Memilih Badan Usaha yang Tepat (Bagian 1)

Ketika kita bicara soal memulai bisnis dengan business partner kita, di satu titik kita akan dihadapkan dengan pertanyaan: badan usaha apa yang tepat untuk usaha kita? Ibarat membesarkan anak, kita tentunya ingin memastikan usaha berjalan lancar dan bisa melihatnya tumbuh besar. Mungkin kita ingin memulainya dari skala kecil atau mungkin langsung ke skala besar. Apapun keputusan Anda, memilih badan usaha yang tepat merupakan salah satu hal yang perlu dipikirkan sebelum memulai usaha.

Bentuk badan usaha yang dikenal di Indonesia cukup beragam. Namun, sebelum kita melangkah ke sana, ada baiknya kita bicara terlebih dahulu mengenai hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan untuk memilihnya, yaitu:

1. Seberapa besar wewenang dan tanggung jawab yang akan ditanggung oleh Anda dan business partner Anda?

Bentuk badan usaha yang Anda pilih memiliki implikasi terhadap pertanggungjawaban pemilik usaha dalam hal pengambilan keputusan, berikut wewenang yang akan didapatkannya.

2. Bagaimana kondisi keuangan Anda dan pendirian badan usaha seperti apa yang sanggup Anda penuhi?

Di Indonesia, terkadang terdapat beberapa pengaturan mengenai modal dasar minimal yang dibutuhkan untuk mendirikan suatu badan usaha, contohnya Perseroan Terbatas (PT) yang harus bermodal dasar minimal Rp. 50 juta, di luar biaya jasa pendiriannya.

Jadi, kita perlu juga melihat bagaimana kondisi keuangan kita guna memenuhi persyaratan pendirian suatu badan usaha, apapun bentuk yang Anda pilih. Tentu, proses pendiriannya juga pasti akan memakan biaya-biaya tertentu, sehingga penting bagi anda untuk benar-benar mengetahui apakah anggaran Anda sudah cukup untuk keperluan tersebut.

3. Apa bidang usaha yang akan Anda geluti?

Ada beberapa bidang usaha yang berdasarkan hukum harus berbentuk badan usaha tertentu, sehingga tidak ada pilihan lain yang bisa Anda ambil jika ingin menjalankan usaha tertentu tersebut.

Tiga hal di atas bisa menjadi pertanyaan awal yang dapat Anda diskusikan dengan business partner demi menentukan bentuk badan usaha terbaik bagi bisnis Anda.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa bentuk badan usaha yang bisa dipilih. Bentuk badan usaha terbagi menjadi dua, yakni badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum, seperti perusahaan perseorangan, persekutan perdata, firma, dan CV; dan badan usaha yang berbentuk badan hukum, yaitu PT, Yayasan, dan Koperasi.

Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya pemisahan kekayaan. Untuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, terdapat pemisahan antara kekayaan perusahaan dan pemilik perusahaan. Untuk badan hukum seperti PT, jika PT mengalami kerugian, keuangan pribadi pemilik perusahaan relatif aman.

Sedangkan untuk badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum tidak ada pemisahan di antara keduanya, yang artinya, jika perusahaan mengalami kerugian, pemilik perusahaan bertanggung jawab atas kerugian tersebut dengan uang pribadinya.

Ini bisa menjadi jawaban dari pertanyaan seputar tanggung jawab dan wewenang pemilik perusahaan. Jika Anda ingin memastikan tanggung jawab Anda terhadap perusahaan dalam hal keuangan tidak akan tercampur dengan keuangan pribadi, maka Anda bisa memilih untuk menjalankan suatu badan usaha yang berbentuk badan hukum.

Lebih lanjut mengenai jenis-jenis badan usaha, baik berbentuk badan hukum ataupun tidak, akan kami bahas dalam artikel yang sama Bagian 2 dan Bagian 3.


logo_klikkonsulArtikel ini ditulis oleh Virra dari Klikonsul. Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Startup yang Layak Diinvestasi Venture Capital

Dalam mengembangkan bisnisnya, startup juga bisa mendapatkan tambahan tenaga dari para investor. Ada beragam jenis investor, dan venture capital (VC) adalah salah satu jenis investor tersebut. Dengan pengalaman saya di Ideosource Venture Capital, saya bisa menarik benang merah tentang startup seperti apa yang layak diinvestasi oleh VC seperti kami. Tentu saja ada perbedaan antara VC satu dengan yang lain, dan tidak semua bisnis (yang bagus) cocok dengan pendanaan VC.

Real Problems, Big Market, Executable Solutions

Startup yang bagus harus mencoba memecahkan masalah yang nyata dan dialami oleh market yang besar. Solusi yang mereka siapkan haruslah masuk akal, dan juga terbukti memang solusi yang tepat. Saya pernah membahas hal ini di tulisan saya yang lain.

Sustainable, Scalable

Ini adalah syarat yang tak kalah pentingnya untuk sebuah startup akan menarik bagi VC.

Sustainable artinya bisnisnya berkelanjutan, akan berumur cukup panjang, dan bukan musiman. Bisnis yang hanya ada di musim durian, di musim pendaftaran mahasiswa baru, atau yang hanya akan bertahan 1-2 tahun ke depan adalah contoh bisnis yang tidak sustainable.

Sementara itu, scalable artinya bisnis tersebut bisa tumbuh hingga mencapai skala yang besar, namun prediksi pertumbuhan cost-nya lebih landai daripada pertumbuhan pendapatannya (di masa kini ataupun di masa depan). Sebagai contoh, bisnis yang berbasis project bukanlah bisnis yang scalable, karena cost bertumbuh sejajar dengan besarnya revenue yang (akan) didapat.

