FaZe Clan Adakan Turnamen VALORANT Invitational untuk Kawasan Amerika Utara

FaZe Clan bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat turnamen VALORANT sendiri. Turnamen yang akan menjadi bagian dari Ignition Series ini dinamai FaZe Clan VALORANT Invitational. Dua rekan FaZe Clan, Nissan dan Verizon, akan menyediakan US$50 ribu sebagai total hadiah dari turnamen tersebut.

FaZe Clan VALORANT Invitational akan mempertemukan 16 tim VALORANT yang berasal dari kawasan Amerika Utara. Sebanyak 12 tim akan diundang secara langsung ke turnamen tersebut. Sementara empat slot sisanya akan diisi oleh tim-tim yang berhasil lolos babak kualifikasi.

ESPN melaporkan, babak kualifikasi untuk tim amatir tersebut akan diadakan oleh Nerd Street Gamers pada 1 dan 2 Agustus 2020. Sementara turnamen VALORANT  Invitational dari FaZe Clan ini akan diselenggarakan pada 6-9 Agustus 2020. FaZe Clan VALORANT Invitational akan disiarkan di channel Twitch milik FaZe Clan, Nerd Street Gamers, dan channel resmi VALORANT.

FaZe Clan VALORANT Invitational
Jason “JasonR” Ruchelski, kapten tim Valorant dari FaZe Clan. | Sumber: Dexerto

Diluncurkan pada Juni 2020, VALORANT merupakan game terbaru dari Riot Games. Menariknya, bahkan saat game first-person shooter itu masih ada dalam tahap beta, telah ada beberapa organisasi esports yang tertarik untuk membentuk tim profesional. Memang, saat itu, telah ada beberapa turnamen esports dari VALORANT.

Tak mau kalah, FaZe Clan juga mencari pemain bertalenta untuk mewakili mereka di scene esports VALORANT, menurut The Esports Observer. Tim tersebut juga akan tampil di FaZe Clan VALORANT Invitational. Tim VALORANT dari FaZe Clan terdiri dari Jason “JasonR” Ruchelski sebagai kapten, Corey “corey” Nigra, Zachary “ZachaREEE” Lombardo, dan Jimmy “Marved” Nguyen. Tim tersebut duduk di peringkat 4 dalam turnamen T1 Showdown yang diadakan pada Juni lalu.

Meskipun baru diluncurkan, ekosistem esports VALORANT sudah cukup ramai. Faktanya, VALORANT bahkan berhasil menjadi salah satu game esports PC yang paling berpengaruh pada ekosistem esports. Di Indonesia, juga ada beberapa organisasi esports yang telah membuat tim VALORANT, seperti Alter Ego dan BOOM Esports.

Riot Games juga mengaku bahwa mereka tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports VALORANT di Indonesia dan Asia Tenggara. Pada akhir Juni lalu, mereka mengumumkan dua turnamen VALORANT untuk kawasan Asia Tenggara.

Sejarah Street Fighter, Fighting Game yang Telah Berumur Lebih dari 3 Dekade

Jika Anda mengklik artikel ini, kemungkinan, Anda merupakan fans dari Street Fighter atau setidaknya, fans dari fighting game. Kemungkinan besar, Anda pasti mengenal Street Fighter. Dengan begitu, saya berasumsi saya tak lagi perlu memberikan penjelasan tentang apa itu Street Fighter. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu saran. Artikel ini agak panjang, jadi, silahkan Anda cari posisi enak terlebih dulu. Anda juga bisa menyiapkan kudapan atau minuman jika mau.

Jika sudah, silahkan membaca…

 

Awal Mula Street Fighter: Dari Rasa Bosan

Neccessity is the mother of invention. Dalam kasus Street Fighter, bukan “kebutuhan” yang menjadi alasan di balik game ini diciptakan. Awal dari game Street Fighter adalah dari rasa bosan. Ialah Takashi Nishiyama, yang pernah menjabat sebagai Street Fighter Director di Capcom Jepang.

Dalam satu waktu, dia merasa pertemuan antara tim developer dan tim sales berjalan sangat lama, membuatnya bosan. Untuk mengatasi kebosanannya, dia mengkhayal. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal serupa. Mungkin saat Anda masih duduk di sekolah atau universitas. Mungkin juga, hal serupa terjadi saat Anda sudah bekerja. Sebagai seorang developer game, khayalan Nishiyama tentu saja masih seputar game.

“Saya ingat saya tidak terlalu memerhatikan meeting yang berlangsung dan justru mencorat-coret ide di kertas,” kata Nishiyama. “Ketika ide Street Fighter muncul di kepala saya, saya menuangkannya di kertas selama meeting.” Kebetulan, dia duduk di sebelah Yoshiki Okamoto, yang merupakan seorang Producer di Capcom. Dia lalu menunjukkan corat-coretnya pada Okamoto, meminta pendapatnya. Okamoto menjawab bahwa ide Nishiyama menarik.

Nishiyama mengungkap, dia mendapatkan inspirasi untuk Street Fighter dari game Spartan X alias Kung-Fu Master, yang ketika itu memang sedang dia garap. “Saya sedang memikirkan boss fight di game Spartan X dan saya pikir, menarik kalau membuat game tentang pertarungan melawan bos tersebut,” ujarnya. “Bisa dibilang, Spartan X adalah dasar dari konsep Street Fighter.”

Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube
Spartan X alias Kung-Fu Master jadi sumber munculnya ide untuk Street Fighter. | Sumber: YouTube

Nishiyama mengaku, corat-coret yang dia buat selama meeting tidak tersusun rapi. Namun, dia kemudian mengumpulkan semua catatannya dan menjadikannya sebagai dokumen yang koheren. Dia lalu menggunakan dokumen itu untuk meyakinkan para bos Capcom agar mereka mau membuat game Street Fighter.

