand Battle menggunakan arena pertarungan 2D bertingkat seperti seri Super Smash Bros. Tapi memasuki era PS2 seri ini berubah menjadi pertarungan 3D sepenuhnya. Daya tarik utama game seri ini, selain cerita yang mengikuti komik aslinya, adalah jurus-jurus karakter yang digambarkan dengan keren dan kocak seperti adegan anime.

One Piece: Grand Battle punya banyak kemiripan dengan seri Naruto: Ultimate Ninja Storm. Bila fighting game Naruto bisa terus hidup dan laku keras hingga saat ini, saya pikir seharusnya One Piece juga bisa. Tapi developernya yaitu Ganbarion akhirnya beralih fokus menjadi pengembang game action-adventure, seperti One Piece: Unlimited World RED dan yang terbaru One Piece: World Seeker.

Darkstalkers

Darkstalkers Resurrection
Sumber: WallpaperBro

Seri fighting game yang dikenal dengan judul Vampire di Jepang ini pasti tak asing bagi Anda yang sering mengunjungi arcade center di tahun 90an. Wajar bila Darkstalkers digemari banyak orang, karena game ini memang memiliki kualitas tinggi sebagaimana standar developernya yaitu Capcom.

Dengan desain yang terinspirasi gaya gotik, serta karakter-karakter berbasis makhluk-makhluk mistis (seperti drakula, mumi, dan jiangshi), Darkstalkers berhasil menjadi alternatif bagi penggemar fighting game yang bosan dengan desain Street Fighter. Tapi belum ada sekuel baru dalam seri ini sejak Darkstalkers 3 (Vampire Savior di Jepang) di tahun 1997. Setelah itu yang kita dapatkan hanyalah rilis ulang atau kompilasi di era PS2 dan PS3.

Meski tidak ada sekuel selama 22 tahun, Darkstalkers masih populer di berbagai belahan dunia dan sering dipertandingkan di turnamen. Salah satunya turnamen Combo Breaker 2019 beberapa waktu lalu. Darkstalkers juga menginspirasi pembuatan sebuah judul fighting game populer lainnya, yaitu Skullgirls.

Capcom vs. SNK

Capcom vs. SNK
Sumber: Polygon

Pada era 90an hingga awal 2000an, Capcom sempat menjalin kerja sama jangka panjang dengan SNK yang membuat mereka berhasil menelurkan sejumlah game brilian. Sistemnya begini: Capcom boleh mengembangkan fighting game menggunakan karakter-karakter SNK, dan sebaliknya SNK pun boleh mengembangkan fighting game berisi karakter-karakter Capcom.

Game hasil kolaborasi yang dikembangkan oleh SNK disebut sebagai SNK vs. Capcom (SVC), sementara yang dibuat oleh Capcom disebut Capcom vs. SNK (CVS). Kedua seri sama-sama menarik karena mengkombinasikan gameplay dari berbagai judul fighting milik Capcom dan SNK sekaligus. Hasilnya adalah fighting game yang sangat kompleks, sangat variatif, dan mendorong kreativitas strategi para pemain.

Di antara sejumlah judul dalam seri SVC dan CVS, yang paling berkesan mungkin adalah Capcom vs. SNK 2: Mark of the Millennium 2001. Memiliki total 48 karakter dan sistem unik bernama “Groove”, game ini benar-benar menawarkan variasi permainan yang seolah tak ada habisnya. Sistem Team Battle asimetris di dalamnya juga memberikan tambahan strategi tersendiri. Setiap tim bisa memiliki jumlah karakter berbeda, dan dengan mengurangi jumlah anggota, karakter yang Anda mainkan akan menjadi lebih kuat.

Virtua Fighter

Virtua Fighter 5 Final Showdown
Sumber: Microsoft

Sebetulnya masih belum bisa dipastikan apakah Virtua Fighter telah mati atau tidak, namun yang jelas kita sudah lama sekali tidak mendapat sekuel dari game ini. Sekuel terakhirnya, Virtua Fighter 5, dirilis pada tahun 2006 yang berarti 13 tahun lalu. Setelah itu SEGA sempat merilis versi update berjudul Virtua Fighter 5 R dan Virtua Fighter 5 Final Showdown, tapi tak ada kabar mengenai Virtua Fighter 6.

Peran Virtua Fighter dalam sejarah fighting game sangat besar. Seri ini merupakan pionir fighting game 3D, dan banyak menciptakan pakem yang populer hingga sekarang seperti konsep ring out, juggle combo, serta motion capture. Bahkan konon, popularitas Virtua Fighter adalah alasan mengapa Sony dan SEGA berminat mengembangkan console yang fokus pada teknologi 3D (PS1 dan Saturn).

Beberapa karakter Virtua Fighter sempat muncul di Dead or Alive 5, seperti Akira Yuki, Jacky dan Sarah Bryant, serta Pai Chan. Sayangnya mereka tidak muncul kembali dalam Dead or Alive 6.

Bushido Blade

Bushido Blade 2
Sumber: RetroMags

Bushido Blade memperkenalkan sebuah konsep radikal, yaitu pertarungan bersenjata di mana setiap serangan bersifat mematikan. Seperti dunia nyata, dalam game ini, satu sabetan pedang saja bisa membuat karakter Anda langsung tewas. Tentu dengan syarat serangan itu mengenai musuh secara telak.

Karena setiap serangan bisa berakibat fatal, pertarungan di Bushido Blade lebih banyak melibatkan aksi berlari, menghindar, dan menangkis. Kita dapat memilih berbagai macam senjata, dari yang khas Jepang seperti katana, nodachi, dan naginata, atau yang kebarat-baratan seperti rapier, longsword, dan broadsword. Beberapa karakter juga memiliki senjata spesial, seperti pisau lempar, shurikendual katana, bahkan pistol (ya, ini bukan game yang adil).

Bushido Blade mungkin tidak punya jurus-jurus flashy seperti game berbasis senjata lainnya, misalnya Samurai Shodown dan Soulcalibur. Akan tetapi pertarungan “instant death” ini memiliki sensasi tersendiri yang belum tergantikan hingga sekarang. Bayangkan seperti apa pertarungan yang muncul bila game seperti ini dimainkan di level esports!

Bloody Roar

Bloody Roar 3
Sumber: Listal

Game terakhir dalam daftar ini adalah game yang pasti sangat familier di kalangan gamer millennial. Mengusung konsep di mana setiap karakter bisa berubah menjadi siluman binatang (beast), Bloody Roar adalah game yang menarik perhatian karena begitu keren untuk dilihat. Gameplay di dalamnya pun sangat solid, dengan gerakan-gerakan cepat serta combo yang ganas.

Seri Bloody Roar sempat sangat populer di Indonesia di era PS1, dengan entri andalannya saat itu yaitu Bloody Roar 2: The New Breed. Terakhir kali, seri ini muncul di PS2 dengan judul Bloody Roar 4, namun setelahnya tidak terdengar lagi. Salah satu penyebab Bloody Roar menghilang adalah karena penerbitnya, yaitu Hudson Soft, mengalami kebangkrutan di tahun 2012.

Setelah kebangkrutannya, Hudson Soft diakuisisi dan dilebur menjadi salah satu bagian dari Konami. Sementara itu studio co-developer Bloody Roar yaitu Eighting masih terus aktif hingga sekarang. Mereka berada di balik berbagai fighting game Kamen Rider, dan telah membantu Capcom dalam pengembangan Marvel vs. Capcom 3 serta beberapa judul Monster Hunter.

Secara pribadi, hampir semua judul di atas punya kesan tersendiri dalam kehidupan saya. Virtua Fighter 3 misalnya, sempat menemani malam-malam saya ketika masih kuliah dulu dan bertemu dengan teman yang sama-sama menyukai fighting game. Gundam Battle Assault 2 mengisi hari-hari ketika saya duduk di bangku SMP, menghabiskan waktu untuk bermain PS1 di rental dan membaca ulasan strateginya di majalah Hotgame. Sementara Darkstalkers saya kenang sebagai game yang selalu saya tonton di arcade center tapi tidak pernah saya mainkan karena saya tidak paham cara mainnya (waktu itu saya masih SD).

Tapi bila boleh memilih satu saja judul untuk dibangkitkan kembali di console modern, tanpa pikir panjang lagi saya akan memilih Bloody Roar. Memang, game ini tidak punya cerita menarik dan terkenal punya balance yang sama sekali tidak balanced. Tapi seri ini sangat menyenangkan untuk dimainkan, dengan tema yang tak biasa dan jurus-jurus yang keren untuk dilihat. Semoga saja suatu saat Konami berminat menghidupkan kembali Bloody Roar, apalagi mengingat esports merupakan salah satu pilar penting dalam strategi Konami di tahun 2019 ini.

Cerita Violetta “Caramel” Soal EVOS Esports dan Jadi Player Esports Perempuan

Beberapa waktu lalu EVOS mengumumkan divisi Mobile Legends Ladies milik mereka. Roster ini tampil menjanjikan dengan menampilkan pemain-pemain Mobile Legends perempuan kawakan seperti Winda “Earl” Lunardi dan Crestisa “Pucci”. Tak lupa, roster terbaru ini juga memasukkan Violetta “Caramel” Aurelia.

Pemain ini bisa dibilang sebagai salah satu pemain Mobile Legends perempuan yang punya komitmen untuk mendapatkan prestasi. Terakhir kali bersama tim SFI Queen, Caramel dan kawan-kawan berhasil mendapatkan posisi runner-up. Pindah ke EVOS Esports, kami pun mencoba berbincang dengan Violetta seputar kepindahannya dan perjuangannya menjadi srikandi esports Indonesia.

Akbar (A): Halo, boleh minta waktunya untuk tanya-tanya

Violetta (V): Boleh-boleh

(A): Topiknya kali ini seputar EVOS dan perjuangan jadi player esports perempuan, agak panjang nggak apa-apa yaa.

(V): Sip, nggak apa-apa

(A): Soal kepindahannya ke EVOS, Waktu sama SFI Queen, Vio dan kawan-kawan bisa dapat prestasi yang cukup baik, chemistry permainan juga sepertinya sudah terbangun, terus sekarang pindah ke EVOS, kenapa?

(V): Soal kepindahan ke EVOS itu karena masa kontrak di SFI sudah habis. Setelah habis ada ditawari buat perpanjang tapi aku gak ambil karena kepingin rehat sebentar dan mau cari suasana yang baru.

Jadi keputusan buat lanjut atau nggak itu ada di pribadi masing2 member. Saat itu aku milih nggak lanjut dan ada juga yg milih buat perpanjang. Tapi pas milih nggak lanjut, ada jeda beberapa waktu dan ada beberapa tawaran dari berbagai tempat, dan akhirnya EVOS yang aku pilih.

Sumber: Instagram EVOS Esports
Sumber: Instagram EVOS Esports

(A): Kenapa akhirnya milih EVOS?

