Living Lab Ventures Pimpin Pendanaan Pra-Seri A ke DCT Agency

Sinar Mas Land melalui kendaraan investasinya Living Lab Ventures (LLV) mengumumkan pendanaan pra-seri A ke startup di bidang kreatif DCT Agency dengan nominal dirahasiakan. Sejumlah investor lain juga turut berpartisipasi.

“Potensi industri kreatif dan startup di Indonesia sangat besar sehingga berpeluang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional,” tutur Chief Transformation Officer Sinar Mas Land Mulyawan Gani dalam keterangan resminya.

Sejauh ini, Living Lab Ventures telah berinvestasi di startup SWAP Energy, Doogether, serta menginkubasi startup marketplace KlikGazz. Tesis investasinya berfokus pada tiga aspek utama, yakni Smart Technologies, Digital Life, dan Mobility.

Sebagai informasi, Living Lab Ventures merupakan corporate venture capital (CVC) yang berfokus untuk memberikan investasi untuk inkubasi dan akselerasi digital entreprenuer potensial di Indonesia. Pihaknya mengincar sektor agnostik agar dapat menjangkau jaringan investasi yang lebih luas.

Dalam wawancara sebelumnya, Living Lab Ventures hadir untuk mewadahi pengembangan aspek digital yang dapat mendukung pengembangan township yang dilakukan oleh Sinar Mas Land. Fokusnya adalah membangun ekosistem digital menyeluruh di kawasan kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang.

Pengembangan kreatif

Beroperasi sejak 2021, DCT Agency bergerak di bidang talent management dan digital advertising untuk mendukung branding perusahaan. DCT Agency menghadirkan empat layanan melalui Key Opinion Leader (KOL) Campaign, TikTok Live E-commerce, dan TikTok Ads and Shop Manager sesuai kebutuhan.

Pihaknya mengklaim telah melahirkan lebih dari 500 kreator di industri kreatif Indonesia. Di sepanjang 2022, DCT Agency menyebut telah mengantongi sebanyak 77,8 miliar tayangan dari 500 KOL di dalam jaringannya.

Dengan pencapaian ini, pihaknya akan memperluas layanannya ke platform lain dan menawarkan Software-as-a-Services (SaaS). “Kami harap suntikan dana investasi ini dapat membantu kami berkembang dan memberikan dampak lebih luas untuk melahirkan talenta-talenta digital yang mampu mendorong penetrasi digitalisasi Indonesia,” ujar Founder dan CEO DCT Agency David Nugroho.

Ekraf menjadi salah satu sektor yang tengah digencarkan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di 2021, sektor ekonomi kreatif (ekraf) menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1.134 triliun atau 6,98% terhadap PDB nasional.

Adapun, Asosasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 210 juta atau setara dengan penetrasi 77% pada periode 2021-2022.

Super-App Gencar Eksplorasi Bisnis “Adtech”

Pemilik platform super-app di Indonesia semakin gencar mendalami bisnis advertising technology atau adtech. Setelah Gojek, Tokopedia, dan Grab, kini Traveloka juga menghadirkan layanan serupa dengan nama Traveloka Ads.

Dipantau dari situs resminya, Traveloka Ads menawarkan layanan iklan bagi targeted audience dengan pilihan slot beragam dan biaya yang fleksibel. Brand dapat membidik audiens berdasarkan sejumlah kriteria, seperti kawasan/kota, aktivitas terkini, level pengguna, produk yang dibeli, dan metode pembayaran.

Traveloka Ads juga menghadirkan berbagai pilihan slot placement mulai dari halaman utama aplikasi, m-web, dan desktop; halaman pembayaran, points, dan promo; serta live stream.

Layanan Traveloka Ads juga diklaim telah membuahkan hasil optimal bagi pengiklan/pemilik brand. Klien perbankan tercatat mendapatkan 13 juta impresi dari lima slot iklan kartu kredit selama tiga bulan. Kemudian, klien video on-demand juga mengantongi 1,2 juta impresi dan 1.000 daily visit dari tiga slot iklan aplikasi selama 15 hari di platform Traveloka.

Langkah Traveloka menyeriusi bisnis adtech tak lepas dari potensi periklanan digital yang diproyeksi terus bertumbuh di tanah air. Selain itu, super-app telah memiliki basis pengguna besar dengan dukungan layanan beragam dan rekam jejak transaksi. Adapun, Traveloka memiliki lebih dari 50 juta pengguna aktif bulanan (iOS, Android, desktop) serta lebih dari 15 produk travel dan lifestyle.

Riset Statista menunjukkan bujet digital advertising di Indonesia diproyeksi mencapai $2,55 miliar di 2023, di mana 62% dari total bujet tersebut bakal dialokasikan untuk mobile, sedangkan sisanya 38% untuk desktop. Adapun, riset lain oleh Industry Research memperkirakan pasar adtech global di 2021 sekitar $20,3 miliar, dan naik 13% menjadi $42,08 miliar di 2027.

Layanan sejenis

Grab telah lebih dulu masuk ke bisnis periklanan melalui GrabAds (2018) kendati model bisnis yang diperkenalkan saat itu bermain di ranah online-to-offline (O2O). Ada tiga kategori iklan yang ditawarkan, yaitu mobile billboards, in-car engagement, dan in-app engagement.

Tahun lalu, GoTo Group melalui Gojek dan Tokopedia juga mengumumkan komitmennya masuk ke bisnis periklanan. Dalam menjalankan bisnis ini, keduanya berjalan dengan brand dan unit bisnis terpisah. Gojek menggandeng perusahaan adtech asal Taiwan, TenMax, untuk menghadirkan Gojek Ads Network (GoGAN), sedangkan Tokopedia meluncur dengan layanan “Tokopedia Marketing Solutions“.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Tokopedia menyebutkan bahwa layanan ini mengincar pelaku bisnis dari berbagai skala untuk memaksimalkan platform e-commerce dalam strategi pemasarannya. Sementara, GoGAN memungkinkan pelaku bisnis menjalankan kampanye promosi maupun iklan dengan menghilangkan beberapa friksi dan memudahkan pemasangan iklan di berbagai media yang berbeda.

