New Energy Nexus Suntik Investasi Tambahan Rp484 Miliar ke Tiga Startup Climate Tech

New Energy Nexus (NEX) Ventures mengumumkan pendanaan tambahan pada tiga startup climate tech Indonesia dengan total akumulasi sebesar $31 juta (sekitar Rp484,7 miliar). Ketiga startup ini antara lain SolarKita, Swap Energy, dan Synergy Efficiency Solutions.

“Terlepas adanya penurunan investasi di sektor climate tech secara global tahun lalu, ketiga startup ini telah menunjukkan resiliensi mereka dengan menutup pendanaan baru,” ungkap Managing Director NEX Ventures Yeni Tjiunardi dalam keterangan resminya.

Sekilas mengenai ketiga portoflio tersebut:

  1. SolarKita mengembangkan solusi energi surya untuk kawasan residensial sehingga memungkinkan mereka membangun basis pasar pengguna panel surya di Indonesia.
  2. Swap Energy mengembangkan teknologi tukar baterai dan memungkinkan pengendara untuk mengganti baterai yang habis. Swap Energy tercatat memiliki lebih dari 1.300 titik penukaran baterai.
  3. Synergy Efficiency Solutions (SES) menawarkan efisiensi energi di Asia Tenggara lewat berbagai solusi, seperti desain, pembiayaan, dan instalasi.

NEX Ventures melalui dana kelolaan Indonesia 1 Fund telah menyuntik pendanaan ke 7 perusahaan climate tech dan mengalokasikan 4 investasi lanjutan sejak 2020. Selain itu, Indonesia 1 Fund juga telah melakukan investasi bersama dengan Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) di
SolarKita dan dengan Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF) di SES.

Menurut laporan NEX, portofolionya telah menghasilkan kinerja baik dan berhasil menarik total $70 juta dari berbagai investor sejak disuntik dana kelolaan ini. Pihaknya mengklaim seluruh portofolio Indonesia 1 Fund telah mengurangi lebih dari 165 ribu ton emisi karbon, atau setara dengan penanaman delapan juta pohon.

Salah satu portofolionya menyatakan bahwa pendanaan tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat fundamental bisnis perusahaan, mendorong kualitas produk, serta memperluas jaringan instalasi dan mitra penjualannya di Indonesia.

“Pendanaan yang kami terima dari Indonesia 1 fund dan SEEAA mendorong penetrasi kami di kawasan residensial secara signifikan. Milestone ini menandai langkah awal SolarKita pada rencana ekspansi mencapai 18MWp setara dengan instalasi PV solar 6000 rumah dalam tiga tahun ke depan,” ungkap Founder & CEO SolarKita Amarangga Lubis.

Tren global dan domestik

PwC dalam “State of Climate Tech 2023” melaporkan pendanaan climate tech dari VC dan firma ekuitas swasta mengalami penurunan hingga 40% tahun lalu. Faktor ketidakpastian ekonomi dan konflik geopolitik disebut menurunkan kepercayaan investor untuk berinvestasi.

Adapun, laporan ini dibuat berdasarkan hasil analisis pada lebih dari 8000 startup climate tech di dunia dan lebih dari 32.000 transaksi pendanaan dengan total nilai $490 miliar.

Sementara, laporan yang disusun DSInnovate lewat “Indonesia’s Startup Handbook: Funding Updates (Q1-Q3 2023)” menyoroti tren pendanaan di sektor hijau, terutama pada startup kendaraan listrik. Selama tiga kuartal di 2023, EV menjadi sektor yang memperoleh pendanaan tertinggi kedua di Indonesia.

Tiga startup pengembang ekosistem EV, yakni Swap Energy, Alva, dan Charged tercatat memperoleh pendanaan dalam beberapa tahun terakhir. Sementara, VC dan perusahaan investasi yang aktif menyalurkan modal ke sektor EV di antaranya New Energy Nexus Indonesia, Eas Ventures, AC Ventures, hingga Kejora-SBI Orbit Fund.

Investor Tanggapi Kesenjangan Pendanaan Startup “Environmental Impact” di Indonesia

Industri startup Indonesia sebagian besar diisi model bisnis yang bersifat customer-centric. Terpopuler adalah e-commerce, ride-hailing, fintech, logistik, edtech, dan healthtech. Dari seluruh vertikal ini, Indonesia berhasil mengantongi enam unicorn dan jumlah ini diprediksi terus bertambah.