(V): Setelah beberapa pertimbangan dan melihat member yang sudah dikumpulkan dari beberapa tim, ternyata aku udah kenal beberapa dari mereka cukup lama, dan sering main bareng. Jadi lebih klop dan akhirnya itu jadi alasan milih EVOS.

(A): Salah satu media menyebutkan roster EVOS Ladies ini adalah roster yang kuat, karena melihat pengalaman pemain-pemainnya seperti Earl dan Pucci. Komentar Vio terhadap hal tersebut gimana?

(V): Roster EVOS Ladies yang sekarang menurutku memang udah punya basic yang cukup kuat dari pengalaman-pengalaman. Tapi harus dikembangin lagi soal chemistry.

Chemistry itu adalah yang paling penting di tim dan yang paling susah dibangun. Apalagi kami dari background tim yang beda2. Jadi kami masih banyak harus berkembang supaya bisa jadi tim yg kuat.

(A): Bersama EVOS Ladies, kompetisi terdekat apa yang dituju? Apa yang ingin Vio capai bersama roster EVOS Ladies ini?

(V): Soal tujuan, PR utama kami sekarang itu harus bangun chemistry tim yg kuat. Prepare dari sekarang supaya siap kalau ada kompetisi nanti. Untuk kompetisi terdekat belum ada, karena seperti yang kita tahu di Mobile Legends baru ada satu kompetisi khusus buat ladies, yaitu FSL (Female Esports League MLBB); yang sudah selesai beberapa waktu lalu. Ke depannya, kami bakal ikut bersaing di kompetisi untuk umum tapi untuk sekarang kami masih fokus tiap hari latihan untuk dapat chemistry dulu.

(A): Lanjut ke topik menjadi player esports perempuan. Untuk sekarang ini, kan udah cukup banyak perempuan berkarir di esports. Tapi most of them jadi influencer, caster, atau Brand Ambassador (BA). Menariknya, dibanding pilihan karir tersebut, kok Vio malah memilih jadi player, kenapa?

(V): Untuk soal karir di esports ini awalnya aku ada ditawari jadi influencer, BA, team manager, streamer tapi memang nggak berminat ke sana. Aku sendiri sudah main Mobile Legends dari season 2, udah cukup lama main dan ikutin perkembangan esports. Pas melihat pro-player bisa main di atas stage, angkat piala gitu kayak merinding dan kepingin bisa merasakan hal yang sama. Jadi mimpiku memang ke arah sana, yang membuat aku akhirnya lebih milih jalan menjadi player.

(A): Siapa sosok tersebut yang menginspirasi Vio?

(V): Kalau soal ini dulu aku sempat jadi manager tim Critical (Sekarang GEEK FAM). Pas melihat mereka yang dari tim kecil-kecilan, lalu bisa jadi kuda hitam di season 1 MPL, aku jadi terinspirasi dan kepingin jadi player juga. Mulai dari sana aku memulai karir esports sebagai player.

(A): Kenapa Vio lebih memilih main sama tim ladies? Apakah pernah mencoba gabung ke tim campuran yang berisi laki-perempuan?

(V): Pernah coba gabung ke tim campuran beberapa kali, tapi merasa memang sulit buat bersaing melihat tim-tim pro yang udah ada sekarang. Jadi udah coba gabung tim ladies sudah dari season 3. Jadi ketika itu sambil jalan dan mencoba dua-duanya (tim campuran dan ladies). Akhirnya kini merasa lebih bisa berkembang di tim ladies, yang membuat aku memilih fokus ke tim ladies.

Caramel bertanding di gelaran FSL Mobile Legends saat masih bersama tim SFI Queen Sumber: FSL Elite Official Page
Caramel bertanding di gelaran FSL Mobile Legends saat masih membela tim SFI Queen Sumber: FSL Elite Official Page.

(A): Prestasi tertinggi apa yang ingin Vio capai sebagai player

(V): Kepingin jadi best female MLBB player. Itu mimpi tertinggi yg kepingin aku capai.

(A): Pernah bermimpi bisa bertanding di MPL nggak? Terus kalau masuk MPL, kepingin sebagai tim campuran atau membawa tim ladies?

(V): Aku cukup berharap bisa ikut bertanding di kompetisi kelas itu. Untuk mencapainya aku lebih berharap dengan tim ladies, karena bakal lebih mencolok dan kelihatan dibanding tim campuran. Karena menurutku, untuk dapat masuk ke dalam tim campuran itu kecil banget kemungkinannya untuk dimainkan.

(A): Lanjut ke topik soal berkompetisi sebagai perempuan. Kalau bicara esports, bisa dibilang nggak ada batas fisik untuk pemainnya. Jadi baik laki/perempuan harusnya punya kemampuan berkompetisi yang sama. Berangkat dari hal ini, menurut Vio sendiri, perlu nggak sih kompetisi esports khusus perempuan? 

(V): Untuk ini sangat perlu. Walaupun nggak ada batasan fisik buat pemain, tapi pada kondisi esports sekarang, pemain perempuan jadi sulit ikut berkompetisi di kompetisi resmi karena alasan seperti, perempuan itu susah dikendalikan emosinya, baperan dan lain sebagainya.

(V): Untuk kenapa harus ada pembedaan, sebenarnya lebih ke arah agar dapat mendorong para pemain perempuan untuk turut berkompetisi. Karena untuk sekarang, perempuan yang main game di tingkat kompetitif itu masih sedikit. Dengan munculnya tournament khusus ladies, harapannya para pemain perempuan bisa terbuka dan menarik lebih banyak perhatian dengan pasarnya tersendiri.

(A): Untuk sekarang apakah kompetisi khusus perempuan sudah ada selain dari FSL? Adakah respon dari Moonton terhadap antusiasme player ladies seperti Vio ini?

(V): Untuk saat ini kompetisi khusus perempuan masih belum ada. Jadi mungkin bakal lebih banyak latihan dulu di turnamen umum demi membentuk mental kompetisi. Soal respon dari moonton, kebetulan belum ada sampai sekarang. Padahal sepertinya untuk game lain seperti FREE FIRE dan PUBG MOBILE sudah sering ada event kompetisi khusus perempuan dan terbilang cukup menarik perhatian di esports.

(A): Sebagai penutup, Vio ada pesan-pesan nggak buat penggemar esports secara umum atau para srikandi esports yang sedang berjuang?

(V): Pesan buat semuanya, khususnya ladies player yang kepingin masuk ke kancah kompetitif dan mau ikut kembangin esports untuk perempuan, banyak-banyak latihan dan belajar. Semangat terus, supaya perempuan di esports bisa ikut unjuk gigi. Buktikan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa sukses sebagai pemain di esports, tapi perempuan juga.

(A): Oke terima kasih ya Vio atas waktunya

Sama-sama.

 

[TEAM PROFILE] Alter Ego: Tim Ambisius yang Haus Akan Prestasi

Nama Alter Ego mungkin sudah cukup lama malang melintang di dunia esports, tetapi sebagian dari Anda bisa jadi belum terlalu kenal dengan organisasi yang satu ini. Kali ini, Hybrid akan mencoba membahas tim yang satu ini. Namun, kita akan membahas Alter Ego dari sisi divisi Dota mereka yang sedang bertanding di ESL Indonesia Championship Season 2.

Sebelum membahasnya lebih lanjut, mari kita lihat sepak terjang divisi Dota Alter Ego di ESL Indonesia Championship Season 2. Jika dibahas secara performa, tim ini adalah salah satu tim papan tengah yang cukup kuat.

Saat ini, mereka menempati posisi ketiga dengan perolehan sebesar 27 poin, dan hanya terpaut 3 poin dari tim peringkat 2, EVOS Esports. Tim ini memiliki performa yang cukup stabil. Hasil-hasil pertandingan dari Alter Ego kerap kali sesuai dengan apa yang diharapkan.

Ketika harus melawan tim-tim papan bawah, mereka hampir selalu berhasil mengamankan poin. Seperti saat melawan The Prime di pekan kelima atau melawan Hans Pro Gaming di pekan keempat.

Performa stabil ini bisa dibilang didapatkan berkat kehadiran salah satu pemain senior di kancah kompetitif Dota, Farand “Koala” Kowara, ke dalam tim. Hal ini juga diakui sendiri oleh Ramzi “Ramz” Bayhaki, midlaner tim Dota Alter Ego.

Menurutnya sosok Koala betul-betul seperti menjadi penengah bagi tim. Peran Koala saat ini sangat membantu kawan-kawan Alter Ego baik dari sisi in-game maupun out-game.

“Dari out-game sendiri Koala banyak bantu ketika team meeting. Jadi sebelum bermain biasanya kita bahas strategi dan segala macam. Terus juga bantu memberi insight kalau lagi bahas replay segala macam. Kalau di luar teknis, Koala juga sering bantu menengahi tim kalau lagi konflik, menyemangati tim kalau lagi kalah. Hal-hal itu betul-betul sangat membantu bagi tim kami untuk berkembang lebih.” ujar Ramzi.

Kendati demikian, bukan berarti Alter Ego sudah puas hanya dengan kehadiran Koala saja. “Buat roster yang sekarang, menurut saya hanya butuh waktu latihan yang cukup buat bersaing dengan tim-tim papan atas Indonesia, kurang lebih sih begitu.” Ramzi melanjutkan

Sumber: Instagram @Alter Ego e-sports
Sumber: Instagram @Alter Ego e-sports

Dota 2 sendiri yang bisa dibilang menjadi akar bagi organisasi esports yang satu ini. Menariknya, terbentuknya Alter Ego justru berawal dari ketidaksengajaan. Indra “DRA” Hadiyanto, Co-Founder & COO Alter Ego menceritakan terbentuknya Alter Ego kepada redaksi Hybrid. Awal mula Alter Ego adalah dari tim The Watcher, sebuah tim yang berisikan: Spaceman, Feuru, KelThuzard, Ars, dan Huppey.

Potensi mereka terlihat saat mereka bertanding di salah satu kompetisi dan berhasil menjadi juara. Merasa ada peluang, akhirnya pada roster ini diakuisisi dan mereka maju dengan membawa nama Alter Ego pada Januari 2017.

“Berselang kurang lebih dua bulan, tim ini berhasil menunjukkan potensinya. Dapat peringkat 3 di Acer Predator League 2017 dan juga menjadi runner-up di kualifikasi Indonesia untuk GESC Indonesia Minor 2018.” Indra menceritakan.

Dota 2 menjadi game pertama yang dilirik oleh Alter Ego, karena Dota yang kala itu memang sedang berjaya di ekosistem esports Indonesia. “Apalagi ketika itu kami melihat KelThuzard, SpaceMan dan kawan-kawan yang memang pemain berbakat.” Tambah Indra, memperkuat alasannya mengambil tim Dota 2 sebagai divisi pertama Alter Ego.

Sumber: DRA Official Page
DRA, sosok COO dan CoFounder tim Alter Ego yang juga sempat malang melintang sebagai caster di kancah kompetitif Dota 2. Sumber: DRA Official Page

Mengikuti perkembangan zaman, kini Alter Ego berkembang menjadi organisasi esports multi-divisi. Saat ini, sudah ada total 8 divisi Alter Ego, yaitu: Dota 2, MLBB, Point Blank, Fortnite, PUBG Mobile, Tekken 7, Free Fire, dan Apex Legends.