Merangkum sejumlah sumber, istilah adtech kerap dikaitkan pada pemanfaatan software dan tools yang memungkinkan agensi, brand, dan platform untuk membidik targeted audience dan mengukur kampanye iklan digital mereka. Sejumlah solusi adtech yang banyak digunakan terdiri dari Demand Side Platform (DSP), Supply Side Platform (SSP), dan data management platform.

Di skala global, ada raksasa e-commerce Amazon yang menggarap bisnis advertising melalui Amazon Ads. Bagi Amazon, aktivitas jual-beli iklan digital menjadi lebih kompleks sehingga solusi adtech mengambil peran untuk merampingkan prosesnya. Pada intinya, adtech dapat memberikan nilai tambah bagi pemilik brand dan agensi untuk mengelola kampanye terintegrasi secara efektif, menggunakan bujet lebih efisien, dan memaksimalkan ROI mereka.

Application Information Will Show Up Here

Belajar Tentang Google Adwords, Platform Iklan yang Bantu Bisnis untuk Berkembang

Di era serba digital ini, pelaku bisnis dapat memperluas pasarnya melalui pemanfaatan internet. Salah satunya, melalui fitur iklan berbayar dari mesin pencari Google, yang bernama Google Adwords atau sering juga disebut Google Ads.

Ketika mencari suatu kata kunci di Google, pada hasil pencarian, sering kali ditemukan kata “Iklan” atau “Ad”. Itu lah yang dimaksud dengan Google Adwords. Lantas, apa sebenarnya fitur dari Google ini, dan mengapa cocok digunakan untuk pelaku bisnis?

Pertanyaan demikian sering muncul dari pelaku bisnis yang ingin mendalami digital marketing, sebagai upaya memperluas jangkauan target pasarnya. Untuk menjawab rasa penasaran itu, simak penjelasan berikut ini.

Apa Itu Google Adwords?

Google Adwords adalah sebuah fitur yang digunakan untuk mengiklankan produk bisnis, yang nantinya produk tersebut akan muncul pada halaman pencarian Google, dengan suatu kata kunci tertentu yang berkaitan dengan produk yang diiklankan.

Sebagai informasi, sebenarnya Google Adwords telah berganti nama menjadi Google Ads, sejak 2018 lalu. Meski begitu, adanya rebranding ini tidak berpengaruh pada cara kerja dan penggunaannya.

Adanya Google Ads diklaim mampu menjawab keresahan yang dirasakan para pelaku bisnis, terutama bagi yang ingin atau telah merambah ke dunia digital. Fitur ini memfasilitasi kemampuan pelaku bisnis dalam merencanakan strategi pemasaran digital.

Pelaku bisnis dapat mengatur sendiri penempatan iklannya tampil di Google Search, serta kriteria lainnya seperti kata kunci, topik, lokasi, hingga bahasa, sesuai dengan target pasar yang disasar oleh pelaku bisnis.

Tak hanya itu, durasi lamanya iklan ditayangkan serta kisaran jumlah klik per harinya, juga dapat diatur oleh pelaku bisnis, sesuai dengan budget pemasaran yang dimiliki.

Mekanisme Pembayaran Google Adwords

Terkait dengan biaya beriklan di Google Adwords, ada beberapa cara pembayaran yang diterapkan oleh fitur tersebut, antara lain:

  • Bayar per 1,000 Impresi (Pay per Thousand Impression)

Bagi yang beriklan di Google Adwords akan dikenakan biaya iklan, setiap ada seribu orang yang melihat iklan tersebut. Cara ini cocok diterapkan untuk melihat seberapa besar awareness yang dibangun dari iklan yang dipasang.

  • Bayar per Klik (Pay per Click)

Pemasang iklan akan dikenakan biaya iklan, setiap kali ada yang meng-klik iklan tersebut. Jika audiens hanya melihat iklan, tanpa berkunjung ke situs produk yang diiklankan, maka tidak akan dikenakan biaya apa-apa.

  • Biaya per Konversi (Pay per Conversion)

Biaya hanya akan dikenakan apabila tujuan beriklan terpenuhi. Misalnya, tujuan beriklan yang diekspektasikan adalah audiens melakukan pendaftaran akun member hingga pembelian produk. Maka, pemasang iklan itu hanya membayar setiap tujuan tersebut terlaksana.

Pelaku bisnis yang memanfaatkan fitur Google Adwords ini, artinya sudah mengambil langkah maju menuju kedunia bisnis digital. Fitur ini dapat meningkatkan brand awareness hingga penjualan produk yang diiklankan. Sehingga, menjadi strategi yang tepat digital marketing.

Mengenal Digital Marketing, Beserta Jenis dan Keuntungannya

Istilah digital marketing kini semakin sering digunakan dalam dunia bisnis, seiring dengan semakin banyaknya penggunaan internet. Digital marketing disebut sebagai sebuah strategi yang ampuh dalam memasarkan produk bisnis.

Lantas, apa alasan strategi tersebut dikatakan ampuh? Berikut ini akan dibahas mengenai pengertian, manfaat hingga jenis-jenis digital marketing, yang dapat berguna bagi pelaku bisnis dalam upaya meningkatkan penjualan.

Pengertian Digital Marketing

Digital marketing atau pemasaran digital adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan strategi khusus, dalam upaya mempromosikan brand atau produk, melalui media digital. Tujuannya untuk menarik konsumen dan calon konsumen secara cepat.

Ada pun platform yang digunakan untuk pemasaran digital dapat berupa apapun. Mulai dari website, media sosial, televisi dan beragam jenis platform digital lainnya.

Pernah melihat iklan saat mengunjungi website, menonton acara di televisi bahkan ketika sedang membuka media sosial? Iklan tersebut termasuk bagian dari digital marketing.

Beragam Jenis Digital Marketing

Ada pun beberapa jenis digital marketing yang biasa ditemukan di platform digital, antara lain:

  • Website Marketing

Website atau situs web dapat menjadi wadah pemasaran yang baik bagi bisnis. Penggunaan situs web dapat menujukkan profesionalitas perusahaan, serta menarik perhatian calon konsumen, melalui postingan blog, video, email dan lainnya.

Pada jenis digital marketing satu ini, dapat juga memanfaatkan sistem mesin pencari. Ada pun search engine optimization (SEO) dan search engine marketing (SEM), keduanya berguna meningkatkan visibilitas website di halaman hasil mesin pencari.

