Apa sajakah Metrik di Esports yang Bisa Digunakan untuk Mengukur Kesuksesannya?

Beberapa tahun belakangan, esports menjadi kian populer, baik sebagai kompetisi maupun sebagai konten hiburan. Seiring dengan meroketnya popularitas esports, semakin banyak juga perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor atau investor bagi pelaku esports. Perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak melulu perusahaan yang bergerak di bidang game atau esports. Semakin banyak perusahaan besar non-endemik yang mulai tertarik untuk masuk ke dunia esports. Sebut saja BMW yang langsung menggandeng 5 organisasi esports sekaligus, atau Lamborghini yang mengadakan turnamen balapan esports sendiri.

Tidak heran jika semakin banyak perusahaan yang tertarik untuk masuk ke industri esports, mengingat Newzoo memperkirakan nilai industri esports akan menembus US$1 miliar pada tahun 2020. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi pemasukan utama dari organisasi esports dan kebanyakan pelaku esports belum mendapatkan untung. Namun, para investor tetap percaya, industri esports akan menjadi industri besar di masa depan. Salah satu alasannya adalah karena jumlah penonton yang terus naik.

Di Indonesia, populer atau tidaknya sebuah program televisi ditentukan oleh rating yang dikeluarkan oleh Nielsen. Menurut laporan CNN Indonesia, untuk mengukur rating, Nielsen memasang alat khusus bernama people meter di 2.273 rumah tangga sebagai sampel. Ribuan sampel itu tersebar di 11 kota besar. Namun, metode untuk menentukan popularitas konten esports tidak sama dengan rating televisi. Pasalnya, sebagian besar konten esports ditayangkan di platform streaming, seperti YouTube, Facebook Gaming, serta Twitch; bukannya televisi.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon

Di platform streaming, tidak ada “rating” yang menentukan popularitas sebuah video, yang ada adalah jumlah view. Namun, jumlah view bukanlah satu-satunya metrik yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat popularitas sebuah turnamen atau game esports. Ada beberapa satuan lain yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports.

Apa saja metrik yang digunakan untuk mengetahui popularitas esports?

AMA (Average Minute Audience)

AMA, yang juga dikenal dengan sebutan Average Concurrent Viewers (AVC) adalah metrik yang paling sering digunakan untuk menentukan tingkat popularitas konten esports. Ada dua cara untuk menghitung AMA. Pertama, membagi total jam video ditonton dengan durasi video. Kedua, menghitung rata-rata jumlah penonton pada setiap menit dari video. Salah satu alasan mengapa AMA menjadi metrik terpopuler adalah karena ia bisa dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton, yang biasa digunakan pada televisi.

Ketika masih menjabat sebagai Managing Director di Nielsen Esports, Nicole Pike menjelaskan bahwa menggunakan AMA untuk menghitung viewership memudahkan pengiklan mengerti tingkat popularitas konten esports. “Kami menggunakan metrik AMA agar para perusahaan dapat membandingkan data kami dengan jumlah penonton rata-rata dari berbagai acara televisi yang mereka tahu,” ujar Pike pada Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports, Newzoo setuju dengan perkataan Pike. “AMA memudahkan Anda untuk mengetahui program mana yang memiliki viewership lebih tinggi,” katanya. Dia menambahkan, AMA juga membantu pengiklan untuk tahu lama durasi sebuah konten. Sayangnya, AMA bukanlah metrik sempurna untuk mengetahui popularitas konten esports.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO Esports Charts berkata, “AMA tidak bisa digunakan untuk membandingkan turnamen esports dari game yang berbeda-beda, seperti Fortnite World Cup (FWC) dan League of Legends World Championship (LWC).” Alasannya, dua turnamen tersebut memiliki format yang sama seklai berbeda. Dia menjelaskan, jika membandingkan FWC dan LWC dari segi AMA, FWC akan mendapatkan nilai yang lebih bagus. Bukan karena Fortnite lebih populer sebagai game esports, tapi karena LWC memiliki babak Play-In dan Group Stages, yang memperpanjang durasi turnamen tersebut. “Metrik AMA hanya bisa digunakan untuk membandingkan turnamen pada tahap yang sama. Misalnya, pada babak akhir atau group stages,” ujar Odintsov.

Menurut Games Impact Index yang dibuat oleh The Esports Observer pada Q1 2020, League of Legends masih menjadi game esports paling berpengaruh pada ekosistem esports, diikuti oleh Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, dan Fortnite. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan daftar tersebut, seperti jumlah pemain aktif bulanan, jumlah total hadiah turnamen, jumlah jam ditonton, jumlah turnamen, dan lain sebagainya.

Odintsov mengatakan, jika hanya menggunakan AMA sebagai tolak ukur popularitas game esports, League of Legends dan CS:GO mungkin justru tidak akan mendapatkan nilai paling baik karena dua game tersebut memiliki banyak turnamen. “Game dengan sistem turnamen terpusat seperti Overwatch mungkin justru terlihat lebih populer daripada LoL dan CS:GO hanya karena Overwatch tidak memiliki banyak turnamen,” ungkapnya.