Indra juga sempat cerita soal tantangan mengelola tim Dota, terutama di masa ini, ketika tren esports Indonesia mulai beralih ke arah mobile games. “Untuk sampai saat ini, yang terberat masihlah dalam membentuk tim solid tanpa harus ganti-ganti roster.” ujar Indra.

Memang, roster shuffle masih jadi momok bagi sebuah organisasi esports. Dalam scene Dota internasional, roster shuffle bahkan sudah dianggap lumrah, terutama setelah gelaran dota Dota 2 The International selesai digelar. Padahal OG sudah mencontohkan perjuangan mempertahankan roster, yang berbuah dua trofi Aegis of Champion. Nyatanya mempertahankan roster tetap menjadi hal yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Terkait tren Dota sebagai esports yang sudah menurun, Ramzi juga terbilang tak terlalu mendengarkan opini-opini tersebut. “Gue sih nggak terlalu peduli dengan hal itu, karena gue cinta sama game Dota itu sendiri.” Ramzi mengatakan.

Lanjut soal tantangan di kancah kompetitifnya tersendiri, Indra terbilang masih mencari cara yang tepat untuk bisa menumbangkan BOOM.ID di kompetisi lokal. Ramzi juga turut mengakui hal ini, tapi lebih ke arah mencoba melakukan intropeksi terhadap posisi tim Alter Ego itu sendiri apda saat ini. “Menurut gue, hal yang harus dihadapi oleh tim Alter Ego untuk saat ini adalah kenyataan bahwa posisi kami masih jauh buat bersaing sama tim Indonesia lainnya.” Ramzi menjelaskan.

Menariknya, scene Indonesia justru bukan menjadi tujuan bagi Ramzi untuk saat ini. “Gue sih nggak terlalu mikirin harus mengalahkan tim Indonesia tertentu, lebih mikirin gimana bisa compete di scene SEA aja. Jadi kita fokus untuk lebih giat lagi dalam segi latihan. Nanti bertahap, kalau di SEA kita udah bisa compete, lanjut ke tahap berikutnya. Bisa sampai tahap minor atau major gue anggap sebagai bonus atau rejeki aja.”

Sumber: Instagram @alteregoesports
Sumber: Instagram @alteregoesports

Lalu berlanjut membahas tim peserta ESL Indonesia Championship Season 2 ini, Ramzi juga memberikan beberapa pendapatnya. Untuk tim terkuat, tentunya tak lain dan tak bukan adalah BOOM.ID. Menariknya, menurut Ramzi, kehadiran Muhammad “InYourDream” Rizky bukan merupakan hal yang besar bagi tim ini.

“Menurut gue BOOM.ID sebetulnya udah cukup kuat dengan Jhocam dulu ya. Apakah kehadiran IYD akan membuat BOOM.ID jadi lebih kuat atau sama aja? Kita lihat saja nanti deh……hahaha.” ujar Ramzi sembari sedikit bercanda.

Lalu kalau tim yang paling potensial, Ramzi berpendapat bahwa setidaknya ada dua tim, yaitu EVOS dan PG.Barracx. “Kalau PG.Barracx bisa kita lihat mereka bisa lolos ke SEA Games untuk mewakili Indonesia. Sementara untuk EVOS, menurut gue lebih soal pengalaman bermain ya. Apalagi roster mereka saat ini juga jadi cukup kuat dengan kehadiran Carry asal Laos (Jaccky).”

Terakhir, ia juga memberi pendapat terhadap tim yang sebetulnya kuat di atas kertas, namun masih belum bisa menunjukkan performa sesungguhnya. Tim tersebut adalah PG.Orca. Menurutnya, tim tersebut adalah tim yang performanya masih naik-turun sejauh ini. “Menurut gue kurangnya PG.Orca adalah dari sisi carry-nya. Mungkin karena mereka masih muda, jadi ya cukup wajar juga. Tapi mereka nggak perlu banyak khawatir, karena masih punya banyak waktu untuk berkembang menurut gue.”

Untuk saat ini, Alter Ego kembali menyajikan roster yang cukup menjanjikan. Berikut daftar pemain divisi Dota 2 Alter Ego untuk ESL Indonesia Championship Season 2:

Sumber: ESL Official Site
Sumber: ESL Official Site
  • Brizio “Hyde-“ Adiputra
  • Rudy “MyDearest” Lucky (dulu bernama Barbie-Usagi)
  • Farand “Koala” Kowara
  • Michael “KelThuzard” Samsir
  • Ramzi “Ramz” bayhaki

Selain dari Ramzi dan Koala, KelThuzard sendiri juga merupakan salah satu nama yang sudah cukup lama malang melintang di kancah kompetitif Dota. Tetapi bagamana dengan MyDearest dan Hyde-? Mereka sendiri ternyata sudah ada di tim Alter Ego selama satu musim belakangan.

Sebelumnya mereka bermain untuk tim Pandora pada tahun lalu. Ramzi juga membagikan sedikit pendapatnya soal dua pemain ini “Kalau in-game, yang gue suka mereka selalu fokus dan punya mental haus akan kemenangan. Out-game-nya mereka gampang bergaul dan juga anak yang asik sih.”

Terakhir, Indra juga menyampaikan komentarnya seputar ESL Indonesia Championship Season 2. “Harapannya sih event ini jadi sesuatu yang rutin. Karena sebenarnya dari TI 9  kemarin, kita bisa lihat bahwa Dota masih punya penggemarnya tersendiri.

Saat ini Alter Ego masih sedang berjuang di Week 7 gelaran ESL Indonesia Championship Season 2. Dengan poin yang diperoleh, Alter Ego sudah hampir bisa dipastikan lolos ke jenjang berikutnya, yaitu ESL Clash of Nations Bangkok 2019 (25-27 Oktober 2019).

Akankah Alter Ego mencapai tujuannya menjadi tim yang dipandang di tingkat Asia Tenggara? Semoga ajang ESL Clash of Nations bisa menjadi pembuktikan bagi Ramzi, Koala dan kawan-kawan.

[Review] Bloodstained: Ritual of the Night – Memberi Lebih dari yang Dijanjikan

Sepanjang sejarah, tidak banyak game yang kemunculannya begitu fenomenal sampai-sampai namanya mendefinisikan sebuah genre. Istilah seperti “DOOM clone” misalnya, walau sempat populer, lama-lama bergeser digantikan oleh nama genre “first-person shooter”. Tapi ketika sebuah game punya karakteristik begitu unik dan sulit dideskripsikan dengan kata-kata generik, judul game itu sendiri akan menjadi nama untuk sebuah genre.

Seri Castlevania, terutama Castlevania: Symphony of the Night adalah salah satu contohnya. Meski bukan game 2D pertama yang menawarkan eksplorasi nonlinier, judul yang muncul di era PS1 itu berhasil menciptakan sebuah formula baru hasil perpaduan eksplorasi di seri Metroid dengan elemen RPG dan estetika gotik. Formula ini kemudian dikenal dengan istilah “Metroidvania”, dan menjadi nama genre yang hingga kini masih banyak digunakan.

Koji Igarashi, otak di balik Castlevania: Symphony of the Night, sempat menelurkan berbagai sekuel dengan formula serupa sepanjang kariernya di Konami. Judul-judul seperti Castlevania: Aria of Sorrow (GBA) dan Castlevania: Order of Ecclesia (NDS) adalah beberapa contoh Metroidvania yang sangat populer dan digemari banyak orang. Akan tetapi pada akhirnya Igarashi memilih untuk berpisah dari Konami, sebab perusahaan tersebut tak lagi mau menciptakan game dengan genre Metroidvania.

“Saya merasa genre 2D action eksploratif masih bisa berevolusi lebih jauh lagi. Karena itu saya mencoba mempresentasikan rencana baru saya kepada para penerbit di seluruh dunia. Tapi mereka berkata bahwa game seperti ini tidak akan sukses terjual. Saya tidak bisa menerima hal itu!” demikian pernyataan Igarashi dalam videonya ketika ia meluncurkan proyek Bloodstained: Ritual of the Night di Kickstarter.

Dari awal sudah jelas terlihat bahwa latar belakang penciptaan Bloodstained ini adalah untuk membangkitkan kembali genre Metroidvania dan membuktikan bahwa masih ada pasar untuk genre tersebut. Lagi pula, tanpa Igarashi turun tangan pun, judul-judul Metroidvania baru masih terus bermunculan dari developer lain. Dust: An Elysian Tail, Hollow Knight, Dead Cells, hingga Ori and the Blind Forest hanya sebagian kecil contohnya.

Tapi perjalanan Igarashi menciptakan Bloodstained: Ritual of the Night pun tidak mulus. Berada di bawah bayang-bayang kegagalan Mighty No. 9 yang juga diluncurkan lewat Kickstarter, banyak penggemar ragu game ini bisa memuaskan mereka. Sebagian lainnya ragu formula milik Igarashi bisa mengikuti perkembangan zaman, apalagi sudah banyak judul Metroidvania lain yang dipandang lebih inovatif dari seri Castlevania.

Bloodstained ROTN - Screenshot 1

Ditambah kontroversi-kontroversi lain seperti kualitas visualnya yang kurang meyakinkan, dibatalkannya versi Wii Uketerlibatan penerbit, dan masih banyak lagi, Bloodstained: Ritual of the Night betul-betul sebuah game yang memikul banyak beban ekspektasi. Sekarang game ini telah dirilis, dan tiba waktunya menjawab pertanyaan: Apakah Bloodstained berhasil memenuhi semua ekspektasi itu?

Tak perlu bermulut manis

Berbicara tentang Bloodstained, saya rasa akan lebih baik bila kita mulai dengan membahas hal yang jelek-jelek dulu. Karena jujur saja, kekurangan dalam game ini sangat gamblang terlihat. Saya tidak bilang bahwa itu adalah kekurangan yang besar, atau kekurangan yang fatal sehingga membuat game ini tak layak dimainkan. Tapi satu hal yang pasti, kekurangan itu adalah hal pertama yang akan ditemui oleh orang yang memainkannya.

Kualitas visual dalam Bloodstained tidak berada dalam level sebuah game AAA. Ini adalah hal yang harus kita akui. Memang Bloodstained versi final sudah mendapatkan banyak perbaikan visual dibandingkan dengan di video-video trailer awal atau versi demonya, akan tetapi tetap saja kualitas visualnya masih kurang sempurna.

Dari segi artistik, sebetulnya game ini sudah sangat ciamik. Nuansa gotik dengan inspirasi desain Inggris era Victorian sangat kental terasa, dan setiap tokoh memiliki penampilan unik yang membuat mereka mudah diingat. Sentuhan fantasi yang disematkan juga terasa cocok sekali dengan tema Bloodstained yang banyak berhubungan dengan ilmu hitam dan dunia iblis. Bila Anda penggemar Castlevania, desain visual dalam game ini akan terasa sangat akrab di mata.