  • Social Media Marketing

Pemanfaatan media sosial sebagai wadah pemasaran digital menjadi cara yang paling diminati saat ini. Selain karena kemudahannya, promosi di media sosial dapat dilakukan dengan biaya minim bahkan gratis.

Biasanya, media sosial yang digunakan adalah Instagram, Facebook, Twitter, Youtube hingga yang terbaru saat ini Tiktok. Penggunaan media sosial ini dapat dilakukan secara beriringan, sehingga makin meningkatkan brand awareness ke masyarakat luas terhadap bisnis.

  • Digital Advertising

Digital advertising atau digital ads adalah jenis pemasaran digital dengan pemasangan iklan di berbagai platform digital. Mulai dari Google Ads, Instagram Ads, Facebook Ads, Youtube Ads hingga Tiktok Ads.

Berbeda dengan social media marketing, yang pemasarannya dilakukan secara manual sehingga biayanya gratis. Digital ads ini mengandalkan layanan khusus pada platform terkait, sehingga berbayar.

  • Affiliate dan Dropshipping Marketing

Program affiliate dan dropshipping marketing ini merupakan strategi pemasaran digital dengan cara menarik mitra untuk membantu mempromosikan dan menjual kembali produk bisnis, sehingga mereka ikut mendapat keuntungan.

Keuntungan Pemasaran Digital bagi Bisnis

Digital marketing memiliki beberapa kelebihan yang membuat strategi pemasaran ini digemari para pelaku bisnis, di antaranya sebagai berikut:

  • Proses yang Praktis dan Fleksibel

Pelaku bisnis tidak perlu terjun langsung ke lapangan untuk mencari konsumen. Hanya perlu terkoneksi dengan internet, promosi dapat langsung dilakukan. Sehingga, proses pemasaran atau branding jauh lebih mudah dan cepat.

  • Penjualan Produk Lebih Cepat dan Punya Target yang Jelas

Proses pemasaran yang lebih cepat, tentu dapat mendatangkan konsumen lebih cepat, sehingga produk yang dijual cepat terjual. Selain itu, dengan pemasaran digital, pelaku bisnis dapat lebih mudah menentukan kriteria target konsumen yang tepat.

  • Hubungan dengan Konsumen Terbangun Erat

Adanya pemasaran digital dapat membantu pelaku bisnis membangun interaksi dengan konsumen dengan lebih mudah, yakni melalui media sosial. Dengan begitu, engagement dengan konsumen akan semakin erat.

  • Raup Banyak Profit dalam Waktu Singkat

Keuntungan yang paling penting dalam pemasaran digital adalah kesempatan memperoleh keuntungan dalam waktu lebih singkat. Sebab, pelaku bisnis dapat menjangkau lebih banyak konsumen secara praktis, tanpa biaya besar.

Apa itu CPC? Pelaku Bisnis yang Mau Go Digital Wajib Tahu

Dalam lingkup periklanan, terdapat istilah yang bernama CPC (cost per click) atau biaya per klik. CPC merupakan faktor penting dalam berbagai tipe iklan, seperti Google Ads, Facebook Ads, Instagram Ads, Linkedin Ads, hingga Twitter Promoted Tweets.

CPC digunakan sebagai tolok ukur dalam menghitung total jumlah biaya, yang perlu dibayarkan dari kampanye iklan digital yang dijalankan. Penjelasan lebih lanjut terkait CPC, akan dijabarkan, berikut ini:

Pengertian CPC atau Biaya per Klik

CPC adalah istilah paid advertising mengenai besaran nilai yang diberikan pengiklan kepada publisher atau penerbit webiste, untuk setiap klik yang didapat dari sebuah iklan. CPC juga dikenal dengan sebutan PPC atau pay per click.

Dari sisi pengiklan, CPC digunakan sebagai suatu metrik yang mampu menentukan tingkat keberhasilan, serta pengembalian investasi iklan berbayar. Biasanya, pihak pengiklan telah menetapkan budget tertentu untuk biaya iklan tersebut.

Sementara, dari sisi penerbit website, CPC merupakan suatu cara untuk menagih jumlah biaya iklan, berdasarkan jumlah kegiatan klik pada iklan tersebut, yang dilakukan oleh para pengunjung website.

Umumnya, pemilik website akan memanfaatkan jasa pihak ketiga, yang bertugas menyesuaikan biaya tersebut. Salah satu alat yang paling populer dan sering digunakan adalah Google Adwords.

Seperti Apa Cara Kerjanya?

Cara kerja CPC diklaim sebagai cara yang baik bagi pelaku bisnis untuk beriklan. Sebab, pelaku bisnis selaku pengiklan dapat mengendalikan budget iklan. Selain itu, pengiklan juga dapat mengevaluasi kampanye yang dijalankan berdasarkan reaksi audiens.

Ada pun tahapan cara kerja CPC, antara lain sebagai berikut:

  • Setiap kali iklan terlihat, sistem akan mulai melakukan lelang secara internal.
  • Lalu, sistem memperlihatkan iklan yang telah lolos quality control dan yang memiliki penawaran cukup tinggi.
  • Iklan akan terlihat setiap kali seorang pengguna memasukkan kata kunci yang cocok dengan daftar kata kunci yang dipilih pengiklan.
  • Pengiklan akan membayar ketika ada pengguna yang melakukan klik pada iklan tersebut. Jika pengguna hanya terlihat, tanpa meng-klik, pengiklan tidak dikenakan biaya.

Mengapa Penting Bagi Pelaku Bisnis?

Manfaat yang didapatkan oleh pelaku bisnis dengan beriklan menggunakan metode CPC adalah, sebagai berikut:

  • Pelaku bisnis mampu mengetahui efektivitas biaya iklan, yang sudah dikeluarkan atas jumlah pengunjung yang datang.
  • Pelaku bisnis akan mendapatkan informasi terkait teks iklan, kata kunci, atau banner iklan mana saja yang dinilai efektif digunakan dalam berbagai kampanye iklan.

Dengan begitu, pelaku bisnis dapat lebih fokus dalam menjalankan kampanye iklan digitalnya. Sehingga, dapat mendatangkan pengunjung yang berkualitas, serta menunjang perkembangan bisnis yang dijalankan.

