Perbedaan Adtech dan Martech dalam Ekosistem Digital

Dalam diskusi mengenai bidang marketing, Anda mungkin bakal sering mendengar istilah “adtech” dan “martech” dilontarkan. Keduanya sepintas terdengar mirip, namun sebenarnya ada sejumlah faktor yang membedakan di antara keduanya.

Terlepas dari itu, di era serba digital seperti sekarang, adtech dan martech tentunya memegang peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu bisnis. Tidak peduli seberapa kecil atau besar skala bisnisnya, adtech dan martech bakal selalu bisa difungsikan sebagai solusi untuk membantu mengembangkan bisnis.

Namun sebelum kita membahas lebih jauh mengenai adtech dan martech, ada baiknya kita mengenali dulu perbedaan di antara keduanya.

Apa itu martech?

Dari perspektif sederhana, marketing technology atau martech merujuk pada penggunaan teknologi untuk mengeksekusi strategi pemasaran digital. Secara umum, martech biasanya hadir dalam bentuk SaaS (Software-as-a-Service) dengan fokus pada keperluan automasi, khususnya untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas-tugas yang repetitif, sehingga pada akhirnya memungkinkan para marketer untuk lebih berfokus pada aspek kreatif dan strategis.

Automasi, kalau menurut MarTech Today, dapat mengombinasikan beberapa kriteria, termasuk halnya demografi, firmografi, dan behavioral data, dengan sebuah sistem lead scoring untuk menghasilkan dan mengidentifikasi sales-qualified lead. Harapannya tentu adalah supaya lead ini bisa dikonversi menjadi sales.

Dari sudut pandang lain, martech juga dapat dilihat sebagai penggunaan teknologi untuk mewujudkan, mengukur, sekaligus mengoptimalkan komunikasi dengan potential maupun existing customer via berbagai macam kanal digital. Beberapa contoh produk martech yang umum digunakan adalah customer-relationship management (CRM) platform, content marketing platform, email marketing software, social media management software, dan digital analytics tools.

Apa itu adtech?

Sesuai namanya, advertising technology atau adtech merujuk pada penggunaan teknologi untuk mengekspos sesuatu ke hadapan publik secara luas. Adtech hadir sebagai solusi untuk membantu perusahaan menggaet customer baru, memfasilitasi penyampaian pesan kepada customer secara langsung, sekaligus memastikan bahwa semuanya dieksekusi dengan tepat sasaran.

Beberapa contoh produk adtech yang kerap digunakan meliputi data management platform, Demand Side Platform (DSP), Supply Side Platform (SSP), ad exchange, maupun tag management system.

Adtech dan martech dalam ekosistem digital

digihackaction

Relevansi adtech dan martech terus meningkat seiring tingginya dominasi platform digital. Dewasa ini, hampir semua strategi pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan, baik kecil ataupun besar, melibatkan pengadopsian adtech dan martech, sebab semuanya memang tidak akan luput dari digitalisasi.

Hal ini pada akhirnya membuka peluang untuk menjadi pemain di industri adtech dan martech itu sendiri. Bagi yang bingung harus memulai dari mana, Anda mungkin bisa berpartisipasi dalam acara DigiHackAction 2021.

Event hackathon khusus adtech dan martech pertama di Indonesia ini merupakan hasil kolaborasi antara Telkomsel DigiAds, Tinc, dan DailySocial.id. Acara bertujuan untuk mempermudah bisnis, terutama UMKM yang membutuhkan inovasi dan solusi dalam bidang adtech dan martech.

Acara ini juga dirancang untuk memberdayakan dan membuka kesempatan bagi para inovator yang ingin melanjutkan perjalanan mereka dalam bidang advertising innovation, serta membuat inovasi yang “customer centric” dalam menghadirkan inovasi periklanan yang bisa membantu industri dan Indonesia.

Bagi yang berminat dengan dunia digital advertising dan marketing, Anda bisa mendaftarkan ide atau inovasi di DigiHackAction 2021 tanpa perlu mengeluarkan biaya. Selain berpeluang memenangkan total hadiah hingga 100 juta rupiah, partisipan acara ini juga punya kesempatan untuk memperluas jangkauan koneksi bersama partner Telkomsel DigiAds dan Tinc.

Gambar header: Depositphotos.com.

5 Laptop dengan Kamera Terbaik untuk Video Call Bersama Keluarga

Lebaran tahun kemarin dan tahun ini selamanya bakal jadi momen yang tidak terlupakan, sebab tidak seperti biasanya, kita hanya bisa kumpul-kumpul secara online via Zoom atau Google Meet.

Selain menggunakan smartphone, tentu saja kita juga bisa memakai laptop. Laptop apa saja tentu bisa, selama ada kamera tertanam di atas layarnya. Pun demikian, akan lebih ideal seandainya kita menggunakan laptop dengan kamera yang berkualitas bagus, sebab tidak semua kamera laptop diciptakan sama.