Kristal atau “Shard” adalah salah satu tema sentral dalam Bloodstained. Di sini dikisahkan bahwa manusia dengan bakat tertentu bisa memperoleh kekuatan sihir dengan menanamkan kristal-kristal ke dalam tubuhnya. Namun tentu saja, seperti banyak cerita yang berhubungan dengan alkimia, sebuah eksperimen berbahaya malah membuat dunia jatuh ke dalam bencana. Gerbang dunia iblis terbuka, dan Miriam sebagai seorang Shardbinder harus menghentikan mereka sebelum umat manusia porak poranda.

Corak kristal itu juga banyak dimunculkan dalam berbagai elemen visual Bloodstained: Ritual of the Night. Efek spesial ketika Miriam mengalahkan musuh lalu “menghisap” daya sihir mereka digambarkan dengan adegan kristal yang menghujam tubuh Miriam, sebuah penggambaran yang berada di perbatasan antara sadis dan keren. Tampilan ketika Miriam mengeluarkan berbagai macam sihir juga dihiasi dengan efek-efek spesial bertema kristal atau cahaya, membungkus unsur mistis keseluruhan game dalam satu tema yang konsisten.

Bloodstained ROTN - Bloodless

Sayangnya, implementasi riilnya dalam bentuk model 3D tidak bisa memfasilitasi desain artistik Bloodstained dengan maksimal. Mungkin karena keterbatasan dana, model-model karakter di game ini tampak memiliki poligon yang kurang detail. Tekstur yang digunakan terkadang terlihat kurang rapi, dan ada beberapa objek yang sebetulnya akan sangat bagus bila dimunculkan sebagai poligon tapi malah jadi tekstur datar saja.

Bila ada orang yang berkata bahwa Bloodstained terlihat seperti game era PS2, itu tidak salah. Tapi saya rasa bisa dimaklumi karena memang Bloodstained dikembangkan dengan bujet terbatas. Lagi pula, bila sudah asyik bermain, lama-lama kekurangan visual itu jadi tidak begitu terasa.

Kekurangan yang lebih signifikan dibandingkan visual justru ada di performa teknis. Saya ingat pernah membaca sebuah artikel wawancara dengan studio developer asli Bloodstained, yaitu Inti Creates, yang menyatakan bahwa mereka sebetulnya kurang suka/kurang berpengalaman membuat game 3D. Hal ini terlihat dalam berbagai aspek Bloodstained yang membuat permainan jadi terasa kurang nyaman. Dalam prosesnya, pengembangan Bloodstained akhirnya berpindah dari Inti Creates ke beberapa studio lain, yaitu ArtPlay (studio milik Koji Igarashi), DICO, dan WayForward. Tapi hasil akhirnya tetap masih kurang terpoles dari segi teknisnya.

Bloodstained ROTN - Alfred

Sebagai contoh, cukup sering game ini mengalami stutter (layar berhenti sesaat), misalnya ketika Miriam membunuh musuh atau menghancurkan objek tertentu. Transisi layar menu terasa kurang mulus, dan waktu loading yang diperlukan untuk memulai game juga cukup lama (meski tidak sampai parah seperti Final Fantasy XV). Terkadang teks dialog juga memiliki bug, misalnya tampilan overflow yang aneh atau malah adanya teks yang hilang.

Saya juga sempat mengalami crash sehingga kehilangan progres permainan. Untuk game dengan kualitas visual “seperti PS2”, setidaknya saya berharap performanya bisa lebih mulus dari ini. Saya memainkan Bloodstained di versi PS4, dan kabar yang beredar, sepertinya versi Switch memiliki performa yang lebih buruk. Ini bisa jadi pertimbangan Anda sebelum membeli.

Suksesi dan evolusi

Bila Anda betah menghadapi kualitas visual dan performa teknis yang kurang maksimal, Anda akan menemukan bahwa Bloodstained: Ritual of the Night merupakan sebuah hiburan hebat yang lebih dari sekadar kebangkitan genre lama. Di satu sisi, game ini benar-benar memiliki “feel” mirip dengan judul-judul Castlevania yang telah saya sebutkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, Bloodstained menyimpan banyak sekali pengembangan baru yang menjadikannya layak disebut sebagai sekuel sejati ketimbang nostalgia saja.

Bila Anda mengikuti video-video Development Update yang dirilis oleh tim Bloodstained, mungkin Anda tahu bahwa Igarashi adalah director yang banyak mengambil keputusan berdasarkan feel dari sebuah game, dan paradigma pengembangan seperti itu sangat terasa dalam Bloodstained. Game ini merupakan sebuah game yang “feels great to play” sejak sentuhan pertama.

Pergerakan karakter Miriam sangat responsif, dan saya merasa selalu memiliki kendali penuh atas dirinya—aspek yang sangat krusial dalam sebuah game 2D action. Aksi-aksi dasar seperti melompat, backdash, sliding, serta melakukan serangan, semua terasa cepat dan terkontrol. Tidak pernah sekalipun saya merasa gerakan saya terbatas oleh lambatnya animasi game, dan hal ini terutama sangat penting ketika sedang bertarung melawan bos musuh.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa bahwa animasi serangan Miriam terlihat sangat sederhana. Tapi kesederhanaan itu justru membuat gerakan Miriam terasa efektif. Kita bisa melakukan serangan-serangan beruntun dengan cepat, apalagi bila dikombinasikan dengan teknik backdash canceling. Menghindar tiba-tiba dari serangan musuh juga mudah dilakukan, baik itu dengan cara backdash ataupun lompatan biasa.

Seiring permainan berjalan, Miriam bisa melengkapi dirinya dengan berbagai jenis senjata berbeda, dan setiap senjata memiliki feel berbeda pula. Contohnya, Dagger memiliki jangkauan serang yang pendek namun sangat cepat dan dapat menimbulkan status effect tertentu. Great Sword lambat dan berat, akan tetapi kekuatan dan jangkauan serangnya sangat besar. Pistol bisa digunakan untuk menyerang dari jauh dan dapat diisi berbagai macam peluru, tapi jumlah peluru itu terbatas dan harus Anda peroleh dari toko atau lewat Crafting.

Masih ada banyak jenis senjata lainnya, seperti Rapier, Katana, Shoes, hingga Whip. Ditambah dengan beberapa senjata unik dengan animasi serangan khusus seperti Flying Sword atau Rhava Bural, Anda benar-benar bebas dalam memilih gaya bermain sesuai keinginan. Serunya lagi, sebagian besar tipe senjata juga memiliki serangan spesial atau Technique tertentu yang bisa Anda pelajari. Serangan-serangan spesial ini bukan hanya membuat Anda merasa keren, tapi juga sangat berguna untuk melawan musuh-musuh di perjalanan.

Bloodstained ROTN - Valefar

Variasi permainan Bloodstained dari senjata saja sudah demikian luas, dan kita sama sekali belum membahas aspek Shard di dalamnya. Seperti dalam Castlevania: Order of Ecclesia, Miriam dapat menyerap kekuatan musuh dalam bentuk Shard kemudian menggunakannya sesuka hati. Terdapat enam warna Shard yang bisa Anda gunakan: Red (Conjure), Blue (Manipulative), Purple (Directional), Yellow (Passive), Green (Familiar), dan White (Skill).

Red Shard adalah Shard yang digunakan untuk mengeluarkan sihir serangan, misalnya melempar bola api, menurunkan sambaran petir, atau memanggil pasukan kelelewar. Purple Shard memiliki kegunaan serupa, bedanya sihir ini bisa diarahkan dengan stik analog. Blue Shard adalah sihir manipulasi diri sendiri, seperti meningkatkan stat atau berubah wujud. Yellow Shard memberi beragam efek pasif tertentu, seperti memperkuat serangan atau memberi kekebalan elemen. Green Shard akan memunculkan makhluk gaib untuk membantu Miriam. Dan terakhir, White Shard adalah Shard dengan efek permanen spesial yang umumnya berperan penting dalam eksplorasi (contoh: Double Jump).

Bloodstained ROTN - Techniques

Shard yang bisa Anda temukan sepanjang game jumlahnya ada ratusan, dan setiap Shard bisa diperkuat lewat alkimia atau dengan cara mengumpulkan Shard lebih banyak. Grinding mengoleksi Shard ini merupakan kesenangan tersendiri, dan bila Anda mau menginvestasikan waktu untuk memperkuat Shard tertentu, imbalannya terasa setimpal. Kombinasi beberapa Shard juga dapat dieksploitasi bila Anda ingin menciptakan seorang Miriam yang “imba” di suatu aspek.

Elemen RPG dalam sebuah game bergenre Metroidvania biasanya tidak terlalu dalam, tapi tidak demikian dengan Bloodstained. Dengan segala fitur Crafting, Techniques, dan Shard yang ada, Anda bisa menghabiskan waktu sangat lama untuk bersenang-senang dan menciptakan karakter terkuat. Di game ini Anda juga bisa menjalankan berbagai sidequest dari penduduk desa, memasak, hingga bertani. Fitur-fitur tersebut, walau sederhana, cukup menambah panjang daftar hal menarik untuk dikerjakan.

Bloodstained ROTN - 8-bit Dungeon

Bila hanya melihat sekilas dari trailer atau mencoba bermain sebentar, Bloodstained: Ritual of the Night akan terasa seperti sebuah Castlevania klasik. Sepertinya biasa saja, tidak inovatif, tidak flashy. Tapi begitu Anda menggali lebih dalam, barulah segala macam fitur yang aneh-aneh terkuak. Semakin makin banyak fitur yang Anda buka, Anda akan semakin sadar bahwa Igarashi dan timnya merancang game ini supaya segala macam “aturan” di dalamnya dapat dilanggar. Hasilnya adalah sebuah game yang sangat menyenangkan!

Taman ria penuh kejutan

Salah satu “penyakit” yang membawa berdampak buruk dalam industri game modern ini adalah bahwa sering kali developer menjanjikan terlalu banyak pada penggemar, tapi janji-janji itu tidak terealisasi dalam produk akhirnya. Tim developer Bloodstained justru melakukan sebaliknya. Mereka tidak banyak gembar-gembor janji, tapi justru memberikan lebih banyak hal dari yang diharapkan orang-orang. Bloodstained: Ritual of the Night penuh dengan kejutan-kejutan yang sebetulnya tidak kita minta dan tak ada pun tak apa-apa, tapi kehadirannya membuat game ini semakin seru.

Bloodstained ROTN - Screenshot 2

Saya rasa tidak ada yang berharap sebuah game Metroidvania memiliki fitur kustomisasi penampilan karakter, tapi Bloodstained memberikannya. Di sini kita bisa mengubah warna pakaian Miriam, model rambutnya, juga warna kulit dan matanya. Sejumlah Equipment juga akan mengubah tampilan visual Miriam, seperti scarf, topi, kacamata, topeng, tiara, helm, dan lain-lain. Akan tetapi Equipment ini akan mempengaruhi stat, jadi terkadang Anda harus memilih antara mengorbankan stat terbaik atau mengorbankan penampilan yang Anda inginkan.

