Menonton Esports Buat Pemain Smite Bermain Lebih Lama

Ada banyak pihak yang terlibat dalam industri esports. Salah satunya adalah publisher game. Menurut Todd Harris, COO Hi-Rez Studios, publisher dari game Smite, tujuan publisher mendukung ekosistem esports dari game yang mereka rilis adalah karena keberadaan esports membuat game menjadi lebih dikenal dan dimainkan lebih lama. Hanya saja, investasi yang harus publisher keluarkan juga tidak kecil. Karena itu, mereka harus memastikan bahwa investasi tersebut tidak sia-sia.

Untuk mengetahui apakah investasi publisher di ekosistem esports memang menguntungkan, Hi-Rez bekerja sama dengan Emery Research Center pada dua tahun lalu. Mereka memerhatikan perbedaan antara pemain Smite yang juga menonton esports dari game itu dan pemain yang hanya memainkan game tersebut. Hasil studi menunjukkan, pemain Smite yang juga menonton pertandingan esports dari game itu menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain Smite dan menghabiskan uang lebih banyak.

“Selama delapan minggu, kami mengamati dua tipe pemain. Pemain yang juga menonton esports Smite dan pemain yang tidak menonton esports. Sebelum studi ini, kedua kelompok pemain memiliki tingkat engagement yang sama. Dalam delapan minggu itu, kami melihat bahwa pemain yang juga menonton esports menghabiskan US$5 lebih banyak dari biasanya, dan mereka juga bermain lebih lama — 600 menit lebih lama,” kata Harris pada Game Industry. Dalam studi ini, Hi-Rez dan Emery mengamati puluhan ribu pemain Smite yang menghubungkan akun mereka ke Twitch. Selain menghabiskan uang lebih banyak dan bermain lebih lama, pemain yang menonton esports juga lebih sering menang.

Harris (kiri) bersama dengan CEO FanAI | Sumber: Game Industry
Harris (kiri) bersama dengan CEO FanAI, Johannes Walstein | Sumber: Game Industry

Meskipun studi ini baru dilakukan pada 2017, Smite telah dirilis sejak 2014. Hi-Rez juga telah mendukung komunitas esports Smite sejak awal. Jadi, hasil studi itu hanya membuktikan bahwa strategi mereka memang sudah tepat. Mereka tak perlu lagi mengubah strategi tersebut. “Studi menjadi validasi dari apa yang kita lakukan, dan menurut saya, ini membantu investasi kami dan membuat para publisher tertarik untuk melakukan analisa lebih dalam,” ujar Harris. Dia mengatakan, setelah mereka tahu bahwa esports meningkatkan engagement pemain, mereka ingin mencari tahu kenapa. Sebagai developer, mereka menduga, alasan pemain yang menonton esports juga bermain lebih lama karena menonton pemain profesional memotivasi para penonton untuk bermain lebih baik. Namun, mereka juga memiliki beberapa dugaan lain terkait mengapa penonton esports akan bermain lebih lama.

“Smite adalah game MOBA, Anda bisa memainkan ratusan karater. Pemain yang tingkat engagement naik paling tinggi adalah mereka yang suka memainkan karakter yang berbeda-beda dan bukan pemain yang hanya menggunakan beberapa karakter tertentu saja. Secara teori, jika saya senang untuk mencoba karakter baru, ketika saya melihat pemain profesional memainkan karakter yang belum pernah saya mainkan, saya akan bermain lebih lama untuk mencoba memainkan karater tersebut. Dari menonton esports, saya bisa belajar taktik dan strategi dan mendapatkan aspirasi,” jelas Harris.

Menariknya, Harris juga menawarkan akses pada studi mereka dengan Emery bagi semua publisher yang tertarik dengan data tersebut. Keputusan Hi-Rez untuk membagi hasil studi mereka dengan publisher lain yang merupakan pesaing mereka mungkin terdengar aneh. Namun, ini bukan kali pertama Hi-Rez melakukan ini. Tahun lalu, Hi-Rez meluncurkan Skillshot Media, perusahaan solusi esports dengan Harris sebagai presiden. Harris mengatakan, karena Skillshot memiliki bisnis yang terpisah dari Hi-Rez, dia tidak khawatir jika apa yang dilakukan oleh Skillshot justru membantu publisher pesaing. Selain itu, Skillshot juga fokus untuk mengembangkan ekosistem esports dari game Hi-Rez.

Millennial Esports Buat Arena Balap Esports di Miami

Millennial Esports akan membuat arena balap esports bernama Allinsports Arena di Miami. Mereka menyiapkan US$2,8 juta untuk biaya pembangunan dari arena seluas 12 ribu kaki persegi tersebut. Mereka juga akan menyediakan 30 racing simulator yang bisa digunakan bersama-sama atau sendiri-sendiri. CEO Millennial Esports, Darren Cox mengatakan, alasan mereka membuat arena balap esports di Miami adalah karena warga Miami memang dikenal memiliki antusiasme tinggi akan mobil. “Warga Miami dikenal sangat antusias tentang mobil,” kata Cox pada VentureBeat. “Kita ada di tengah dua industri besar, esports dan gaming.” Ke depan, mereka berencana untuk membangun arena balap esports lain di seluruh dunia.

Salah satu cara Millennial Esports untuk mendapatkan pemasukan dari Allinsports Arena adalah dengan menyelenggarakan kompetisi esports di arena tersebut. Mereka juga akan menggunakan arena itu untuk melatih pembalap, baik pembalap di dunia nyata maupun pembalap virtual. Sebelum ini, Cox dan Millennial Esports telah mengadakan World’s Fastest Gamer, kompetisi simulasi balapan yang memasuki musim kedua pada tahun ini. Pemenang kompetisi ini akan mendapatkan hadiah dengan nilai lebih dari US$1 juta.