Berikut adalah lima laptop pilihan dengan kamera terbaik yang bisa digunakan untuk video call bersama keluarga, sekaligus tentu saja untuk kebutuhan bekerja atau belajar ke depannya (sebab pandemi tidak akan langsung selesai begitu saja pasca Lebaran).

1. Lenovo ThinkBook 14 Gen 2

Baru diluncurkan pada akhir April kemarin, Lenovo ThinkBook 14 Gen 2 secara spesifik dirancang agar bisa mengakomodasi kebutuhan WFH dan WFA (work from anywhere) berkat satu pasang mikrofon dan fitur noise cancellation berbasis AI untuk meredam suara di sekitar. Kameranya sendiri sudah beresolusi HD (720p), serta bisa ditutup kapan saja demi menjamin privasi pengguna.

Spesifikasinya mencakup prosesor AMD Ryzen 7 4700U, RAM 8 GB, SSD NVMe 512 GB, baterai 45 Wh, tidak ketinggalan pula layar IPS 14 inci beresolusi FHD (1080p). Harga untuk varian ini dipatok Rp12.099.000.

2. Acer Swift 5 Antimicrobial (SF514-55TA)

Laptop ini mungkin adalah yang paling relatable dengan kondisi dunia saat ini: seluruh permukaannya, mulai dari layar sampai ke engsel dan karet pada kaki-kakinya, telah dilapisi dengan material khusus yang mampu mereduksi mikrob hingga 99,9%. Untuk keperluan video call, ia mengandalkan kamera 720p beserta sepasang mikrofon dengan fitur noise reduction.

Acer Swift 5 Antimicrobial hadir mengusung layar sentuh IPS FHD 14 inci, prosesor Intel Core i5-1135G7, RAM 8 GB, dan SSD NVMe 512 GB, cukup untuk kebutuhan produktivitas maupun hiburan sehari-hari. Perangkat ini bisa dibeli dengan banderol Rp14.999.000, sudah termasuk lisensi software OFFIce Home & Student 2019 yang berlaku seumur hidup.

3. HP Spectre x360

Budget yang lebih besar bukan cuma berarti spesifikasi yang lebih baik, tapi terkadang juga kamera yang lebih oke, seperti kasusnya pada HP Spectre x360. Laptop convertible seharga Rp22.599.000 ini datang membawa kamera 1080p, lengkap beserta sensor infra-merah untuk mengenali wajah pengguna sebagai metode input biometrik (Windows Hello). Demi menjaga privasi, HP tak lupa membekalinya dengan tuas fisik untuk menonaktifkan kameranya sepenuhnya.

Di rentang harga ini, yang terkesan premium tentu bukan cuma wujud fisiknya saja, melainkan juga spesifikasinya: prosesor Intel Core i7-1165G7, RAM 16 GB, dan SSD NVMe sebesar 1 TB. Layar sentuhnya merupakan panel IPS 13,3 inci beresolusi HD yang telah dilapisi solusi non-reflektif Gorilla Glass NBT.

4. Asus ROG Strix Scar 15

Bagi yang mengincar laptop gaming, Asus ROG Strix Scar 15 bisa menjadi salah satu pilihan yang menarik. Spesifikasinya gres dan meliputi prosesor AMD Ryzen 7 5800H, GPU Nvidia GeForce RTX 3060, RAM 8 GB, SSD NVMe 1 TB, serta baterai 90 Wh. Layarnya pun istimewa: IPS FHD 15,6 inci, dengan refresh rate 300 Hz.

Sebagai sebuah laptop gaming, sudah pasti ia ideal untuk kegiatan streaming. Kameranya mampu mengambil gambar dalam resolusi 1080p 60 fps, dan perangkat turut dilengkapi mikrofon dengan noise cancellation berbasis AI. Bisa untuk kumpul-kumpul bersama keluarga sekaligus mengisi waktu liburan dengan memainkan deretan game AAA terbaru. Harganya Rp29.999.000.

5. Samsung Galaxy Tab S7+ plus Book Cover Keyboard

Terakhir, buat yang tidak percaya dengan kamera bawaan laptop, mungkin Anda bisa mempertimbangkan tablet plus aksesori keyboard cover seperti Samsung Galaxy Tab S7+. Sebagai sebuah tablet, sudah pasti kameranya jauh lebih mumpuni, dengan kemampuan mengambil video 1080p 30 fps. Itu baru kamera depannya, sebab tablet ini juga punya bukan satu, tapi dua kamera belakang sekaligus.

Dari segi spesifikasi, Tab S7+ sudah bisa memenuhi kriteria perangkat flagship: Qualcomm Snapdragon 865+, RAM 8 GB, storage 256 GB (plus slot microSD), dan baterai berkapasitas 10.090 mAh. Layarnya pun superior, dengan panel Super AMOLED 12,4 inci beresolusi 2800 x 1752, lengkap beserta refresh rate 120 Hz dan sertifikasi HDR10+. Harganya dibanderol Rp15.999.000, tapi Book Cover Keyboard-nya harus ditebus secara terpisah seharga Rp2.699.000.

