[Music Monday] Wait, You Can Make Money For Music From The Internet?

The [recorded] music industry has been in very dark days lately, especially in Indonesia – I’ve frequently written about the current situation so I won’t revisit it. But the breakdown is this: there is currently no real way the [recorded] music industry can make money from their work. CD sales are diminishing, music through mobile is going through a crisis, and there’s not really an online music store worth mentioning for the local market. But this does not mean that the Internet cannot make money for you, the musician or music label.

I’ll admittedly be broad about this – I won’t say there are a million ways to make money for music directly from the Internet, but there are definitely a lot of ways to make sure the Internet works for you and gets you that much-needed money. Music may be virtually free for most music listeners, but it doesn’t mean making the music you want does not cost money. Even downloading Audacity or Gamelan will take some money off your Internet bill.

Trying to pitch to a music magazine to cover your band may not cost money but bringing along coffee for the journalists goes a long way. And so on. Even if you’re a self-proclaimed indie artist that does not want to spend money, eventually you’d need money for food, right?

Continue reading [Music Monday] Wait, You Can Make Money For Music From The Internet?

[Music Monday] Tentang OpenEMI dan Membawanya ke Tahap Selanjutnya

Pada tanggal 22 – 24 April 2012 sebuah konferensi bernama Rethink Music diselenggarakan oleh Berklee College of Music di Boston. Mereka pada dasarnya membawa para profesional dari seluruh industri musik – dari media, dari label musik, manajemen artis, dan dari perusahaan teknologi seperti YouTube, Rhapsody dan Echo Nest (Anda bisa melihat semua daftar pembicara di sini). Tetapi salah satu topik yang bagi saya menarik yang diumumkan dan didiskusikan di acara tersebut adalah, OpenEMI.

Konsep dasar dari OpenEMI adalah untuk menyediakan akses bagi para startup yang ingin membuat aplikasi dan layanan musik berdasarkan koleksi musik EMI – dan jika aplikasi ini cukup menarik, EMI bisa saja bermitra dengan startup tersebut untuk mengembangkannya lebih jauh. Anda bisa meminta akses, apakah dari koleksi lagu mereka yang cukup luas atau meminta akses lebih dalam untuk konten audio, video atau konten lain dari artis tertentu. Sistem yang ramah bagi developer ini didukung oleh Echo Nest, perusahaan yang juga memiliki cakupan API yang cukup luas untuk aplikasi musik yang menjadi pendukung layanan seperti fitur Radio di Spotify.

Continue reading [Music Monday] Tentang OpenEMI dan Membawanya ke Tahap Selanjutnya

[Music Monday] Taking OpenEMI’s Torch And Taking It Further

On April 22-24, 2012, a conference aptly named Rethink Music was organized by the Berklee College of Music in Boston. They basically brought together professionals from all over the music industry – from media, from the music labels, from artist management, and even from technology companies like Youtube, Rhapsody and Echo Nest (you can look at the whole speaker roster here). But one of the most interesting things announced and discussed at Rethink Music, in my opinion, is OpenEMI.

The basic concept of OpenEMI is to provide access to startups who want to create music applications and services based on EMI’s music library – and if the app is interesting enough, EMI may partner with the startup to develop it further. You can either request for a access to a wide range of songs, or request deeper access to single artists with more audio, video and other content. This developer-friendly system is supported by Echo Nest, the company that also has a wider-range API for music applications that power services like Spotify’s Radio feature.

Continue reading [Music Monday] Taking OpenEMI’s Torch And Taking It Further

[Music Monday] Label Musik, Buatlah Sesuatu yang Sederhana dan Tempatkan di Web

Seperti yang telah dituliskan oleh DailySocial beberapa waktu lalu, Touchten berkolaborasi dengan Aquarius Musikindo, salah satu label ‘major independent’ (ini adalah istilah yang digunakan oleh mereka di industri untuk memberi catatan bagi label musik besar yang tidak berafiliasi dengan Big Four: Sony, Universal Music, Warner Music, dan EMI), meluncurkan aplikasi musik. Peluncuran aplikasi ini patut diapresiasi karena menunjukkan bahwa label musik mau untuk mencoba hal baru yang belum teruji, alih-alih menemukan medium baru untuk mengulang bisnis model lama dari rekaman musik serta keuntungan dari jumlah eksemplar yang terjual.

Maksud saya, jika kita mau meninggalkan isu pembajakan, kenapa tidak sekaligus mencoba hal baru? Kecenderungan yang meningkat dari konser sebagai sumber pemasukan utama bagi musisi telah menekankan bahwa musik rekaman itu sendiri, yang diperoleh secara legal atau ilegal, adalah sebuah cara untuk menjual pengalaman musik, yang dalam beberapa kasus lebih baik untuk dinikmati secara ‘live’.