“Kami mengajak anak-anak yang belum pernah mengendarai mobil balap sebelumnya. Mereka belajar berkendara dengan simulator balapan,” ujar Cox. “Lalu, kami biarkan mereka mengendarai mobil balap sebenarnya. Tahun ini, kami menggunakan mobil balap Aston Martin.”

Sumber: VentureBeat
Sumber: VentureBeat

Selain mengadakan kompetisi balapan, Cox juga telah memikirkan berbagai cara untuk memonetisasi Allinsports Arena, mulai dari pengadaan racing simulator sampai pembuatan game yang bisa dimainkan gratis. Tidak berhenti sampai di situ, Allinsports juga akan menyediakan layanan data analitik melalui divisi Stream Hatchet. Cox sempat membahas tujuan dibangunnya arena simulasi balapan ini, yaitu untuk menarik perhatian para enthusiasts game balapan, mulai dari ketika mereka hanya bermain game balap di rumah sampai mereka menggunakan simulator agar mereka bisa menjadi pembalap di dunia nyata. Pembalap F1 Juan Pablo Montoya dan Rubens Barrichello menjadi investor sekaligus penasehat bagi Millennial Esports.

“Tempat simulasi balap kami di Miami selalu penuh,” kata Cox. “Arena seperti ini dapat menghasilkan banyak uang. Visi kami adalah untuk membuat lebih banyak arena serupa di seluruh dunia yang saling terhubung dengan satu sama lain. Anda bisa membayar US$25 untuk mencoba simulator mobil Ferrari. Kemudian, jika performa Anda memang baik, mungkin Anda harus mencoba untuk menjadi pembalap sebenarnya.”

Selain menjadi CEO Millennial Esports, Cox juga merupakan pendiri dari Nissan GT Academy. Melalui program ini, Cox berusaha melatih pemain Grand Turismo untuk menjadi pembalap sesungguhnya. GT Academy sempat diadakan di Indonesia pada 2016. Sekarang, melalui World’s Fastest Gamer, Cox mencoba melakukan hal yang sama. “Anda bisa menjadi pembalap virtual, tapi Anda juga bisa menjadi pembalap di dunia nyata,” kata Cox. “Semua yang kami lakukan adalah bagian dari platform esports.”

Sumber header: The Esports Observer

Jumlah Rata-Rata Penonton Overwatch League Naik 16 Persen

Pada awal bulan lalu, Activision Blizzard mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen. Tujuannya adalah untuk memberikan data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan pada sponsor dan rekan mereka. Dengan data dari Activision Blizzard, Nielsen akan menyajikan data dalam bentuk Average Minute Audience (AMA) alias jumlah rata-rata penonton pada setiap menit selama siaran berlangsung. AMA dihitung dengan cara membagi total menit ditonton dengan total durasi siaran. Metrik ini telah digunakan oleh industri olahraga tradisional sejak lama. Dengan menggunakan metrik ini, Activision Blizzard berharap, Overwatch League bisa dibandingkan dengan turnamen olahraga konvensional.

Data Nielsen menunjukkan, babak final dari Overwatch League yang diadakan pada akhir September lalu mendapatkan 1,12 juta AMA, naik 16 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Seluruh pertandingan Overwatch League disiarkan melalui Twitch setelah Activision Blizzard membuat perjanjian eksklusif dengan platform streaming itu pada 2018. Selain disiarkan melalui Twitch, babak final Overwatch League juga disiarkan melalui ABC. Hanya saja, ABC tidak menyiarkan semua pertandingan di Overwatch League. Mereka hanya menyiarkan babak playoff, semi-final, dan final. Dexerto menyebutkan, keputusan Activision Blizzard untuk memindahkan saluran siaran dari ESPN menjadi ABC, yang memiliki jangkauan lebih luas, merupakan salah satu alasan kenaikan jumlah penonton rata-rata dari Overwatch League.

Dalam Overwatch League kali ini, ada lebih banyak tim yang berasal dari luar Amerika Serikat. Tampaknya, inilah salah satu alasan mengapa durasi menonton liga Overwatch mengalami kenaikan di tingkat global. Keberadaan tiga tim asal Tiongkok di liga itu juga memberikan dampak positif pada jumlah penonton. Karena, pada tahun ini, Overwatch League juga disiarkan di Bilibili, layanan streaming di Tiongkok. “Tiga tahun sejak game Overwatch dibuat, dan dua tahun sejak liga dimulai, kami telah bisa bersaing dengan liga olahraga besar yang membutuhkan waktu 60 atau 70 tahun untuk sampai di titik ini,” kata CMO Activision Blizzard Esports, Daniel Cherry, seperti dikutip dari Dexerto.

Nielsen juga memberikan data yang lebih detail terkait Overwatch League. Di Amerika Serikat, jumlah rata-rata penonton babak final Overwatch League mencapai 472 ribu, naik 41 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara pada demografi 18-34 tahun, AMA di Amerika Serikat adalah 182 ribu, naik 13 persen dari tahun lalu. Activision Blizzard mengaku puas dengan pencapaian Overwatch League, terutama jika dibandingkan dengan olahraga tradisional. Mereka mengklaim, liga Overwatch adalah satu-satunya liga yang jumlah penonton di rentang umur 18-34 tahun mengalami kenaikan. Memang, menurut laporan Kepiosesports populer di kalangan anak muda pada umur 16-24 tahun. Pada demografi itu, jumlah orang yang tertarik untuk menonton turnamen esports sedikit lebih tinggi dengan jumlah orang yang tertarik menonton pertandingan olahraga tradisional.