Founders

Semua hal tersebut di atas, akan sangat ditentukan oleh kemampuan founder untuk merencanakan dan mengeksekusi. Founder seharusnya lebih dari satu orang, idealnya antara 2-4 orang.

Founder minimal ada dua orang dengan skill berbeda, yaitu pengembangan produk/teknologi dan pengembangan bisnis. Founder hanya satu orang terlalu berisiko karena bila founder mengalami sesuatu seperti sakit atau kegalauan – yes, I am not kidding about it – maka jalannya startup bisa sangat terganggu tanpa bisa ada penyeimbang dari founder yang lain.

Terlalu banyak founder juga tidak ideal, karena bisa menimbulkan kerumitan dalam mengambil keputusan serta banyak menimbulkan masalah di masa depan terutama terkait ketimpangan kontribusi dari mereka seiring pertumbuhan perusahaan.


Guest post ini merupakan publikasi ulang tulisan di blog pribadi Andrias dengan izin dan telah melalui penyuntingan.

Andrias Ekoyuono adalah VP Business Development Ideosource Venture Capital. Ia bisa dikontak di andrias [at] gmail [dot] com

The Biggest Lie of Startups: “We’re Going to be Big”

I don’t know how people are so sure about “the next big thing” and if something would “work out” and something else “wouldn’t”.

Call me naive, unexperienced, and skeptical.

I know those who are actually into entrepreneurship and startup-y thing are actually very well-informed and have an instinct as sharp as a knife. You have all the networks you have to convince (or un-convince) you.

I just hope that with their experience and skill, please don’t mislead others, especially selling puffy promises to the team(s) they’re building.

There are some reasons on why keep repeating “it’s gonna be big” or “you’ll have a very good opportunity later on” or essentially, anything that promises some huge benefits later on if “you commit now” would not convince me, or I believe any designers out there.

Market insight

First of all, do your homework. If you’re going to market a product in a locality, like Indonesia, and think it’s going to be big as something else in the United States, think again. You have to live here for years to really know the local landscape. Thinking it’s going to be big in a place you know less about will only make your claim very gimmicky.

Wait, who are you?

If somebody’s going to make a promise or claim, that somebody better got a reputation that proved similar. If you never truly made any big thing in the past, chances are you don’t know what you’re talking about.

The scale (and scope) of big

What is the “bigness” that you think of in this regard? Is it by revenue stream? Is it by a solid product? Is it by user acquisition? What exactly? Wait a minute. Your perception of “big” and my perception of “big” have to match, or else, I couldn’t work for you.

Gimmicky exposure

Trying to convince someone to work on your product on the basis of “we’re just a startup starting something” and “you’re in for a good ride in the rocketship” is exactly the same as bad clients who don’t pay appropriate amount of compensation to freelancers or agencies in the hope of “getting that big exposures later on”.

You’re worse if you promise these things to more junior employees who think startups are really rocketships for their future fame. No, please. Don’t exploit them.

Try a solid presentation with solid data, and sensible prediction or projection.

Is “big” nice enough?

Do you think aiming to be “big” is enough? Do you have a solid product team inside your company who can actually pull this off? What comes to the adage that says “good product sells on its own”? Can we aim for delight, instead?

Here are some suggestions on how you can actually build your team to build the next delightful product.

Hire the right team

Hire the right product team and look at the composition. Positions vary from company to company, but I’d suggest you to hire not only good engineering team, but designers and product managers. Also, sales team who understand digital products so that they don’t look embarrassing when using technical terms.

Do not sugarcoat

Never try to sugarcoat your available opportunities to future candidates with investment money (how much of that money goes into their pockets, anyway?), promises to be “big”, promises that they’ll have a “time of their life”, or “we have plush toys in our office for you to fiddle with”. Any of those are such bags of air, and go right to the substance instead: the product that you’ll build, and how you think it would be useful or delightful.


This article has been republished with editing and permission from Sigit Adinugroho. Original source is from Medium.

Sigit designs digital products for a living and for life. He works in the intersections of customer experience and design.

He writes at and collects his work at

Revisiting “Are Digital Music Services Scalable”

With Rdio basically dying off and sold for parts, Beats Music dead and Zune finally taken off life-support, I thought it was a good time to revisit the article I wrote a year ago about digital music services.

In any “new” industry, there will always be a pioneer that basically proves the worthiness of a business model (or at least some aspect of it), after which they will continue to grow with ‘copycats’ (I’m using the term loosely here) following in step to see on whether they can build something for the new industry. As time has proven time and time again, the greatest beneficiaries of a new industry are not necessarily always the pioneers, as in the case of the smartphone, it took Apple to basically turn the market around although many players have dabbled in that market before with some success.

And just like in any other industry, growth spurts witnessing the birth of many similar-modeled businesses will continue for a time, until the business model itself will prove itself (or not) as something sustainable in the longer term. Bankruptcy and consolidation is unavoidable, whether it is triggered by government oversight or regulation, or the fact that the business model itself does not scale as well for multiple companies. Or perhaps in the case of music services, contracts like these simply don’t allow for a variety of company sizes.

Spotify continues to dominate the music streaming market due to their deep pockets (I mean, what else could it be?) while Apple and Google have their own streaming plays. While Rdio is probably the first of the more ‘international’ music streaming services to stop operating, there are probably many other regional- or local-based digital music services who are probably operating at a loss or defunct. That said, even Spotify is yet to be profitable. The winners of this game? Not even the artists, but the recording companies who own the masters of the songs. Yet, even when we say ‘recording companies’, it simply does not paint an accurate picture of what is actually going on, as with any other industry, there are big companies and there are small companies, with differing influence. And even they are trying to figure out what to do next.