Meskipun demikian, ada yang luput dari fenomena ini. Kita melihat bahwa beberapa tahun terakhir ini semakin banyak startup yang concern terhadap perbaikan lingkungan. Produk yang dikembangkan bervariasi, seperti energi terbarukan (renewable energy), produk kemasan yang dapat terurai (biodegradable), atau manajemen sampah/limbah (waste management).

Fenomena ini menunjukkan bahwa tak hanya dampak sosial saja yang menjadi misi utama yang diemban oleh pelaku startup di Indonesia, tetapi juga lingkungan (environmental impact). Padahal, biasanya kegiatan semacam ini banyak dilakukan oleh korporasi berskala besar lewat program CSR, yayasan, atau lembaga non-profit.

Kendati demikian, geliat pertumbuhan startup ini belum diimbangi oleh venture capital (VC) apabila dibandingkan dengan vertikal bisnis lain sebagaimana disebutkan di atas. Bagaimana Patamar Capital, New Energy Nexus, dan Kolibra Capital menanggapi tren kesenjangan investasi ini?

Saling menunggu siapa yang mengambil langkah pertama

Kesenjangan investasi rupanya tak hanya dialami oleh pelaku startup di tahap awal. Sempat ada masa di mana startup ini sulit mencari pendanaan karena investor semakin selektif berinvestasi. Alih-alih, mereka justru memperbanyak portofolionya pada startup tingkat lanjut yang scalability bisnisnya lebih jelas.

Bagi Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi, kesenjangan ini juga dirasakan startup lingkungan. Ia menilai masih banyak persepsi bahwa investasi di bidang ini sulit untuk bisa profitable. Artinya profitabilitas diprediksi baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.

Di Indonesia, jika mengacu pada tabel di bawah ini, dapat terlihat bahwa belum banyak VC yang terlibat dalam pendanaan. Justru lembaga non-profit, angel investor, dan accelerator maju duluan untuk menutup gap tersebut. Hingga per kuartal ketiga 2020, DailySocial mencatat hanya dua startup lingkungan yang mendapat pendanaan, yakni Xurya dan Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE) yang menaungi produk Warung Energi.

Announcement Date Startup Stage Category Investors/Accelerators
2016 SMASH (Sistem Manajemen Online Sampah) Unknown Waste Management Generasi IT Kreatif (Genetik)
2017 MallSampah Unknown Waste Management Angel Investor
2018 Xurya  Seed Renewable Energy East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC) 
Evoware Grant Biodegradable Solutions DBS Foundation 
Magalarva Unknown Waste Management SKALA
2019 Waste4Change Unknown Waste Management East Ventures, Agaeti Ventures Capital (currently ASC)
Gringgo Grant

Pre-Seed Round

Waste Management Google

Google Launchpad Accelerator

Weston Solar Energy Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
Replus Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
TAZ Indonesia Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
After Oil Unknown Renewable Energy NYALA Energy Accelerator
2020 Xurya Seed Round Renewable Energy Clime Capital
Bina Lintas Usaha Ekonomi (Warung Energi) Seed Renewable Energy New Energy Nexus

Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial 

New Energy Nexus merupakan satu dari sekian perusahaan yang fokus pada pendanaan startup lingkungan. Bahkan lembaga non-profit ini beberapa bulan lalu meluncurkan program “Indonesia 1 Fund” yang membidik startup energi terbarukan di Indonesia dari tahap seed hingga seri A.

Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energysmart gridenergy efficiencyenergy managementcustomer experiencee-mobilitybusiness model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.

“Kami berupaya menjembatani gap investasi, terutama di early stage karena investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. Padahal, sama seperti early stage investment di kategori lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.

Malahan, menurutnya situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan. “Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.

Model bisnisnya sulit di-scale up

Ada alasan mengapa teknologi menjadi kunci utama bagi startup dalam mengembangkan produk. Traveloka dan Gojek menjadi kasus sukses di mana teknologi berhasil mendorong traksi layanan secara signifikan.

Berdasarkan pengalamannya berinvestasi di Asia Tenggara, Partner Patamar Capital Dondi Hananto mengatakan bahwa masuk ke bisnis yang melibatkan teknologi dapat mendorong scalability lebih cepat. Ini mengapa pihaknya belum tertarik berinvestasi ke startup yang fokus pada environmental impact.