Continue reading [Music Monday] Label Musik, Buatlah Sesuatu yang Sederhana dan Tempatkan di Web

[Music Monday] Music Labels, Make Something Simple And Put It On The Web!

As covered by DailySocial a few days ago, Touchten launched a music app in collaboration with Aquarius Musikindo, one of the ‘major independent’ labels (this is the term they use in the industry to note a large music label not affiliated with the Big Four: Sony, Universal Music, Warner Music and EMI). This move deserves applause as it shows that the music labels are willing to try out untested new waters, instead of trying to find a new medium to repeat the old business model of record music and profit by amount of sold copies.

I mean, if we’re going to move on from the issue if piracy, we might as well try something new. The increasing trend of concerts being a major income contributor for musicians has emphasized that the recorded music itself, obtained legally or illegally, is a way to sell a music experience, which in some cases in better enjoyed live.

I think if you checked each person who came to a Katy Perry concert, not all would have bought the original CD – but they definitely have paid full price to buy the concert tickets. Why? Because the concert is an irreplaceable experience, with different meaning to different people. Just like the songs themselves.

Continue reading [Music Monday] Music Labels, Make Something Simple And Put It On The Web!

[Music Monday] Mengapa Kita Perlu Peduli dengan Ringback Tones

Bagi sebagian orang di Indonesia, ringback tone (RBT) menjadi sebuah isu kontroversial; membuat marah banyak orang dan memisahkan industri terkait hampir dalam situasi pro – kontra. Tetapi sebelumnya, RBT booming dan menjadi tumpuan dari industri musik (masih sampai sekarang, tergantung Anda bertanya pada siapa). Dan tidak hanya industri musik, pertumbuhan dari pasar RBT menjadikan indikasi pertama bahwa Indonesia, sebagai pasar konten digital, adalah berbeda dengan negara lain dan digerakan oleh aturan yang berbeda.

Saya telah menuliskan tentang bagaimana startup di segmen musik telah ada kurang lebih sejak 6-7 tahun ke belakang, dan saya merasa tulisan ini pas sebagai bagian dari seri yang mendikusikan ringback tone (RBT). RBT menjadi populer di Korea untuk mengantikan nada dering yang membosankan ketika Anda menunggu telepon Anda diangkat, RBT (dikenal juga sebagai ‘color ringback tones’, karena nada ini menambahkan ‘warna’ pada nada sambung Anda), teknologi tersebut akhirnya diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 ketika Indosat dan Telkomsel mulai membangun layanan RBT mereka dan menawarkannya pada publik pada tahun yang sama. Perusahaan telekomunikasi mendekati label musik untuk memelihara agar layanan ini tetap menarik; negosiasi mengambil tempat dan kesepakatan bisnis tercipta dimana akhirnya mendefinisikan model bisnis untuk RBT di seluruh industri ke depan.

Continue reading [Music Monday] Mengapa Kita Perlu Peduli dengan Ringback Tones

[Music Monday] Why You Should Care About Ringback Tones

For many in Indonesia, the ringback tone is somewhat of a controversial issue; drawing the ire of many, and polarizing related industries into an almost “for-and-against” situation. But not too long ago, ringbacktones were the craze of the moment and the darling of the music industry (and remains the darling of the music industry, depending on who you ask). And not only the music industry – the soaring growth of the ringbacktone market was one of the first indications that Indonesia, as a digital content market, is simply different from other countries and plays by different rules.

I have been writing about how music startups have actually been around in Indonesia for the past 6-7 years or so, and I felt it fitting to dedicate the last post in the series to discuss the ringback tone. Popularized in Korea to replace that boring connecting tone when you wait for the person on the other end to pick up your call, ringback tones (also known as ‘color ringback tones’, as they added ‘color’ to your ringback tone), the technology was imported into Indonesia in 2004 when both Indosat and Telkomsel started building their ringback tone services and offered them to the public later that year. The telecommunication companies approached the music labels to obtain attractive content for these services; negotiations took place, and business deals were agreed which were to define the business model for ringback tones across the industry.

Continue reading [Music Monday] Why You Should Care About Ringback Tones

[Music Monday] Melupakan Tentang Pembajakan Digital

Semua berawal dari sebuah percakapan. Saya datang terlambat pada sebuah acara sehingga saya tidak berkesempatan melihat presentasi oleh Robin Malau, tetapi sebuah tulisan di blog membahas harmpir semuanya (ini adalah bacaan yang bagus, jika Anda belum membacanya, saya anjurkan untuk membacanya sekarang). Secara mendasar apa yang dikatakan Robin adalah bahwa era digital adalah sebuah pergeseran yang cukup besar dari berbagai hal dan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sebuah ‘saluran’ baru tetapi sebagai sebuah cara pandang baru. Dengan melakukan pendekatan yang berbeda, saya juga menuliskan tentang hal ini beberapa kali, bahkan juga di DailySocial, dan saya percaya bahwa audiens kini telah berubah. Tidak hanya karena berbagai hal kini menjadi digital, tetapi perubahan pandangan yang terjadi di industri itu sendiri. Perubahan terjadi sebagian besar karena sifat digital dan duplikasi di Internet yang tidak memiliki batas, tetapi pengaruhnya tetap sampai ke industri non-digital juga.