“Saya lalu menunjukkan dokumen itu pada Matsumoto. Dialah yang merapikan ide saya setelah itu,” ujar Nishiyama. Matsumoto yang dia maksud adalah Hiroshi Matsumoto, Street Fighter Planner, Capcom Jepang. “Setelah itu, dia bertanggung jawab atas semuanya. Saya memang mengawasi proses pengembangan game itu, tapi, Street Fighter adalah game Matsumoto.”

Matsumoto bercerita, setelah Nishiyama menunjukkan idenya akan Street Fighter, dia mulai membayangkan karakter-karakter yang bisa dimasukkan dalam game tersebut. “Saya memikirkan karakter-karakter yang harus kami buat, gaya bertarung dan gerakan mereka,” ungkapnya. “Ketika itu, saya sangat tertarik dengan seni bela diri, walau hanya sebagai hobi. Saya banyak membaca tentang itu. Jadi, saya sangat bersemangat.”

Menurut Nishiyama, salah satu hal yang membuat Street Fighter unik jika dibandingkan dengan game-game lain pada eranya adalah keberagaman karakter yang ada. Selain itu, para karakter di Street Fighter juga memiliki gaya bertarung yang berbeda-beda. “Kita punya tinju, kickboxing, bojutsu, shorinji kempo, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation
Masing-masing gaya bela diri punya teknik yang unik. | Sumber: Swedish Shorinji Kempo Federation

“Jika Anda membuat fighting game dan Anda hanya mengadu dua petinju, game itu akan jadi sangat sederhana, tapi juga membosankan. Lain halnya, jika Anda mengadu petinju melawan kickboxer, misalnya, atau seseorang yang belajar shoroinji kempo, Anda akan melihat berbagai kombinasi unik,” kata Nishiyama. Setelah itu, dia bekerja sama dengan Mtasumoto untuk membuat cerita yang lebih kompleks dari para karakter.

 

Tantangan Dalam Fase Pengembangan

Street Fighter V: Arcade Edition memiliki 28 karakter yang bisa Anda mainkan. Setiap karakter memiliki jurus khusus yang bisa Anda gunakan. Game Street Fighter pertama tidak secakap itu. Selain dari segi grafik, karakter yang bisa Anda mainkan dalam game itu juga jauh lebih sedikit. Faktanya, dalam Street Fighter pertama, Anda hanya bisa memainkan dua karakter: Ryu dan Ken. Sementara karakter-karakter lainnya hanya muncul sebagai musuh. Memang, ketika itu, Ryu dan Ken sudah memiliki special moves. Hanya saja, gerakan para karakter masih sangat kaku.

“Menurut saya, salah satu masalah terbesar dalam membuat game Street Fighter disebabkan karena programmer utamanya bukanlah seorang game programmer,” kata Matsumoto. Dia bercerita, sang programmer utama Street Fighter dulunya adalah seorang teknisi sistem dan bukannya game programmer. Karena itu, dia tidak terlalu paham tentang cara membuat game, bahkan hal-hal dasar sekalipun.

Matsumoto bercerita, hal ini membuatnya kesulitan untuk menyampaikan ide yang dia miliki. Komunikasi begitu sulit sehingga pada akhirnya, dia memutuskan untuk menulis sendiri sebagian kode dari game Street Fighter. “Daripada saya mencoba untuk mengajarkannya cara menulis kode yang saya inginkan, akan lebih cepat jika saya membuat kode itu sendiri,” akunya.

“Sekarang, kita bisa menggunakan berbagai tools untuk membuat animasi. Namun, saat itu, kita harus menggunakan tabel untuk melihat setiap frame animasi dari tiap karakter,” ujar Matsumoto. “Membuat animasi adalah pekerjaan yang membosankan karena Anda harus mengatur setiap frame secara manual. Jika Anda ingin membuat animasi yang bergerak dari satu titik ke titik lain, Anda harus memasukkan semua data secara manual. Dan jika ada revisi, hal itu berarti Anda harus mengulang pekerjaan Anda. Semua itu bukan tugas saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain. Jauh lebih cepat jika saya melakukan semuanya sendiri.”

Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku
Game pertama dari Street Fighter. | Sumber: Kotaku

Meskipun sukses membuat game Street Fighter, Nishiyama masih memiliki satu penyesalan. Dia kecewa karena idenya dan Matsumoto untuk membuat banyak karakter yang bisa dimainkan tak bisa direalisasikan. Karena keterbatasan dana dan waktu, Street Fighter hanya memiliki dua karakter yang bisa dimainkan, yaitu Ryu dan Ken. “Saya ingin menampilkan lebih banyak karakter yang bisa dimainkan,” ujar Nishiyama. “Sayangnya, kami hanya bisa membuat dua.”

Matsumoto memiliki cerita yang sama. Ada banyak karakter yang ingin dia masukkan dalam Street Fighter. Sayangnya, Okamoto lalu memutuskan untuk tidak memasukkan sejumlah ide Matsumoto karena keterbatasan waktu. “Okamoto tertarik dengan pengembangan Street Fighter, walau dia tidak terlibat langsung,” kata Matsumoto. “Dia begitu tertarik dengan proyek itu sehingga dia ikut turun tangan dalam diskusi tentang sensor tekanan yang kami ingin gunakan dalam mesin arcade untuk Street Fighter.”

 

Mesin Arcade Khusus untuk Street Fighter

Nishiyama bercerita, pada tahun 1980-an, Sega dan Namco mendapatkan untung besar dari bisnis mesin arcade. Ketika Capcom mengetahui hal ini, mereka juga ingin mencoba masuk ke bisnis tersebut. Memang, saat itu, Capcom sudah membuat game dan menjualnya pada operator arcade yang ingin mengganti game pada mesin arcade mereka. Hanya saja, Capcom juga mulai tertarik untuk menjual mesin arcade bersamaan dengan game buatan mereka. Street Fighter dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan para operator arcade bahwa Capcom dapat membuat mesin arcade dan game yang unik.