Gambar header: Depositphotos.com.

5 Webcam Pilihan untuk Panggilan Video di Saat Lebaran

Sama seperti hampir semua hal yang kita lakukan selama pandemi, kumpul-kumpul di hari Lebaran pun sayang sekali juga harus kita jalani secara online. Untungnya, melakukan panggilan video sekarang sudah semudah melakukan panggilan telepon biasa, sehingga kita masih bisa ‘bertemu’ dengan keluarga dan kerabat tanpa perlu beranjak dari kediaman masing-masing.

Cara melakukan panggilan video yang paling gampang tentu saja adalah menggunakan smartphone. Namun kalau ditanya cara yang lebih optimal, jawabannya adalah menggunakan laptop atau PC, dibantu oleh sebuah webcam.

Di artikel ini, kami telah merangkum deretan webcam pilihan beserta aksesori lainnya yang dapat dibeli untuk memaksimalkan sesi panggilan video di saat Lebaran.

1. Logitech C310

Dibanderol di kisaran 500 ribuan rupiah, Logitech C310 jelas bukanlah webcam yang paling murah yang ada di pasaran. Meski demikian, ia merupakan pilihan yang bisa diandalkan jika Anda tidak butuh lebih dari resolusi 720p 30 fps. Selain dijepitkan ke layar laptop atau monitor, ia juga bisa diletakkan di atas rak begitu saja. Mikrofon internalnya diklaim mampu menangkap suara dengan jelas dari jarak hingga 1,5 meter, bahkan ketika sedang berada dalam lingkungan yang ramai sekalipun.

2. Logitech C920

Upgrade yang sangat signifikan di rentang harga 1,1 jutaan rupiah, Logitech C920 menawarkan resolusi 1080p 30 fps, lengkap dengan autofocus dan field of view seluas 78°. Jumlah mikrofon yang tertanam ada dua, memastikan suara pengguna dapat terdengar lebih jelas lagi. Sebagai informasi, model yang lebih baru dari ini memang sudah ada, yakni Logitech C922, akan tetapi pembaruan yang ditawarkannya tergolong marginal.

3. Razer Kiyo

Seperti halnya kebanyakan produk Razer, Kiyo memang lebih ditujukan untuk keperluan streaming game, namun secara mendasar ia tetap sebuah webcam yang dapat diandalkan, dengan opsi resolusi 1080p 30 fps atau 720p 60 fps. Kendati demikian, yang membuatnya pantas dilirik adalah adanya lampu LED terintegrasi yang mengitari modul kameranya, yang bisa membantu meningkatkan kualitas gambar saat berada di kondisi minim cahaya. Perangkat ini dijual seharga Rp1.849.000.

4. Logitech Brio

Kalau Anda mencari kualitas gambar terbaik dari sebuah webcam, maka salah satu pilihan terbaiknya adalah Logitech Brio. Opsi resolusi yang tersedia mencakup 4K 30 fps dan 1080p 60 fps, dan sudut pandangnya juga cukup luas (adjustable, maksimum 90°) untuk menangkap semua anggota keluarga dalam gambar. Ada rupa ada harga, perangkat ini dijual di kisaran harga 3,4 jutaan rupiah.

5. Logitech StreamCam

Dengan budget yang kurang lebih sama seperti Brio tadi, alternatifnya ada Logitech StreamCam. Perangkat ini memang cuma menawarkan resolusi maksimum 1080p 60 fps, akan tetapi keunggulannya terletak pada fitur face tracking, sehingga ia bisa melakukan cropping secara otomatis demi memastikan subjek tetap berada di tengah bingkai meskipun sedang bergerak ke sana-sini.

Selain dipasangkan dalam posisi horizontal, ia juga dapat diposisikan secara vertikal, cocok untuk sesi iseng membuat video TikTok sekeluarga.

6. Pivo Pod

Bagi yang tidak mempunyai laptop atau PC, Anda tetap bisa menggunakan smartphone, dibantu oleh sebuah stand. Namun bukan sembarang stand, melainkan yang dibekali teknologi face tracking dan motion tracking seperti Pivo Pod, sehingga kamera ponsel akan terus mengikuti ke mana saja Anda bergerak secara otomatis. Perangkat ini dijual seharga $109, plus $19 biaya pengiriman ke Indonesia — kurang lebih setara 1,8 jutaan rupiah, tapi belum termasuk tarif bea cukai.

7. Kamera mirrorless atau DSLR

Terakhir, jika Anda memiliki kamera mirrorless atau DSLR, Anda bisa menggunakannya sebagai webcam dengan bantuan software di laptop atau PC. Melihat tren WFH selama masa pandemi kemarin, satu per satu pabrikan kamera meluncurkan software agar produk-produknya bisa disulap menjadi webcam, mulai dari Canon, Nikon, Sony, Fujifilm, Panasonic, Olympus, bahkan sampai GoPro sekalipun. Sebelum mengunduh software-nya, pastikan dulu model kamera yang Anda miliki kompatibel.