Perbedaan Adtech dan Martech dalam Ekosistem Digital

Dalam diskusi mengenai bidang marketing, Anda mungkin bakal sering mendengar istilah “adtech” dan “martech” dilontarkan. Keduanya sepintas terdengar mirip, namun sebenarnya ada sejumlah faktor yang membedakan di antara keduanya.

Terlepas dari itu, di era serba digital seperti sekarang, adtech dan martech tentunya memegang peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan suatu bisnis. Tidak peduli seberapa kecil atau besar skala bisnisnya, adtech dan martech bakal selalu bisa difungsikan sebagai solusi untuk membantu mengembangkan bisnis.

Namun sebelum kita membahas lebih jauh mengenai adtech dan martech, ada baiknya kita mengenali dulu perbedaan di antara keduanya.

Apa itu martech?

Dari perspektif sederhana, marketing technology atau martech merujuk pada penggunaan teknologi untuk mengeksekusi strategi pemasaran digital. Secara umum, martech biasanya hadir dalam bentuk SaaS (Software-as-a-Service) dengan fokus pada keperluan automasi, khususnya untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas-tugas yang repetitif, sehingga pada akhirnya memungkinkan para marketer untuk lebih berfokus pada aspek kreatif dan strategis.

Automasi, kalau menurut MarTech Today, dapat mengombinasikan beberapa kriteria, termasuk halnya demografi, firmografi, dan behavioral data, dengan sebuah sistem lead scoring untuk menghasilkan dan mengidentifikasi sales-qualified lead. Harapannya tentu adalah supaya lead ini bisa dikonversi menjadi sales.

Dari sudut pandang lain, martech juga dapat dilihat sebagai penggunaan teknologi untuk mewujudkan, mengukur, sekaligus mengoptimalkan komunikasi dengan potential maupun existing customer via berbagai macam kanal digital. Beberapa contoh produk martech yang umum digunakan adalah customer-relationship management (CRM) platform, content marketing platform, email marketing software, social media management software, dan digital analytics tools.

Apa itu adtech?

Sesuai namanya, advertising technology atau adtech merujuk pada penggunaan teknologi untuk mengekspos sesuatu ke hadapan publik secara luas. Adtech hadir sebagai solusi untuk membantu perusahaan menggaet customer baru, memfasilitasi penyampaian pesan kepada customer secara langsung, sekaligus memastikan bahwa semuanya dieksekusi dengan tepat sasaran.

Beberapa contoh produk adtech yang kerap digunakan meliputi data management platform, Demand Side Platform (DSP), Supply Side Platform (SSP), ad exchange, maupun tag management system.

Adtech dan martech dalam ekosistem digital

digihackaction

Relevansi adtech dan martech terus meningkat seiring tingginya dominasi platform digital. Dewasa ini, hampir semua strategi pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan, baik kecil ataupun besar, melibatkan pengadopsian adtech dan martech, sebab semuanya memang tidak akan luput dari digitalisasi.

Hal ini pada akhirnya membuka peluang untuk menjadi pemain di industri adtech dan martech itu sendiri. Bagi yang bingung harus memulai dari mana, Anda mungkin bisa berpartisipasi dalam acara DigiHackAction 2021.

Event hackathon khusus adtech dan martech pertama di Indonesia ini merupakan hasil kolaborasi antara Telkomsel DigiAds, Tinc, dan DailySocial.id. Acara bertujuan untuk mempermudah bisnis, terutama UMKM yang membutuhkan inovasi dan solusi dalam bidang adtech dan martech.

Acara ini juga dirancang untuk memberdayakan dan membuka kesempatan bagi para inovator yang ingin melanjutkan perjalanan mereka dalam bidang advertising innovation, serta membuat inovasi yang “customer centric” dalam menghadirkan inovasi periklanan yang bisa membantu industri dan Indonesia.

Bagi yang berminat dengan dunia digital advertising dan marketing, Anda bisa mendaftarkan ide atau inovasi di DigiHackAction 2021 tanpa perlu mengeluarkan biaya. Selain berpeluang memenangkan total hadiah hingga 100 juta rupiah, partisipan acara ini juga punya kesempatan untuk memperluas jangkauan koneksi bersama partner Telkomsel DigiAds dan Tinc.

Gambar header: Depositphotos.com.

Why Are Most Free-to-Play Games Advertisements Incredibly Misleading?

If you play a lot of free-to-play games, you will often be exposed to false advertisements. These misleading free-to-play game ads usually take different forms. There are even some ads that include sexual innuendos that might not even exist in the actual game. Some use modified screenshots of other games. Other fraudulent advertisements use animations that do not represent the gameplay of the original game. 

Such advertisements are annoying and demeaning to the targets. But why are there so many deceitful advertisements out there? There are, in fact, several reasons behind the prevalence of misleading game commercials. 

Without further ado, let’s explore this topic together.

 

1. Game developers/publishers who are not confident in their products

Just like the exams you experience in school, you will probably not cheat if you are confident with the exam materials. On the other hand, you will most likely cheat when you have doubts about your abilities during the test.

Take social media as another example. Most people who are confident with their looks will use their own photo as their profile picture, and vice versa. 

Likewise, game developers who are not satisfied or confident with their final product might want to represent something that has superior quality. As a result, they are willing to take screenshots of other games, manipulate images or videos, or even create advertisements that differ greatly from the actual gameplay.

You can try to imagine the contrary. Will CD Projekt reuse an ad for the release of  The Witcher 3? Please see the trailer (which can also be considered an advertisement) of The Witcher 3 above.

Everything in the trailer is, unsurprisingly, in the game. Let’s look back at the first presupposition at the beginning of this section. If CD Projekt has succeeded in creating a high-quality game and is confident in the results, why should they manipulate the trailer or the advertisement?

 

2. Game developers/publishers who don’t care about branding

Some publishers or developers don’t really care about their brand image. These game developers usually create free-to-play games with the sole purpose of generating large revenues from the players as fast as possible (by incorporating a pay-to-win system).

This is not too different from fraudulent investment companies whose goal is to take your money then escape without a trace. Though the game companies mentioned previously do not operate like this, most of them do not have long-term targets.

This game advert uses screenshots from another game called Archero.