Sumber; Dexerto
Sumber; Dexerto

Selain untuk memudahkan sponsor dan potensial sponsor untuk memahami data dari esports, alasan lain Activision Blizzard mulai menggunakan AMA sebagai metrik adalah untuk meyakinkan sponsor, rekan, dan masyarakat bahwa data yang mereka berikan tidak dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat lebih besar dari yang sebenarnya. Misalnya dengan memasang video Twitch sebagai iklan di situs-situs besar seperti The Verge dan Eater. Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, mengatakan, memasang video Twitch di situs besar memang memengaruhi beberapa metrik data seperti viewership dan unique viewer. Kedua metrik itu akan naik bahkan jika seseorang hanya menonton untuk satu menit. Meskipun begitu, ini tidak akan memberikan dampak besar pada AMA karena AMA dihitung berdasarkan total durasi siaran ditonton. “Salah satu hal penting bagi kami adalah kami ingin  memiliki metrik viewership murni,” kata Cherry, menurut laporan Variety. “Kami ingin menghitung jumlah fans yang memang serius menonton Overwatch League.”

Sumber header: overwatchleague.com

IP Jadi Masa Depan Streaming Esports

Sekarang, berkat internet, semakin banyak orang yang memilih untuk menonton video melalui perangkat mobile atau komputer daripada TV. Kecepatan internet juga sudah cukup memadai untuk melakukan siaran langsung, yang bisa jadi cara bagi kreator konten atau broadcaster untuk berinteraksi langsung dengan penonton. Di industri gaming dan esports, live streaming memiliki peran penting. Keberadaan platform streaming seperti Twitch dan YouTube memungkinkan sebuah acara disiarkan ke banyak penonton, tak peduli dimana mereka berada.

Dalam sesi “Understanding esports production” di IBC2019, ESL director of broadcast esports services Simon Eicher mengatakan, pihak broadcaster dan platform live streaming bisa mendapatkan untung lebih banyak jika mereka bisa melakukan manajemen data, mengotomatisasi update, dan menawarkan hal-hal yang dapat memperkaya pengalaman penonton di luar acara esports itu sendiri. “Siarkan turnamen esports secara live dan buat acara itu menjadi festival sehingga para fans tetap bisa menikmati kegiatan di luar arena pertandingan,” kata Enrich, dikutip dari IBC.com.

Blizzard director of live operations broadcast technology group Corey Smith menjadikan Twitch sebagai contoh. “Cara Twitch menyiarkan konten membuat kita berpikir ulang tentang bagaimana dulu kita hanya melakukan satu siaran dari tempat acara. Siaran Twitch juga mengubah cara kita berpikir karena mereka menggunakan teknologi produksi konten yang beragam dan memanfaatkan IP (Internet Protocol),” kata Smith. Sama seperti siaran olahraga sepak bola atau basket, siaran turnamen esports juga memiliki caster. Hanya saja, caster esports bisa mendapatkan informasi ekstra tentang tim atau pemain yang berlaga atau bahkan game yang sedang dimainkan. Dengan begitu, selain membahas tentang apa yang terjadi selama pertandingan, caster juga bisa membahas informasi tersebut. “Ini mirip dengan siaran olahraga tradisional, hanya saja, para fans bisa dengan mudah mengakses informasi ekstra,” ujarnya.

Anggota panelis | Sumber: IBC.com
Anggota panelis, Eicher, Chaply, Smith, dan Trauss.  | Sumber: IBC.com

Dalam diskusi IBC2019, semua pembicara setuju, konten yang disajikan pada penonton harus interaktif. Selain itu, broadcaster juga sebaiknya menggunakan teknologi terbaru untuk memberikan pengalaman yang memuaskan bagi para penonton. Sementara itu, Eicher mengatakan, para broadcaster bisa menggunakan peralatan broadcast klasik dan menggabungkannya dengan cloud dan IP workflow.

Smith bercerita tentang apa yang dilakukan oleh Blizzard, perusahaan tempatnya bekerja. Fokus Blizzard pada tahun lalu adalah originalitas konten. Sementara pada tahun ini, mereka fokus untuk mendapatkan siaran dari turnamen esports yang mereka adakan dan mendistribusikan konten itu ke rekan-rekan mereka saat turnamen disiarkan secara langsung. Hanya saja, melakukan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itulah, menurutnya, IP akan menjadi masa depan dari streaming esports. Saat ini, Smith memimpin tim untuk mengembangkan sistem distribusi dan encoding di cloud untuk Activision Blizzard Esports, yang telah memiliki beberapa data center besar di berbagai belahan dunia.

Riot Games broadcast architect Maxwell Trauss mengatakan, adanya narasi jadi salah satu hal yang membedakan siaran esports dengan olahraga biasa. Ketika menyiarkan konten esports, ada kesempatan lebih banyak untuk menyajikan cerita. Sementara terkait produksi konten, dia berkata, “Mengirimkan data, proses rendering, dan latensi bisa kita buat menjadi rendah. Dalam esports, hal-hal ini bisa kita atur.” Pada akhir diskusi, para narasumber percaya, salah satu cara untuk membuat konten esports dijangkau lebih banyak penonton — yang bisa mendatangkan lebih banyak sponsor dan menjadi sumber pendapatan — adalah dengan memastikan pengalaman menonton di perangkat mobile sama dengan pengalaman menonton di komputer. Untuk itu, diperlukan inovasi terkait codecs yang efisien dan manajemen data di video 4K dan 8K.

Sumber header: The Esports Observer

RRQ Academy Jadi Cara RRQ untuk Cari Talenta Esports

Gamer mana yang tak tergoda untuk menjadi atlet esports? Sebagai pemain profesional, Anda memiliki kesempatan untuk memenangkan hadiah puluhan miliar, seperti pemuda 16 tahun yang menjuarai Fortnite World Cup kategori solo. Tidak hanya itu, atlet esports kini juga bisa mewakili Indonesia untuk bertanding di ajang olahraga tingkat regional seperti SEA Games. Namun, apa yang harus Anda lakukan untuk menjadi atlet esports? Dalam IDBYTE, CEO dan Co-founder RRQ, Andrian Pauline mengatakan bahwa salah satu kesalahpahaman masyarakat awam akan atlet esports adalah pemain profesional hanya menghabiskan waktunya untuk bermain.