Unique Viewers

Selain AMA, metrik lain yang biasa digunakan di dunia esports adalah Unique Viewers. Biasanya, metrik ini digunakan untuk mengetahui berapa banyak orang yang menonton sebuah konten esports dan berapa lama dia menonton video tersebut. Rietkerk mengatakan, metrik Unique Viewers biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari sebuah kampanye marketing.

Memang, Unique Viewers akan memudahkan sponsor untuk mengetahui apakah kampanye marketing mereka jalankan sukses atau tidak. Sementara bagi publisher game, Unique Viewers membantu mereka untuk tahu berapa banyak orang yang tertarik dengan game mereka. Masalahnya, sulit untuk membandingkan metrik Unique Viewers dengan metrik yang biasa digunakan di televisi.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus

“Muncul klaim bahwa League of Legends World Championship lebih populer dari Super Bowl, tapi ketika Anda meneliti datanya, Anda menemukan bahwa popularitas Super Bowl dihitung menggunakan metrik jumlah rata-rata penonton sementara LWC menggunakan Unique Viewers,” kata Pike. “Padahal, keduanya adalah metrik yang sama sekali berbeda dan tidak seharusnya dibandingkan.”

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users mengacu pada jumlah penonton tertinggi dari sebuah siaran. Odintsov berkata, “PCU dipengaruhi banyak faktor. Faktor utamanya adalah zona waktu dari tempat turnamen diselenggarakan. Metrik ini cocok untuk membandingkan popularitas turnamen-turnamen yang diadakan di region yang sama. Tujuannya, untuk mengetahui turnamen mana yang lebih populer.”

Hours Watched (HW)

Terakhir, metrik yang biasa digunakan dalam dunia esports adalah Hours Watched atau lama durasi video ditonton. “Bagi sponsor, Hours Watched dapat membantu mereka mengetahui berapa lama para penonton melihat merek mereka,” ujar Rietkerk. “Metrik ini juga cocok untuk digunakan jika Anda ingin membandingkan popularitas dua game dengan genre yang berbeda.”

Hanya saja, metrik HW tidak bisa digunakan sendiri. “Metrik Hours Watched tidak bisa digunakan tanpa dukungan data jumlah rata-rata penonton atau lama durasi konten,” kata Odintsov. Dia menjelaskan, 1 juta Hours Watched bisa dicapai dengan 8 jam siaran dan AMA 125 ribu orang atau 100 jam siaran dengan AMA 10 ribu orang. Dalam kasus ini, kedua acara memang sama-sama mendapatkan 1 juta total jam ditonton. Namun, keduanya memiliki jumlah rata-rata penonton yang jauh berbeda.

Kenapa Ada Begitu Banyak Metrik yang Digunakan Dalam Esports?

Menurut Pike. alasan mengapa ada banyak metrik yang digunakan dalam industri competitive gaming adalah karena esports dimulai dari komunitas akar rumput. Pada awalnya, data terkait esports juga datang dari para pemegang kepentingan di ekosistem esports, sepreti publisher game atau penyelenggara turnamen. “Dalam industri TV, pihak ketiga akan menyajikan data secara konsisten untuk memberikan kejelasan bagi pihak yang ingin membuat iklan atau menjadi sponsor,” ujarnya. “Tanpa adanya pihak ketiga untuk memberikan data, pihak publisher atau penyelenggara turnamen bebas untuk memberikan laporan sendiri-sendiri.”

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety

Lebih lanjut Pike menjelaskan, “Data yang diberikan oleh publisher dan penyelenggara turnamen tidak salah. Namun, Anda bisa menarik perhatian banyak orang dan sponsor dengan memberikan data yang bombastis. Karena metrik yang digunakan tergantung pemangku kepentingan, maka penggunaan metrik menjadi tidak konsisten.” Misalnya, jika Overwatch League memiliki jumlah rata-rata penonton yang tinggi, maka tentunya, hal itu yang akan Activision Blizzard tonjolkan. Sementara jika turnamen League of Legends bsia mendapatkan Hours Watched yang tinggi, maka Riot akan menggunakan metrik tersebut.

Kabar baiknya, seiring dengan semakin berkembangnya ekosistem esports, semakin banyak perusahaan game dan esports yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan analitik pihak ketiga. Beberapa perusahaan game yang telah melakukan itu antara lain Riot Games dan Activision Blizzard. Salah satu tujuan mereka adalah untuk menjamin validitas data yang mereka berikan.

Tak hanya publisher, pelaku esports seperti ESL dan Astralis pun mulai bekerja sama dengan perusahaan analitik. Melalui kerja samanya dengan Newzoo, Astralis akan saling bertukar data dengan perusahaan analitik tersebut. Harapannya, Newzoo akan dapat membuat perkiraan akan dunia esports dengan lebih akurat menggunakan data dari Astarlis. Sementara Newzoo akan memberikan insight pada Astralis untuk membantu organisasi esports itu mengambil keputusan di masa depan.