These game companies can also change their brand name if they have generated a bad image in the community. The same can be said for most toxic players in online games. They have no plans to maintain their good name in the community and hide behind anonymity. When they get banned for their toxic behaviour, they can easily create a new account.

If these companies do not have long-term thinking, it is easy to justify their misleading actions to the community, such as using fake advertisements. On the other hand, this trick is close to impossible to execute for old and well-established companies Nintendo, which is 130 years old, or Sony, which was founded in 1946, without causing a severe backlash to their brand’s integrity.

 

3. A digital advertising system that encourages misleading ads

Unfortunately, the cause of the phenomena of false free-to-play game adverts is also driven by many commonly used digital advertising calculation systems.

Most digital advertising cost models used today are CPM (Cost Per Mile), CPC (Cost Per Click), CPI (Cost Per Install), and CPA (Cost Per Activation).

In the CPM system, the advertiser only needs to pay for every 1000 times the ads are shown. Meanwhile, with CPC, the advertiser only needs to pay every time the ad is clicked. The CPI and CPA indicate that advertising costs will depend on the number of installs of the application (CPI) and the number of times the app is opened (CPA).

From the advertiser’s point of view, the more profitable calculation systems are usually the ones with the highest conversion rates. For example, let’s say that you are selling onions in the weeb market. Then, two advertising services, called A and B, gave you an offer.

Service A said, “I have 10 trillion followers who can see your ad.” On the other hand, service B said, “I don’t have that many followers. However, you only need to pay me every time someone buys 10 grams of onions through my ad.”

From this analogy, the better option to pick is service B because the cost (or ROI ) is much easier to calculate concretely. You know very well how much money is needed to sell every 10 grams of onions, for example.

On the flip side, if you chose service B, you cannot be sure how many of the 10 trillion followers will actually see the advertisement. Even though, for example, only 10 people see your ad, you will need to pay the full amount for 10 trillion followers.

However, there is also a downside when choosing service B because they do not care if customers will become loyal in the future. Their primary goal is, after all, to attract new customers that will buy 10 grams of onions.

Service B can also put up an extensively misleading advertisement such as: “put 10 grams of this onion around the neck in 15 minutes, and you will have a 42% chance of preventing various diseases ranging from diabetes, cancer, heart disease, blood circulation, impotence, and cavities. If you use it for half an hour, you will have a much greater chance of 80%. “

Of course, these kinds of ‘overly attractive’ advertisements will most likely get a lot of attention from non-experienced consumers. But whether the onion product actually heals diseases is not service B’s business. The advertisement service only cares about luring customers to buy 10 grams of onions. If the onions do not actually work, the service B will turn a blind eye since they will receive their commission anyways.

Disclaimer: This story is obviously fictitious and is only used as an analogy to elaborate the discussion.

 

4. The majority of targeted advertisements are gullible

Of course, apart from the advertiser, agency, or service provider, the ad targets are also the ones that allow these fraudulent free game ads to rise in demand.

“Click here to see a photo of a beautiful artist who has just been caught staying at the hotel with Mr. Horse.” “This 1000-storey house can be yours by simply sending a selfie while holding your ID card.” Maybe these examples are hyperbolical, but people, more often than not, still get fooled by them.

Via: Reddit

Some people’s logic can be blurred when it comes to libido. That’s why there are game ads that promote sexual innuendos even though they might not exist in the actual gameplay. Other game advertisements use graphic (photo/video) manipulation to “beautify” the game.

You and I can definitely educate the market segment that these misleading ads are targeting. As fewer people get deceived by fake advertising, the likelihood that advertisers with use these cheap tactics will also decrease. I am very well aware that if you manage to read the article up to this point, you should not be included in the gullible market segment. However, there are still many people out there who can be potential victims of false ads. So, help them out by sharing this article! 

 

5. Unclear consumer protection laws

The last reason behind the prevalence of misleading game advertisements, in my opinion, lies in the lack of clarity about the current laws regarding consumer protection. From my googling results, two sources might be of good use. The first source is from an article on HukumOnline, while the second source comes from a study entitled Legal Responsibility of Advertising Business Actors for Advertising Products that Violate Advertising Ethics (PDF).

I am by no means an expert in the law, and I can’t quite grasp whether it is actually legitimate to bring up the issue of false advertisements in court. 

Even if it can be questioned, who can be held accountable? We also have to consider the fact that most of these mischievous publishers/developers do not have companies in Indonesia. Can I dispute this through international legal channels? Furthermore, what about the advertising platforms, such as Facebook or Google, that display these fraudulent ads?

Unfortunately, even though there are laws out there concerning fraudulent advertising, it does not make the problem any easier to solve, perhaps because of the weak law enforcement on this matter.

 

Conclusion

I believe that the prevalence of deceptive game advertisements does not originate from just one aspect. From the 5 aspects that I mentioned above, we only have the power to change and educate the market segment, although it is not easy to do either.

Nevertheless, I hope this article can be helpful for you and the people around you. So, again, don’t forget to share it!

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Feat Image via: Gibbs Law Group

Mendiskusikan Dampak RUU PDP Terhadap Bisnis Periklanan Digital di Indonesia

Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) cepat atau lambat akan disahkan oleh parlemen menjadi produk hukum tetap. Keberadaan beleid itu kian penting karena masyarakat sudah makin terhubung dengan layanan digital.

Dengan kata lain, RUU PDP menjadi satu-satunya harapan bagi masyarakat agar data yang mereka serahkan ke sejumlah platform layanan digital dapat benar-benar dilindungi. Namun aturan perlindungan data pribadi yang lebih ketat punya dampak yang berbeda ke dunia periklanan digital.

Indonesia Digital Association menangkap potensi dampak tersebut. Ketua IDA Dian Gemiano mengakui dampak yang akan dibawa oleh RUU PDP akan besar terhadap periklanan digital. Namun ia meyakini industri periklanan digital tak perlu khawatir asal dapat beradaptasi dengan cepat.

“Aturan-aturan tersebut juga akan melindungi pemilik usaha dari gangguan para pelaku data fraud yang sering merugikan pelaku usaha yang legitimate,” ujar Gemi.