Sebelumnya mari kita lihat apa sebenarnya bisnis itu sendiri. Dalam berbagai bisnis, secara mendasar mengambil satu hal, sebuah produk atau sebuah layanan, dan mencoba menjualnya sebanyak mungkin, sebisa mungkin tidak mengubah produk tersebut. Pada titik tertentu uang yang mereka investasikan dapat diperoleh kembali dan mereka mendapatkan keuntungan. Bisnis musik rekaman, pada dasarnya, bukan menjual musik, tetapi menjual produk musik, yang adalah CD, kaset, vinyl. Memproduksi dan merekam sekali, dan menjual salinan dari rekaman terebut. Bahkan hak cipta musik dibangun berdasarkan ini. Pembayaran atas royalti didasarkan pada jumlah salinan yang terjual. Tentu saja, semua salinan yang diperoleh tanpa pembayaran hak cipta, dipandang sebagai pelanggaran hak cipta. Tindakan ini, dengan atau tanpa tujuan komersial, disebut sebagai pembajakan.

Continue reading [Music Monday] Melupakan Tentang Pembajakan Digital

[Music Monday] Forgetting About Digital Piracy

It all started with a chat. I came late, so I didn’t get to see this presentation by Robin, but the blog post covers it pretty much (it’s a good read, so if you haven’t read it, read it now!). Robin basically says that the digital era is a major shift in many things and should not be viewed just as a new ‘channel’, but also a new way of thinking. Taking a different approach, so to speak. I’ve written about this several times, even here on Dailysocial, and I generally believe that the audience has changed. Not only because of things going digital, but a true paradigm shift in the industry itself. The changes happened in large part due to the digital, unlimited copying nature of the Internet, but it impacted non-Internet industries as well.

But let’s step back a bit and look what a business is. Many businesses basically take one thing, a product or a service, and try to sell it as many times as they can, with minimum effort in modifying the product. At some point the money they invested in making the product or service can be recouped and they can make a profit. The recorded music business, in essence, is not selling music, but selling the music product; i.e. CDs, cassettes, vinyls. Produce and record once, and essentially sell copies of that recording. Even music copyright is constructed around this. The payment of royalties is based on the amount of copies sold. Of course, any copy obtained without any payment of royalties, is viewed as a copyright infringement. The act itself, whether or not for commercial gain, is known as piracy.

Continue reading [Music Monday] Forgetting About Digital Piracy

[Music Monday] Sebenarnya, Startup Musik Sudah Lama Ada di Indonesia (Part 2)

Minggu kemarin, saya menulis pengenalan dasar tentang startup tanpa tanda jasa, penyedia konten. Minggu ini saya akan menulis tentang bagaimana mereka muncul dan bagaimana mereka menghasilkan uang dari musik digital. Tentu saja, setiap industri yang menghasilkan banyak uang tidak terlepas dari kontroversi, jadi saya juga akan membahas hal tersebut. Tetapi secara keseluruhan, pasar nada dering di Indonesia sebenarnya hadir dari apa yang kini kita kenal dengan nama crowdsourcing – dulu cukup mudah untuk membuat nada dering monophonic, nada dering ini bisa dibuat menggunakan PC atau bahkan dengan ponsel Anda, orang dengan mudah membuat dan membagikan karya mereka melalui forum daring. Dan akhirnya seseorang memiliki ide untuk menjual nada dering tersebut pada orang lain. Akhirnya, mereka mulai merekrut pegawai untuk membuat berbagai nada dering tersebut.

Di awal tahun 2000-an, berbagai perusahaan yang ingin mengkapitalisasi bisnis nada dering harus menggunakan nomor premium 0809 lewat nomor telepon darat – nomor awal telepon yang sama yang digunakan untuk panggilan premium telepon sex – dengan proses ini pengguna yang ingin memilih nada dering harus melewati sistem Interactive Voice Response, nantinya nada dering akan dikirimkan secara langsung ke ponsel. Para pemain awal industri ini antara lain PT Katagiprima (kini bernama Iguana Technology), dan Klub Mobile. Klub Mobile perlu diberi catatan karena mereka akhirnya menutup layanannya setelah dituntut oleh penerbit lagu pada tahun 2003, tuntutan para penerbit lagu dikarenakan Klub Mobile menjual karya intelektual – lagu – tanpa izin dan tanpa royalti.

Continue reading [Music Monday] Sebenarnya, Startup Musik Sudah Lama Ada di Indonesia (Part 2)