Esports Perlu Satuan Standar untuk Mengukur Popularitas Konten

Dalam industri esports, ada berbagai game dengan genre yang berbeda-beda. Biasanya, masing-masing game esports juga memiliki format turnamen dan target penonton yang berbeda-beda. Misalnya, kebanyakan liga regional League of Legends menggunakan model franchise, sementara turnamen Dota 2 justru bersifat terbuka. Karena itu, sulit bagi sponsor untuk menghitung ROI (Return of Investment) ketika mereka mendukung sebuah turnamen esports. Menggunakan metrik yang sama untuk mengukur popularitas konten esports bisa membantu memecahkan masalah itu.

“Keuntungan terbesar dari penggunaan metrik yang sama adalah kita dapat mengerti satu sama lain,” kata Rietkerk. “Jika semua pelaku menggunakan metrik yang berbeda untuk mendsikusikan hal yang sama, hal ini justru akan membuat para sponsor bingung.” Memang, seiring dengan semakin banyak perusahaan besar yang menginvestasikan dana marketing mereka di esports, maka para pelaku esports semakin sadar bahwa mereka harus dapat menyediakan data yang valid dan menjamin bahwa investasi para sponsor tidak sia-sia.

“Di dunia esports, data viewership turnamen akan memberikan dampak langsung pada jumlah rekan yang bisa didapatkan oleh sebuah tim atau penyelenggara turnamen,” ujar Odintsov. Dia mengatakan, data media sosial kini tak lagi terlalu diminati. Sebagai gantinya, pengiklan tertarik dengan acara live, seperti livestreaming yang dibuat oleh para streamer atau turnamen yang disiarkan langsung.

Kesimpulan

Industri esports tumbuh dari komunitas akar rumput. Seiring dengan meningkatnya minat untuk menonton pertandingan esports, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Karena itu, para pelaku esports juga dituntut untuk dapat memberikan data yang valid sehingga pihak sponsor bisa memastikan bahwa investasi mereka tidak sia-sia.

Sekarang, telah ada beberapa metrik yang digunakan untuk mengukur popularitas acara esports, seperti jumlah rata-rata penonton atau total durasi video ditonton. Sayangnya, penggunaan metrik yang berbeda-beda justru akan membuat sponsor dan pengiklan bingung. Karena itu, sebaiknya pelaku industri esports menentukan metrik yang akan mereka gunakan sebagai standar.

Sumber header: PCMag

Square Enix Tertarik Kembangkan Game-as-a-Service dan Esports

Square Enix membuka lowongan baru sebagai Brand Manager di kantor cabang mereka di London, Inggris. Dalam iklan lowongan kerja yang mereka buat, Square Enix menyebutkan bahwa seorang Brand Manager akan menjadi bagian dari tim Brand dan akan bertanggung jawab dalam pengembangan Intelectual Property (IP) baru yang akan menggunakan model bisnis game-as-a-service (GAAS). Menariknya, Square Enix juga mencari orang yang paham tentang esports. Hal ini menjadi bukti bahwa mereka tertarik untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka.

“Individu yang kami cari memiliki pengalaman terkait model bisnis games-as-a-service dan sektor esports. Dia akan bekerja bersama tim pengembangan, marketing, dan komunikasi untuk membuat strategi dalam mengakuisisi, mempertahankan, dan memonetisasi para pengguna,” tulis Square Enix dalam lowongan kerja mereka, dikutip dari VG247.

Square Enix juga menyebutkan, salah satu tugas Brand Manager adalah untuk merealisasikan ambisi Square Enix untuk mengembangkan esports, termasuk menjalin hubungan baik dengan komunitas esports di semua tingkat. Inilah alasan mengapa salah satu persyaratan yang Square Enix tetapkan dalam mencari Brand Manager adalah memiliki pengalaman dalam dunia esports. Idealnya, sang pelamar juga memiliki pengetahuan mendalam tentang sektor esports.

square enix esports
Square Enix tertarik untuk mengembangkan esports dari IP mereka. | Sumber: Digicodes

Beberapa tahun belakangan, semakin banyak perusahaan game yang menggunakan model bisnis GAAS. Ketika sebuah developer/publisher game menjadikan game sebagai layanan, mereka akan meluncurkan konten baru secara rutin. Dengan begitu, diharapkan para pemain tidak akan bosan untuk memainkan game tersebut. Memang, salah satu keuntungan dari penggunaan model bisnis GAAS adalah umur game yang lebih lama. Contoh perusahaan yang sukses menerapkan model GAAS pada game-nya adalah Ubisoft dengan Rainbow Six Siege.