Bagi gamer yang tertarik untuk menjadi profesional, RRQ kini mengadakan RRQ Academy. Kelas semi-pro ini dibuka untuk pemain PUBG Mobile. Pelatihan akan dibuka selama tiga hari, pada tanggal 28, 30, dan 31 Oktober. Kelas diadakan di Raffles College dan berlangsung selama tiga jam, dari pukul 15.00 sampai 18.00. Saat dihubungi melalui pesan singkat, Head of RRQ Academy, Merril Riandi mengatakan, alasan mereka memilih tempat di Jakarta Barat karena banyak fans RRQ tinggal di kawasan tersebut. “Karena kami ingin lebih memudahkan peserta untuk bisa mengikuti kelas kita,” katanya. “Berdasarkan data, banyak fans kita di Jakarat Barat, Selatan, dan Utara. Nanti, kita akan adakan kelas di universitas di Jakarta Selatan dan Utara.” Dia menjelaskan, RRQ harus menyewa ruangan di universitas, setidaknya untuk saat ini. Ke depan, dia berharap akan ada universitas dan sekolah yang mau bekerja sama untuk menyediakan tempat.

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile

Riandi mengatakan, RRQ sebenarnya sudah memiliki rencana untuk mengadakan kelas pelatihan esports sejak lama. “Tapi, divisinya baru dibentuk dari bulan April,” dia mengaku. RRQ berharap pengadaan akademi esports ini bisa dilaksanakan secepatnya. Sayangnya, jadwal RRQ padat. Selain jadwal padat, RRQ juga tengah kekurangan orang karena jumlah tim mereka bertambah dengan cepat. Karena itulah, RRQ Academy baru diadakan sekarang. “Kita buat akademi karena permintaan dari follower kita juga, yang mau diajarkan cara main game-game tertentu,” ungkapnya. “Jadi, ini adalah salah satu cara kita untuk memberikan yang terbaik bagi komunitas RRQ dan juga harapannya, bisa meningkatkan standar kualitas pemain esports di Indonesia.”

Selain itu, melalui program akademi ini, RRQ juga berharap dapat memajukan esports Indonesia dan mendapatkan talenta esports. Tidak tertutup kemungkinan, peserta yang berbakat akan ditarik menjadi bagian dari RRQ. Riandi menjelaskan, peserta yang telah mengikuti kelas semi-pro akan bisa masuk dalam PUBGM Academmy League. Liga itu akan berlangsung selama 2 minggu dengan 12 pertandingan. Tim yang menang memiliki kesempatan untuk menjadi anggota tim PUBGM RRQ Academy. Tim tersebut akan mendapatkan kontrak eksklusif selama 6 bulan dan uang sebesar Rp2,4 juta untuk akomodasi turnamen. Tentu saja, tim ini akan mendapatkan bimbingan lebih lanjut. “Tim terbaik akan kita sponsori untuk ikut turnamen-turnamen dengan membawa nama RRQ Academy. Harapannya, mereka akan mendapatkan melalui liga kita, sehingga potensi mereka akan semakin terlihat,” ujarnya.

Biaya untuk mengikuti kelas semi-pro ini Rp300 ribu per orang. Riandi menjelaskan, peserta boleh mendaftar sendiri atau bersama dengan rekan timnya. “Buat yang masih sendiri, nanti kita akan bantu untuk bentuk timnya. Tentu dengan assessment dari kita ya, karena kita ingin mereka bermain dalam tim terbaik, sesuai dengan tipe mereka masing-masing.” Kelas dari RRQ ini terbuka untuk umum, tanpa memandang umur atau gender.

Satu-satunya syarat bagi peserta adalah membawa perangkat, charger, serta earphones miliiknya sendiri. “Tapi, jika sudah ada pemberitahuan atau masalah ponsel yang dialami peserta, kita bisa pinjamkan kok,” katanya. Untuk kapasitas, RRQ Academy dibatasi sesuai dengan kapasitas ruangan, yaitu 80 orang. Sekarang, kebanyakan pemain esports adalah laki-laki. Soal ini, Riandi mengaku justru senang jika banyak perempuan yang ikut serta dalam kelas pelatihan. “Game itu nggak kenal batas usia dan gender. Semua memiliki kesempatan yang sama,” kata Riandi.

Ketika ditanya siapa yang melatih para peserta, Riandi mengatakan, semua pemain profesional atau mantan profesional dapat menawarkan diri untuk menjadi pelatih di RRQ Academy, walau mereka bukanlah pemain RRQ. Saat ini, game yang masuk dalam akademi hanyalah PUBG Mobile. Alasannya karena keterbatasan jumlah pemain profesional yang bisa direkrut untuk menjadi pelatih. “Kalau Mobile Legends, karena perubahan pada sistem Mobile Legends Professional League (MPL) yang mengharuskan minimal pemain di tiap tim, banyak veteran Mobile Legends yang aktif bermain kembali,” katanya. Namun, ke depan, tidak tertutup kemungkinan RRQ Academy akan membuka kelas untuk game lain. Tak hanya itu, RRQ juga tampaknya tertarik untuk melatih orang-orang yang ingin bekerja di industri esports tapi tak sebagai pemain.

Fokus ke Belajar, tak Banyak Siswa yang Mau Jadi Atlet Esports di Singapura

Ada stereotype bahwa orangtua Asia selalu menuntut agar anak-anaknya sukses di bidang akademis. Meskipun tidak selamanya benar, sebagian orangtua di negara-negara Asia memang berharap anaknya bisa mendapatkan nilai tinggi di sekolah. Di Indonesia atau negara tetangga seperti Singapura, tidak sedikit orangtua yang memasukkan anaknya ke bimbingan belajar atau kursus. Memang, Singapura memiliki sistem edukasi yang sangat ketat. Para murid biasanya dituntut untuk mendapatkan nilai tinggi dan melanjutkan pendidikan ke universitas. Setelah lulus, mereka dapat bekerja di bidang konvensional yang menawarkan gaji yang memadai. Itulah mengapa tidak banyak warga Singapura yang tertarik untuk masuk ke industri esports. Saat ini, hanya ada 15 atlet esports di Singapura.