So recent events have apparently confirmed what I postulated last year, that digital music services — to an extent — are not scalable. You either have to run a very lean ship to be sustainable, find multiple revenue streams (not be a pure consumer-facing play), or expand with no end using other people’s money with hopes of an IPO or acquisition down the line.

Why is it always a question of streaming vs downloads?

Another angle to this problem is the generated revenue itself. Warner says streaming income is overtaking downloads, while some high-profile artists, most recently Adele, have shunned streaming services in favor of supporting download services like iTunes. While it’s totally up to the artists — as it should be — to decide where they want to sell their music, thinking about one business model versus the other, I think, is counterproductive.

Artistes and musicians today, on differing scales and revenues, already enjoy a much more diverse choice of revenue streams: live shows, merchandise, experiential packages, games/apps, and so on. The increase of “screens” enjoyed by the fans must also be serviced by content produced by these artistes and musicians, so it should never be a discussion around streaming vs downloads, for instance.

If the music industry were to learn something from the movie industry, it wouldn’t be something like this, but making separate release windows for downloadable content and streamable content could be similar to how movie studios break down their release dates to cinema, then to DVD release or streaming services, and lastly TV. This could become the norm, instead of the exception, as some artistes have already done this before.

[Digital] music services will need a ‘big brother’

We have yet to see how Apple Music will fare, and I have no idea on how much money Google Play Music is actually making. But there is no doubt in my mind that they will thrive on, as both Apple and Google do not depend their livelihood from those services. That said, the services are needed for, at the least, customer retention, so they’ll definitely run their services properly. Deezer has some relations with Warner Music, Sony Music Entertainment is part of Sony, and Universal Music is part of the French conglomerate Vivendi. Rdio had Cumulus Networks as an investor, which was more of a strategic deal rather than an investment deal. Spotify? Spotify currently stands alone, and I would think they would have better chance to sell themselves to a ‘big brother’ rather than getting to IPO stage. But who will they sell to?

Simply put, if it doesn’t have Spotify’s scale (and as mentioned in the previous article, even Spotify would be under scrutiny here), a music service is bound to need a ‘big brother’ — a network or ecosystem of sister companies — to keep it afloat and either enhance the service, or make the service as part of a bigger experience. The multiple consumption “screens” that users now have simply doesn’t have space for standalone music services, or will not have. Consolidation in the industry will either be caught up with consolidation with other entertainment-driven services, or a consolidation of consumer offerings (for instance, instead of paying separate prices for Netflix, Hulu, Spotify, and so on, users can pay one price to enjoy everything).

As has happened with the major labels, who basically consolidated from 5 major players to 3, the digital-based entertainment industry will further consolidate, either through acquisitions, technology purchases and so on, and the ones with the largest consumer base (and sustainable business model, of course) will win. Naturally this would not include services serving special niches or market segments that by scale do not make sense for these giant companies to do, but niche companies like these will have limited room to grow anyway.

So what’s the takeaway?

For users — get used to more services shutting down or consolidating in the future.

For artistes/musicians — get your music on as many platforms as possible but do not expect a big payday. Your superfans will probably spend more for exclusive merchandise anyway (well unless you have the capabilities to become an international artist, of which you will definitely need an international-level music marketing company).

For aspiring music services — consumer-facing business models will simply not scale enough for you to be profitable (unless you’re Spotify). Find other ways of making money and target for sustainability over scale.


This article has been republished with editing and permission from Ario Tamat. Original source is from Medium.

Ario is a co-founder of Ohdio, an Indonesian music streaming service. He worked in the digital music industry in Indonesia from 2003 to 2010, and recently worked in the movie and TV industry in Vietnam. Keep up with him on Twitter at @barijoe or his blog at http://barijoe.wordpress.com.

Produk Fashion adalah Segmen yang Paling Sering Dibeli Pembelanja Online Jabodetabek

Produk fashion adalah segmen terpopuler di kalangan online shopper di Jabodetabek / Shutterstock

Tidak dapat dipungkiri bahwa Jabodetabek adalah pasar yang penting bagi pelaku bisnis di Indonesia. Selera berbelanja penduduk di kelima kota ini seakan tidak pernah mengendur. Jakarta saja memiliki lebih dari 170 mal, hingga membuatnya termasuk di dalam daftar kota besar dengan jumlah pusat perbelanjaan terbanyak di dunia menurut portal properti Lamudi.com.

image006

Para pelaku bisnis online pun turut tergiur mencicipi nikmatnya pasar Jabodetabek. Belakangan ini mungkin banyak dari Anda yang menyadari bahwa ruang iklan kini banyak diisi oleh promosi dari pelaku bisnis e-commerce.

Mencermati fenomena ini, kami dari Telkomsel MSIGHT (Mobile Consumer Insight), layanan Telkomsel yang bergerak di bidang riset konsumen, melakukan survei terhadap para pembelanja online di Jabodetabek. Survei tersebut dilakukan di bulan Agustus 2015 via telepon dengan metode random sampling kepada 300 pelanggan Telkomsel yang berusia 15 tahun ke atas, menggunakan smartphone / tablet komputer, dan menggunakan layanan mobile data.

Rupanya, 7 dari 10 konsumen Jabodetabek pernah berbelanja online dalam 30 hari terakhir, di mana 78% di antaranya dilakukan melalui perangkat mobile (ponsel pintar dan tablet komputer).

image007

Mari kita mengenal siapakah para pembelanja online di Jabodetabek. Mayoritas dari mereka adalah wanita, berusia 30-39 tahun, menggunakan pulsa rata-rata di atas Rp 100 ribu per bulan, dan pengguna Android.

image009

Hampir semua pembelanja online pernah menggunakan online market place, namun BBM Group adalah channel yang paling sering digunakan. Menariknya, 90% dari pembelanja yang pernah menggunakan BBM Group menjadikannya channel belanja online yang utama.

image013

Lantas, produk apakah yang paling banyak dibeli? Fashion menduduki peringkat pertama dengan 69% pembelanja, diikuti oleh gadgets & electronics (43%), hotel & flight ticket (40%), food & beverage (24%), dan cosmetics (9%) dalam daftar 5 kategori produk teratas.