Ubisoft meluncurkan Rainbow Six Siege pada 2015. Per Februari 2020, game tersebut memiliki 55 juta pemain. Sementara pada November 2016, jumlah pemain Siege hanya mencapai 10 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa Ubisoft sukses untuk membuat game buatannya semakin diminati dari tahun ke tahun. Faktanya, pada Februari 2020, jumlah pemain Siege di Steam justru mencatat rekor tertinggi. Salah satu kunci kesuksesan Ubisoft adalah esports. Mereka mengembangkan ekosistem esports dari Siege sebagi bagian dari strategi marketing mereka.

Microsoft Ingin Gabungkan Edukasi dan Esports via Minecraft

Selain sebagai hiburan, game juga bisa digunakan sebagai alat pembelajaran. Misalnya, startup asal Estonia, 99math, meluncurkan platform bernama Math Game Days untuk membuat pembelajaran matematika terasa menyenangkan bagi para siswa SD kelas 1 sampai kelas 6. Melaui Minecraft: Education Edition Esports Worlds, Microsoft juga ingin mendorong anak-anak untuk belajar saat bermain game.

Dalam Minecraft edisi khusus edukasi, setiap objektif yang harus diselesaikan para pemain dalam game akan mengajarkan mereka kemampuan tertentu. Misalnya, dalam bagian Pirate Cove, para pemain didorong untuk dapat bekerja sama dan berkomunikasi dengan lebih baik. Selain itu, bagian tersebut juga mendorong para murid untuk menjadi lebih kreatif dan tidak segan dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, secara keseluruhan, game Minecraft membantu para pemainnya melakukan visualisasi atau melakukan pemikiran dalam 3D. Semua kemampuan ini akan membantu para murid untuk mempelajari bidang terkait STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).

 

minecraft edukasi
Microsoft buat versi khusus edukasi dari Minecraft. | Sumber: Mojang

 

Melalui Minecraft edisi khusus edukasi, Microsoft ingin membantu para guru atau orangtua murid agar mereka bisa memaksimalkan pembelajaran melalui game dan esports selama masa pandemi, ketika anak-anak harus belajar dari rumah. The Esports Educator Framework bahkan menyediakan insight mendalam terkait peran esports dalam edukasi. Pengetahuan tersebut dikumpulkan oleh Immersive Minds dari berbagai riset terkait pembelajaran melalui game atau esports, serta diskusi dan wawancara dengan para peneliti serta para guru.

Belakangan, teknik “gamification” semakin sering digunakan di dunia pendidikan. NASEF (North America Scholastic Esports Federation) juga baru saja merilis hasil riset yang membuktikan bahwa para siswa yang melibatkan diri dalam klub esports dapat belajar kemampuan sosial dengan lebih baik, menurut laporan Forbes. Memang, ada berbagai soft skills yang bisa murid pelajari melalui esports, seperti strategi, komunikasi, serta kemampuan berpikir kritis.

Jadi, tidak heran Microsoft juga menambahkan elemen esports pada Minecraft. Diharapkan, elemen esports tersebut akan membuat para siswa menjadi lebih kompetitif sehingga mereka menjadi lebih termotivasi dalam mencapai objektif dalam game. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong para pemain untuk bekerja sama atau melakukan visualisasi dengan lebih baik.

Sumber header: Quartz

Ghazeto Storia Jadi Juara Liga IEFTL, Remaong FC Menangkan IEFTL Cup

Minggu lalu menjadi minggu terakhir dari liga Indonesia Efootball Team Lobby (IEFTL). Seperti yang sudah diprediksi sejak minggu lalu, Ghazeto Storia keluar sebagai juara liga IEFTL. Pada akhir liga, Ghazeto berhasil mengumpulkan 70 poin dengan 63 selisih gol. Selisih poin antara Ghazeto dengan Remaong FC, yang menyabet gelar runner-up, cukup jauh, yaitu 17 poin. Hal ini tidak aneh, mengingat Ghazeto berhasil duduk di peringkat satu pada minggu ke-2 IEFTL dan mereka tidak pernah gagal mempertahankan posisi tersebut sejak saat itu. Mereka juga berhasil mendapatkan win streak dan undefeated streak paling lama.

Dengan berakhirnya liga IEFTL musim 2020/21, 16 tim yang berlaga dalam liga tersebut akan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu Divisi 1 dan Divisi 2. Delapan tim yang duduk di peringkat teratas akan masuk ke dalam Divisi 1 sementara 8 tim sisanya akan berlaga di Divisi 2 pada liga IEFTL musim berikutnya.

juara IEFTL
Klasemen akhir IEFTL. | Sumber: Facebook

Menemani Ghazeto Storia dan Remaong FC, ada 6 tim lain yang akan bertanding di Divisi 1. Keenam tim tersebut antara lain Garude Ten, Incredible Squad, Hanoman, Volcano, Gatot Kaca, dan Aliansi. Tim Aliansi dan Aco Glory mendapatkan poin yang sama, yaitu 51 poin. Aliansi berhasil duduk di peringkat 8, 1 peringkat lebih tinggi dari Aco Glory, berkat selisih gol yang lebih besar.