Masalahnya, Capcom tidak mengetahui rahasia Sega dan Namco dalam membuat mesin arcade berukuran besar, yang menjadi produk spesialisasi dari kedua perusahaan itu. Alhasil, Capcom memutuskan untuk membuat mesin arcade yang lebih sederhana dengan fitur unik: tombol yang sensitif pada tekanan. Sayangnya, membuat sensor tekanan tidak mudah. Jadi, Capcom lalu meminta bantuan Atari.

Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon
Mesin arcade untuk Street Fighter pertama. | Ilustrasi: Ken Hata/Atari via The Strong Museum of Play via Polygon

Pada Mei 1987, Capcom mengumpulkan distributor arcade di sebuah gym di Philadephia, Amerika Serikat. Di hadapan para distributor tersebut, Capcom memamerkan Street Fighter beserta mesin arcade dengan desain yang berbeda dari mesin arcade kebanyakan. Mereka sukses membuat para distributor arcade tertarik dengan Street Fighter beserta mesin arcade-nya.

Ketika Street Fighter diluncurkan di arcade, game tersebut hadir dengan mesin khusus. Mesin arcade untuk Street Fighter dilengkapi dengan sebuah joystick dan dua tombol lebar yang sensitif terhadap tekanan. Anda bisa menekan kedua tombol itu untuk melakukan tendangan atau pukulan.

“Idealnya, sensor pada tombol akan bisa mendeteksi seberapa kuat sang pemain menekan tombol tersebut,” kata Nishiyama. “Dan para pemain akan bisa mengeluarkan jurus yang berbeda tergantung pada seberapa kuat mereka menekan tombol itu.”

Masalah Pada Mesin Arcade Street Fighter

Capcom sukses membuat Street Fighter beserta mesin arcade khusus dari game itu. Sayangnya, hal itu bukan berarti Capcom tak menemui masalah baru. Kali ini, masalah Capcom adalah memainkan Street Fighter pada mesin arcade dengan tombol yang sensitif pada tekanan menghabiskan banyak tenaga.

“Tujuan Capcom untuk masuk ke bisnis arcade adalah untuk menjaring banyak konsumen, yang rela menghabiskan uang untuk memainkan game kami sehingga kami bisa mendapatkan untung,” ujar Nishiyama. “Dan kami tidak akan bisa mencapai tujuan itu jika memainkan game yang kami buat membuat para gamer lelah.”

Pada akhirnya, Capcom memutuskan untuk mengubah desain mesin arcade untuk Street Fighter. Mereka mengganti dua tombol yang sensitif pada tekanan dengan enam tombol. Dengan begitu, untuk mengeluarkan jurus yang berbeda, Anda cukup menekan kombinasi tombol yang sama sekali berbeda, tanpa harus mempertimbangkan seberapa kuat Anda menekan tombol tersebut. Keputusan Capcom untuk mengubah desain mesin arcade mereka juga sempat mengalami masalah, khususnya terkait peletakan tombol. Pasalnya, ketika Street Figter pertama kali dirilis, kebanyakan game hanya memerlukan joystick dan dua tombol.

“Kami ingin membuat mesin arcade dengan enam tombol. Kami mendapatkan banyak protes dari tim sales karena mereka khawatir orang-orang tidak akan tahu cara untuk memainkan game dengan enam tombol,” ujar Nishiyama. “Meskipun begitu, pada akhirnya kami tetap meluncurkan mesin arcade dengan enam tombol. Dan kami justru mendapatkan banyak komentar positif dari para konsumen.”

SNK “Membajak” Developer Capcom

Street Fighter pertama memang jadi awal mula dari franchise fighting game tersebut. Namun, ekosistem esports dari Street Fighter baru muncul saat Street Fighter 2 diluncurkan pada 1991. Hanya saja, lagi-lagi, jalan Capcom tak mulus. Tidak lama setelah Street Fighter dirilis, seorang headhunter berhasil meyakinkan Nishiyama untuk meninggalkan Capcom dan bergabung dengan SNK. Seolah itu tidak cukup buruk, Nishiyama juga mengajak Matsumoto dan sebagian besar timnya ke SNK. Hal ini membuat hubungan antara kedua perusahaan memburuk.

Dalam beberapa tahun ke depan, persaingan antara Capcom dan SNK memanas. Kedua perusahaan tidak hanya mengembangkan game yang mirip, mereka juga menyelipkan ledekan dalam game mereka. Menariknya, hubungan antara pekerja Capcom dan SNK justru tidak mengalami masalah. Ada banyak developer dari kedua perusahaan yang berasal dari sekolah yang sama atau bermain di arcade yang sama. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga masih sering hang out setelah kerja. Bahkan ada seorang developer SNK yang menikah dengan seseorang yang bekerja di Capcom.

“Saya pikir, memang ada persaingan antara SNK dan Capcom pada era 1980-an,” ungkap Nishiyama. “Tsujimoto dari Capcom dan Kawasaki dari SNK pada awalnya merupakan teman. Namun, hubungan mereka memburuk karena ada sesuatu yang terjadi.” Dua orang yang Nishiyama bicarakan adalah Kenzo Tsujimoto, CEO Capcom dan Eikichi Kawasaki, pendiri SNK.

Setelah Nishiyama bekerja di SNK, dia membuat fighting game baru, Fatal Fury. Dia berkata, jika dia bertahan di Capcom, kemungkinan, sekuel dari Street Fighter akan mirip dengan Fatal Fury. Timnya juga terus berusaha untuk mengeksplor cerita dari masing-masing karakter dalam game itu. Dia juga memperkenalkan konsep baru dalam fighting game, misalnya, kemampuan untuk melompat dari background ke foreground atau sebaliknya.

Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull
Ultra Street Fighter 2. | Sumber: RedBull

Sementara itu, Capcom membuat sekuel dari Street Fighter. Tim developer untuk Street Fighter 2 dipimpin oleh Yoshiki Okamoto. Dalam sekuel Street Fighter, dia berhasil memperbaiki hampir semua aspek dari game pertama, mulai dari tampilan game, gameplay, sampai jumlah karakter yang bisa dimainkan.