Namun, antara satu produk dengan yang lainnya tidak jauh berbeda dari sisi frekuensi belanja. Rata-rata, masing-masing kategori produk dibeli satu kali dalam satu bulan.

Yang membedakan di antara kategori-kategori produk teratas adalah rata-rata nilai belanja per transaksi. Kategori produk gadgets & electronics menduduki peringkat pertama dengan nilai Rp 2,5 juta per transaksi, diikuti oleh hotel & flight ticket sebesar Rp 1,9 juta per transaksi, dan fashion sebesar Rp 600 ribu per transaksi. Untuk kategori produk yang lain di sini tidak dicantumkan karena secara sampel tidak mencukupi. Jika seluruh kategori produk digabungkan, seorang konsumen membelanjakan Rp 2,5 juta / transaksi.

msight_fashion

Dari sisi metode pembayaran, pembelanja online masih menyukai pembayaran dengan tunai, khususnya menggunakan transfer bank (89%). Hal serupa juga nampak dari semua kategori produk.

image014

Sebagaimana terlihat dari insight sebelumnya, mayoritas konsumen menggunakan perangkat mobile untuk berbelanja online. Maka menjadi logis ketika para pelaku bisnis e-commerce ingin berpromosi kepada mereka melalui sarana mobile advertising. Survei menunjukkan bahwa 7 dari 10 konsumen pada akhirnya berbelanja secara online setelah melihat iklan di perangkat mobile mereka.

Apalagi yang dapat Anda ketahui dari pembelanja online di Jabodetabek? Atau, bagaimana dengan kota lain? Puaskan rasa ingin tahu Anda dengan menghubungi [email protected].


Disclosure: Tulisan ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan tim Digital Advertising Telkomsel

Business Essentials: Membedakan Hak Cipta, Merek, dan Paten

Hari ini mungkin sudah banyak dari kita yang tidak asing lagi dengan istilah ‘hak atas kekayaan intelektual (HAKI)’ atau ‘intellectual property rights (IPR)’. Setidaknya banyak orang pernah mendengar soal hak cipta, merek, atau paten. Beberapa mungkin sudah paham bahwa ketiga hal tersebut dapat digunakan untuk melindungi karya atau usaha. Sayangnya, tidak sedikit yang keliru dalam memahami apa itu hak cipta, merek, atau paten, dan bagaimana bentuk perlindungannya terhadap suatu usaha.

HAKI terdiri dari berbagai macam cabang:
1. hak cipta;
2. paten;
3. merek;
4. rahasia dagang;
5. desain industri;
6. indikasi geografis; dan
7. tata letak sirkuit terpadu.

Secara hukum, Indonesia telah mengatur ketujuh macam HAKI di atas. Dalam kesempatan kali ini, kami hanya akan membahas tiga macam HAKI yang paling umum digunakan dalam melindungi sebuah bisnis, yaitu hak cipta, merek, dan paten. Ketiga hal ini melindungi aspek yang berbeda dalam bisnis.

Pengertian

Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata (lihat Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta). Sedangkan merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (lihat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek).

Paten sendiri adalah hak eksklusif yang diberikan kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi (lihat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten).

Sebagai contoh, bayangkan Apple, yang telah berhasil mempopulerkan gadget satu tombol, seperti yang kita bisa lihat pada iPhone, iPod, dan iPad. Apple terkenal dengan logo apel digigitnya. Logo tersebut ditempel di seluruh produk mereka. Logo itu merepresentasikan perusahaan dan dagangan mereka sedemikian rupa, sekali kita melihat apel tergigit, kita teringat Apple, dan tidak ada orang lain yang dapat menggunakan logo dan nama yang sama. Dalam hal ini, nama ‘Apple’ dan logo apelnya adalah merek.

Untuk menjalankan teknologinya, Apple juga menulis dan menyusun serangkaian kode yang menjadi basis dari software-nya. Kode tersebut dilindungi oleh hak cipta. Apple juga menemukan cara yang lebih mudah dalam menggunakan gadget, yaitu gunakan satu tombol saja, selebihnya touch screen. Penemuan ini dilindungi oleh paten.

Dari ilustrasi di atas, maka jelas bukan, perbedaan antara hak cipta, merek, dan paten? Semoga sesudah ini, tidak ada lagi yang mengatakan, “Saya ingin mendaftarkan hak cipta untuk merek.” Hal itu sudah pasti tidak nyambung, karena hak cipta dan merek adalah dua hal yang berbeda. Tidak bisa pula kita bilang ‘mematenkan merek’, karena binatangnya tidak sama.

Seluruh pendaftaran hak cipta, merek, paten, atau jenis-jenis HAKI lainnya, dapat dilakukan di Direktorat Jenderal (Dirjen) HAKI yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Pendaftaran HAKI memakan biaya tentunya, yang mana jumlahnya dapat dilihat di http://dgip.go.id, situs resmi Dirjen HAKI.

Guna pendaftaran dan perlindungan HAKI

Sekilas mungkin biayanya yang 1-5 juta terkesan mahal, apalagi untuk startup dengan modal terbatas. Namun perlindungan HAKI mencapai sepuluh tahun (dapat diperpanjang), dan perlindungan itu memastikan tidak ada orang lain yang dapat mengeksploitasi karya anda secara komersil tanpa izin anda. Apa dasar Microsoft melarang orang menggunakan produk-produk bajakannya? Mereka mendaftarkan dan melindungi produk mereka secara resmi, dan pembajaknya dapat ditindak secara hukum berdasarkan pendaftaran tersebut.