Selain menjadi akhir dari liga IEFTL, minggu lalu juga menjadi akhir dari IEFTL Cup. Babak final dari turnamen tersebut mempertemukan dua tim terkuat dari IEFTL, yaitu Ghazeto Storia dan Remaong FC. Menariknya, meskipun di atas kertas Ghazeto unggul dari Remaong FC dalam semua aspek, tapi Remaong FC berhasil keluar sebagai pemenang.

pemenang IEFTL
Statistik dari tim Ghazeto Storia dan Remaong FC. | Sumber: Facebook

Dalam babak pertama, Remaong FC harus mengakui keunggulan Ghazeto Storia. Namun, pada babak kedua, mereka berhasil membalikkan keadaan dengan menggunakan strategi counter-attack. Pada akhirnya, kedua tim harus melanjutkan pertandingan ke babak ketiga. Kali ini, pertandingan berlangsung dengan sangat ketat. Namun, Remaong FC berhasil mempertahankan gawangnya dari serangan Ghazeto. Mereka membawa pulang Piala IEFTL pada musim perdana 2020 setelah menang dengan skor 1-0 dari Ghazeto.

George Russell: Balapan Virtual Buat Saya Tetap Kompetitif

Pandemi virus corona menyebabkan berbagai kompetisi olahraga dibatalkan, termasuk Formula 1. Sebagai ganti balapan yang dibatalkan, Formula 1 memutuskan untuk mengadakan seri F1 Esports Virtual Grand Prix. Seri balapan virtual itu dimenangkan oleh pembalap rookie Williams asal Inggris, George Russell.

Menariknya, saat seri F1 Esports Virtual Grand Prix baru diadakan, Russell bahkan belum memiliki simulator. Namun, setelah memutuskan untuk ikut serta dalam kompetisi balapan virtual tersebut, Russel berlatih dengan serius. Dia bahkan meminta saran pada para pembalap esports di Williams. Dalam balapan pertamanya, Russell tampil kurang memuaskan. Tidak menyerah, dia memutuskan untuk berlatih lebih keras. Latihannya berbuah manis, sepanjang seri F1 Esports Virtual Grand Prix, dia berhasil memenangkan 4 balapan, menurut laporan Formula1.

George Russell menjadi pembalap Mercedes pada tahun lalu. | Sumber: Formula1
George Russell menjadi pembalap Mercedes pada tahun lalu. | Sumber: Formula1

Russell berkata, pertandingan balapan virtual memiliki tekanan mental yang sama dengan balapan sebenarnya. Dia mengaku, ketika dia memutuskan untuk ikut serta dalam F1 Esports Virtual Grand Prix, dia hanya ingin beradu dengan para pembalap lainnya. Namun, dia kemudian sadar bahwa balapan virtual tidak kalah kompetitif dengan balapan F1 di dunia nyata.

“Dalam balapan F1 sebenarnya, saya masuk dalam bagian paling belakang, saya tidak ingin kalah bersaing di esports juga. Jadi saya berusaha sedikit lebih keras. Beradu dengan para pembalap lain, hal ini membantu saya untuk tetap kompetitif. Dalam balapan virtual, ada beberapa hal yang sangat mirip dengan balapan sebenarnya,” kata Russel, dikutip dari Motorsport.

“Anda tetap harus bisa lolos babak kualifikasi dan untuk itu, Anda harus menyelesaikan 3 putaran. Dan jika Anda gagal, maka Anda akan ada di posisi paling belakang. Anda juga tetap merasakan tekanan mental yang sama,” ujar Russell. “Anda mungkin bisa menyelesaikan putaran dengan waktu cepat di latihan. Tapi, ketika Anda ikut serta dalam babak kualifikasi, Anda harus menghadapi tekanan mental yang berbeda.”

Russell bercerita, bahkan dalam balapan virtual, suasana sebelum balapan sangat mirip dengan balapan di dunia nyata. Dia mengatakan, dia tetap merasa berdebar-debar sebelum balapan, seperti saat dia menunggu lampu aba-aba menjelang balapan dimulai. Dia berkata, “Detail seperti inilah yang membuat balapan virtual seperti balapan sebenarnya.”

Selama pandemi, balapan esports berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Selain Formula 1, ada beberapa balapan lain yang juga mengadakan balapan virtual, seperti Formula E, NASCAR, dan W Series.

Sumber header: Formula1

2023, Newzoo Perkirakan Jumlah Gamer Capai 3 Miliar Orang

Jumlah gamer di dunia akan mencapai 3 miliar orang pada 2023, menurut laporan Newzoo. Saat ini, telah ada 2,69 miliar gamer. Pada akhir 2020, angka itu diduga akan naik menjadi 2,7 miliar. Salah satu alasan mengapa jumlah gamer terus naik adalah keberadaan mobile game. Game-game populer seperti Fortnite, League of Legends, dan Pokemon Go menjadi alasan lain mengapa jumlah gamer bertumbuh dengan cepat. Jumlah gamer juga bertambah pesat selama pandemi.