Chairman Asosiasi Big Data dan AI Indonesia Rudi Rusidah menjelaskan, tujuan utama RUU PDP adalah menjaga kedaulatan data masyarakat. Rudi, yang aktif terlibat dalam pembahasan RUU PDP, menilai regulasi itu cukup penting dalam kegiatan periklanan digital untuk meminimalisasi kebocoran data atau penyalahgunaan data. Salah satu caranya adalah dengan menukar data yang bisa diidentifikasi ke pemilik data dengan kode atau nomor-nomor tertentu. Cara tersebut dinamakan pseudonymization.

“Di dalam peraturan itu nanti kalau mau sharing data atau menjual data ke orang lain datanya harus dibikin anonim,” imbuh Rudi.

Industri periklanan digital, baik lokal maupun global, memang sedang menghadapi tantangan besar sepanjang tahun ini. Di Eropa, berlakunya GDPR mengubah banyak hal dalam khususnya cara kerja industri periklanan digital.

Tekanan untuk mengamankan data pribadi di berbagai platform digital pun terus menguat. Kabar terbesar paling anyar datang dari Google yang berencana mematikan secara bertahap third party cookies di peramban Chrome dalam dua tahun ke depan.

Dalam dunia periklanan digital, third party cookies adalah alat yang dapat membantu mereka dalam menelusuri data pengguna antarsitus web yang berbeda. Dengan alat itu pemilik situs dapat melakukan re-marketing atau re-targeting dalam sebuah kampanye.

Data dari StatCounter pada September 2020 menunjukkan pangsa pasar peramban Google Chrome di Indonesia mencapai 77,5%. Hilangnya third party cookies di peramban itu jelas akan memaksa banyak pihak di industri periklanan digital mencari cara baru dalam mengelola dan memonetisasi first party data.

“Penting bagi pelaku industri digital mengerti bagaimana praktik bisnis bisa mematuhi peraturan data pribadi yang ada di industri, meskipun saat ini masih berbentuk RUU,” pungkas Gemi.

Gambar Header: Depositphotos.com

Kenapa Banyak Iklan Game Gratis Tipu-Tipu?

Jika Anda sudah beberapa kali bermain game gratisan, kemungkinan besar, Anda akan terpapar dengan iklan game yang tidak sesuai dengan gameplay aslinya. Iklan game gratis tipu-tipu ini biasanya ada beberapa macam bentuknya. Ada yang menggunakan hal-hal berbau seksual di iklannya meski aslinya tidak demikian. Ada yang menggunakan screenshot dari game lain yang sudah dimodifikasi biar tidak terlalu kentara. Ada juga yang sengaja membuat animasi baru seolah menunjukkan gameplay namun berbeda jauh dengan aslinya saat dicoba.

Iklan seperti itu memang, faktanya, menjengkelkan dan merendahkan intelektualitas sang pelihat iklannya. Namun pertanyaannya, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Ada beberapa alasan yang akan kita bahas satu per satu di artikel kali ini.

Tanpa basa-basi lagi, mari kita telusuri bersama.

 

1. Developer/publisher game yang tidak percaya diri dengan produknya

Pengandaiannya, misalnya saja seperti ini, apakah Anda akan mencontek saat ujian ketika Anda percaya diri sudah menguasai materi? Harusnya sih tidak… Anda akan mencontek ketika Anda ragu dengan kemampuan Anda sendiri saat ujian tersebut.

Satu lagi pengandaiannya. Jika Anda pria seperti saya, kemungkinan besar Anda akan follow selebriti sosmed gadis-gadis yang cantik jelita… Wkwawkwakkw… Apakah mungkin gadis-gadis cantik jelita itu akan menggunakan PP (Profile Picture) anime atau yang sejenisnya? Nyahahaha…. Percaya saya, mereka juga tahu dan sadar jika mereka cantik dan digemari ribuan atau bahkan jutaan kaum Adam.

Demikian juga dengan developer/publisher game yang culun-culun. Mereka juga sadar bahwa game mereka tidak semenarik itu… Makanya mereka mengambil screenshot game lainnya, memanipulasi gambar atau video, atau bahkan membuat iklan yang berbeda jauh dengan gameplay yang ditawarkan.

Coba bayangkan saja sebaliknya. Apakah CD Projekt akan membuat iklan tipu-tipu saat ingin merilis The Witcher 3 dulu atau Cyberpunk 2077 yang akan dirilis tahun 2020 ini? Silakan lihat trailer (yang bisa dianggap juga sebagai iklan) dari The Witcher 3 yang dirilis 5 tahun silam di bawah ini.

Semua yang ada di trailer tersebut memang ada di game-nya. Pertanyaannya sama juga dengan pengandaian pertama di awal bagian ini. Jika CD Projekt memang sudah berhasil membuat game sebagus itu dan percaya diri dengan hasilnya, kenapa mereka harus memanipulasi trailer atau iklannya?

 

2. Developer/publisher game yang tak peduli dengan branding

Faktanya, tidak sedikit game publisher atau developer yang masa bodoh dengan penjenamaan (alias branding) perusahaan mereka. Publisher atau developer game yang semacam ini memang biasanya berkutat dengan game-game gratisan yang tujuan utamanya adalah mengeruk uang pemainnya sebanyak mungkin dalam waktu secepat-cepatnya (atau biasanya lebih dikenal dengan istilah pay-to-win).

Hal ini tidak terlalu berbeda dengan perusahaan investasi bodong yang memang tujuannya mengambil uang Anda secepat mungkin, kemudian kabur tanpa jejak. Yah, mungkin memang tidak semuanya separah itu juga tapi setidaknya perusahaan-perusahaan gaming semacam ini memang tidak pernah punya target jangka panjang.

Iklan game ini menggunakan screenshot dari game yang bernama Archero.
Iklan game ini menggunakan screenshot dari game yang aslinya bernama Archero.

Mereka biasanya bisa berganti nama (perusahaan/brand) jika mereka menyadari bahwa brand mereka sudah dicap buruk oleh komunitas. Ibaratnya, sama seperti ketika banyak pemain toxic di game online. Mereka memang tidak punya rencana mempertahankan nama baik mereka di komunitas dan berlindung di balik anonimitas. Ketika mereka kena ban, mereka bisa dengan mudah membuat akun baru.