Bagaimana Street Fighter Jadi Game Esports?

Komunitas esports dari Street Fighter mulai muncul setelah Capcom merilis Street Fighter 2. Game itu diluncurkan untuk arcade pada 1991. Satu tahun kemudian, game tersebut bisa dimainkan di konsol. Turnamen grassroots mulai muncul di berbagai arcade lokal, khususnya di Jepang dan pesisir Barat dan Timur dari Amerika Serikat.

Pada 2004, muncul dua pemain bintang di scene esports Street Fighter, yaitu Justin “Marvellous” Wong dan Daigo “The Beast” Umehara. Pertarungan antara keduanya sempat menjadi viral, membuat turnamen Street Fighter menjadi semakin populer. Ketika itu, Daigo menggunakan Ken sementara Justin memainkan Chun-Li. Justin berhasil mendesak Daigo, yang health bar-nya sudah sangat tipis. Namun, Daigo berhasil membalikkan keadaan. Dia tidak hanya berhasil menangkis serangan Justin, dia juga dapat meng-KO lawannya.

Banyak orang percaya, pertarungan antara Daigo dan Justin tersebut membuat banyak orang kembali tertarik tidak hanya dengan turnamen Street Fighter, tapi juga scene esports dari fighting game.

Pada 2008, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk arcade  di Jepang. Saat itu, banyak fans Street Fighter yang mengira bahwa Capcom tak lagi tertarik dengan franchise tersebut. Tak heran, mengingat terakhir kali Capcom merilis game Street Fighter adalah pada 1999, yaitu Street Fighter III: 3rd Strike. Namun, Producer Capcom, Yoshinori Ono berhasil meyakinkan perusahaan untuk menghidupkan kembali franchsie Street Fighter. Pada 2009, Capcom merilis Street Fighter 4 untuk konsol. Keputusan Capcom tersebut berhasil menghidupkan kembali scene esports dari game tersebut.

“Alasan utama mengapa kami meluncurkan Street Fighter 4 adalah karena banyak media yang membahas game tersebut dan minat fans akan game Street Fighter yang tidak ada habisnya,” kata Ono. “Ketika itu, saya hanya ingin membuat game yang bisa ditonton oleh keluarga saat saya memainkannya. Scene esports Street Fighter sekarang mungkin terlahir dari konsep ini. Namun, ketika itu, saya tidak memiliki rencana sejauh itu.”

Sementara itu, Matt Dahlgren, Product Manager, Capcom mengatakan, melalui Street Fighter 4, Capcom mencoba untuk mengembalikan fitur-fitur dalam Street Fighter 2 yang membuat game itu sangat disukai oleh banyak orang, seperti sistem Focus Attack.

Sejak peluncuran Street Fighter 4, komunitas fighting game terus tumbuh. Evolution Championship Series alias Evo kini menjadi salah satu turnamen fighting game terbesar. Jumlah penonton Evo, baik yang menonton secara langsung langsung maupun secara online, terus naik. Seiring dengan semakin populernya Evo, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor dari turnamen itu.

Semakin populernya turnamen fighting game menarik perhatian sejumlah publisher game. Sebagian dari mereka memutuskan untuk memasukkan game mereka dalam kompetisi seperti Evo. Dan ketika Capcom mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan penerus dari Street Fighter 4, para pemain profesional dan penyelenggara turnamen sibuk untuk mengembangkan scene esports dari fighting game agar menjadi semakin profesional.

Pada 2013, Capcom mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan liga profesional premier sendiri, yaitu Capcom Pro Tour. Kompetisi tersebut akan melibatkan sejumlah turnamen internasional yang disponsori oleh Capcom. Saat Capcom merilis Street Fighter 5 pada 2016, Capcom memanfaatkan momentum untuk mengembangkan komunitas Street Fighter.

 

Penutup

Street Fighter sukses menjadi salah satu franchise game paling sukses. Sekarang, komunitas esports dari game ini juga terus berkembang. Berbagai turnamen Street Fighter ada di skala global, menarik banyak sponsor. Hal ini akan membuat ekosistem esports Street Fighter dapat bertahan. Dan esports bisa menjadi alat marketing yang baik bagi sebuah game untuk menarik gamer baru.

Sumber: Polygon, RedBullThe Esports Observer

Sumber header: PlayStation

Adakan Ferrari Hublot Esports Series, Ferrari Cari Talenta Muda

Ferrari mengumumkan bahwa mereka akan membuat turnamen esports sendiri, yaitu Ferrari Hublot Esports Series. Pada awalnya, turnamen simulasi balapan ini hanya terbuka untuk warga Eropa yang berumur 18 tahun ke atas. Namun, ke depan, Ferrari berencana untuk mengadakan kompetisi tersebut di kawasan lain. Pendaftaran untuk Ferrari Hublot Esports Series akan dibuka pada 7 Agustus 2020. Pemenang dari turnamen tersebut akan bisa bergabung dengan tim akademi Ferrari.

Ferrari Hublot Esports Series terbagi dalam dua kategori, yaitu AM Series untuk sim racer amatir dan Pro Series untuk sim racer profesional. Balapan pertama untuk kategori amatir dan profesional akan diadakan pada September 2020. Sebanyak 12 pemain tercepat dari masing-masing kategori akan ikut serta dalam 4 balapan yang diadakan pada Oktober 2020. Sementara itu, babak final akan diadakan pada November 2020. Dalam babak final, para finalis harus mengikuti tiga balapan.

Ferrari Hublot Esports Series
Ferrari memutuskan untuk mengadakan turnamen esports sendiri. | Sumber: Ferrari

Dalam Ferrari Hublot Esports Series, para peserta akan beradu menggunakan platform simulasi racing Assetto Corsa. Sementara mobil yang harus mereka gunakan adalah Ferrari 488 Challenge Evo. Perusahaan pembuat jam asal Swiss, Hublot, menjadi title sponsor dari turnamen esports ini. Selain itu, Ferrari juga akan bekerja sama dengan perusahaan aksesori gaming, Thrustmaster, yang menjadi rekan teknis Ferrari dalam kompetisi simulasi balapan ini.