Saya rasa tidak ada juga penggemar yang berharap Bloodstained akan dibintangi oleh voice actor ternama karena memang anggarannya terbatas. Tapi kemudian ternyata salah satu karakter penting di dalamnya, yaitu Zangetsu, memiliki suara yang diisi oleh David Hayter (Solid Snake). Pengisi suara Alucard dari Castlevania: Symphony of the Night juga hadir untuk memerankan karakter Orlok Dracule.

Aktor-aktor lainnya pun sudah berpengalaman dan berhasil menghadirkan performa yang menarik dalam adegan-adegan cerita. Menurut saya keterlibatan mereka menunjukkan bahwa Igarashi serius menggarap game ini, namun di sisi lain sebetulnya saya berharap mereka memberikan performa yang lebih “corny” dan “lebay” karena itu termasuk salah satu ciri khas seri Castlevania.

Berbicara tentang ciri khas Castlevania, Bloodstained juga menghadirkan referensi-referensi ke berbagai hal lain yang berkaitan dengan game tersebut. Mungkin Anda ingat bahwa Castlevania: Symphony of the Night memiliki dua ending, dan untuk membuka ending kedua (True Ending) Anda harus memainkan game nyaris dua kali lipat lebih lama. Bloodstained juga memiliki sistem ending yang sama. Tentu tidak saya bahas detailnya di sini karena akan jadi spoiler, tapi yang jelas bila indikator penyelesaian peta belum sampai 100% Anda jangan merasa bahwa permainan telah selesai.

Dengan harga banderol di angka US$39,99, saya memang berharap Bloodstained punya konten lebih banyak dari kebanyakan game indie di pasaran. Tapi ini terlalu banyak! Ditambah fitur New Game+, berbagai optional boss dan optional dungeon, hingga mode sampingan seperti Boss Rush, semuanya membuat saya geleng-geleng kepala. Bila Anda membaca-baca guide tentang fitur rahasia lainnya, mungkin Anda pun akan ikut geleng-geleng atau tertawa, karena banyak sekali hal yang sebetulnya tidak penting tapi menarik. Mungkin ini pertanda bahwa para developer Bloodstained tidak lupa bersenang-senang saat mengembangkan game ini.

Bloodstained ROTN - Character Customization

Igarashi juga menjanjikan berbagai update gratis di masa depan, termasuk penambahan mode-mode baru seperti Roguelike Mode, local & online multiplayer, hingga kemunculan Zangetsu sebagai karakter playable kedua. Konten-konten itu memang belum bisa kita nikmati sekarang, akan tetapi bila Anda menyukai game ini, ada banyak alasan untuk memainkannya dalam waktu yang lama—baik sekarang ataupun nanti.

Kesimpulan: Penyempurnaan cita rasa asli

Apa yang diinginkan oleh seorang penggemar kopi? Tentunya, kopi yang lebih enak, lebih variatif, dan lebih banyak. Sama seperti makanan, penggemar sebuah game pun saya rasa menginginkan hal serupa. Penggemar Castlevania ingin lebih banyak Castlevania, dan bukan Castlevania versi 3D seperti proyek reboot Konami yang tidak ada mirip-miripnya dengan Castlevania klasik.

Kritikus di luar sana boleh saja berkata bahwa ada game Metroidvania lain yang lebih inovatif atau lebih heboh daripada Bloodstained. Tapi sebagus-bagusnya game lain, mereka tetap bukan Castlevania. Hollow Knight bukan Castlevania. Dead Cells bukan Castlevania. Ori and the Blind Forest, Guacamelee, dan Dust: An Elysian Tail juga bukan Castlevania. Bloodstained inilah Castlevania, dengan segala karakteristiknya yang baik, yang buruk, dan yang nyeleneh dalam satu paket. Bila Anda rindu dengan seri Castlevania, saya yakin game ini akan menjadi penghilang dahaga yang memuaskan.

Bloodstained ROTN - Zangetsu

Apakah Bloodstained merupakan game Metroidvania terbaik di pasaran? Belum tentu. Bagi saya, Bloodstained: Ritual of the Night adalah game keren yang berhasil memenuhi janjinya sambil memberikan lebih banyak dari yang diharapkan penggemar. Sebagai sebuah “spiritual sequel”, game ini berhasil mempertahankan segala hal yang membuat seri Castlevania dicintai banyak orang, dan membawanya ke level yang lebih tinggi. Dilihat dari segi tujuan penciptaannya, Bloodstained sudah sukses besar.

Tapi Bloodstained juga masih memiliki berbagai kekurangan yang membuatnya belum bisa disebut sempurna. Aspek visual yang masih bisa diperbaiki lagi, serta performa teknis yang terkadang mengganggu permainan, adalah beberapa hal yang harus jadi bahan evaluasi bila Igarashi ingin merilis Bloodstained 2 nantinya. Igarashi sendiri memang sudah menyatakan keinginan untuk menjadikan Bloodstained sebuah franchise.

Game yang bagus tetap akan menjadi game yang bagus, tak peduli kapan kita memainkannya. Seperti Igarashi, saya pun percaya bahwa genre 2D action seperti ini masih punya tempat di hati para gamer. Tinggal bagaimana developer mengembangkan dan menyempurnakannya supaya terasa sesuai dengan perkembangan zaman. Entah bagaimana nasib seri Castlevania di tangan Konami nantinya, tapi saya sudah tidak perlu ambil pusing lagi. Sekarang sudah ada Bloodstained.

Sparks:

  • Membangkitkan seluruh ciri khas Castlevania dengan sukses, baik dari segi desain, gameplay, hingga musik
  • Kontrol sangat responsif dan nyaman dimainkan
  • Konten yang padat, bisa makan waktu 20 jam atau 30 jam lebih tergantung dari seberapa banyak Anda ingin menyelesaikannya
  • Alur tingkat kesulitan sangat pas, baik dari segi kesulitan musuh maupun platforming
  • Segudang variasi senjata, jurus, dan sihir memberikan gaya bermain yang luas dan bebas
  • Banyaknya konten rahasia membuat eksplorasi terasa rewarding
  • Desain dungeon yang kreatif dan variatif, mulai dari istana gotik, padang pasir, bawah air, hingga era Jepang kuno
  • Desain bos-bos musuh yang menarik dan seru untuk dilawan

Slack:

  • Kualitas visual biasa-biasa saja
  • Performa teknis kurang baik, cukup banyak terjadi stutter

Putut Maulana Wakili LCR Honda Team Untuk MotoGP eSport Championship 2019

Sebagai salah satu pembalap non-european di kancah esports MotoGP, Putut “Moe” Maulana sepertinya benar-benar menarik perhatian banyak pihak. Setelah beberapa saat lalu ia dikontrak oleh Pro2Beesports talent lab asal Italia, kini ia mendapat perhatian dari salah satu tim balap sepeda motor.

Tim tersebut adalah LCR Honda Team, tim balap sepeda motor kelas MotoGP. Ini bermula saat Putut bertanding di fase The Final Draft untuk MotoGP eSport Championship. Saat fase tersebut, Putut bersaing ketat dengan 11 pembalap lain dari Eropa dan regional Rest of the World.

Pada fase tersebut, para pembalap virtual tersebut beradu cepat di sirkuit Losail, Qatar, untuk dapat memilih tim yang akan mereka wakili untuk babak Global Series MotoGP eSports Championship 2019. Posisi tiga besar ketika itu diisi oleh AdrianDP_26, EleGhosT555, dan AndrewZW. Sementara Putut mengisi posisi ke-7, dengan catatan waktu 1:49:183.

Setelah fase Final Draft, para pembalap bisa memilih factory bike yang mereka inginkan. Posisi pertama berhak memilih terlebih dahulu, lalu berurutan sampai ke urutan terakhir. Berada di posisi ke-7, Putut pun memilih tim LCR Honda Team, factory bike yang disebut oleh media resmi esports MotoGP sebagai pilihan terbaik yang tersedia ketika itu.

Level pertarungannya sudah sangat berbeda, karena sudah menghadapi 12 best of the world. Saya betul-betul bersyukur bisa mencatatkan waktu ke-7 tercepat di dalam fase Final Draft kemarin.” ucap Putut, cerita soal pengalamannya.

“Kalau soal pemilihan factory bike, kebetulan pada saat itu semua factory bike sudah dipilih oleh tim lain, kecuali Aprilia dan LCR Honda. Karena ini juga saya jadi memilih LCR Honda sebagai factory bike untuk saya wakili.” lanjut Putut kepada redaksi Hybrid.

Sampai saat ini sendiri, belum banyak pembalap MotoGP esports yang direkrut oleh factory bike MotoGP. Sejauh ini baru ada Trastevere73, juara dunia MotoGP eSports 2018, yang kini telah direkrut oleh Monster Energy Yamaha Team.

Sumber: LCR Honda Official Page
Sumber: LCR Honda Official Page

“Kebetulan Pro2Be Esport Management juga telah berdiskusi dengan LCR Honda Team dan respon mereka postifi terhadap ide untuk memiliki esports project seperti Monster Yamaha Team.” Cerita Putut.

Dengan persaingan yang makin ketat, Putut juga sedikit cerita soal targetnya. “Target realistis sih finish di 6 besar. Tapi namanya balapan kita nggak ada yang tahu, apa yang bisa terjadi di belokan pertama lap pertama. Jadi doakan saja yang terbaik.” ujar Putut.

Pertandingan berikutnya adalah fase pertama Global Series. Putut bersama 11 kontestan lainnya bertanding di Misano, Italia, dan akan beradu cepat di sirkuit Mugello, Italia dan Redbull Ring, Austria pada 13 September 2019 mendatang.

Mari kita doakan agar Putut bisa mendapatkan hasil yang maksimal di dalam kompetisi ini dan bisa membanggakan Indonesia di tingkat internasional.

Perjalanan Panjang OG Memenangkan The International Dua Kali Berturut-turut

OG telah menjadi juara Dota 2 The International 2019 (TI 9). Mereka menjadi juara setelah berhasil mengalahkan Team Liquid, dalam gelaran Grand Final yang diselenggarakan pada akhir pekan kemarin (25 Agustus 2019), di Shanghai, Tiongkok.

Tapi ini bukan kemenangan biasa. OG mencatatkan dirinya di dalam sejarah esports Dota, sebagai tim pertama yang berhasil memecahkan “kutukan”. OG adalah tim Dota 2 pertama dalam sejarah yang bisa memenangkan The International dua kali berturut-turut. Mereka juga tim asal Barat pertama yang berhasil memenangkan Dota 2 TI di tahun genap.

Tapi, kesuksesan OG yang kita lihat hari ini, merupakan sebuah jalan panjang berliku yang telah dipahat dengan susah payah oleh Johann “N0tail” Sundstein. Bagaimana OG bisa mencapai titik kesuksesan seperti ini?