“Singapura sangat fokus pada bidang akademis,” kata Presiden Asosiasi Esports Singapura, Ng Chong Geng, seperti dikutip dari The Jakarta Post. Dia bercerita, ketika dia berbicara di hadapan para mahasiswa, tidak ada satupun anak yang tertarik untuk menjadi pemain profesional. “Sekarang, semua orang bisa lulus kuliah dengan gelar… Jika Anda mencoba untuk menjadi atlet esports, ada banyak kesempatan yang harus Anda lewatkan.” Masalah lain yang dihadapi oleh warga Singapura yang tertarik untuk menjadi pemain profesional adalah wajib militer. Semua warga laki-laki di Singapura memiliki kewajiban untuk ikut wajib militer selama dua tahun setelah mereka berumur 18 tahun. Min-Liang Tan, CEO Razer, juga bercerita bahwa dia pernah menjadi pengacara karena dorongan orangtua sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berhenti dan mendirikan Razer.

Namun, itu bukan berarti tidak ada satupun atlet esports di Singapura. Ialah Galvin Kang Jian Wen, yang kini menjadi anggota tim nasional Singapura yang akan bertanding di cabang olahraga esports di SEA Games. Sebagai pemain Dota 2, Kang dikenal dengan nama “Meracle”. Dia mengatakan, alasan dia berani memutuskan untuk berhenti sekolah demi mengejar karir sebagai pemain profesional adalah karena dia percaya diri dengan kemampuannya. “Saya berhenti sekolah dan mengejar mimpi saya,” kata pria berumur 23 tahun ini pada AFP ketika ditemui di bootcamp menjelang SEA Games yang diadakan oleh Razer. “Tentu saja, orangtua saya tidak senang dengan keputusan saya. Tidak ada orangtua yang ingin anaknya berhenti sekolah.”

Tim esports nasional Singapura saat bootcamp| Sumber: Razer
Tim esports nasional Singapura saat bootcamp| Sumber: Razer

Kang bukan satu-satunya anggota timnas yang akan bertanding di SEA Games yang memutuskan untuk berhenti sekolah. Nuengnara Teeramahanon, pemain Dota 2 dari Thailand, juga melakukan hal yang sama. “Satu hal yang memiliki dampak paling besar pada saya adalah keputusan saya untuk berhenti sekolah agar saya bisa main seharian, sepenuhnya,” ujarnya. “Saya tidak mau pergi ke sekolah lagi. Saya merasa, itu sangat membosankan.” Meskipun begitu, para atlet esports harus memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah mereka pensiun, karena umur pensiun atlet esports sangat muda. Salah satu karir alternatif yang bisa mereka kejar adalah menjadi YouTuber.

Para atlet esports timnas yang memutuskan untuk meninggalkan sekolah mengatakan, orangtua mereka kini telah mendukung keputusan mereka. Namun, mereka tidak mendorong para gamer lain untuk mengikuti langkah mereka. Alasan orangtua Kang akhirnya menerima pekerjaannya sebagai pemain profesional adalah karena dia berhasil membuktikan bahwa dia bisa mencari uang di esports. Dia pernah bermain di tim asal Amerika Serikat. Ketika itu, semua biaya hidupnya ditanggung oleh tim dan dia juga mendapatkan gaji dan hadiah turnamen. Saat ini, dia bermain di tim asal Thailand.

“Pada akhirnya, orangtua saya menjadi percaya,” kata Kang. “Saya bisa membeli makanan saya sendiri, hidup mandiri.”

Pemain NBA Rudy Gobert Investasi di ReKTGlobal

Pemain NBA di Utah Jazz, Rudy Gobert, menanamkan investasi pada ReKTGlobal, grup esports global yang juga merupakan perusahaan induk dari tim Rogue. Gobert menjadi pemain olahraga tradisional terbaru yang ikut masuk ke ranah esports. Dari segi nilai industri, esports tumbuh pesat. Sementara dari total hadiah turnamen, turnamen esports bisa menawarkan hadiah yang tidak kalah dari kompetisi olahraga tradisional. Tidak heran jika tim atau atlet olahraga konvensional tertarik untuk mendukung tim esports. Belum lama ini, Manchester City juga telah mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan.

“Rudy sangat cocok untuk ReKTGlobal,” kata Amish Shah, co-founder of ReKTGlobal, seperti dikutip dari VentureBeat. “Dia telah menjadi gamer sejak lama. Tidak hanya itu, dia juga memiliki jiwa bisnis yang kuat dan memiliki ide-ide baru. Sejak lama, dia memang ingin berinvestasi di ranah esports dan ikut serta dalam industri gaming. Kami bangga karena dia memilih ReKTGlobal sebagai rekannya dan kami tidak sabar untuk melihat sepak terjangnya sebagai atlet olahraga tradisional pertama yang menjadi anggota dewan kami.”

Sumber: InvenGlobal
Sumber: InvenGlobal

Menurut laporan The Esports Observer, Gobert — yang pernah bermain di NBA selama enam musim dan pernah memenangkan Defensive Player of the Year dua kali — akan berbagi pengalamannya di dunia olahraga tradisional pada ReKTGlobal. Selain itu, dia juga akan membantu ReKTGlobal menjalin kerja sama strategis. Ke depan, pemain center asal Prancis ini juga akan membuat konten dan melakukan siaran langsung bersama dengan anggota tim Rogue. Saat ini, Rogue bertanding di League of Legends European Championship (LEC). Selain itu, Rogue juga memiliki tim di Fortnite, Rocket League, dan Rainbow Six Siege. Menurut kabar terbaru, Rogue telah mendapatkan slot untuk bertanding di liga Call of Duty yang akan mulai diadakan pada tahun depan. Rogue akan mewakili London dalam turnamen yang diadakan oleh Activision Blizzard itu.