Ferrari cukup lambat untuk memasuki dunia esports. Mereka menjadi tim F1 terakhir yang memutuskan untuk mengikuti F1 Esports Series pada 2019. Meskipun begitu, mereka berhasil memenangkan turnamen tersebut berkat sim racer David Tonizza, menurut laporan ESPN.

“Setelah ikut serta dalam F1 Esports Series, masuk akal jika kami maju ke langkah berikutnya dan menyelenggarakan turnamen esports sendiri, yaitu Ferrari Hublot Esports Series,” kata Nicola Boari, Chief Brand Diversification Officer, Ferrari, seperti dikutip dari Esports Insider. “Turnamen ini ditujukan untuk para penonton muda. Kompetisi tersebut juga membuka kesempatan bagi para sim racer untuk menjadi pembalap simulasi profesional.”

Ferrari bukanlah perusahaan otomotif pertama yang memutuskan untuk membuat turnamen esports sendiri. Pada Juni 2020, Lamborghini bekerja sama dengan Assetto Corsa Competizione untuk mengadakan kompetisi simulasi balapan The Real Race. Memang, selama pandemi virus corona, esports balapan tumbuh dengan pesat. Semakin banyak turnamen simulasi balapan yang diadakan. Sebagian dari kompetisi itu juga disiarkan di televisi.

Pentingnya Fisioterapi untuk Atlet Esports

Menjadi atlet esports tidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang. Salah satu masalah yang harus dihadapi oleh para pemain profesional adalah tekanan mental. Tekanan mental yang dihadapi oleh seorang pemain profesional sama seperti atlet Olimpiade. Selain itu, jika tidak hati-hati, atlet esports juga bisa terkena cedera. Rotaract Club of Government College of Physiotheraphy menyelenggarakan webinar Game-O pedia untuk membahas tentang cedera yang mungkin dialami oleh atlet esports dan cara menanggulanginya.

Caitlin McGee, Dokter Terapi Fisik di 1HP Gaming dan Terapis Fisik di ATI Physical Therapy menjadi salah satu pembicara dalam webinar tersebut. Dia bercerita, saat ini, para pemain profesional mulai menyadari bahwa terapi tidak hanya bermanfaat untuk menyembuhkan cedera tapi juga dapat mencegah cedera atau bahkan meningkatkan performa para pemain. Dia memberikan contoh pentingnya dari meditasi dan latihan pernafasan.

fisioterapi di esports
Terapi tak hanya bisa menangani cedera, tapi juga mencegah cedera. | Sumber: Animation Express

“Penting bagi para pemain esports untuk dapat mengatur emosi mereka. Jadi, saya pikir, meditasi, yoga, dan latihan pernafasan dapat membantu para pemain untuk mengendalikan emosi mereka dan juga meminimalisir masalah fisik yang muncul karena stres. Misalnya, Anda bisa memperdalam nafas Anda, memperlambat detak jantung Anda sehingga Anda tidak merasa terlalu berdebar-debar,” kata McGee, menurut laporan Animation Express. Lebih lanjut McGee menjelaskan, dengan menenangkan diri, seorang atlet esports dapat meningkatkan akurasi mereka dan membuat keputusan lebih baik.

Pembicara lain yang hadir dalam webinar itu adalah Raul Ramirez, Dokter Terapi Fisik di AccentCare. Bersama McGee, Ramirez membahas tentang pentingnya postur yang baik saat atlet esports bermain game, baik game PC, konsol, maupun mobile. Pasalnya, bermain dalam waktu lama dengan postur tubuh yang buruk dapat menyebabkan cedera pada punggung dan leher. Salah satu cara yang bisa pemain profesional lakukan untuk mencegah cedera adalah dengan melakukan peregangan sebelum bermain.

fisioterapi esports
Beberapa pemanasan yang bisa pemain esports lakukan. | Sumber: Animation Express

Ramirez mengatakan, idealnya, ketika hendak bermain dalam waktu lama, seorang atlet esports duduk dalam postur netral, yang memungkinkan mereka untuk mengubah posisi. Dia menjelaskan, postur netral juga tidak membebankan otot-otot para pemain.

“Misalnya, saat bermain game di PC, Anda akan meletakkan satu tangan di atas keyboard dan satu tangan di mouse. Biasanya, masalah terjadi pada bagian belakang tangan. Namun, jika kita memperbaiki posisi duduk menjadi postur netral, tangan kita akan memiliki ruang untuk bergerak ke samping, sehingga otot pada area tangan tidak terlalu terbebani,” ujar Ramirez.

Sayangnya, tidak semua pemain esports peduli akan postur yang baik saat bermain, terutama karena kebanyakan pemain esports masih sangat muda. McGee mengaku, kebanyakan pemain esports memang hanya peduli untuk latihan bermain game, yang bisa menghabsikan waktu selama lima sampai delapan jam sehari. Namun, seorang terapis harus tahu apa yang para atlet esports inginkan dan bagaimana cara dia bisa membantu mereka.

McGee juga mengungkap, seorang terapis juga sebaiknya tidak meminta para pemain esports untuk melakukan perubahan drastis pada pola hidup mereka. Sebagai gantinya, dia menyarankan agar para terapis fokus pada salah satu masalah yang dihadapi oleh seorang pemain profesional. McGee memberikan contoh, jika seorang pemain punya masalah karena dia tidak melakukan olahraga cukup dan punya masalah dengan pola tidur, maka seorang terapis sebaiknya fokus untuk menyelesaikan salah satu masalah tersebut.

“Di komunitas esports, para pemain profesional skeptis akan manfaat yang bisa mereka dapatkan dari gaya hidup yang sehat,” ujar Ramirez. “Namun, begitu mereka melihat bukti nyata dari pola hidup sehat, mereka akan lebih tertarik untuk mencobanya.” Dia juga menjelaskan, melakukan pemanasan juga bisa membantu para pemain untuk fokus pada game. Beberapa pemanasan rutin yang dia contohkan antara lain menggenggam stress ball, memutar pergelangan tangan, dan memutar bagian pundak.