Pemain Heroes of Newerth yang Berganti Haluan

Pertama kali mencoba pertaruhan di kancah kompetitif Dota 2, N0tail terhitung sebagai anak baru jika dibanding lawan-lawannya. Hal ini karena ia sebenarnya adalah pemain Heroes of Newerth untuk tim Fnatic yang berubah haluan ke Dota 2.

Rostern Fnatic ketika itu adalah, N0tail, Tal “Fly” Aizik, Adrian “Era” Kryeziu, Kai “H4nn1” Hanbückers, dan Kalle “Trixi” Saarinen. Mereka pertama kali melakukan debutnya di The International 2013.

Ketika itu ia dianggap sebagai pemain muda yang punya potensi. Namun ia tak sebersinar layaknya Sumail “SumaiL” Hassan, yang langsung menjadi juara The International pada debut pertamanya.

Sumber: Red Bull Media
Sumber: Red Bull Media

N0tail tak bisa bicara banyak saat menghadapi musuh-musuhnya. N0tail bersama Fnatic harus menerima kekalahannya saat melawan Orange Esports, tim kuat asal Malaysia yang dipimpin oleh pemain veteran, Chai “Mushi” Yee Fung.

Kegagalan demi kegagalan ia dapatkan. Ia berpindah dari satu tim ke tim lain demi mendapatkan hasil yang lebih maksimal. N0tail pernah mencoba bermain untuk Team Secret, tapi tidak berhasil. Sempat bermain untuk Cloud9 juga, tapi lagi-lagi ia kembali gagal mendapatkan Aegis of Champion. Sampai akhirnya ia memutuskan membuat tim sendiri, tim yang menurutnya ideal.

Membangun OG dengan Berbagai Momen Jatuh Bangun

Akhirnya N0tail memutuskan untuk membuat tim sendiri bersama dengan kawan bermainnya sejak dari zaman ia masih berkompetisi di kancah Heroes of Newerth bersama Fnatic, Tal “Fly” Aizik. Ia membuat tim bernama Monkey Business, yang setelah mendapatkan sponsor berganti nama menjadi OG.

N0tail bersama Fly membangun tim OG dengan membawa mindset mengutamakan pertemanan. Fly mengatakan hal ini dalam dokumenter Against the Odds“Ide besar di balik OG adalah pola pikir mengutamakan pertemanan, namun tetap dengan semangat kompetitif untuk juara.”

Maka dari itu, OG tidak mengambil pemain papan atas, melainkan mengambil pemain dengan skill yang mumpuni, namun punya mindset serupa. Roster awal OG ketika itu adalah Andreas “Cr1t” Franck Nielsen, David “MoonMeander” Tan, dan sang pub star Amer “Miracle-” Al-Barkawi.

Tak ada yang menduga dengan kekuatan tim yang satu ini pada awalnya. Namun mereka berhasil mendobrak kancah kompetitif Dota ketika itu. Saat Valve membuat satu rangkaian kompetisi bernama Major, OG merajalela hampir di semua kompetisi tersebut.

Dari tahun 2015 sampai awal tahun 2017, mereka hampir memenangkan semua Major yang diselenggarakan oleh Valve. Mulai dari Frankfurt Major 2015Manila Major 2016Boston Major 2016, sampai Kiev major 2017.

Tapi sayangnya ada satu prestasi yang tak bisa dilengkapi oleh N0tail, Fly dan kawan-kawan OG, yaitu The International. Pada The International 2016 mereka gagal dengan cukup pedih, gugur pada awal-awal fase main stage.

Pasca kejadian tersebut Fly bertahan dengan visi yang ia bawa ketika membangun OG. Fly mengungkapkan hal tersebut dalam salah satu wawancara bersama dengan Red Bull Media.

Sumber: Red Bull Media
Sumber: Red Bull Media

“Banyak tim tidak selamat dari masalah tersebut (pergantian roster). Namun demikian, beberapa dapat menyelesaikan isu tersebut, dengan saling bicara dan pada akhirnya bisa bergerak maju sebagai tim. Bagi kami, menyelesaikan masalah-masalah tersebut terbukti telah membawa kami menang di Manilla Major.” Ungkap Fly.

Tahun 2017, N0tail dan Fly kembali mencoba memperjuangkan TI, tetapi dengan roster yang berbeda, yaitu Anathan “Ana” Pham, Gustav “s4” Magnusson, Jesse “JeRax” Vainika. Sayang, lagi-lagi mereka mengalami kegagalan.

Momen TI 7 ini yang memunculkan rivalitas antara N0tail dengan Fly. Setelah berkali-kali gagal, Fly akhirnya memutuskan untuk pindah ke tim Evil Geniuses bersama dengan s4 beberapa saat jelang The International 2018.

Dengan keadaan tim yang tercerai berai, OG harus mengulang kembali kisah perjuangan menjadi tim kuda hitam di TI 8.

Gabungan Talenta, Strategi, dan Kepercayaan Sesama Tim

N0tail agaknya masih mempertahankan nilai kepercayaan di dalam membangun sebuah tim. Ia lebih mengutamakan kesamaan mindset ketimbang sekadar mengambil pemain yang sudah terbukti kemampuannya.

Ini mungkin bisa dibilang jadi salah satu alasan terbentuknya roster OG untuk TI 8 yang dipertahankan sampai TI 9. Mereka mengambil Topias Mikka “Topson” Taavitsainen, menarik kembali Ana, dan memainkan sang pelatih, Sebastien “Ceb” Debs.

Banyak yang tidak percaya dengan roster ini, tapi N0tail percaya. Soal memainkan Ceb, N0tail sempat membicarakannya dalam sebuah wawancara dengan VPEsports. Ketika itu tak hanya mengakui Ceb sebagai pelatih yang luar biasa, dan tapi juga sebagai salah satu pemain dengan kemampuan mekanik yang sangat baik.

Sumber: Twitter @dota2ti
Sumber: Twitter @dota2ti

Begitu juga dengan Topson. Ia sempat malang melintang di berbagai kompetisi online, yang daftarnya mungkin akan terlalu panjang jika harus semuuanya dituliskan di sini. Pengalaman terbesarnya main di panggung adalah saat ia beratnding di WESG Global Grand Finals dengan tim Finlandia. Meski TI tetap belum masuk dalam pengalamannya, namun N0tail tetap percaya.

Dengan roster “seadanya” mereka secara mengejutkan berhasil memenangkan TI 8. Tetapi itu tidak serta-merta hanya karena mereka jago bermain. Ini yang sebenarnya menarik untuk dibahas, yang mana unsur coaching dan mental menjadi faktor terpenting atas kemenangan OG di The International 2018, dan mengulangnya di The International 2019.

Ketika Aspek Psikologis Membawa OG Menang The International Dua Kali

Sebagai tim yang percaya untuk menyelesaikan masalah ketimbang mengganti roster, OG benar-benar menempatkan jerih-payahnya untuk mencapai hal tersebut. Buktinya sudah jelas, OG bisa menang dua kali TI dengan roster yang sama persis.

Sebastien “Ceb” Deb sempat membicarakan ini tahun 2018 lalu dalam wawancara yang cukup panjang dengan VPEsports. Mengingat Ceb juga sempat melatih OG untuk beberapa saat, ia cerita juga soal proses coaching yang ia lakukan.

Menariknya Ceb mengatakan, bahwa menganalisis game sebenarnya hanya satu hal kecil yang bisa dilakukan coach di dalam sebuah pertandingan. “Lebih soal bagaimana Anda menyampaikan informasi ini kepada rekan satu tim.” Ceb melanjutkan.

Sumber: Twitter @dota2ti
Sumber: Twitter @dota2ti

“Bagian mental adalah hal yang sangat penting sekali, karena ketika pemain tertekan di antara permainan, mereka sebenarnya berada di bawah tekanan yang sangat berat. Anggaplah kita membicarakan pertandingan winner bracket di antara game satu dengan game dua di The International. Saat itu anda hanya punya waktu 30 detik. Dengan waktu tersebut, Anda bisa membuat rekan satu tim Anda jadi dua kali lebih kuat atau Anda bisa membuat mereka jadi hancur ketika akan memasuki permainan” Ceb memperjelas.

Ceb sebenarnya punya kemampuan memahami permainan, tapi seperti yang dijelaskan, itu saja tidak cukup. Melatih tim selama kurang lebih dua tahun, akhirnya memaksa Ceb belajar memahami mood dan aspek psikologis kawan-kawannya; walau pada TI 8  Ceb akhirnya turun ke pertarungan dan menjadi pemain.

“Namun jika harus jujur, sebuah tim sebenarnya butuh setidaknya dua orang coach. Satu adalah technical coach, satunya adalah pelatih yang bisa dibilang psychological coach. Menjadikan satu orang untuk melakukan keduanya adalah hal yang menurut saya sangat merugikan.” Ceb menjelaskan.

Pada TI 8 bisa dibilang peran technical coach dijalankan oleh Ppasarel, seorang pemain Dota veteran sejak zaman Defense of the Ancient. Sementara peran pshychological coach, mungkin bisa dibilang dijalankan oleh Ceb dan N0tail sebagai sosok yang lebih dewasa di banding dengan rekan satu tim lainnya.

Formula tersebut berhasil membuat OG berubah total, dari tim yang tercerai berai sesaat sebelum Dota TI, menjadi tim yang menjuarai kompetisi esports dengan hadiah terbesar di dunia. Bagaimana dengan tahun ini?

Akhirnya OG bisa mewujudkan apa yang dikatakan Ceb, menghadirkan technical coach dan psychological coach. Dari sisi technical coach, ada Titouan “Sockshka” Merloz, pemain Dota asal Perancis yang juga punya pengalaman panjang di kancah kompetitif Dota.

Dari sisi psychological coach yang sebenarnya membuat OG jadi menarik. Ada Mia Stellberg, seorang psikolog yang punya banyak pengalaman melatih mental atlet maupun atlet esports.

Sebagai sports psychologist, Mia sempat menjadi pelatih dalam mempersiapkan atlet untuk Olimpiade. Sebagai esports psychologist, bisa dibilang pelatih ini punya kemampuan menghancurkan “kutukan” di esports, sebagai salah satu keahlian dalam portfolionya.

Ia menjadi bagian dari sejarah saat tim Astralis berhasil mematahkan “kutukan” kancah CS:GO di tahun 2017. Pada masa itu Astralis terkenal sebagai tim yang bermain dengan baik di fase grup, namun jadi hancur berantakan saat menghadapi tekanan mental, dan selalu berakhir gagal menjadi juara.

Dengan bantuan Mia, Astralis keluar sebagai juara ELEAGUE Major: Atlanta 2017. Mereka berhasil mematahkan “kutukan” bahkan melanjutkan tradisi juara mereka sampai tahun ini.

Bersama OG, Mia seakan kembali menjadi penawar atas kutukan-kutukan yang selama ini terjadi di esports, termasuk Dota 2. Dalam sebuah wawancara bersama VPEsports, Mia sedikit bercerita soal perannya dalam membantu OG.