“Sebetulnya tidak harus [mengembangkan produk] fully tech, tetapi setidaknya ada tech enablement karena most of our business challenge terbanyak ada di operasional bukan teknologi,” jelasnya kepada DailySocial beberapa waktu lalu.

Menurutnya, jika ingin masuk ke sini, startup perlu melakukan blended-finance yang modalnya tidak hanya datang dari investor. Artinya perlu ada kolaborasi dengan yayasan, program CSR, atau pemberian dana sosial.

Sementara, menurut Ekonom INDEF Bhima Yudhistira, ada beberapa faktor mengapa investasi startup di bidang lingkungan terkendala. Pertama, kesadaran konsumen atau pasar di Indonesia terkait kepedulian lingkungan hidup masih rendah.

Untuk penerapan energi terbarukan saja, ia mencontohkan, porsinya dalam bauran energi primer nasional masih di bawah 15%. Sebanyak 37,5% dari batubara dan 33% minyak bumi alias dominan fosil. “Ini menandakan komitmen pemerintah sendiri masih rendah terhadap energi ramah lingkungan,” tuturnya dalam pesan singkat kepada DailySocial.

Kedua, ia menilai ekosistem pembiayaan ramah lingkungan di dalam negeri belum berkembang. Meskipun ada pembiayaan ramah linkungan atau green banking, faktanya penyaluran kredit sebagian besar masih lari ke sektor pertambangan dan perkebunan sawit.

Belanja modal besar, komersialisasi produk lama

Senior Investment Analyst di Kolibra Capital William Auwines mencoba mengelaborasi beberapa hal krusial dalam menanggapi fenomena ini. Pertama, startup lingkungan umumnya membutuhkan periode waktu yang panjang, baik dari SDM maupun proses R&D.

Di periode waktu tersebut, mereka masih berupaya mencari dampak positif yang ingin dihasilkan. Karena masalah waktu, ini justru menunda proses komersialisasi produk dan bakal berisiko terhadap investasi.

Kedua, pengembangan produknya membutuhkan belanja modal (capex) yang besar. Ambil contoh, produk berbasis energi. Solusi semacam ini dinilai membutuhkan belanja modal (capex) besar. Startup energi biasanya punya kapasitas spesifik dan pengeluaran yang pasti. Ini dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

“Ini kurang cocok bagi nature VC yang umumnya membidik startup teknologi yang lebih bisa di-scale up. Sejujurnya, kami banyak didekati oleh sejumlah startup yang mencoba mengembangkan produk ramah lingkungan, seperti power plant atau plastic recycling plants,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak dimungkiri bahwa investasi sebuah bisnis tidak 100 persen sempurna. Artinya, jika sebuah produk memiliki dampak sosial yang luas, pasti akan ada satu hal yang perlu dikorbankan. Misalnya, biaya lebih besar atau kualitas buruk.

Ia mencontohkan bagaimana startup lingkungan di luar negeri berhasil mengantongi pendanaan besar untuk mengurangi limbah makanan, yakni Too Good to Go dan Karma dari Eropa. Mereka mampu menyempurnakan formula agar bisa menguntungkan dengan tetap fokus pada dampak sosial.

Startup Category Origin Series/Amount
Too Good to Go Food Recycling Denmark Unknown/$21 million
Karma Food Recycling Sweden Series A/$18 million
Impossible Foods Plant-based Substitutes USA Series G/$1,5 billion
Choose Energy Marketplace for Clean Technology and Services USA Series C/$25,7 million

Sumber: Dari berbagai referensi / DailySocial 

Hingga saat ini, ia mengakui belum menemukan startup di bidang lingkungan di Indonesia yang mampu mengukur dan mempertahankan metrik keuangan. “Begitu startup semacam ini muncul, kami pasti akan tertarik,” ujar William.

Pada akhirnya, sulit bagi perusahaan greentech untuk menonjol karena sejumlah faktor di atas. Karena VC adalah platform untuk investasi alternatif, yang didukung oleh investor yang mencari keuntungan, metrik keuangan akan menjadi salah satu prioritas utama.

“Kami menuju ke sana karena kami melihat produk ramah lingkungan, solusi pengelolaan limbah, perangkat energi terbarukan semakin lebih baik. VC tidak perlu sepenuhnya menghindari kategori ini meski risikonya besar. Ini masa depan dan ada banyak peluang besar, tapi masalahnya ada pada waktu,” paparnya.