5 Smartphone Mid-Range yang Cocok untuk Produksi Video Pendek

Melejitnya popularitas aplikasi Snack Video belakangan ini menunjukkan bahwa tren video pendek sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda akan meredup. Wajar apabila kemudian sebagian orang memprioritaskan kemampuan video saat hendak membeli smartphone baru.

Di artikel ini, Anda bisa menemukan lima smartphone mid-range yang cocok untuk kegiatan produksi video pendek, yang semuanya menawarkan konfigurasi kamera yang cukup lengkap, ditambah spesifikasi yang mumpuni. Berhubung konteksnya kelas mid-range, semua smartphone yang tercantum bisa dibeli dengan modal kurang dari 7 juta rupiah.

1. Xiaomi Mi 10T Pro

Dibanderol Rp6.999.000, Xiaomi Mi 10T Pro adalah kandidat yang ideal buat konsumen yang berniat menjadikan smartphone-nya sebagai alat bantu utama perihal kreasi konten. Kamera belakangnya terdiri dari kamera utama 108 megapixel, kamera ultra-wide 13 megapixel, dan kamera macro 5 megapixel, sedangkan di depan ada kamera selfie 20 megapixel. Video dapat direkam di resolusi maksimum 8K 30 fps, atau 1080p menggunakan kamera depannya.

Penggunaan chipset Snapdragon 865 dan RAM 8 GB merupakan jaminan atas performanya, dan penyimpanan internal sebesar 256 GB tergolong cukup luas untuk dipakai menyimpan koleksi video pendek yang dibuat. Baterainya punya kapasitas 5.000 mAh dan mendukung fast charging 33 W, sedangkan layarnya merupakan panel 6,67 inci dengan resolusi FHD+ dan refresh rate 144 Hz.

Kalau penasaran dengan hasil kameranya, Anda bisa membaca ulasannya di DailySocial.id.

2. Huawei Nova 7

Budget Anda kurang dari 6 juta rupiah? Huawei Nova 7 yang dijual seharga Rp5.999.000 ini bisa jadi pertimbangan, terutama mengingat ia menawarkan konfigurasi kamera yang lengkap: kamera utama 64 megapixel, kamera ultra-wide 8 megapixel, kamera telephoto 8 megapixel, dan kamera macro 2 megapixel.

Kamera depannya memakai sensor 32 megapixel, serta dapat dipakai merekam video 4K. Hasil tangkapannya bisa dilihat di artikel pengujiannya. Ponsel ini menggunakan layar OLED 6,53 inci dengan resolusi 1080p.

Dapur pacunya ditenagai chipset Kirin 985 yang sangat kencang, plus RAM 8 GB, penyimpanan sebesar 256 GB, serta baterai 4.000 mAh yang mendukung fast charging 40 W. Berhubung ini Huawei, Anda tidak bisa menemukan Google Mobile Service (GMS) di dalamnya, akan tetapi aplikasi seperti TikTok maupun Instagram tetap tersedia di app store bawaannya.

3. OPPO Reno5

Video pendek identik dengan efek-efek kreatif, dan OPPO Reno5 ibarat diciptakan murni untuk keperluan tersebut berkat berbagai fitur berbasis AI yang disematkan pada kameranya. Kebetulan juga di Reno5 ini OPPO lebih menekankan soal video dengan adanya fitur-fitur baru seperti AI Highlight Video maupun AI Mixed Portrait.

Secara teknis, Reno5 yang dibanderol Rp4.999.000 ini mengusung kamera utama 64 megapixel, kamera ultra-wide 8 megapixel, kamera macro 2 megapixel, dan kamera monokrom 2 megapixel. Kamera depannya sendiri memiliki resolusi 44 megapixel. Untuk melihat hasilnya, silakan baca ulasan edisi Marvel-nya yang pada dasarnya memiliki spesifikasi yang sama.

Kinerjanya ditunjang oleh chipset Snapdragon 720G dan RAM 8 GB. Kapasitas penyimpanannya cuma 128 GB, akan tetapi pengguna dapat dengan mudah memperluasnya menggunakan kartu microSD. Reno5 ditenagai baterai 4.310 mAh yang dapat di-charge dengan output sebesar 50 W.

4. Samsung Galaxy A52

Penawaran terbaru Samsung untuk kelas menengah ini datang membawa konfigurasi kamera yang tergolong lengkap. Selain kamera utama 64 megapixel dengan OIS, ia turut dilengkapi kamera ultra-wide 12 megapixel, kamera macro 5 megapixel, dan kamera depth 5 megapixel. Untuk kamera depan, Galaxy A52 mengandalkan kamera 32 megapixel yang mampu merekam video 4K 30 fps.