An IT company is only as strong as its IP. Hari gini banyak orang pintar yang dapat mencontek ciptaan atau temuan oran lain dengan mudah. Nilai komersil produk anda tentu akan menurun jika banyak produk serupa di pasaran. HAKI adalah salah satu cara untuk melindunginya.


logo_klikkonsulKlikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Pengakuan seorang CEO mengenai Kegagalannya

Artikel ini sudah lama tertunda.

Sebagian dikarenakan rasa ketidakpuasan saya terhadap startup saya Rewardme dan sebagian lagi dikarenakan kesibukan saya dalam mengembangkan bisnis baru saya di segmen Gamification Framework dalam beberapa tahun belakangan ini. Saya juga ingin menyelesaikan kesalahpahaman dengan mayoritas firma hukum di Silicon Valley sebelum membagikan pengalaman saya kepada publik, namun pada kenyataannya hal ini terlalu menyita waktu sehingga saya akhirnya menyerah (pada kenyataannya, saya kemungkinan harus membayar paling tidak US$13,000 karena telah menulis artikel ini).

Namun, kegagalan saya mungkin dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi ribuan pengusaha di luar sana, sehingga saya memberanikan diri untuk membagikan pengalaman saya serta pelajaran yang bisa saya ambil dari proses tersebut.

Tinjauan terhadap RewardMe

Saya mulai mengembangkan RewardMe dari tahun 2010 hingga 2012. Layanan yang saya kembangkan tersebut memperkenalkan konsep gamifikasi kepada restoran/peritel offline melalui program loyalty. Saat in memang telah banyak perusahaan yang menawarkan konsep ini bermunculan, namun kami merupakan yang pertama melakukannya, diluar sistem “Mayorship” yang ditawarkan Foursquare.

Metrik produk kami sungguh hebat (10 kali lipat dibandingkan para kompetitor) berdasarkan apa yang mereka tulis dalam rilis masing-masing), para konsumen menyukai produk kami, kami diliput oleh beberapa raksasa media seperti Forbes dan Business Insider. Menjelang akhir bisnis kami, kami berhasil melakukan kolaborasi senilai US$1.5 juta dengan salah satu jaringan toko terbesar, sehingga kami dapat menawarkan produk kami ke seantero negeri. Kami juga berhasil menarik minat banyak nama besar lainnya, dimana kami beberapa kali bertemu dengan para petinggi dari Carls Jr, Subway, Swarovski, dan masih banyak lagi.

Kami memutuskan bahwa sistem penjualan dari rumah ke rumah bukanlah pilihan yang tepat untuk dapat berkembang (saya masih memercayai konsep ini, bahkan setelah melihat banyaknya pemimpin di industri ini yang telah menghabiskan puluhan juta Dolar namun hanya memiliki ribuan pelanggan). Pilihan yang paling tepat adalah untuk berkolaborasi dengan jaringan toko besar sedari awal dan merambah toko-toko di seantero negeri (karena sebuah jaringan akan cenderung untuk mengikuti jaringan yang lain). Hal tersebut memberikan kami keuntungan yang sangat besar, karena ketika para kompetitor baru menyadari bahwa mereka harus bekerjasama dengan jaringan-jaringan yang ada, kami sudah selangkah di depan karena telah memulainya lebih awal.

Landasan pacu adalah segalanya

Kami tidak mendapatkan investasi besar-besaran. Ketika para kompetitor meraih pendanaan senilai lebih dari US$10 juta, kami hanya berhasil mendapatkan US$1 juta saja. Saya berandai-andai kalau saja saya telah menciptakan Octalysis Framework dan drive 8 Core pada saat itu, namun karena kami tidak berada di bawah naungan inkubator besar atau memiliki figur yang terkenal, maka sangat sulit untuk mendapat pendanaan (jadi saya rasa pelajaran yang bisa diambil adalah: bergabunglah dengan inkubator terkenal jika memang memungkinkan. Hal itu akan menambah posisi tawar Anda. Ekuitas yang ditawarkan tidak akan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan berkurangnya potensi untuk bangkrut).

Karena hasil yang telah kami tunjukkan, banyak investor/VC yang terkesan dengan eksekusi kami, namun mereka lebih menyukai metode dari rumah ke rumah karena konsep tersebut menghasilkan “pertumbuhan yang bisa diprediksi” seperti “minggu depan, 30 orangtua akan membeli produk.” Mereka mengatakan bahwa meskipun kami telah bertemu dengan VP dari perusahaan jaringan toko raksasa beberapa kali, bukan berarti mereka akan memberikan pendanaan pada kami.

Jadi menjelang akhir perjalanan kami, kami akhirnya membukukan kemitraan senilai US$1,5 juta dengan salah satu jaringan toko nasional besar. Pada saat itu kami berpikir bahwa kami akan semakin mudah dalam mendapatkan pendanaan tahap selanjutnya. Masalahnya adalah, kontrak tersebut baru akan berlaku enam bulan kemudian dan pemasukan harus segera mengalir sesaat setelahnya.

Kebanyakan investor tertarik dan ingin segera bertemu,namun kemudian mereka ingin melihat “pertumbuhan yang dapat diprediksi” dan menunggu hingga kami mendapat kesepakatan terbesar kedua dan ketiga kalinya sebelum memutuskan untuk berkomitmen. Sebagai tanggungjawab pribadi, mungkin saya bukanlah seorang penjual yang baik dan tidak mencapai target penjualan pada saat itu (kini saya mengerti – saat itu saya tidak menggunakan teknik motovasi/Black Hat Gamification dengan menciptakan suatu kondisi yang mendesak, melainkan teknik White Hat yang membuat orang-orang percaya pada saya tanpa memberikan alasan untuk bertindak).