Sumber header: Engadget

Global Esports Federation Berkolaborasi dengan Global Sports Innovation Center

Global Esports Federation (GEF) mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Global Sports Innovation Center (GSIC). Melalui kerja sama ini, GEF akan memanfaatkan wawasan milik GSIC untuk mengembangkan esports, khususnya dalam hal interaksi antara para pemain profesional dengan para atlet. Selain itu, GEF juga akan belajar dari GSIC untuk membuat pengalaman menonton pertandingan esports menjadi lebih baik.

“Di tengah pandemi, ketahanan esports sebagai industri telah terbukti,” kata GSIC General Manager, Iris Cordoba, menurut laporan Inside the Games. “Industri olahraga kini mulai menyadari bahwa batasan antara olahraga tradisional dengan esports telah semakin mengabur. Kami tidak sabar untuk bekerja sama dengan GEF untuk mendukung munculnya inovasi di dunia esports dan menyatukan industri esports dengan olahraga tradisional.”

GEF GSIC
GSIC bertujuan membantu organisasi olahraga menggunakan teknologi. | Sumber: Inside the Game

Didukung oleh Microsoft, GSIC adalah organisasi yang bertujuan untuk membantu organisasi olahraga tradisional dalam memasuki dunia digital. Sementara GEF adalah federasi yang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kredibilitas esports. Federasi tersebut didirikan pada Desember 2019 dengan dukungan Tencent. Meskipun di tengah pandemi virus corona, GEF aktif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai pihak.

Pada Juni 2020, GEF membuat aliansi dengan Olympic Council of Asia. Tujuan kolaborasi tersebut adalah untuk memaksimalkan potensi esports dengan menginspirasi generasi muda di Asia. Pada bulan yang sama, GEF juga mengumumkan kerja sama mereka dengan Dentsu. Kali ini, tujuan GEF dan Dentsu adalah untuk mempromosikan perkembangan esports secara global.

“Beberapa tahun belakangan, industri esports terus tumbuh. Dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan ekspansi,” kata Chris Overholt, Charmain dari GEF Digital Technology and Innovation Commission. “Kerja sama dengan GSIC memungkinkan GEF untuk memperkuat hubungan antara esports dan olahraga tradisional melalui penggunaan teknologi yang bertanggung jawab. Kami tidak sabar melihat masa depan dari esports. Melalui kolaborasi ini, kami juga bisa menambah wawasan kami dan memperkuat posisi kami sebagai pemimpin.”

Memang, GEF bukanlah asosiasi esports pertama yang didirikan. Sebelum keberadaan GEF diumumkan pada akhir 2019, telah ada International Esports Federation (IeSF) yang berpusat di Korea Selatan. Namun, ketika itu, pihak GEF mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk bersaing dengan IeSF.

Perusahaan Induk ESL Umumkan Laporan Keuangan untuk Q2 2020, Masih Merugi

Modern Times Group (MTG), induk perusahaan dari ESL dan DreamHack, baru saja mengumumkan laporan keuangan Q2 2020 mereka. Dalam laporan itu, mereka menyebutkan bahwa pemasukan mereka dalam tiga bulan terakhir mencapai 1,1 miliar krona (sekitar Rp1,8 triliun), sama seperti pemasukan MTG pada Q2 2019.

Sementara itu, pengeluaran MTG sepanjang Q2 2020 mencapai 992 juta krona (sekitar Rp1,65 triliun), turun 4 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dengan begitu, MTG masih mengalami kerugian sebesar 19 juta krona (sekitar Rp31,6 miliar). Jika dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh MTG pada tahun lalu, mencapai 38 juta krona (sekitar Rp63,2 miliar), kerugian mereka pada pada kuartal ini mengalami penurunan.

Sama seperti Q1 2020, keuangan MTG pada Q2 2020 masih terdampak oleh pandemi virus corona, yang memaksa banyak penyelenggara turnamen esports untuk menunda atau membatalkan turnamen yang hendak mereka adakan. Intel Grand Slam merupakan salah satu acara esports yang harus ditangguhkan karena virus corona. Sebagian penyelenggara terpaksa harus mengadakan turnamen secara online.

laporan keuangan MTG Q2 2020
Intel Extreme Masters Chicago 2018. | Sumber: Intel Extreme Masters

Meskipun begitu, dua perusahaan anak MTG, ESL dan DreamHack, berhasil menjalin beberapa kerja sama baru sepanjang Q2 2020. Mereka berhasil menjadikan Twitch sebagai rekan. Sementara di Tiongkok, ESL dan DreamHack punya kerja sama dengan HUYA. ESL dan DreamHack juga berkolaborasi dengan Epic Games untuk membuat sekumpulan turnamen yang menyertakan Fortnite. Mereka juga bekerja sama dengan developer Psyonix untuk membuat turnamen Rocket League Championship Series Season X.

“Kami berhasil membuat scene esports menjadi semakin profesional dengan mengajak lebih banyak perusahaan untuk menjadi sponsor turnamen kami, walau sekarang adalah masa-masa sulit,” kata Presiden dan CEO MTG, Jørgen Madsen Lindemann, menurut laporan The Esports Observer. “Fokus kami adalah untuk menyelenggarakan turnamen esports secara online, agar minat akan industri esports tidak surut.”

Lebih lanjut dia menjelaskan, keuangan perusahaan pada semester pertama 2020 lebih baik dari perkirakan. Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah perjanjian kerja sama dengan rekan media seperti Twitch. Alasan lainnya adalah karena mereka mendapatkan pemasukan lebih dari menyediakan jasa layanan esports. “Faktor yang tidak kalah penting adalah kemampuan kami untuk menekan biaya pengeluaran,” ujarnya.