Sesuai ekspektasi kita terhadap Samsung, layar ponsel ini pun cukup istimewa: 6,5 inci Super AMOLED dengan resolusi FHD+ dan refresh rate 90 Hz. Kinerjanya didukung oleh chipset Snapdragon 720G dan RAM 8 GB, dan penyimpanan 128 GB-nya dapat ditambah dengan menjejalkan kartu microSD.

A52 ditenagai oleh baterai 4.500 mAh yang mendukung fast charging 25 W. Semua ini bisa didapat dengan mahar tidak lebih dari Rp4.999.000.

5. Realme 8 Pro

Terakhir, ada Realme 8 Pro yang dijual dengan banderol resmi Rp4.499.000. Harga tersebut terdengar semakin menggiurkan setelah mengetahui spesifikasi kameranya: kamera utama 108 megapixel, kamera ultra-wide 8 megapixel, kamera macro 2 megapixel, dan kamera depth 2 megapixel. Untuk keperluan selfie, ada kamera depan 16 megapixel. Buat yang menilai kamera 108 megapixel itu hanya sebatas gimmick, Anda boleh simak ulasan lengkapnya.

Beralih ke depan, pengguna akan disambut oleh layar Super AMOLED 6,4 inci beresolusi FHD+. Dapur pacunya mencakup chipset Snapdragon 720G, RAM 8 GB, dan penyimpanan 128 GB, plus slot microSD. Baterainya yang berkapasitas 4.500 mAh telah mendukung fast charging 50 W.

Gambar header: Depositphotos.com.

Instagram Rilis Remix, Fungsinya Mirip Fitur Duet di TikTok

Salah satu hal yang membuat TikTok banyak digemari adalah elemen interaktif yang ditawarkannya. Di TikTok, kita bukan sekadar menonton video demi video secara pasif, akan tetapi jika mau kita juga bisa berinteraksi dengan video-video tersebut berkat adanya fitur bernama Duet.

Kompetitor TikTok di sisi lain menawarkan alternatif yang terkadang terkesan kurang engaging. Namun tidak untuk Instagram. Di antara banyak pesaing TikTok, Instagram termasuk salah satu yang cepat tanggap, dan itu mereka buktikan baru-baru ini dengan merilis fitur bernama Remix untuk Instagram Reels.

Seperti yang sudah bisa ditebak, Remix adalah ekuivalen fitur Duet di TikTok. Fitur ini memungkinkan pengguna Instagram untuk merekam video Reel di samping Reel milik pengguna lain, dan salah satu skenario penggunaan yang paling cocok dari fitur ini tentu adalah untuk membuat video reaksi terhadap konten Reel yang sedang viral.

Untuk menggunakan fitur Remix, cukup klik menu tiga titik pada suatu video Reel, lalu pilih opsi “Remix this Reel”. Dari situ tampilannya otomatis akan dibagi menjadi dua, satu untuk video Reel yang dipilih, satu untuk video baru yang hendak dibuat. Setelah selesai merekam, pengguna juga dapat melakukan penyuntingan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menyesuaikan volume dari video Reel aslinya, atau malah menambahkan voiceover ekstra.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, tidak semua konten Reel bisa di-remix, melainkan hanya yang diunggah setelah update ini diluncurkan. Secara default, Remix akan aktif pada semua Reel yang diunggah oleh akun publik. Untuk video-video Reel lama yang diunggah sebelum fitur ini eksis, pengguna harus mengaktifkan dukungan Remix secara manual agar video tersebut dapat di-remix oleh pengguna lain.

Video-video hasil Remix yang diunggah akan muncul bersamaan dengan konten Reel lain di tab Reel pada profil Instagram masing-masing pengguna. Pengguna juga dapat memantau siapa saja yang sempat me-remix konten Reel unggahannya melalui tab Activity.

Bagi yang selama ini kurang tertarik dengan Instagram Reels karena kangen dengan fitur Duet milik TikTok, mungkin keberadaan Remix sekarang bisa kembali menggugah perhatian Anda.

Sumber: TechCrunch.

7 Aplikasi Alternatif TikTok untuk Platform iOS

Popularitas TikTok yang mendunia secara langsung mengangkat tren video pendek menjadi fenomena global. Sekarang hampir semua platform sosial menawarkan wadah khusus untuk menampung video-video pendek, tidak terkecuali YouTube.

Continue reading 7 Aplikasi Alternatif TikTok untuk Platform iOS

Lewat Galaxy Movie Studio, Samsung Ajak Sineas Muda untuk Membuat Film Pendek Bersama Sutradara Kawakan

Diperkenalkan menjelang akhir tahun 2019, Galaxy Movie Studio adalah sebuah platform yang Samsung hadirkan guna memfasilitasi hobi membuat film para konsumennya. Awalnya cuma sebatas memberikan pelatihan bersama sineas-sineas ternama, Galaxy Movie Studio terus berevolusi hingga menjadi kompetisi film pendek di tahun 2020, tepatnya setelah seri Galaxy Note20 dirilis.