Dalam jangka waktu tersebut, perhatian saya terpecah oleh masalah yang ditimbulkan oleh sebuah “firma hukum top di Silicon Valley”. Meksipun saya percaya bahwa hal tersebut awalnya hanyalah sebuah kesalahpahaman, tapi hal tersebut sukses membuat saya tertekan selama berbulan-bulan dan sama sekali tidak fokus untuk mengamankan pendanaan yang kemungkinan masuk. Jujur saja, saya tahu ada banyak pengusaha yang pernah bekerjasama dengan firma hukum tersebut, namun berdasarkan pada pengalaman saya sendiri dan cara mereka menangani masalah, saya tidak merekomendasikan siapapun untuk bekerja sama dengan mereka (Anda bisa mengirimkan e-mail jika ingin tahu lebih lanjut tentang mereka – saya terlalu takut untuk menjabarkannya disini.) Apa pelajaran yang bisa dipetik? Jangan percaya sepatah katapun meskipun hal tersebut datang dari firma ternama. Selalu periksa ulang berkali-kali dan gunakan akal sehat Anda.

Pada saat yang bersamaan, ketika kami masih memiliki beberapa bulan lagi, kami menyadari bahwa VC menyukai pertumbuhan yang dapat diprediksi, tapi kami tidak berpikir bahwa teknik penjualan dari rumah ke rumah dapat dikembangkan lagi (pada kenyataannya kami menolak toko-toko kecil karena kami hanya memiliki sumber daya yang terbatasa sehingga hanya fokus pada jaringan toko-toko besar). Kami mulai mengatur program freemium pertama di industri kami seraya mengharapkan peluang bisnis dari aktivitas penjualan kami sehari-hari.

Pada titik ini, kami berada di penghujung perjalanan kami, dan karena kami (saya lebih tepatnya) tidak dapat mengamankan pendanaan Seri A dengan traksi yang kami miliki, kami berada dalam masalah besar. Akan tetapi, para investor kami pada saat itu cukup terkesan dengan pertumbuhan dan eksekusi kami, sehingga mereka bersedia mengucurkan lebih banyak uang lagi untuk membantu kami menyegel kerjasama dengan jaringan-jaringan toko besar yang memang tertarik namun masih terkendala masalah birokrasi. Secara harfiah, para investor kami seolah mengatakan, “Apa yang ingin Anda kejar waktu itu? Saya tidak dapat menemukannya lagi namun saya akan tetap memberikan uang saya begitu saya mendapatkannya!”

Sayangnya, pada titik inilah akhirnya perusahaan kami mulai bangkrut.

Kejatuhan RewardMe yang anti-klimaks

Harap diingat bahwa semua anggota tim kami di RewardMe bekerja dengan keras, pintar, dan penuh gairah. Mereka adalah contoh orang-orang terbaik yang pernah bekerjasama dengan saya. Namun untuk meraih pendanaan jutaan dolar, banyak dari mereka yang bekerja di atas 100 jam per minggu dalam lingkungan yang penuh tekanan, dan kebanyakan dari mereka hanya dibayar sebesar 30 persen dari harga pasar (saya ingatkan bahwa jumlah yang kami raih jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang perusahaan lain terima. Saya sendiri TIDAK PERNAH menerima gaji selama menjalankan RewardMe). Kami semua percaya bahwa, begitu kami meraih pendanaan besar, kami dapat melanjutkannya dengan pendanaan tahap berikutnya, orang-orang akan menerima gaji yang lebih baik, dan kami dapat tumbuh dengan lebih cepat seperti para kompetitor kami.

Ketika saya tidak cukup cepat untuk mendapatkan pendanaan tersebut, hal itu menurunkan moral beberapa anggota inti dari tim kami. Mereka merasa bahwa mereka sedang berada dalam lubang tanpa ujung. Bahkan jika mereka terus bekerja penuh tekanan 110 jam per minggu selama empat bulan ke depan, dan bahkan jika kami sanggup menyegel kerja sama dengan jaringan besar untuk yang kedua dan ketiga kalinya, mereka tidak lagi percaya bahwa mereka akan mampu meyakinkan VC untuk berinvestasi.

Keraguan mereka cukup masuk akal. Saya memiliki banyak rekan sesama penggiat startup yang berulang kali melampaui target namun selalu berada di bawah tekanan VC untuk terus berbuat lebih selama BERTAHUN-TAHUN, bahkan hingga mereka menjual perusahaan mereka (tentunya para investor menyesal karena mereka bisa saja pergi lebih awal). Rekan-rekan setim saya juga menolak untuk menerima lebih banyak uang dari para investor yang ada karena hal tersebut hanya akan menyeret mereka lebih dalam lagi ke dalam lubang tanpa ujung tanpa ada sedikitpun kemungkinan untuk bisa keluar. Hasilnya, beberapa orang penting akhirnya memutuskan bahwa mereka harus mundur setelah berjuang bersama selama bertahun-tahun.

Meskipun tindakan mereka cukup masuk akal, hal tersebut menciptakan masalah besar bagi perusahaan. Masih ingat ketika para investor kami meminta kami untuk memberikan mereka kepastian agar mereka bisa berinvestasi lebih banyak lagi? Pada titik tersebut saya dihadapkan pada konflik moral dengan diri saya sendiri. Saya bisa saja memberikan kepastian yang mereka inginkan, mengambil uang mereka, dan melihat apa yang bisa saya lakukan dalam beberapa bulan ke depan (kemungkinan besar saya akan merekrut pegawai yang tidak dapat kami bayar meski telah mendapatkan uang yang lebih banyak). Atau, saya bisa saja memberitahu mereka kenyataan yang terjadi dan menerima konsekuensinya. Saya berpikir, “Apa yang akan saya pilih jika saya adalah seorang investor?”