Pada semester dua 2020, MTG memperkirakan, pemasukan divisi esports akan mengalami penurunan 30-40 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019. Pasalnya, mereka menduga, turnamen esports offline masih akan sulit untuk diselenggarakan akibat pandemi virus corona. Sebagai antisipasi dari pemasukan yang lebih kecil, MTG akan menekan pengeluaran tetap dari ESL dan DreamHack. Dari penghematan itu, mereka memperkirakan, mereka akan bisa menghemat hingga 325 juta krona (sekitar Rp540,3 miliar).

Sumber header: Emerging Europe

T1 Kerja Sama dengan Hana Bank, Buat Produk Finansial untuk Fans Esports

T1 Entertainment & Sports, organisasi esports joint venture dari SK Telecom dan Comcast, mengumumkan bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, keduanya akan mengembangkan produk finansial untuk fans esports yang masih relatif muda. Selain itu, T1 juga akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank, Hana 1Q, pada jersey mereka.

“Dengan melakukan kolaborasi bersama T1, Hana Bank berusaha untuk menjangkau konsumen muda, meningkatkan kesadaran masyarakat akan keberadaan aplikasi Hana 1Q, dan memperluas cakupan industri finansial melalui esports,” kata Head of Future Finance Projects, Hana Bank, Yeom Jeong-ho, seperti dikutip dari Esports Insider.

t1 hana bank
Hana Bank boleh menamai lantai pertama dari markas T1 di Seoul.

Dari kerja sama dengan T1, Hana Bank juga mendapatkan hak untuk menamai lantai pertama dari markas T1 di Gangnam, Seoul. Mereka memutuskan untuk menggunakan nama Hana 1Q-T1 Hall of Fame. Terakhir, para pemain T1 akan mendapatkan layanan finansial dan asuransi untuk cedera dari Hana Bank.

“Saya senang karena saya dan teman-teman pemain profesional di T1 mendapatkan kesempatan untuk mempersiapkan masa depan kami melalui kerja sama dengan Hana Bank ini,” kata Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain League of Legends dari T1. Faker dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik dunia. Dia memperpanjang kontraknya dengan T1 selama tiga tahun pada Februari 2020. Setelah dia pensiun sebagai pemain profesional, dia akan langsung masuk menjadi bagian tim eksekutif dari T1.

Beberapa tahun belakangan, semakin banyak perusahaan non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor esports. Misalnya, perusahaan otomotif BMW yang menjadi sponsor dari T1 dan beberapa organisasi esports lainnya. Sama seperti Hana Bank, tujuan BMW bekerja sama dengan T1 adalah untuk meningkatkan kesadaran generasi muda akan merek mereka.

Tim League of Legends T1 dianggap sebagai salah satu tim terbaik dunia. Pasalnya, mereka telah memenangkan tiga League of Legends World Championships. Selain itu, mereka juga telah memenangkan League of Legends Champions Korea sebanyak delapan kali. Tak hanya di League of Legends, T1 juga memiliki tim yang bertanding di StarCraft II, PUBG, dan Fortnite.

Viewership Facebook Gaming dan Twitch Masih Naik Selama Q2 2020

Pada Q1 2020, viewership dari berbagai platform streaming game ,seperti Facebook Gaming dan Twitch, mengalami kenaikan karena pandemi virus corona, yang membuat banyak orang harus tetap di rumah. Memasuki Q2 2020, dampak karantina dan lockdown di berbagai negara masih terasa. Viewership dari Twitch dan Facebook Gaming masih mengalami kenaikan pada Q2 2020, menurut laporan dari StreamElements, yang bekerja sama dengan Arsenal.gg, rekan analitik mereka.

Pada Mei 2020, Facebook Gaming mengungkap bahwa jumlah penonton di Indonesia naik hingga 210 persen. Dalam skala global, total hours watched dari Facebook Gaming pada Q2 2020 naik 75 persen jika dibandingkan dengan pada Q1 2020. Menurut laporan Games Industry, total hours watched Facebook Gaming mencapai puncaknya pada Mei 2020, dengan total jam ditonton sampai 342 juta jam. Namun, angka itu mengalami sedikit penurunan pada Juni 2020, menjadi 334 juta jam.

Sama seperti Facebook Gaming, Twitch juga melihat kenaikan viewership pada Q2 2020. Pada Q2 2020, total hours watched dari Twitch mencapai 5,2 miliar, naik 56 persen dari Q1 2020. Sementara jika dibandingkan dengan Q2 2019, total hours watched dari video Twitch mengalami kenaikan sebesar 86 persen.

facebook gaming twitch
Salah satu streamer terpopuler di Twitch, Félix “xQc” Lengyel. | Sumber: Dot Esports

Jumlah hours watched dari Twitch mencapai puncaknya pada April 2020. Ketika itu, total durasi video ditonton menembus 1,8 miliar jam. Pada Mei dan Juni, angka total hours watched di Twitch mengalami sedikit penurunan. Namun, secara keseluruhan, jumlah durasi video ditonton di Twitch pada Q2 2020 mengalami kenaikan.

Soal tren di industri streaming selama Q2 2020, CEO StreamElements, Doron Nir mengatakan, StreamElements melihat kenaikan viewership yang cukup signifikan dalam kategori non-gaming pada Twitch, khususnya kategori Just Chatting, Music, dan Travel & Outdoors. Melihat hal ini, tidak heran jika Twitch memutuskan untuk menambahkan kategori Sports untuk menyiarkan konten olahraga tradisional.

Tren lain di Twitch adalah beragamnya kewarganegaraan para streamer top. Berdasarkan total hours watched, streamer paling populer adalah Gaules dari Brasil, diikuti oleh xQc dari Kanada, AuronPlay dari Spanyol, Pestily dari Australia, dan Tyler1 dari Amerika Serikat.