“Kecintaan saya akan gaming sudah jadi rahasia umum di kalangan Utah Jazz dan tim nasional Prancis. Saya memang sudah tertarik untuk menanamkan investasi dan ikut serta dalam esports, dan saya tidak sabar untuk mengukir sejarah bersama dengan ReKTGlobal,” kata Gobert. “Selama bertahun-tahun, saya bermain game untuk bersantai ketika harus bertanding. Bermain game juga menjadi cara saya mempertahankan hubungan dengan teman-teman saya ketika saya sedang dalam perjalanan. Saya sangat tidak sabar untuk bekerja sama dengan tim Call of Duty sebelum mereka mulai berlaga pada tahun depan.”

ReKTGlobal didirikan pada 2016 dan memiliki markas di New York. Organisasi ini bertujuan untuk menjembatani bisnis olahraga tradisional dengan esports. Selain Gobert, ada sejumlah selebritas lain yang juga telah menjadi investor dari ReKTGlobal, seperti DJ Steve Aoki dan DJ Nicky Romero, serta anggota dari band Imagine Dragons.

Total Hadiah Turnamen Esports Saingi Kompetisi Olahraga Tradisional

Esports semakin diakui sebagai olahraga. Pada tahun lalu, esports menjadi pertandingan eksibisi dalam Asian Games. Sementara pada tahun ini, esports menjadi cabang olahraga bermedali dalam SEA Games. Indonesia juga mengirimkan tim perwakilan di cabang esports. Salah satunya, Hendry ‘Jothree’ Handisurya yang akan bertanding di cabang Hearthstone. Esports bahkan dijadikan pre-event Olimpiade 2020. Namun, apakah itu berarti esports memang mulai dapat disandingkan dengan olahraga tradisional?

Sebagai industri, esports tumbuh dengan cepat. Pada 2014, industri esports hanya bernilai US$194 juta. Empat tahun kemudian, angka itu naik lebih dari empat kali lipat menjadi US$845 juta. Tahun ini, industri esports diperkirakan akan menembus US$1 miliar untuk pertama kalinya dan industri esports masih diproyeksikan akan tumbuh menjadi US$1,8 miliar pada tahun depan. Satu hal yang harus Anda ingat, esports saat ini hanya berisi fans hardcore. Seseorang mungkin tetap tertarik untuk menonton Piala Dunia meski dia bukan fans sepak bola. Namun, orang-orang yang menonton The International pasti fans Dota 2. Ini menunjukkan, turnamen esports hanya diminati oleh gamers, setidaknya untuk saat ini, menurut laporan Talk Esport.

Selain itu, total hadiah turnamen esports juga tidak kalah dengan hadiah dari turnamen olahraga tradisional. Misalnya, Fortnite World Cup yang menawarkan total hadiah US$30 juta atau The International yang menyediakan total hadiah US$34,3 juta. Kyle “Bugha” Giersdorf, pemuda 16 tahun yang memenangkan kategori solo di Fortnite World Cup berhasil membawa pulang US$3 juta. Sementara tim OG yang memenangkan The International tahun ini membawa pulang US$15,6 juta. Itu artinya, setiap pemain OG membawa pulang lebih dari US$3,1 juta. Sebagai perbandingan, Tiger Woods “hanya” membawa pulang US$2,07 juta ketika memenangkan 2019 Masters. Sementara pemenang kategori single di Wimbledon, Novak Djokovic dan Simona Halep, masing-masing mendapatkan US$2,9 juta.

Tim PSG.LGD | Sumber: Talk Esport
Tim PSG.LGD | Sumber: Talk Esport

Menariknya, ini tidak serta merta membuat tim olahraga tradisional menganggap esports sebagai musuh atau pesaing. Sebaliknya, tidak sedikit klub sepak bola Eropa yang justru menggandeng tim esports untuk bekerja sama. Manchester City adalah salah satunya. Pada akhir September lalu, klub Inggris itu mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan. Dalam kerja sama ini, FaZe dan City akan membuat konten bersama. Selain itu, mereka juga akan mengadakan acara jumpa fans dan membuat produk co-branded bersama. Beberapa klub sepak bola lain yang juga menggandeng tim esports antara lain PSG, West Ham, AS Roma, FC Schalke, dan Ajax. Kerja sama dengan tim esports mungkin membuat sebagian para fans bingung, tapi manajemen klub sepak bola percaya, ini akan membantu mereka untuk mendapatkan eksposur di kalangan gamers.

Dari segi pendapatan dan total hadiah turnamen, esports kini memang mulai menyaingi olahraga tradisional. Namun, untuk saat ini, olahraga tradisional masih lebih populer. Tidak tertutup kemungkinan, hal ini akan berubah di masa depan. Menurut laporan Kepios, esports dan game populer di generasi pada rentang umur 16 sampai 24 tahun. Di rentang umur itu, jumlah orang yang tertarik menonton turnamen esports sedikit lebih tinggi dari jumlah orang yang tertarik dengan olahraga tradisional.

Masalah yang Dihadapi Penerima Beasiswa Esports di Amerika Serikat

Liga amatir di tingkat SMA dan universitas adalah bagian penting dari esports. Di Amerika Serikat, ada platform yang memang secara khusus menyelenggarakan turnamen amatir untuk siswa SMA dan mahasiswa, seperti All-Star eSports League dan PlayVS. Tak berhenti sampai di situ, sekolah dan universitas juga menunjukkan dukungannya pada siswa yang ingin masuk ke industri esports. Salah satunya dengan menyediakan program beasiswa. Beberapa universitas yang telah mengadakan program beasiswa esports antara lain Robert Morris University (RMU), University of California Irvine (UCI) dan UC Berkeley. Sayangnya, masih ada berbagai masalah dalam pengadaan beasiswa esports tersebut. Inilah beberapa masalah yang ditemui dari program beasiswa esports, seperti dirangkum oleh PC Gamer.