Memasuki tahun ketiganya ini, Samsung mengajak para pemenang tahun lalu untuk berkompetisi kembali di tingkat yang lebih profesional lagi. Setelah melalui seleksi ketat, dipilihlah Kenza Luthfiani sebagai pemenang, dengan film pendeknya yang berjudul “Do You Want to Get Out”.

Kenza Luthfiani / Samsung Indonesia

Kenza masih berusia 19 tahun, dan ini selaras dengan tujuan program Galaxy Movie Studio, yakni membakar semangat para sineas muda, sekaligus sebagai bentuk dukungan Samsung terhadap industri perfilman tanah air. Program ini juga sudah mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru.

Sebagai pemenang, talenta Kenza bakal diuji di tingkat profesional. Ia telah ditunjuk menjadi asisten sutradara dari pembuatan film pendek berjudul “The Epic Movie”, mendampingi sutradara kawakan Angga Dwimas Sasongko. Tanpa harus terkejut, kamera yang boleh digunakan selama pembuatan film tersebut tentu hanyalah Samsung Galaxy S21 Ultra 5G saja.

Angga Dwimas Sasongko / Samsung Indonesia

Angga sendiri justru merasa tertantang dengan batasan ini. Ia sangat tertarik untuk mengeksplorasi fitur-fitur kamera yang diunggulkan oleh Galaxy S21 Ultra 5G, seperti misalnya Director’s View, mode perekaman dalam resolusi 8K, maupun kapabilitasnya dalam kondisi low-light. Di samping itu, Angga juga melihat ini sebagai kesempatan untuk merasakan langsung ekosistem lengkap yang Samsung tawarkan untuk kebutuhan produksi film.

Tentunya akan sangat menarik melihat hasil akhir dari kolaborasi antara sineas berpengalaman macam Angga dengan sineas muda yang mungkin lebih terbiasa menggunakan smartphone untuk membuat film. Samsung belum bisa memastikan kapan film pendek berjudul The Epic Movie ini bakal tayang, akan tetapi update-nya pasti bakal diumumkan melalui akun media sosial Samsung Indonesia ke depannya.

Cerita Dua Kreator Profesional Mengenai Pengalamannya Syuting Iklan Menggunakan Samsung Galaxy S21 Series

Hampir semua ulasan yang saya baca dan tonton mengenai Samsung Galaxy S21 Series 5G di internet menunjukkan sentimen yang positif, terutama terhadap kemampuan kameranya. Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, bagaimana jika yang dimintai pendapat adalah mereka yang memang bekerja secara profesional di bidang fotografi maupun videografi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Samsung Indonesia pun menggelar workshop online bertajuk “Make Storytelling Epic” pada tanggal 19 Februari kemarin. Dua narasumber sekaligus mereka hadirkan, yakni Muhammad Fenno yang sehari-harinya bekerja sebagai seorang Digital Creator, dan Taba Sanchabachtiar yang sudah malang-melintang sebagai Creative Director.

Kedua narasumber membagikan pengalamannya membuat video menggunakan Galaxy S21 Series 5G. Dari tangan Muhammad Fenno, lahirlah dua video bertajuk “Epic Couple Ride” dan “Epic Duel” berikut ini.


Seperti yang bisa kita lihat, kedua video menampilkan adegan bersepeda, dan Fenno rupanya ditantang untuk mengambil semuanya dalam keadaan bergerak, tanpa mengandalkan bantuan perlengkapan lighting tambahan. Hasilnya bisa dibilang cukup mencengangkan, sekaligus berhasil menunjukkan kapabilitas kamera milik Galaxy S21 Series 5G di kondisi low-light.

Pada video yang pertama misalnya, kita dapat melihat adegan yang menunjukkan para pesepeda mengutak-atik smartwatch-nya, dan di situ ternyata tidak ada efek backlight yang biasanya muncul ketika mengambil gambar benda bercahaya dalam kondisi gelap. Kita juga bisa melihat bagaimana fitur Director’s View bekerja, memungkinkan pergantian antara satu lensa ke yang lain secara seamless selagi perekaman terus berlangsung.

“Ini pertama kalinya saya menggunakan smartphone untuk pengambilan video bersepeda. Saya kagum terutama dengan fitur-fitur seperti Director’s View dan Pro Video Mode yang sangat praktis namun tetap memberikan saya kebebasan untuk berekspresi tanpa perlu repot-repot mengganti lensa pada kamera seperti yang biasa saya lakukan ketika mengambil gambar menggunakan kamera DSLR. Fitur-fitur yang ditampilkan oleh Samsung Galaxy S21 Ultra 5G ini memang bukan fitur main-main yang gimmicky, karena memang terasa sekali fungsinya, bahkan bagi seorang Digital Creator seperti saya sekalipun,” ujar Muhammad Fenno.