Ia kembali menekankan soal bagaimana masing-masing pemain memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang dapat berubah dan berevolusi. “Menurut saya, sebagai seorang esports psychologist, tugas saya adalah menstabilkan hasil yang akan mereka dapatkan dan membuat aksi mereka jadi lebih bisa diprediksi.” Mia menjelaskan perannya.

Topson juga menceritakan perjuangan dari sisinya. Walau semua terlihat sangat mudah bagi OG untuk The International 2019, namun nyatanya perjuangan tidak semudah itu bagi mereka. “Perjuangan kami sulit, jujur ada masalah motivasi yang kami alami dan itu menjadi sangat berat. Performa kami tidak maksimal pada beberapa kompetisi, tetapi semakin dekat dengan TI, motivasi kami kembali, dan ya inilah kami.” ucap Topson.

Dia juga menceritakan bagaimana kehadiran Mia benar-benar sangat membantu perjuangan OG selama perjuangannya di TI 9. Tapi Mia juga kembali menambahkan, bahwa sebagian besar kemenangan OG di The International 2019 adalah karena mereka sendiri.

“Orang-orang bisa saja mengatakan sesuatu hal soal apa yang bisa atau tidak bisa Anda lakukan. Tetapi tergantung kepada Anda untuk mendengarkannya atau tidak. Pemain-pemain OG tidak mendengarkan komentar orang lain tentang mereka. Mereka melakukan apapun yang mereka mau, mereka independen, pintar, dan tidak terkena dampak dari hal-hal klise (kutukan memenangkan TI dua kali berturut-turut) dunia esports yang diucapkan oleh orang-orang.” Mia menjelaskan.

Perjuangan OG menjadi juara The International sebanyak dua kali berturut-turut tak hanya menorehkan sejarah, tapi juga meninggalkan banyak hal yang bisa kita pelajari.

Apapun sudut pandang kita terhadap jalan yang ditempuh seseorang menjadi sukses, nyatanya proses seseorang atau suatu tim untuk menjadi juara itu tak pernah mudah dan tak boleh sekalipun diremehkan.

Dari Komunitas ke Profesional – Perjalanan DRivals Membina Tekken di Indonesia

Fighting game merupakan salah satu genre esports tertua di dunia, bahkan mungkin yang tertua. Semenjak Street Fighter II: The World Warrior muncul pada tahun 1991, para pemain fighting game sudah lazim mengadakan kompetisi di pusat-pusat arcade meskipun skalanya tentu tidak begitu besar. Ajang fighting game terbesar dunia, Evolution Champion Series (EVO), awalnya pun hanya kompetisi kecil-kecilan antar komunitas. Tapi lihat sekarang, EVO telah menjadi sebuah festival akbar yang melibatkan sponsor-sponsor besar industri game.

Tradisi grassroot di dunia fighting game selalu menciptakan kisah-kisah menarik dalam perjalanannya. Begitu pula di Indonesia. Contohnya perjalanan tim DRivals yang saat ini dikenal memiliki pemain-pemain Tekken yang hebat, bahkan salah satunya menjadi pemain timnas untuk SEA Games 2019. Hybrid berbincang-bincang dengan leader DRivals, Jovian Yoe Cobus alias Cobus, untuk mengenal lebih jauh bagaimana tim ini dibentuk hingga menjadi seperti sekarang. Simak pemaparannya di bawah.

Tim muda yang punya karya

Sebetulnya DRivals adalah tim yang usianya masih tergolong muda. Bermula sebagai komunitas biasa, DRivals didirikan pada tahun 2018 oleh dua pemain yaitu saudara kembar Aldi (NoDrop) dan Aldo (Jackbosstin). “Nama DRivals awalnya dari PSN ID mereka saja, terus temen-temen pada ikutin pake tag pas turnamen,” kata Jovian. Di dunia fighting game memang lazim ditemui penambahan nama tim di depan nama pemain untuk menunjukkan keanggotaan. Contohnya pemain bernama Jackbosstin dari tim DRivals, dalam turnamen akan ditulis sebagai DRivals | Jackbosstin.

Jovian bercerita, “Mungkin DRivals itu kayak pelopor tim Tekken di Indonesia sih. Sebelumnya ga ada yang pakai tim paling, tapi sejak DRivals pakai nick tag team di turnamen jadi banyak muncul-muncul tim/dojo/klan lah ya sebutnya di turnamen Tekken. Contoh kayak tim UWU, WIF, Chaos, Myth, dan lain-lain.”

DRivals - Technofest
DRivals di ajang Technofest 2018 | Sumber: Dokumentasi DRivals

Reputasi DRivals di kancah Tekken Indonesia semakin meningkat ketika kedatangan tiga orang yang menamakan diri mereka tim Palem Rangers. Mereka adalah Javier (Ayase), Anthony (TJ), serta Jovian (Cobus) yang semuanya lebih berpengalaman dalam bermain Tekken dibanding anggota-anggota awal DRivals.

Tim Palem Rangers sendiri sebetulnya memiliki anggota-anggota lain, namun sayangnya di era Tekken 7 kebanyakan sudah tidak aktif. Jadi peleburan dua tim ini memberi banyak manfaat bagi DRivals karena mereka bisa meningkatkan skill dengan bantuan anggota yang lebih senior.

Terbukti, sejak bergabung dengan Tim Palem Rangers, reputasi DRivals semakin menanjak karena nama mereka sering muncul sebagai juara. Reputasi ini tidak hanya didapat oleh pemain-pemain seniornya. Pemain-pemain lainnya pun terus berlatih dan meningkatkan skill sehingga banyak meraih prestasi.

Deretan pencapaian tim DRivals antara lain:

Tumbuh bersama ekosistem Tekken lokal

Franchise Tekken di Indonesia sudah terkenal bahkan sejak zaman Tekken 2 di PS1 dulu. Namun begitu Tekken 7 dirilis untuk console dan PC pada pertengahan 2017 lalu, popularitas Tekken di negara kita ini mendadak mengalami ledakan hebat. Tekken 7 sekarang menjadi judul fighting game yang paling ramai peminat, bukan hanya di ranah kasual tapi juga di dunia kompetitifnya di berbagai penjuru Nusantara.

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

“Kalau menurut saya sih sekarang lagi berkembang banget ya. Emang ga bisa dipungkiri Tekken massanya paling banyak dibanding FGC (fighting game community) lain, seperti Pak Bram dari Advance Guard juga bilang gitu,” ujar Jovian, “Kalau Tekken pesertanya 100, mungkin game lain hanya 20 udah susah kumpulnya.”

DRivals pun demikian, mengalami peningkatan yang sangat pesat dalam waktu kurang dari setahun saja. Sebelumnya DRivals sama sekali bukan tim unggulan di turnamen karena notabene anggotanya adalah newcomer. Tapi dengan banyak melakukan gathering, latihan, hingga streaming, tim ini bisa menunjukkan performa yang terus membaik.

Saat ini kegiatan DRivals yang paling utama adalah streaming sekaligus latihan. Mereka membuat jadwal streaming tiap hari Selasa untuk Tekken 7 versi Steam, dan Kamis untuk PS4. Selain itu mereka kerap berkumpul untuk berlatih bersama di rumah NoDrop dan Jackbosstin saat akhir pekan, ditambah berkumpul di Hybrid Dojo baik untuk gathering ataupun turnamen kasual. DRivals juga aktif menciptakan konten di channel YouTube DRivals on Air, baik itu berupa streaming, challenge, analisis pertandingan, talk show, dan lain-lain.

Selama kurang lebih satu tahun perjalanannya, DRivals pun sudah mengalami datang dan perginya anggota tim. Kini DRivals memiliki anggota sebanyak 9 pemain, yaitu:

  1. DRivals | TJ
  2. DRivals | Ayase
  3. DRivals | Cobus
  4. DRivals | NoDrop
  5. DRivals | Jackbosstin
  6. DRivals | Kids
  7. DRivals | RTM
  8. DRivals | Adnairoon
  9. DRivals | Retardo

Dari komunitas ke profesional

Tokopedia IENC 2019 menjadi titik awal baru bagi DRivals yang saat ini tengah berevolusi dari tim biasa menjadi tim profesional. Jovian berkata, “Setelah momen juara TJ dan Ayase di IENC 2019 dan mewakilkan Indonesia ke SEA Games maka kami memutuskan untuk lebih serius di dalam scene Tekken 7, dan memutuskan untuk menjadi tim profesional dengan mencari sponsor dengan tujuan untuk lebih bisa mengharumkan nama Indonesia terutama di luar negeri.”

Menariknya, TJ dan Ayase sempat mendapat tawaran untuk bergabung dengan tim esports lain. Namun mereka lebih ingin tetap membawa bendera DRivals, dan justru ingin mencari sponsor untuk seluruh tim (bukan perorangan) supaya tim ini bisa berdiri sendiri sebagai tim esports profesional. “Sekarang kami sudah menjalin kerja sama dengan beberapa pihak, salah satunya yaitu Hybrid.co.id sebagai media partner kami,” kata Jovian.

DRivals - Tokopedia IENC
Top 3 Tokopedia IENC diisi 2 pemain DRivals | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dengan begitu banyak pencapaian yang telah diraih, patut diakui bahwa TJ adalah pemain terkuat DRivals saat ini. Tapi uniknya TJ justru mengaku termasuk jarang berlatih, dalam artian jam bermainnya relatif rendah dibandingkan anggota-anggota lainnya. TJ lebih banyak menghabiskan waktu untuk menganalisis pertandingan-pertandingan di luar negeri dan cara bermain para pro player.

“Dia lebih banyak belajar di sana sih, dan emang mental turnamen dia sudah bagus karena sering juara,” papar Jovian. “Dia juga sempat ngalahin Meat satu kali di Winners Bracket (Tokopedia IENC 2019), yang di mana itu adalah kekalahan 1 set pertama Meat selama di turnamen Indonesia, yang bikin Meat harus ke Losers Bracket berjuang dari sana dan akhirnya ketemu TJ lagi Grand Final dia menang dan juara 1.”

Sebagai bagian dari pelatnas SEA Games 2019, Meat dan TJ sempat dijadwalkan bertandang ke Malaysia untuk mengikuti turnamen Tekken World Tour (TWT) di FV Cup 2019. Namun sayangnya TJ batal berangkat karena satu dan lain hal. Sementara Meat sempat meraih kemenangan di sana namun terhenti sebelum maju ke babak Top 32. Nantinya mereka juga direncanakan berpartisipasi di TWT Rev Major (Filipina) pada bulan September, TWT Tokyo Masters (Jepang) di bulan Oktober, hingga puncaknya di bulan November – Desember yaitu SEA Games 2019.