Dari 2,7 miliar gamer di dunia pada akhir 2020, sebanyak 2,5 miliar merupakan mobile gamer, sementara 1,3 miliar orang bermain di PC, dan 800 juta orang menggunakan konsol. Secara total, jumlah gamer melebihi 2,5 miliar karena ada orang-orang yang bermain di lebih dari satu platform.

Dalam beberapa tahun ke depan, jumlah gamer masih akan terus naik, khususnya di negara-negara di kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Jumlah gamer di kawasan-kawasan tersebut juga meningkat lebih pesat jika dibandingkan dengan negara-negara yang pasar game-nya telah matang. Misalnya, pada 2019, jumlah pemain di Timur Tengah dan Afrika melampaui jumlah gamer di Amerika Utara. Pada 2020, jumlah pemain di Timur Tengah dan Afrika diperkirakan akan melebihi jumlah gamer di Eropa.

jumlah gamer 2023
Jumlah gamer terus naik dari tahun ke tahun.

Hanya saja, Newzoo menyebutkan, kebanyakan gamer yang berada di kawasan Afrika dan Timur Tengah mreupakan mobile gamer. Biasanya, mobile gamer memainkan game gratis. Tak hanya itu, para pemain mobile game juga biasanya enggan untuk mengeluarkan uang saat bermain game. Namun, menurut laporan VentureBeat, Newzoo memperkirakan, jumlah pemain berbayar pada 2020 akan naik 5,3 persen.

Nilai industri game diperkirakan akan mencapai US$159,3 miliar pada 2020. Pemasukan dari in-game purchase masih terus tumbuh. Sementara pemasukan dari penjualan game justru menurun. Mengingat game free-to-play kini mendominasi mobile game dan PC game, tidak heran jika pemasukan dari in-game purchase — yang merupakan model bisnis game gratis — terus naik.

Tren ini juga menyebabkan perubahan pada model monetisasi pada game konsol. Diperkirakan, di masa depan, semakin banyak game konsol yang menggunakan model bisnis in-game purchase. Sementara untuk mobile game, in-game purchase menjadi kontributor terbesar dari total pemasukan. Kontribusi in-game purchase mencapai 98 persen dari total pemasukan mobile game. Newzoo memperkirakan, angka itu masih akan terus naik, mendekati 100 persen.

Sumber header: Business Today

Agate Rilis Code Atma, Game RPG Misteri Bernuansa Khas Indonesia

Agate baru saja meluncurkan game baru berjudul Code Atma. Game idle RPG ini mengambil setting waktu di era modern dan menggabungkannya dengan elemen mistis. Di Code Atma, terdapat sebuah aplikasi smartphone yang memungkinkan pemiliknya untuk melihat dan berinteraksi dengan makhluk supernatural. Sebagai pemain, Anda akan menjadi Seeker yang berusaha untuk memecahkan berbagai misteri yang melibatkan makhluk supernatural, yang juga disebut sebagai Atma.

Dalam konferensi pers yang diadakan pada Kamis, 25 Juni 2020, CEO Agate Arief Widhiyasa mengatakan, salah satu tujuan Agate membuat Code Atma adalah untuk mempopulerkan budaya Indonesia di dunia. Karena itu, karakter-karakter di Code Atma didasarkan pada cerita dongeng atau legenda Tanah Air, seperti Kuntilanak, Tumang, Samosara, dan lain sebagainya. Namun, Agate mendesain karakter-karakter tersebut sedemikian rupa agar terlihat tetap menarik bagi para pemain. Misalnya, karakter Pocong di Code Atma justru terlihat lucu daripada menyeramkan.

code atma
Code Atma memiliki genre idle RPG.

Fandry Indrayadi, Creative Director Agate dan Code Atma mengatakan bahwa Agate menghabiskan waktu hampir 2 tahun untuk mengembangkan Code Atma. Target pemainnya adalah gamer laki-laki dengan umur 25-35 tahun. Melalui Code Atma, Agate berusaha untuk pengalaman bermain game RPG yang immersive dengan cerita yang menarik, tapi tidak memakan banyak waktu. Karena itu, ada beberapa elemen game yang disederhanakan, seperti grinding. Dengan begitu, diharapkan, orang-orang yang tidak memiliki banyak waktu luang pun tetap bisa menikmati game ini.

Meski Code Atma berusaha untuk meminimalisir grinding, menaikkan level karakter tetaplah penting. Selain itu, pemain juga didorong untuk mengumpulkan Atma sebanyak-banyaknya. Pasalnya, masing-masing Atma memiliki kelebihan dan kelemahan sendiri. “Code Atma is all about party building. Pemain harus bisa membuat formasi yang oke. Semakin banyak Atma yang mereka punya, semakin fleksibel formasi yang bisa mereka gunakan,” ujar Fandry.

Mengingat karakter-karakter didasarkan pada legenda dan mitos Indonesia, Agate biasanya melakukan riset terkait karakter-karakter tersebut. Namun, mereka juga ingin agar karakter-karakter di Code Atma tetap terasa relatable di dunia modern. Alhasil, karakter yang tampil di Code Atma — termasuk para makhluk halus — tampil dengan desain yang fresh.