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memberitahu mereka kenyataannya, dan mengatakan bahwa hal ini jauh lebih menyulitkan saya untuk dapat meraih pendanaan Seri A. Mereka berterima kasih karena saya telah bicara jujur, dan setuju untuk menahan uang mereka lebih lama lagi sambil melihat apa yang akan terjadi.

Pada titik tersebut, kami tidak memiliki cukup sumber daya untuk terus melaju, karena kami tidak lagi mendapat pendanaan dan beberapa anggota kunci tim kami juga telah mundur. Kesimpulannya pada saat itu adalah, untuk menghindari hutang yang berkepanjangan, kami memutuskan untuk menutup perusahaan secepatnya. Kami tidak memiliki sumber daya untuk melakukan apapun, termasuk melayani konsumen atau menjual produk kami.

Hal tersebut memang sangat disayangkan, kerena produk freemium kami telah siap untuk dipasarkan pada saat itu. Dalam beberapa tahun setelahnya, meskipun kami telah perlahan-lahan bangkrut, beberapa perusahaan masih saja datang kepada kami dan mengatakan, “Berdasarkan penelitian kami, kami percaya RewardMe adalah yang terbaik. Bagaimana kami dapat bergabung?” Pada saat itu saya hanya dapat berkata, “Kami masih mengembangkan versi terbaru, jadi kami butuh lebih banyak waktu. Kami akan memberitahu Anda saat kami sudah siap” karena saya masih berharap bahwa kami dapat menghidupkan kembali perusahaan ini meskipun hanya tinggal memiliki beberapa sukarelawan paruh waktu. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Meskipun tanpa usaha pemasaran maupun usaha lainnya (kecuali untuk menjauhkan para pelanggan) selama setahun penuh, sebanyak 40,000 orang/perusahaan memencet tombol “Get RewardMe Now!” di situs kami, menggambarkan bahwa sebenarnya masih banyak yang berminat terhadap produk kami. Hingga hari ini, saya masih percaya bahwa pada saat itu kami memiliki strategi terbaik untuk memenangkan pasar, namun sayangnya kami kekurangan sumber daya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, meskipun perusahaan-perusahaan lain telah menghabiskan puluhan juta dolar, mereka rata-rata hanya memiliki kurang dari 8000 pelanggan aktif (tentu saja, saya juga menghormati traksi yang mereka peroleh karena saya tahu bagaimana sulitnya berkompetisi di segmen ini – saya mendoakan mereka agar sukses! Saya rasa mereka masih memiliki peluang untuk dapat dibeli oleh perusahaan yang lebih besar).

Hitung-hitungan dalam menutup perusahaan

Periode setelah kebangkrutan tersebut merupakan salah satu periode terkelam dalam hidup saya. Di tengah-tengah kebingungan dan keputusasaan, saya menyadari bahwa saya memiliki BANYAK hal mengenai kesuksesan, pertumbuhan, dan pendanaan yang bisa saya ajarkan kepada para startup – namun tidak ada satupun yang mengajarkan bagaimana seorang pengusaha sebaiknya gagal (atau…cepat gagal). Tidak ada layanan, literatur, atau bahkan dukungan moril bagi pengusaha yang mencoba untuk membangkitkan perusahaan yang mati. Saya benar-benar sendirian. Banyak co-founder saya yang telah berpindah ke peluang lain, namun sebagai CEO perusahaan tersebut, saya masih harus memikirkan struktur organisasi, hutang perusahaan, dan para investor yang kecewa. Saya diam-diam iri terhadap para co-founder saya (yang masih berteman baik dengan saya hingga saat ini), karena jika kami sukses, maka kami akan menerima bayaran yang sama, namun karena kami gagal, saya yang harus menanggung segala konsekuensinya.

Saya juga menghabiskan waktu melikuidasi aset untuk membayar hutang kartu kredit perusahaan (karena saya mencoba untuk mengulur-ulur waktu demi kemungkinan untuk dapat bangkit kembali). Satu hal menarik yang saya alami pada saat itu adalah ketika salah satu investor kami menunjukkan niat untuk membeli RewardMe. Akan tetapi, setelah berdiskusi beberapa kali, ia akhirnya mengatakan, “Sebenarnya, kami lebih tertarik pada para pegawai Anda [yang tetap bekerja sebagai sukarelawan]. Jika kami dapat mempekerjakan kalian dengan bayaran besar, maka kami akan dengan senang hati melakukannya.”

Saya lagi-lagi harus membuat keputusan yang sulit. Pada titik ini, saya sudah tidak memiliki tabungan, baru saja menikah, dan saya mengetahui bahwa para anggota tim juga tengah dililit masalah finansial. Dapatkah kami menerima kompensasi atas kerja keras kami bertahun-tahun? Pada akhirnya, saya mengatakan kepada perusahaan tersebut, “Tidak akan pernah kami membiarkan investor yang telah percaya pada kami merugi sementara kami mengambil keuntungan. Jika Anda tertarik dengan kami, tolong beri kami tawaran seraya memikirkan para investor kami.” Mereka menjawab, “Kami menghargai loyalitas Anda kepada para investor Anda. Akan tetapi, Anda akan menerima JAUH lebih kecil karena Anda harus memikirkan para investor Anda.” Kami menjawab, “Tidak masalah. Silakan datang kembali setelah Anda menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.”