Jovian sebagai leader tim DRivals ingin SEA Games ini bisa menjadi momen yang mendongkrak popularitas fighting game agar bisa menyaingi cabang-cabang esports lain, seperti Mobile Legends atau PUBG. Ia percaya bahwa potensi esports di Indonesia sangat besar—baik di fighting game atau di genre lainnya. Langkah pemerintah untuk mendukung esports di SEA Games memang sudah bagus, tapi tentunya masih ada hal-hal yang dapat diperbaiki.

“Harapan saya sih untuk DRivals yah terus berlatih sih ya, sama berkembang karena ekosistem kompetitif di Tekken 7 ini sangat ketat. Lawan juga tambah kuat dari waktu ke waktu. Dan kalau bisa semua nyusul skill TJ supaya bisa ganti-gantian wakilin Indonesia baik individu maupun bawa bendera negara di luar negeri. Dan berharap juga ada sponsor yang bisa mendukung kita untuk go internasional,” tutur Jovian.

Tahun 2019 ini merupakan tahun yang sangat mengasyikkan bagi dunia fighting game berkat banyaknya judul berkualitas dan ekosistem esports yang masih terus tumbuh. Bagi DRivals, momen ini adalah langkah awal untuk menjadi tim profesional sejati dengan pemain-pemain bertalenta yang mampu mengharumkan nama bangsa. Dibandingkan waktu pertama berdiri memang tim ini sudah banyak berkembang, tapi masih banyak ruang untuk berkembang lebih jauh lagi.

Bila Anda ingin memantau perkembangan tim dan komunitas DRivals lebih jauh, Anda bisa follow kanal-kanal media sosial DRivals di Facebook, Instagram, dan YouTube. Jangan lupa tonton siaran streaming DRivals on Air setiap Selasa dan Kamis untuk konten-konten menarik seputar Tekken, khususnya di Indonesia.

Disclosure: Hybrid adalah media partner DRivals.

Mengukur Peta Pertempuran MPL ID S4 dan Dampaknya untuk Ekosistem Esports MLBB

MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) Indonesia Season 4 akhirnya mulai berjalan akhir pekan kemarin (23-25 Agustus 2019). Menariknya, ada beberapa kejutan yang terjadi di Week 1 MPL ID S4 kemarin.

Selain ONIC Esports yang langsung menduduki puncak klasemen sementara, yang memang sudah diprediksi banyak orang, ada 2 tim yang berisikan banyak pemain baru yang ada di papan atas. Kedua tim tersebut adalah Aura Esports dan Bigetron Esports.

EVOS Esports juga sebenarnya punya poin yang sama dengan Aura dan Bigetron namun tim berlogo singa putih itu sekarang masih berisikan sejumlah pemain yang pernah merasakan megahnya panggung MPL sebelumnya, seperti Four (Afrindo), Donkey (Yurino), Oura (Eko), ataupun Rekt (Gustian).

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Sedangkan Bigetron, tim ini memang selalu mengikuti MPL dari Season 1 (kala itu namanya Bigetron Player Kill) namun roster mereka sekarang sudah berbeda jauh dari musim-musim sebelumnya. Dari formasi mereka saat ini, hanya ada Arya “Hexazor” Hans yang senior di dunia persilatan MLBB Indonesia. Di sisi satunya, Aura juga turut meramaikan MPL ID di Season 3. Namun musim kemarin mereka tak mampu berbicara banyak dan hanya bisa berakhir di peringkat 9 klasemen akhir Regular Season (dari total 12 tim). Nama pemain senior yang ada di Aura saat ini adalah YAM yang di Season 1 bermain untuk Bigetron PK.

Lalu pertanyaannya, apakah para pemain-pemain muda ini nanti yang akan menguasai dunia persilatan MPL ID S4?

Jika melihat klasemen sementara di pekan pertama, RRQ, yang jadi juara MPL ID S2, justru berada di papan bawah. Dari 2x bertanding, RRQ harus pulang dengan tangan hampa meski memang lawan mereka di pekan pertama ini adalah EVOS dan ONIC. Padahal, di atas kertas, formasi tim RRQ musim ini sangat menarik karena semuanya punya pengalaman berharga. Ada para pemain juara MPL ID S1 (LJ, Billy, dan Rave) dan juara MPL ID S2 (AyamJago, Lemon, Tuturu, dan Liam). Ada pemain yang sebelumnya jadi andalan tim Star8 di MPL ID S3, Yesaya “Xin” Yehuda. Ada juga VYN (Calvin) yang mengawali petualangannya di MPL ID sejak S2, bersama BOOM Jr. Plus, ada Rivaldi “R7” Fatah yang bahkan bisa dibilang salah satu bintang di esports Dota 2 Indonesia, yang pindah ke MLBB.

Frans “Volva” Riyando, salah satu shoutcaster kawakan di MLBB, sempat memberikan komentarnya kepada saya mengenai roster RRQ musim ini beberapa waktu silam. “Mantan trio Aerowolf (LJ, Billy, dan Rave) ini memang terbilang cukup kuat dan memiliki performa yang luar biasa pada saat Playoff MPL ID S3 walau hasilnya kurang memuaskan.” Ujar Volva.

Meski memiliki formasi tim yang kuat, Volva juga beranggapan bahwa tim ini masih jauh di bawah para pemain ONIC. “ONIC memiliki draft yang bisa dibilang gak berbeda jauh dengan RRQ tapi mekanik dan skill individu ONIC sungguh di atas rata-rata pemain Indonesia.”

KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster sejak MPL ID S1
KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster langganan sejak MPL ID S1. Sumber: RevivalTV

Menurut Volva, formasi ini mungkin bisa mengejar level para pemain ex-Louvre yang sekarang di Genflix Aerowolf asalkan chemistry di tim ini bisa dibangun. Selain berbincang dengan Volva, saya juga mengajak Afrindo “Four” Valentino untuk menyuarakan pendapatnya. Afrindo adalah salah satu pemain MLBB senior yang jadi juara MPL ID S1. Saat ini, selain jadi Assistant Coach untuk Pelatnas SEA Games 2019 cabang Mobile Legends, ia juga masuk dalam formasi tim EVOS Esports MPL ID S4.

Afrindo menyebutkan 4 tim yang menurutnya layak diperhatikan di Season 4 kali ini. 4 tim tersebut adalah ONIC, EVOS, RRQ, dan Aerowolf. “ONIC karena merupakan tim paling stabil dibanding yang lain sampai hari ini. EVOS karena kekompakan para pemainnya di dalam dan di luar game yang sudah sangat solid. RRQ juga menarik karena roster barunya sangat menakutkan dan susah ditebak berkat bisa rotasi pemainnya setiap saat. Terakhir, ada Aerowolf dengan permainan yang agresif dan draft-pick tak terduga yang akan membuat musuhnya kesulitan menebak arah permainan.”

Penting dicatat, pendapat tadi memang saya tanyakan ke Afrindo sebelum Week 1 berjalan. Jadi, pengamatannya memang masih sebatas di atas kertas, alias belum menilainya langsung dari semua pertandingan di minggu pertama. Satu pertanyaan terakhir yang saya tanyakan ke Afrindo adalah, apakah ONIC mampu jadi juara lagi di Season 4? Apalagi mengingat juara MPL ID selalu berganti setiap musim.

“Kalo dari saya, selama ONIC tidak ada masalah internal, mereka pasti bisa jadi juara lagi . Walaupun sepanjang sejarah MPL ID belum ada yang bisa juara berturut-turut tapi mereka membuktikan bisa juara 3 kali berturut-turut di turnamen besar berbeda. Tapi, pesaing terberat dari ONIC untuk musim ini adalah EVOS.” Tutup Afrindo.

Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL
Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL

Setelah ke Afrindo, saya pun menghubungi Ryan “KB” Batistuta yang juga seorang shoutcaster langganan untuk MPL ataupun turnamen MLBB lainnya. Menariknya, KB juga memberikan pendapat yang tak jauh berbeda dengan Afrindo. Ia bahkan berani memprediksi bahwa Grand Final MPL ID S4 adalah antara ONIC melawan EVOS.

Selain itu, KB juga menyebut dua pemain dari RRQ. “Vyn dan Xin dari RRQ akan mendapatkan spotlight yg luar biasa pada MPL S4 ini.” Kata KB. “Darkness, Tanker Aura Esports, juga akan jadi salah satu pemain yang akan diperhitungkan.” Seperti Afrindo tadi, saya juga sebenarnya bertanya pada KB sebelum Week 1 dimulai namun, hebatnya, ada 2 prediksinya yang tepat.

“Jika sebelumnya EVOS selama 3 Season belum pernah mendapatkan kemenangan 1x pun melawan RRQ, mereka bisa melepaskan kutukan El Classico mereka di Week 1 MPL mendatang.” Tutur KB. Selain itu, KB juga memprediksi bahwa Bigetron akan jadi tim kuda hitam yang akan menyulitkan 7 tim lainnya di MPL ID S4. Kedua prediksi tadi terbukti karena EVOS memang berhasil mengalahkan RRQ di hari ketiga pekan pertama. Sedangkan Bigetron berhasil memenangkan semua pertandingan mereka di pekan pertama. Mereka menang lawan Alter Ego (2-0) dan Geek Fam (2-1).

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Dari perbincangan saya dengan ketiga kawan saya tadi, ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas dari dunia persilatan MLBB kasta tertinggi alias MPL. Pertama, sampai musim keempat ini, dunia persilatan MPL memang sangat dinamis. EVOS Esports memang berhasil menjadi Runner-Up berturut-turut di S1 dan S2. Namun mereka harus pulang di hari pertama Grand Final MPL ID S3. RRQ memang berhasil jadi juara di Season 2 namun performa mereka di Season 1 dan 3 kurang maksimal. Apakah ONIC mampu mempertahankan gelarnya dan menjadi tim pertama yang meraih gelar tim terhebat lebih dari 1 musim?

Dunia persilatan yang dinamis ini mungkin memang bagus untuk para pecinta esports MLBB seperti saya. Namun hal ini bisa jadi mengkhawatirkan untuk para pemainnya. Jika pengalaman bermain yang lebih lama tak mampu menunjang performa dan bahkan mudah tergantikan oleh para pemain baru, usia produktif para pemain MLBB bisa jadi lebih singkat ketimbang game esports lainnya.

Selain itu, dinamika MLBB yang tinggi berarti menuntut proses belajar yang lebih intensif untuk para pro player-nya. Hal ini juga bisa dilihat positif ataupun negatif. Positif karena memang sudah seharusnya kasta tertinggi dari scene esports sebuah game menuntut komitmen dan keseriusan untuk terus berkembang. Namun, hal ini juga bisa mengakibatkan lebih banyak pro player yang memutuskan untuk menjadi streamer ataupun content creator seperti JessNoLimit ataupun Emperor.

Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia
Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

Untuk yang tertarik menonton semua pertandingan MPL ID S4, Anda bisa menyaksikannya langsung di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Jika Anda juga tertarik melihat statistik, hasil pertandingan lengkap, ataupun detail lainnya dari MPL ID S4, Anda bisa mengunjungi website resmi MLP ID S4 di id-mpl.com.