Juga menarik adalah kesan Fenno terhadap ketahanan baterai S21 Ultra 5G. Untuk video Epic Couple Ride tadi, smartphone sudah dipakai syuting sejak sekitar jam 5 pagi, dan baru selesai mendekati jam 9 pagi. Selama pengambilan gambar, tiga lensa kameranya juga menyala terus menggunakan fitur Director’s View tadi. Namun ternyata saat semuanya sudah selesai, indikator baterainya masih menunjukkan angka 40%.

Beralih ke Taba Sanchabachtiar, beliau ditugaskan untuk menangkap momen yang terjadi di backstage selama acara launching Galaxy S21 Series 5G berlangsung. Berikut video yang dihasilkan oleh timnya.

Di video tersebut, lagi-lagi kita bisa melihat kemampuan kamera S21 Series di kondisi low-light, spesifiknya di suasana balik panggung dengan lorong-lorong yang sempit dan sumber pencahayaan yang minim. Dalam kondisi yang sangat challenging seperti itu, kamera S21 Series pun tetap dapat mempertahankan kinerja autofocus-nya dengan baik.

“Bagi saya, fitur Director’s View merupakan salah satu fitur yang patut diacungi jempol. Dengan mengaktifkan semua kamera, sehingga pengguna dapat mengganti lensa yang diinginkan secara seamless pada saat merekam. Bagi Creative Director seperti saya, hal ini sangat memudahkan untuk menyampaikan story dengan perubahan berbagai angle, bikin story tambah epic dan juga sangat memudahkan tanpa harus repot-repot mengganti lensa. Fitur ini tidak hanya menunjukkan Samsung memiliki performa kamera yang mumpuni, tetapi juga prosesor yang powerful,” ucap Taba.

Taba juga sempat bercerita mengenai kepraktisan fitur Single Take untuk pengguna yang tergolong awam. Beliau mencontohkan Pevita Pearce, yang sempat mengaktifkan fitur tersebut untuk mengabadikan aksi para dancer di panggung. Jadi supaya tidak ada satu pun momen yang terlewatkan, Pevita hanya perlu mengarahkan kamera selama beberapa detik, dan perangkat yang akan bekerja sendiri mengambil foto maupun video dengan berbagai efek yang relevan.

Kedua narasumber sejatinya ingin membuktikan bahwa untuk kebutuhan profesional pun kamera S21 Series 5G sudah bisa diandalkan dengan baik. Yang mereka lakukan pada dasarnya tidak lain dari syuting iklan, dan itu merupakan pencapaian yang cukup mengesankan untuk sebuah smartphone.

8 dari 10 Pekerja di Indonesia Merasa Siap untuk Bekerja Jarak Jauh dalam Jangka Panjang

Kaget dan panik, mungkin itulah yang dirasakan banyak pekerja di Indonesia ketika pemerintah mulai menerapkan kebijakan PSBB pertama kalinya pada bulan April 2020. Dalam sekejap saja, rutinitas bekerja sehari-hari langsung berubah menjadi tren baru bekerja dari kediaman masing-masing.

Sebagian orang tentu menemui tantangan tersendiri selama mengadaptasikan diri dengan kebiasaan baru ini. Melihat pandemi yang tak kunjung berakhir, kita perlu menanyakan ini kepada diri masing-masing: “Sudah siapkah kita melanjutkan tren bekerja jarak jauh untuk jangka panjang?”

8 dari 10 pekerja di Indonesia rupanya menjawab siap. Angka ini didapat dari riset Indeks Kesiapan Bekerja Jarak Jauh yang diprakarsai Dell belum lama ini, yang menyurvei lebih dari 7.000 pekerja dengan usia 18 tahun ke atas di kawasan Asia Pasifik dan Jepang, 1.030 dari antaranya berasal dari Indonesia. Hasil surveinya menunjukkan bahwa 81% pekerja di Indonesia merasa siap untuk bekerja jarak jauh dalam jangka panjang.

Data yang dikumpulkan juga mencakup tentang kesiapan mereka untuk bekerja jarak jauh dalam jangka panjang, serta apa saja faktor-faktor penting yang mereka butuhkan agar bisa sukses bekerja jarak jauh dalam jangka panjang. Secara umum, lebih dari separuh pekerja di Indonesia (55%) merasa perusahaan tempat mereka bekerja sudah mendukung cara bekerja jarak jauh dalam jangka panjang. Sentimen ini konsisten di ketiga kategori utama survei, yaitu gender, kelompok umur, dan skala organisasi.

Martin Wibisono, Direktur Commercial Client Dell untuk kawasan Indonesia dan Filipina, mengatakan bahwa konsep bekerja jarak jauh sebenarnya bukan konsep yang asing bagi sebagian besar tenaga kerja Indonesia. Hanya saja tetap ada kekhawatiran apabila tren ini berlanjut dalam jangka panjang. Jadi walaupun pekerja di Indonesia merasa siap, mereka tetap mengharapkan dukungan yang lebih besar dari perusahaan mereka, terutama sumber daya teknologi dan yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM).