“Kami ingin agar budaya Indonesia bisa menjadi bagian dari pop culture global,” kata Fandry. “Jepang dan Korea Selatan bisa melakukan itu karena mereka membuat budaya mereka terlihat sangat fantastis. Jadi, kita mau melakukan itu.”

Lebih lanjut, Fandry menjelaskan, “Kami harap kami akan menemukan sweet spot yang menyeimbangkan authenticity dan relevance. Kalau terlalu otentik, sebuah game menjadi terlalu unik dan orang-orang menjadi tidak terlalu peduli. Sementara jika terlalu relevan, maka game itu tidak memiliki keunikan dari game-game lain.”

Divisi Esports Nielsen di Amerika Utara Punya Bos Baru

Nielsen membentuk divisi Nielsen Esports pada 2017. Divisi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan layakan konsultasi terkait nilai sponsorship, riset di industri esports, serta insight soal fans esports. Pada tahun yang sama, Nielsen membentuk Nielsen Esports Advisory Board. Dewan itu berisi publisher game, penyelenggara turnamen esports, broadcaster, perusahaan media, organisasi olahraga tradisional, dan para sponsor yang terlibat dalam industri esports. Dewan tersebut dipimpin oleh Matthew Yazge.

Pada pertengahan Juni 2020, Nicole Pike yang menjabat sebagai Managing Director dari Nielsen Esports memutuskan untuk pindah ke perusahaan riset dan analitik lain, YouGov. Tanggung jawab yang diemban oleh Pike lalu dialihkan ke tangan Yazge, yang merupakan Head of Brand Sponsorship, Nielsen Sports. Dengan bertambahnya tanggung jawab Yazge, Nielsen memutuskan untuk mempromosikannya sebagai Head of Esports di kawasan Amerika Utara.

divisi esports Nielsen
Bagan penjelasan tentang ekosistem esports oleh Nielsen. | Sumber: Nielsen

“Semangat Matthew dalam esports dan gaming, ditambah dengan pengetahuannya akan sponsorship dan brands menjadikannya orang yang ideal untuk memimpin divisi esports Nielsen,” kata Jon Stainer, Managing Director of Sports, Nielsen, seperti dikutip dari Esports Insider. “Dengan menyediakan insight dan data yang lengkap bagi perusahaan yang ingin memasuki ranah esports, Matthew akan memberikan pengaruh besar dalam kesuksesan bisnis Nielsen.”

Yazge telah bekerja untuk Nielsen selama lebih dari 9 tahun. Selama itu, dia telah menduduki berbagai jabatan, termasuk Vice President of Brand Partnership untuk divisi Music and Film di Nielsen. Ketika itu, tugasnya adalah untuk mendorong penjualan dan program konsultasi di bidang musik, film, dan fashion. Selain itu, dia juga pernah memimpin program inklusi Nielsen di California Selatan.

“Dengan jabatan baru ini, saya akan memanfaatkan pengetahuan saya tentang sponsor untuk membantu mereka mengerti betapa pentingnya mendekatkan diri pada fans esports,” kata Yazge. Dia akan menjelaskan pada para sponsor bahwa mereka akan dapat memenuhi target marketing mereka dengan membuat konten bersama para pemain esports profesional populer.

Industri esports bertumbuh dengan pesat, baik dari segi nilai industri maupun jumlah penonton. Jadi, tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar tertarik untuk masuk ke industri esports. Karena itu, para pelaku esports harus dapat menjamin validitas data mereka. Peran Nielsen adalah memberikan data yang bisa terpercaya. Pada tahun lalu, Nielsen berhasil menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan game dan esports besar, seperti Riot Games, Activision Blizzard, serta ESL dan DreamHack.

David Beckham Masuki Industri Esports, Tanamkan Modal di Guild Esports

Mantan pesepak bola David Beckham kini memasuki dunia esports dengan menjadi co-owner dari Guild Esports, startup esports asal Inggris. Melalui DB Ventures, Beckham menanamkan modal di Guild Esports, yang tengah mengumpulkan pendanaan dengan target sebesar £25 juta (sekitar Rp44,6 miliar). Selain Beckham, Blue Star Capital juga menjadi salah satu investor awal dari startup esports tersebut.

“Sepanjang karir saya, saya beruntung karena bisa bermain dengan para atlet terbaik. Saya telah melihat semangat dan dedikasi yang diperlukan untuk bisa bermain di tingkat tertinggi,” kata Beckham, menurut laporan Esports Insider. “Saya tahu bahwa para atlet esports juga memiliki semangat tersebut. Di Guild, kami memiliki visi untuk menciptakan standar baru, serta mendukung para pemain profesional untuk maju di masa depan. Kami berkomitmen untuk mendukung pemain muda bertalenta melalui sistem akademi kami dan saya tidak sabar untuk membantu tim Guild Esports untuk tumbuh dan berkembang.”