Jika perusahaan-perusahaan semacam ini tidak berpikir jangka panjang, tentu saja, mereka akan lebih mudah untuk menghalalkan segala cara dalam mencari pemain baru termasuk menggunakan iklan palsu. Sebaliknya, trik semacam ini mungkin akan jadi lebih sulit dilakukan buat perusahaan-perusahaan besar berumur tua seperti Nintendo yang sudah berusia 130 tahun ataupun Sony yang berdiri sejak 1946 karena nama baik mereka yang sudah terlalu mahal untuk dirusak dengan menggunakan iklan yang menyesatkan.

 

3. Sistem digital advertising yang memang mendorong untuk trik tipu-tipu

Setelah kita membahas dari sisi pengiklannya, sayangnya, penyebab fenomena iklan game gratis tipu-tipu ini juga memang seolah didorong dengan sistem perhitungan iklan digital yang umumnya digunakan.

Di sistem perhitungan periklanan digital, ada beberapa cara yang biasanya digunakan. CPM (Cost Per Mile), CPC (Cost Per Click), CPI (Cost Per Install), dan Cost Per Activation) adalah beberapa contoh sistem perhitungan yang biasanya digunakan.

Sistem CPM berarti sang pengiklan hanya perlu membayar per seribu kali iklan tersebut ditayangkan. Sedangkan CPC berarti sang pengiklan hanya perlu membayar setiap kali iklan tersebut diklik. CPI dan CPA berarti biaya iklan akan dibayarkan setiap kali ada orang yang menginstal aplikasi (CPI) dan mengaktifkan/membuka aplikasi (CPA) sebagai hasil dari iklan tadi.

Dari sisi pengiklan, sistem perhitungan yang lebih menarik biasanya memang yang menggunakan tingkat konversi tertinggi. Tingkat konversi yang lebih tinggi itu misalnya saja seperti ini. Anggap saja Anda berjualan bawang karena seorang wibu kwkakwkawa… Kemudian, ada dua orang yang menawarkan jasa iklan untuk dagangan Anda — sebut saja Kancil dan Tikus.

Kancil mengatakan “saya punya 10 triliun follower yang bisa melihat iklan Anda.” Maklum Kancil menyebut dirinya influencer… Tapi Tikus bilang, “saya ga punya banyak follower. Jadi, Anda hanya perlu bayar saya setiap ada orang yang beli 10 gram bawang lewat iklan saya.”

Jika Anda sehat, kemungkinan besar, Anda akan memilih mengiklankan dagangan ke Tikus karena perhitungan iklannya (atau bahasa kerennya ROI) jadi lebih riil. Anda jadi tahu betul berapa uang yang dibutuhkan untuk menjual setiap 10 gram bawang misalnya.

Sebaliknya, jika Anda beriklan di Kancil, Anda mungkin tahu betul ada 10 triliun yang melihat iklan (karena ini bukan dunia nyata) tapi Anda tetap saja tidak tahu berapa orang dari 10 triliun yang melihat iklan menjadi pembeli (alias konversinya). Bisa saja dari angka besar tadi, pembelinya cuma 10 ekor padahal Anda harus membayar reach ke 10 triliun follower.

Perhitungan ini sepertinya masuk akal dan menguntungkan. Namun, Tikus sendiri juga tidak kalah licik. Ia tahu bahwa yang penting adalah ia dibayar setiap 10 gram. Ia tidak peduli apakah pembeli Anda akan jadi langganan untuk seterusnya.

Tikus pun bisa saja membuat iklan, “kalungkan 10 gram bawang ini ke leher dalam waktu 15 menit agar Anda terbebas dari berbagai macam penyakit mulai dari kencing manis, kanker, jantung, memperlancar peredaran darah, impotensi, gigi berlubang, sampai sakit hati ditinggal menikah sang mantan dengan kemungkinan 42%. Kalau setengah jam, bisa 80%.”

Penjualan pun laris manis karena siapa yang tidak tertarik? Tapi urusan manjur atau tidaknya bawang tadi, itu bukan urusan si Tikus. Ia cuma dibayar setiap 10 gram bawang terjual lewat iklannya. Jika ternyata kalung tersebut tidak sesuai yang diiklankan, ia sudah mengantongi komisi dari penjualan tadi.

Disclaimer: Kisah tadi hanyalah fiktif belaka. Kalau ada kesamaan dengan dunia nyata, itu cuma persepsi Anda semata…

 

4. Mayoritas target iklan yang mudah ditipu

Tentu saja, selain dari si pengiklan, agensi, ataupun penyedia jasa, target iklannya juga yang memungkinkan iklan game gratis tipu-tipu ini kian laris.

“Klik di sini untuk melihat foto ehm dari artis cantik yang baru saja ketahuan menginap di hotel bersama Pak Kuda.” “Gratis! Rumah 1000 tingkat ini bisa jadi milik Anda dengan hanya mengirimkan foto selfie sambil memegang KTP.” Mungkin 2 kalimat tadi memang hiperbolis namun tidak sedikit juga yang tertipu dengan janji-janji manis bak politisi yang sedang mencalonkan diri.

Via: Reddit
Via: Reddit

Tidak sedikit juga yang tidak mampu berpikir panjang jika berhubungan dengan libido… Makanya ada iklan game yang kelihatannya menjual hal-hal berbau seksual meski gameplay-nya jauh panggang dari api. Iklan game lainnya pun juga sama. Manipulasi grafis (foto/video) agar game-nya jadi terlihat bombastis juga kenyataannya bisa menipu banyak orang — makanya masih sering digunakan juga di banyak iklan.

Di bagian inilah sebenarnya saya dan Anda bisa berbuat sesuatu sebagai target pasar dari iklan-iklan tersebut. Semakin sedikit orang yang tertipu dengan iklan palsu, semakin sedikit juga para pengiklan ataupun penyedia jasa iklan yang menggunakan trik seperti itu karena mereka juga akhirnya tahu bahwa cara tersebut sudah tak lagi efektif. Saya sadar dan tahu betul jika Anda membaca artikel ini sampai sini, harusnya Anda bukan termasuk target pasar yang mudah ditipu tapi nyatanya masih banyak orang-orang di luar sana yang tidak menyadari hal ini. Makanya, share artikel ini dong… aokwaokwoakwa… Malah ikutan ngiklan

 

5. Ketidakjelasan dari sisi hukum dan perlindungan konsumen

Penyebab terakhir, dari maraknya iklan game tipu-tipu, menurut saya juga ada di ketidakjelasan soal hukum yang berlaku soal perlindungan konsumen. Dari hasil saya googling, ada dua sumber yang mungkin menarik untuk dijadikan acuan. Sumber pertama adalah dari sebuah artikel di HukumOnline. Sedangkan sumber kedua adalah hasil kajian berjudul Tanggungjawab Hukum Pelaku Usaha Periklanan atas Produk Iklan yang Melanggar Etika Periklanan (PDF).