Kebiasaan bekerja jarak jauh memunculkan kekhawatiran atas kaburnya batasan kehidupan kerja dan pribadi / Sumber gambar: Depositphotos.com

Masih banyak tugas yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk memahami berbagai tantangan yang dihadapi oleh karyawan mereka, serta untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan agar para karyawan tersebut bisa sukses bekerja jarak jauh dalam jangka panjang.

Dari sisi sumber daya teknologi, hanya 54% pekerja di Indonesia yang sepakat bahwa perusahaan tempat mereka bekerja telah melakukan semua yang mereka bisa untuk menyediakan sumber daya teknologi yang dibutuhkan. Tantangan terbesar yang mereka rasakan adalah stabilitas jaringan remote, termasuk bandwith internet (41%).

Mereka juga sering kali masih harus menggunakan perangkat pribadi untuk bekerja (32%), dan ini patut mendapat perhatian khusus dari perusahaan jika mempertimbangkan berbagai risiko keamanan TI yang bisa muncul. Para pekerja juga mengalami kesulitan mengakses sumber daya internal perusahaan (28%) begitu kebijakan PSBB diberlakukan.

Dari sisi SDM, sekitar 45% pekerja merasa perusahaan tempat mereka bekerja telah berupaya maksimal dalam menyediakan dukungan SDM yang dibutuhkan. Tantangan terbesarnya sendiri adalah kurangnya sesi pelatihan dan pengembangan, termasuk pelatihan untuk alat-alat digital (48%). Berikutnya adalah kebijakan dan pedoman untuk bekerja jarak jauh yang tidak terbarui (43%), dan kurangnya akses ke perangkat digital untuk melakukan penilaian kinerja, pengajuan cuti, dan lain sebagainya (40%).

“Saat ini bekerja sudah tidak terpaku pada satu tempat dan waktu, tapi fokus pada hasil kerja,” jelas Martin. “Organisasi-organisasi di Indonesia harus siap untuk membantu semua karyawan mereka mewujudkan peran profesional dan personal secara efektif, di mana pun mereka bekerja – inilah cara bekerja yang baru.”

Terkadang, solusi yang dibutuhkan bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti saling berbagi pengalaman pada saat sesi video conference rutin berlangsung setiap minggunya, bukan sebatas membahas hasil dan progres pekerjaan saja. Budaya baru ini pun juga sudah Dell terapkan sendiri di kalangan internal.

Terlepas dari siap atau tidaknya kita beradaptasi dengan cara bekerja jarak jauh, salah satu kekhawatiran terbesar yang dirasakan adalah kaburnya batasan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi, terutama di kalangan pekerja Gen X (34%) dan Millennial (32%). Sementara kalangan Gen Z khawatir mereka akan bosan menjalani cara bekerja jarak jauh dalam jangka panjang (35%).

Gambar header: Depositphotos.com.

Google Kini Lengkapi Hasil Pencarian dengan Informasi Ekstra Mengenai Sumbernya

Sebagai suatu mesin pencari yang bisa diandalkan, Google sebisa mungkin bakal menyajikan hasil pencarian seakurat mungkin. Sering kali hasilnya memang berasal dari situs yang terpercaya, tapi tidak jarang juga Google menampilkan hasil dari situs yang mungkin kurang kita kenali.

Daripada harus membuka tab baru untuk mencari tahu soal situs tersebut terlebih dulu, sekarang ada solusi baru yang lebih praktis. Di setiap hasil pencarian, sekarang pengguna dapat mengklik icon menu yang berlambang tiga titik untuk menampilkan informasi lebih merinci mengenai hasil pencariannya.

Informasinya bisa bermacam-macam, tapi yang paling umum adalah deskripsi situs terkait yang diambil dari Wikipedia. Jadi kalaupun Anda tidak pernah mendengar nama situsnya, setidaknya Anda bisa merasa aman membuka situsnya setelah melihat penjelasan dari Wikipedia (tanpa harus membuka laman Wikipedia itu sendiri).

Alternatifnya, informasi yang ditampilkan juga bisa berupa penjelasan akan fitur yang Google miliki. Lalu seandainya suatu situs belum punya laman Wikipedia sendiri, Google akan menampilkan informasi kapan mereka pertama kali mengindeks situs tersebut. Tidak kalah penting adalah informasi keamanan terkait situs itu sendiri.

Google menilai konteks ekstra ini dapat membantu pengguna menentukan mana informasi yang paling berguna bagi mereka. Juga penting adalah rasa aman itu tadi, terutama saat sedang mencari informasi mengenai kesehatan maupun keuangan. Sekali lagi, semua informasi tambahan ini memang sudah bisa kita cari sendiri secara manual, dan Google hanya bermaksud untuk membantu kita menghemat satu langkah ekstra.

Selain di mobile, fitur baru ini juga akan tersedia di perangkat desktop. Sayang sekali sejauh ini yang kebagian jatah baru pengguna di Amerika Serikat, akan tetapi itu tidak mengejutkan mengingat Google masih menyertakan embel-embel “beta” pada fitur ini.

Sumber: Google.