Guild Esports akan menggunakan model akademi, lapor GamesIndustry. Hal itu berarti, Guild Esports akan mencari pemain muda berbakat dan melatih mereka untuk menjadi atlet esports profesional. Saat ini, Guild akan fokus untuk melatih pemain yang berlaga di Rocket League, FIFA, dan Fortnite.

David Beckham esports
David Beckham menjadi co-owner dari Guild Esports. | Sumber: Nerd4Life

Selain Beckham sebagai co-owner, Guild Esports juga memiliki Carleton Curtis sebagai Executive Chairman. Curtis sempat menjabat sebagai Vice President of Programming di Activision Blizzard. Dia juga berperan penting dalam penyelenggaraan Overwatch League dan Call of Duty League. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Senior Director, Digital Strategy di Fox Sports serta Program Director, Esports di Red Bull.

“Industri esports tengah berkembang pesat dan masih akan terus tumbuh. Hal ini menjadi bukti bahwa sekarang adalah waktu yang tepat bagi Guild Esports untuk masuk ke dalam industri esports,” kata Curtis. “Kami memiliki tim manajemen yang berpengalaman dan saya senang dengan keberadaan David Beckham sebagai co-owner dari startup ini karena dia memiliki pengalaman dan profesionalisme dalam membuat tim olahraga yang baik. Hal ini sesuai dengan strategi kami untuk membuat tim esports terbaik.”

Memang, meskipun Beckham paling dikenal sebagai pemain sepak bola profesional, dia juga merupakan pemilik dari Inter Miami, tim sepak bola Amerika Serikat baru yang berlaga di Major League Soccer. Beckham bukanlah satu-satunya pemain sepak bola yang tertarik untuk masuk ke dunia esports. Pada akhir tahun lalu, Gareth Bale juga membentuk tim esports yang dinamai Ellevens Esports.

“Di Guild Esports, David akan memegang peran penting dalam membuat program pelatihan yang akan diimplementasikan di akademi kami. Selain itu, dia juga bisa menjadi inspirasi bagi para atlet esports muda,” ujar Curtis.

Sumber header: The Esports Observer

Kreator Film Hollywood, J.M.R. Luna Jadi CEO OG

Organisasi esports OG punya CEO baru, yaitu J.M.R. Luna. Dia memiliki pengalaman dalam membuat film di Hollywood. Selain itu, dia juga pernah menjadi Head of Content and Production di Evil Geniuses dan menjadi VP of Content and Production untuk Immortals Gaming Club.

“Jika Anda berasumsi bahwa tidak ada kesamaan antara membuat film dan memimpin organisasi esports, Anda salah,” kata Luna dalam wawancara dengan Esports Insider. “Dalam membuat film, saya bertugas layaknya CEO. Saya memimpin semua operasi bisnis, bertanggung jawab atas semua operasi dari awal sampai akhir. Saya harus mengumpulkan orang-orang kreatif dan membantu mereka bekerja sama dalam lingkungan yang sangat dinamis. Apa yang saya lakukan dalam membuat film sangat mirip dengan esports.” Dia mengaku, pengalamannya bekerja untuk organisasi esports lain juga akan membantunya dalam menyesuaikan diri sebagai CEO dari OG.

CEO OG
Luna akan bekerja dengan petinggi OG lainnya. | Sumber: Esports Insider

Untuk waktu lama, OG dikenal sebagai organisasi esports yang hanya fokus pada satu game, yaitu Dota 2, lapor The Esports Observer. Dan di ekosistem esports Dota 2, OG sangat dikenal. Faktanya, OG adalah satu-satunya tim yang berhasil memenangkan The International dua kali. Namun, tahun lalu, OG akhirnya memutuskan untuk membuat tim Counter-Strike: Global Offensive. Sebastian “Ceb” Debs, yang menjadi bagian dari tim yang memenangkan TI dua kali, memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai pemain dan menjadi pelatih bagi tim Dota 2 dan CS:GO dari OG.

Sebagai CEO OG, Luna tidak hanya bertugas untuk mengawasi proses pembuatan konten dan memastikan agar para pemain OG menjadi populer di dunia esports. Dia juga harus memikirkan masa depan OG sebagai organisasi esports. Tugas Luna mencakup memikirkan rencana ekspansi dan pendanaan OG. Untuk mencapai hal ini, dia akan bekerja sama dengan kapten tim Dota 2 dan pendiri OG, Johan “N0tail” Sundstein, CRO & Co-owner Xavier Oswald, serta COO Charlie Debs.

“OG mungkin adalah satu-satunya organisasi esports super besar yang belum pernah mendapatkaan pendanaan eksternal,” kata Luna. “Kami akan mengumpulkan pendanaan dalam waktu dekat. Kami akan mencari rekan yang tepat dan ingin bergabung dengan kami untuk berkolaborasi bersama. Saya merasa, hal ini membuka kesempatan bagi OG untuk tumbuh dan berkembang.”