Mungkin memang saya juga yang bodoh dan tak paham soal hukum tapi saya juga masih bingung apakah iklan-iklan game tipu-tipu tadi bisa dipermasalahkan ke meja hijau menurut 2 acuan tadi…

Kalaupun bisa dipermasalahkan, siapa sajakah yang bisa dimintai pertanggungjawaban? Apalagi mengingat sebagian besar publisher/developer game tipu-tipu tadi memang tidak punya perusahaan di Indonesia. Apakah saya bisa mempermasalahkan hal tersebut lewat jalur hukum internasional? Lalu bagaimana dengan platfom iklannya, seperti misalnya Facebook atau Google, yang menampilkan iklan sesat tersebut?

Andaikan saja yang pihak-pihak yang bertanggung jawab mengatur soal bisnis dan arus informasi digital di sini tidak terlalu sibuk mengurus aga… ataupun blok…

Namun begitu, sayangnya, meski di luar sana hukum soal iklan menyesatkan ini juga sudah ada, hal tersebut juga tidak menyurutkan fenomena ini. Mungkin karena memang penegakan hukumnya soal ini juga masih lemah?

 

Penutup

Akhirnya, saya percaya memang penyebab fenomena iklan game tipu-tipu ini tidak datang dari satu aspek saja. Dari 5 aspek yang saya sebutkan tadi, mungkin kita memang hanya bisa mengubahnya dari sisi target pasar iklan meski memang tidak mudah juga dilakukan.

Namun begitu, terlepas dari apapun, semoga artikel ini berguna untuk Anda ataupun orang-orang di sekitar Anda. Jadi jangan lupa di-share ya… Wkaokawokwa… Iklan lagi boleh yak..

 

Feat Image via: SCMP

TikTok for Business Hadir di Indonesia, Ingin Rangkul Pengguna di Kalangan UKM

TikTok, platform video singkat yang cukup booming di Indonesia memperkenalkan platform self-service TikTok for Business. Platform yang diklaim bisa digunakan untuk segala ukuran bisnis ini dihadirkan dengan harapan bisa membantu UKM di seluruh dunia, termasuk Indonesia

“Format video singkat dan komunitas TikTok yang terkenal akan kreativitas memberikan peluang bagi berbagai bisnis dan usaha, termasuk UKM, untuk menggaet pasar yang lebih dinamis serta pemasarannya yang lebih efektif dan interaktif,” terang Direct Sales Leader TikTok Indonesia Pandu Wiguna.

Pandu lebih jauh menjelaskan bahwa platform self-service yang diluncurkan TikTok ini merupakan evolusi dari TikTok sebagai solusi periklanan kekinian. TikTok menawarkan akses yang mudah fleksibel sehingga memungkinkan UKM bisa bangkit lagi di masa new normal.

TikTok sendiri saat ini tengah menjadi fenomena di Indonesia. Kehadirannya disambut baik masyarakat di Asia Tenggara. Dari data internal TikTok, mereka berhasil mendapatkan 30 miliar views per bulan dengan rata-rata 100 konten dilihat per hari oleh tiap pengguna di Indonesia. Sementara secara global setiap pengguna TikTok membuka aplikasi lima kai sehari dan secara global pengguna membuka aplikasi TikTok lima kali sehari.

TikTok sendiri mengenalkan TikTok for Business secara global pada akhir Juni lalu. Belum genap sebulan TikTok kemudian memboyongnya masuk ke Indonesia, memanfaatkan momen di mana TikTok mengalami lonjakan yang signifikan di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

TikTok dan UKM di Indonesia

Sebagai salah satu aplikasi yang popularitasnya sedang meroket TikTok cukup percaya diri menghadirkan layanan iklan mereka di Indonesia. Pemilik bisnis kecil dan menengah segala sektor menjadi sasarannya. TikTok juga optimis dengan komunitas penggunanya yang semakin berkembang kehadiran layanan pengiklan ini bisa dimanfaatkan untuk pemilik bisnis menjangkau lebih banyak penggunanya.

“TikTok for Business merupakan platform yang diperbarukan dari yang sebelumnya bernama TikTok Ads Manager, tentu dengan solusi dan produk yang lebih baru dan optimal. TikTok Ads ini memanfaatkan berbagai kemudahan, seperti creative tools, flexible budgets, performance targeting, dan business account,” terang Pandu.

Pandu juga menambahkan bahwa TikTok menyediakan serangkaian teknologi dan metode yang bisa membantu bisnis menemukan audiens baru. Di dalamnya termasuk kemungkinan melakukan kustomisasi target audiens dengan pilihan demografi, perangkat, dan beberapa pilihan lainnya. Platform iklan TikTok ini secara langsung akan berhadapan dengan layanan iklan sejenis dari layanan sosial media lainnya, seperti Facebook, Instagram, atau bahkan Google.

Tantangan TikTok di Indonesia tidak hanya hadir dari para penyedia layanan iklan serupa tetapi juga isu-isu negatif yang menerpa TikTok, salah satunya isu keamanan atau privasi data.

Menanggapi hal ini pihak TikTok Indonesia menjelaskan, “TikTok berkomitmen untuk menghormati privasi pengguna dan bersikap transparan terhadap komunitas serta ahli keamanan tentang bagaimana aplikasi ini bekerja. Kami terus berusaha untuk menjadi yang terdepan dalam menghadapi tantangan keamanan apa pun, dan kami mendorong para pengguna untuk menggunakan versi terbaru dari TikTok, sehingga mereka dapat menikmati pengalaman terbaik.”

UKM sendiri merupakan kelompok bisnis yang cukup besar di Indonesia, jumlahnya mencapai 60 juta bisnis. Dengan potensi yang cukup besar kategori ini mulai dilirik banyak pihak, tidak hanya TikTok tetapi juga penyedia layanan lain.

Application Information Will Show Up Here