New Energy Nexus Umumkan Pendanaan Pertama, Fokus pada Startup Energi Terbarukan di Indonesia

Lembaga non-profit global New Energy Nexus resmi mengumumkan debut pendanaan di Indonesia kepada PT Bina Usaha Lintas Ekonomi (BLUE), sebuah startup di bidang energi terbarukan dengan nilai pendanaan yang tidak disebutkan.

BLUE menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui marketplace Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi B2B energi surya untuk sistem energi surya secara komersial, industrial, maupun tersentralisasi bagi wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Adapun, BLUE berpartisipasi pada program inkubasi Smart Energy pada akhir 2019 dan berlanjut ke program akselerasinya di 2020.

Dalam keterangan resminya, Direktur Investasi New Energy Nexus Indonesia Yeni Tjiunardi mengungkapkan bahwa pendanaan perdana ini sekaligus menandakan peluncuran program “Indonesia 1 Fund”. Fokusnya adalah membuka pintu terhadap startup energi terbarukan di Indonesia, dari di tahap seed hingga seri A.

Indonesia 1 Fund akan difokuskan untuk sepuluh area utama, antara lain renewable energy, smart grid, energy efficiency, energy management, customer experience, e-mobility, business model innovation, Internet of Things (IoT) & digitization, serta energy access & energy storage.

Sementara, CEO BLUE Abu Bakar Abdul Karim Almukmin mengatakan bahwa pendanaan ini digunakan untuk memperkuat fondasi perusahaan agar dapat menopang perkembangan strategis yang akan dilakukan selama dua tahun ke depan.

Berupaya menutup gap investasi energi terbarukan di Indonesia

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Yeni mengungkapkan bahwa sejak hadir di Indonesia pada 2018, New Nexus Energy telah memiliki 35 startup yang berpartisipasi lewat program inkubasi dan akselerasi Smart Energy.  Satu di antaranya, BLUE, telah memperoleh pendanaan komersial dan lima startup lainnya telah menerima grant.

Sesuai misinya, New Nexus Energy mendukung pelaku usaha di bidang clean energy melalui pendanaan dan program akselerasi. Diawali di California, Amerika Serikat (AS), kini New Energy Nexus juga memperluas cakupan program dan investasinya di Tiongkok, India, Asia Tenggara, dan Afrika Timur.

Kendati demikian, Yeni menilai bahwa masih ada banyak persepsi bahwa investasi pada usaha di bidang ini sulit untuk bisa profitable, atau anggapannya baru terealisasi dalam jangka waktu yang panjang. Persepsi ini membuat jumlah investor peminat menjadi terbatas.

Maka itu, New Energy Nexus berupaya menjembatani gap investasi di early stage yang dihadapi para startup ini, investor saling menunggu siapa yang akan mengambil langkah pertama. “Padahal, sama seperti early stage investment di bidang lainnya, yang membedakan kesuksesan dan perjalanan bisnis setiap perusahaan adalah kemampuan eksekusi dan pemahaman pasar dari tim tersebut,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa situasi pandemi menjadi momentum bagi setiap orang untuk berpikir tentang inovasi dan alternatif dari bisnis pada umumnya. Dengan situasi ini, ia melihat semakin banyak pihak memahami dan meyakini potensi ekonomi dari energi terbarukan.

“Investasi ini dapat membantu mempercepat transisi Indonesia ke sistem ekonomi berbasis energi terbarukan,” tuturnya.

Mengingat baru debut pendanaan, saat ini pihaknya berupaya memberikan dukungan berkesinambungan. Pihaknya juga berencana menerapkan pengukuran efektivitas dampak dengan mengacu pada pengalamannya berinvestasi di California dan India.

Saat ini, pihaknya sedang melakukan outreach melalui sejumlah program, yaitu Connex Energy Meetup, (RE)Charge Series Bootcamp, serta program inkubasi dan akselerasi Smart Energy. Penjaringan dilakukan hingga pertengahan November 2020, dengan sesi cohort dimulai pada kuartal keempat 2020.

“Hipotesis kami mengacu pada identifikasi hingga eksekusi model bisnis sesuai kondisi pasar yang punya peluang keberhasilan besar. Tentu kami lihat komposisi tim dan potensi impact (lingkungan, ekonomi, livelihood). Tujuan utama kami memberi dukungan agar mereka bisa berkembang dan menjadi profitable.  Mereka bisa memberikan dampak dengan mengadopsi bisnis berbasis low carbon economy.” Tutupnya.