Pemain esports tak dianggap sebagai atlet

Beberapa universitas di AS memang menyediakan beasiswa untuk atlet esports. Namun, perlakuan yang diterima oleh penerima beasiswa esports dan penerima beasiswa untuk olahraga tradisional berbeda. Biasanya, penerima beasiswa olahraga akan mendapatkan hak untuk memilih jadwal kelas yang hendak mereka ambil. Dengan begitu, sang mahasiswa dapat memastikan bahwa waktu latihan dan jadwal bertanding tidak bersamaan dengan jadwal kelas mereka. Sayangnya, penerima beasiswa esports tidak mendapatkan hak khusus ini karena mereka tidak dianggap sebagai atlet. Tidak hanya itu, jumlah biaya beasiswa yang diterima juga lebih kecil. Padahal, latihan para atlet esports juga memakan waktu yang tidak sebentar. Setiap harinya, mereka harus berlatih hingga enam jam.

Pusat esports di UC of Berkeley | Sumber: PC Gamer
Pusat esports di UC Berkeley | Sumber: PC Gamer

Ialah Grant Welling, kapten dari tim League of Legends dari RMU. Selain kuliah, dia juga harus menyempatkan diri untuk berlatih empat hari dalam seminggu. Alhasil, dia harus memanfaatkan akhir pekannya untuk menyelesaikan tugas kuliah dan sedikit waktu rehat. Zuhair Taleb, pemain Overwatch di UCI, juga memiliki cerita yang sama. “Saya tidak pernah keluar — mungkin saya akan pergi sekali tiap dua minggu dengan tim saya, dengan teman saya,” kata Tabel, dikutip dari PC Gamer. “Saya latihan, saya bermain, dan saya belajar. Begiulah jadwal saya. Saya tidak punya waktu untuk mengerjakan hal lain.”

Untungnya, hal ini tidak terjadi di semua universitas. Ada universitas yang memerlakukan pemain profesional sebagai atlet. Salah satunya adalah RMU. “Departemen olahraga tahu berapa banyak waktu, uang, dan usaha yang dihabiskan untuk bisa sukses. Dan ketika departemen olahraga mengakui esports pada 2014, mereka juga menyediakan semua hal yang diperlukan untuk sukses,” kata Esports Executive Director, RMU, Michael Wisnios.

Dana beasiswa berasal dari developer, bukan universitas

Dana beasiswa esports biasanya berasal dari developer. Misalnya, sebagai jaringan klub esports di universitas, Tespa bekerja sama dengan Blizzard untuk menawarkan beasiswa bagi para pemain game-game buatan developer tersebut, seperti Hearthstone, Overwatch, dan StarCraft II. Sementara Riot Games menawarkan uang beasiswa pada universitas yang memiliki tim esports untuk League of Legends. Tanpa bantuan para developer, program esports di universitas tidak akan bisa berjalan. Dalam hal ini, masalah ini sebenarnya sama dengan masalah yang dihadapi dalam penyediaan program beasiswa olahraga tradisional.

Di UCI, tim Overwatch dan League of Legends mendapatkan beasiswa sebesar US$6.000, sementara pemain tim junior mendapatkan US$1.000 per semester. Riot bekerja sama dengan Berkeley untuk menyediakan US$1.666 per pemain yang menjadi anggota tim Division 1 League of Legends. Selain dari beasiswa, atlet esports juga bisa membayar biaya kuliahnya dengan uang hadiah turnamen. Grant Welling dan rekan satu timnya berhasil membawa pulang US$5.000 setelah memenangkan Collegiate Starleague Championship pada Mei 2019. Sementara tim StarCraft II dari Berkeley yang memenangkan Collegiate Esports Championship buatan ESPN mendapatkan US$1.000 per orang.

Sumber: PC Gamer
Sumber: PC Gamer

Sama seperti olahraga tradisional, esports juga memerlukan peralatan. Di sinilah peran sponsor. “Ketika kami pertama kali membuka tempat latihan kami, NVIDIA yang menyediakan PC,” kata Berkeley Esports Program Manager, Kevin Ponn. “Kami mendapatkan 54 PC. Dan setelah itu, Corsair datang dengan membawa keyboard, mouse, dan headset. Sponsor kami juga mendukung berbagai program di kampus, seperti program gaming untuk perempuan yang bertujuan menghubungkan siswa perempuan dengan para ahli di industri esports.” Sementara semua komputer baru di esports arena Berkeley didanai oleh iBuyPower.

Saat ini, tidak ada metode standar bagaimana universitas harus bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan developer game atau bagaimana universitas seharusnya menggunakan uang yang mereka dapatkan. Ada juga tim esports yang harus membeli seragam dan peralatan sendiri. Tanpa pendanaan yang konsisten dari universitas, program esports di tingkat kuliah sangat tergantung pada kebaikan hati sponsor dan developer. Jika developer memutuskan untuk berhenti mendukung mereka, maka program esports di universitas juga akan terhenti. Tentu saja, para mahasiswa tetap bisa ikut serta dalam kompetisi di tingkat komunitas. Namun, akan semakin sulit bagi mereka untuk meminta dukungan dari pihak universitas jika developer tak lagi memberikan dukungan.

Dukungan orangtua

Di negara maju seperti AS sekalipun, para mahasiswa yang fokus pada esports masih menghadapi masalah klasik: dukungan orangtua. Jangankan mendukung, tak semua orangtua paham tentang esportsHead League of Legends Coach, RMU, Adam Farm bercerita, banyak anak asuhannya yang tidak memberitahu bahwa mereka menjadi tim esports di universitas pada orangtua mereka. Alasannya karena orangtua mereka tidak paham tentang game yang mereka mainkan. Lain halnya dengan olahraga tradisional. Orangtua tahu tentang tata cara bermain basket atau sepak bola. Jadi, meskipun mereka tidak bermain sepak bola atau basket, mereka tetap bisa menikmati ketika melihat anak mereka bermain. Sementara pada kasus esports, jika Anda tidak pernah bermain game yang diadu, Dota 2 atau Counter-Strike: Global Offensive misalnya, Anda mungkin akan kebingungan tentang apa yang terjadi selama pertandingan.