“Empat streamer top Twitch semua berasal dari luar Amerika Serikat. Streamer Spanyol, Portugis, dan Prancis, semua masuk dalam 10 streamer top,” ujar Nir, menurut laporan Games Industry. “Facebook Gaming juga berhasil mendapatkan streamer top dari Asia dan Amerika Latin. Penonton internasional menjadi pendorong kenaikan viewership dari platform tersebut. Sepuluh streamer terbaik mereka juga berasal dari luar Amerika Serikat.”

Omega League Buat Divisi Asia, Total Hadiah Rp593 Juta

Omega League melebarkan sayapnya ke Asia. Pandemi virus corona membuat berbagai turnamen esports dibatalkan atau ditunda, termasuk The International. Valve memutuskan untuk menunda The International 10 ke 2021. Tanpa turnamen tahunan paling bergengsi itu, scene esports Dota 2 menjadi sepi.

Tim-tim Dota 2 asal Eropa lalu bekerja sama dengan Epic Esports Events dan WePlay! Esports untuk mengadakan Omega League. Hanya saja, saat Omega League diumumkan, turnamen itu hanya diadakan untuk kawasan Eropa dan Amerika. Namun, sekarang, mereka memutuskan bahwa mereka juga akan mengadakan kompetisi untuk tim-tim di Asia. Total hadiah yang ditawarkan untuk turnamen Omega League Asia mencapai US$40 ribu (sekitar Rp593 juta).

“Kami mengumumkan Omega League pada minggu lalu. Dan turnamen itu akan diadakan untuk kawasan Eropa dan Amerika. Sekarang, dengan bangga kami mengumumkan bahwa para pemain dari Tiongkok dan Asia Tenggara juga akan bisa ikut berpartisipasi dalam turnamen ini,” kata Lead Esports Manager, WePlay! Esports, Anton “WarLock” Tokarev, seperti dikutip dari Hotspawn. “Dengan bergabungnya dua region baru ini, Omega League akan benar-benar menjadi turnamen global.”

Omega League Asia akan diikuti oleh 12 tim esports: 6 berasal dari Tiongkok dan 6 lainnya berasal dari Asia Tenggara. Sejauh ini, telah ada delapan tim yang diundang. Empat slot lainnya akan diisi oleh dua tim yang lolos babak kualifikasi Tiongkok dan dua tim yang lolos babak kualifikasi Asia Tenggara. Babak group stage dari Omega League Asia akan dimulai pada 1 Agustus 2020 sampai 20 Agustus 2020. Sementara babak playoff akan diselenggarakan pada 12-22 Agustus 2020.

Delapan tim yang diundang dalam Omega League Asia antara lain:

Divisi Tiongkok:

  • Ocean
  • Blaze
  • EHOME.Immortal
  • Aster.Aries

Divisi Asia Tenggara

  • Neon Esports (Filipina)
  • Reality Rift (Singapura)
  • Adroit (Filipina)
  • Cignal Ultra (Filipina)

“Seperti yang kami sebutkan sebelum ini, kami ingin agar Omega League menjadi acara yang tak terlupakan bagi fans Dota 2,” kata juru bicara Epic Esports Events, Mark Averbukh. “Kami tidak bisa membayangkan turnamen Dota 2 internasional tanpa disertakannya salah satu region paling kuat! Bersama dengan WePlay! Esports, kami bisa mengadakan turnamen yang mengadu tim-tim terbaik dari tiga kawasan.”

Guild Esports Milik David Beckham Bakal Berlaga di Liga Rocket League

Guild Esports mengumumkan bahwa mereka akan berlaga di liga Rocket League, RLCS X. Rocket League Championship Series (RLCS) telah diadakan selama sembilan musim. Pada RLCS X, Psyonix memutuskan untuk merombak sistem RLCS, menjadi sistem sirkuit terbuka, memungkinkan lebih banyak tim untuk berlaga di dalamnya.

Tim Rocket League dari Guild Esports terdiri dari Joseph “Noly” Kidd, Thomas “ThO” Binkhorst, dan Kyle “Scrub Killa” Robertson. Sementara itu, Mike “Gregan” Ellis akan menjadi pelatih mereka. Guild Esports mengatakan bahwa mereka memilih ketiga pemain tersebut dengan sangat hati-hati.

guild esports rocket league
Rocket League adalah game yang menggabungkan elemen sepak bola dengan mobil. | Sumber: Essentially Sports

Baik Kidd dan Binkhorst merupakan mantan pemain Team Singularity. Sementara Robertson pernah bermain untuk Vitality dan mousesports sebelum bergabung dengan Guild Esports. Bersama Vitality, dia pernah memenangkan RLCS Season 7 – Eropa dan RLCS Season 7 – Finals pada 2019. Sama seperti Robertson, Ellis juga pernah menjadi bagian dari tim Rocket League dari Vitality. Sebagai pelatih Ellis berhasil membawa Vitality memenangkan RLCS Season 7 serta menjadi runner up dari RLCS Season 8 – Eropa dan RLCS Season 8 – Finals.

“Tujuan dari Guild Esports adalah untuk mencoba memenangkan setiap pertandingan dan turnamen yang kami ikuti serta untuk memberikan usaha terbaik kami,” kata Robertson pada Daily Esports. “Kami ingin menjadi yang terbaik. Dan saya merasa, tim ini akan bisa mencapai hal itu dan menjadi tim terbaik di dunia.”

Guild Esports merupakan organisasi esports asal Inggris. Pada akhir Juni 2020, David Beckham menanamkan investasi di organisasi tersebut. Ketika itu, dia juga mengumumkan bahwa dia akan menjadi co-owner dari Guild Esports.

Menurut laporan The Esports Observer, Beckham akan turun tangan langsung dalam menangani tim Rocket League dari Guild Esports. Mantan pesepak bola itu akan membantu mereka dalam mengatasi stres serta masalah mental lainnya. Memang, menjadi atlet esports tidak mudah. Mereka harus siap menghadapi beban mental yang sama seperti atlet Olimpiade. Selain itu, Beckham juga akan membantu para pemain Rocket League dari Guild Esports untuk memiliki gaya hidup yang sehat.