Untungnya, tidak semua orangtua seperti itu. Masih ada orangtua yang peduli dan mencoba untuk mengerti tentang esports. Contohnya, orangtua dari Grant Welling. “Ketika saya memberitahu orangtua saya bahwa saya bisa mendapatkan beasiswa esports di sekolah yang bagus, mereka mendukung saya,” katanya. “Banyak orangtua yang mungkin berpikir bahwa esports buang-buang waktu, jadi senang rasanya saya bisa menjadikan hobi saya menjadi sesuatu yang berguna dan membantu saya untuk masuk ke universitas yang bagus.” Dia lalu bercerita, ketika timnya sedang bertanding di Atlantic City dan menang, sang ibu mengirimkan video perayaan dirinya dan sang ayah. “Ibu saya mengirimkan video saat dia dan ayah melompat dan berteriak senang ketika kami menang. Itu sangat luar biasa,” katanya.

Grant Welling (kedua dari kanan) | Sumber: PC Gamer
Grant Welling (kedua dari kanan) dan tim LoL dari RMU | Sumber: PC Gamer

Begitu juga dengan pemain Overwatch dari UCI, Zuhair Taleb. Dia mengatakan, orangtuanya mulai mencoba mengerti apa yang dia lakukan sebagai atlet esports ketika dia menjadi pemain esports profesional pertama yang berasal dari Yaman dan saat dia mendapatkan beasiswa esports. Tidak hanya orangtuanya di California yang bangga atas pencapaiannya, keluarga dan teman Taleb di Yaman juga ikut merasa bangga. Meskipun begitu, orangtua Taleb masih mencoba mendorongnya untuk bekerja di bidang yang lebih konvensional atau memastikan sang anak menyelesaikan sekolah sebelum dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain profesional.

“Saya tidak akan kaget, jika saya menjadi pro dan memenangkan turnamen, orangtua saya akan berkata, ‘Selamat! Apa kamu akan melanjutkan sekolahmu sekarang?'” ujar Taleb.

Satu hal yang menarik, beasiswa esports tidak melulu ditujukan untuk orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional. Menurut Alex Jiang, President of League of Legends Club di Berkeley, ada opsi beasiswa untuk siswa yang mau bekerja sebagai non-pemain profesional di industri esports. Salah satu universitas yang menawarkan beasiswa seperti itu adalah departemen esports di RMU.

“Jika Anda tertarik dengan sisi bisnis, marketing, atau desain dari esports, Anda juga bisa mengejar gelaran mendapatkan beasiswa di bidang terkait, tidak sebagai pemain profesional, tapi untuk bekerja dalam industri esports,” kata Esports Executive Director, RMU, Wisnios. Dalam satu tahun belakangan, dia memang tengah berusaha untuk menawarkan jenis beasiswa ini. Program seperti itu membantu para mahasiswa tidak sekadar mendapatkan gelar, tapi mendapatkan pengalaman bekerja di bidang yang memang mereka sukai. Ini bisa menjadi bukti bahwa industri game dapat menawarkan karir panjang yang memang pantas untuk dikejar.

Sumber header: The Esports Observer

DreamHack Bakal Adakan Dua Turnamen Fortnite, Total Hadiah Rp7,1 Miliar

DreamHack akan membuat dua turnamen Fortnite. Turnamen pertama, DreamHack Winter, akan diadakan di Jönköping, Swedia pada 29 November sampai 1 Desember. Sementara turnamen kedua, DreamHack Anaheim, akan diadakan di Anaheim, California pada 21 Februari sampai 23 Februari tahun depan. Masing-masing turnamen tersebut memiliki total hadiah US$250 ribu (sekitar Rp3,55 miliar).

Satu hal yang menarik, DreamHack tidak akan mengadakan babak kualifikasi untuk menyaring peserta yang ikut dalam dua turnamen tersebut. Sebagai gantinya, semua orang yang membeli tiket Bring Your Own Computer (BYOC) berhak untuk ikut serta dalam turnamen. DreamHack menawarkan empat jenis tiket untuk turnamen DreamHack Winter. BYOC 20+ Premium, tiket yang paling mahal, telah terjual habis meski penjualan tiket dibuka sampai 20 Oktober. Harga tiket untuk DreamHack Winter beragam, dari 990 SEK (sekitar Rp1,4 juta) untuk tiket berharga paling murah sampai 2.290 SEK (sekitar Rp3,3 juta) untuk BYOC Premium. Selain bisa ikut dalam turnamen, para pemegang tiket juga akan mendapatkan meja dan kursi. Pemegang tiket premium juga bisa mendapatkan makanan dan minuman.

“Kami sangat senang karena bisa membawa turnamen besar ini ke acara festival kami. Hal ini memungkinkan para pengunjung — bagian paling penting dari DreamHack festival — untuk bertanding memperebutkan hadiah uang dalam jumlah besar,” kata Co-CEO DreamHack, Marcus Lindmark, seperti dikutip dari Esports Insider. “Berkat dukungan Epic Games, kami bisa membuat sejarah dengan mengadakan turnamen untuk komunitas paling besar. Ini terjadi pada waktu yang sangat tepat, bersamaan dengan perayaan ulang tahun DreamHack yang ke-25.”

Format yang akan DreamHack gunakan adalah solo. Ini cukup menarik karena Epic Games memutuskan untuk menggunakan format skuad empat orang dalam Fortnite Championship Series. Keputusan Epic Games sempat menuai protes. Beberapa pemain profesional khawatir bahwa penggunaan format empat orang akan menyebabkan game mengalami lag. Belakangan, antusiasme pemain akan Fortnite memang agak menurun. Namun, kesuksesan Fortnite World Cup menunjukkan bahwa masih cukup banyak orang yang tertarik dengan game battle royale tersebut.

Sumber: The Esports Observer, Esports Insider, Dot Esports