Sayangnya, pada akhirnya, perusahaan tersebut menolak untuk membayar para investor kami hanya agar mereka dapat mempekerjakan kami, jadi tidak ada yang terjadi (saya harusnya tidak melakukan hal tersebut!) Konyolnya, meskipun kami telah melindungi para investor kami mati-matian, beberapa dari mereka menjadi sangat agresif terhadap kami. Mereka menyewa pengacara untuk melawan kami dan semakin menambah tekanan yang harus saya hadapi. Untungnya, saya meyakinkan mereka bahwa mereka tidak akan menerima apa-apa dengan melakukan hal tersebut. Mereka pun akhirnya mundur.

Di sisi lain, beberapa investor saya MENAKJUBKAN. Ketika saya harus bertemu dengan mereka dan mengatakan bahwa saya telah membuat mereka merugi, kepala saya serasa terbakar, saya bahkan terus mendengar suara statis yang berdengung di telinga saya. Ketika saya akhirnya bertemu dengan beberapa investor, saya mengharapkan mereka akan berteriak dan menyalahkan saya karena telah menghilangkan uang mereka. Namun, mereka malah mengatakan, “Apa Anda baik-baik saja, Yu-kai?”

Saya tidak mengharapkan kebaikan sama sekali pada saat itu, sehingga saya diam-diam menangis saat mengetahui bahwa saya baik-baik saja dan telah melakukan hal yang benar dengan mengakui kesalahan saya. Kata-kata tersebut mungkin telah mengubah diri saya untuk selamanya. Saya sangat-sangat berterimakasih kepada DJ Martin dan Vicki Young karena telah menjadi investor terbaik yang pernah saya temui. Jika Anda dapat menjadikan mereka sebagai investor Anda, maka Anda tidak perlu ragu untuk mengambil keputusan tersebut.

Sekarang mari kita diskusikan mengenai pelajaran yang bisa dipetik. Anda dapat melihat bahwa saya membuat beberapa keputusan besar dalam kasus ini, yang sebenarnya tidak berakhir dengan baik. Pertanyaannya adalah, apakah hal tersebut baik ataukah buruk? Saya tidak begitu yakin karena masing-masing orang memercayai hal dan nilai yang berbeda-beda. Yang dapat saya katakan adalah, meskipun saya memiliki perusahaan yang luar biasa sukses, jika saya tahu saya melakukan kebohongan dan kecurangan dalam prosesnya, maka saya tidak akan bahagia. Memang saya akan memiliki rumah besar, uang melimpah, dan mobil terbaik, namun itu semua hanya akan menjadi sia-sia. Bagi saya hal tersebut tidak lah sepadan. Saya lebih baik dari apa yang saya miliki. Tentu saja, karena saya berusaha untuk menjadi umat Kristiani yang taat, saya juga bertanggungjawab kepada Tuhan dan percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya (untuk kasus saya, Anda dapat melihat buktinya nanti), meskipun banyak kesakitan yang saya rasakan untuk menuju kesana.

Saya rasa itu adalah jawaban terbaik yang bisa saya berikan kepada para pengusaha yang tengah berjuang di luar sana, namun setiap orang harus menemukan jawaban mereka masing-masing dan menemukan kedamaian dalam hati mereka sendiri. Menjadi seorang pemimpin berarti mampu untuk membuat keputusan sulit dan menanggung konsekuensi emosional dari hal tersebut. Itulah mengapa tidak semua orang dapat menjadi seorang pemimpin, dan terkadang saya juga tidak yakin apakah saya sendiri layak untuk menjadi seorang pemimpin.

Kehidupan setelah RewardMe

Setelah semua kesulitan dengan RewardMe, saya akhirnya mencari pencerahan – apa yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengalami kegagalan. Saya sadar bahwa di sepanjang hidup saya, masalah terbesar saya adalah mengetahui semua ide yang saya miliki terlalu jauh di depan. Bahkan ketika masih kuliah, saya mendirikan bisnis pertama saya dan mendatangi VC, meskipun pada akhirnya mereka menertawakan saya dan berkata bahwa bisnis saya tidak akan pernah berhasil. Saya kemudian menyerah dan mencoba untuk menekuni bisnis lain (para VC tersebut tentunya lebih pintar dari saya, sehingga saya mengikuti kata-kata mereka). Tiga sampai lima tahun kemudian, semua VC berebut mendanai perusahaan dengan konsep yang sama persis dengan apa yang saya tawarkan pada mereka sebelumnya, namun sayangnya saya telah berganti haluan.

Ketika saya mendatangi mereka lagi dan menawarkan perusahaan baru saya, mereka mengatakan, “Yu-kai, bisnis Anda yang sebelumnya memang sangat tepat! Namun apa yang Anda tawarkan sekarang…tidak masuk akal.” Dan tentu saja, hal yang sama kembali terulang. Jika saya adalah seorang pengusaha ternama, saya dapat mengumpulkan banyak uang dari ide-ide gila dan tidak masuk akal, dan bertahan selama beberapa tahun hingga pasar akhirnya memahami ide tersebut. Sayangnya saya bukanlah pengusaha sukses, sehingga saya harus mengikuti aturan main yang berlaku. Hal ini penting bagi para pengusaha yang pernah membaca di TechCrunch tentang bagaimana perusahaan meraih pendanaan puluhan juta dolar sebelum meluncurkan produk mereka. Secara umum, jika Anda tidak dapat mengumpulkan uang dari catatan Anda sebelumnya, maka Anda memerlukan TRAKSI sebelum Anda memperoleh pendanaan besar. Bagian tersulitnya adalah, Anda harus dapat memperoleh traksi dengan uang yang terbatas.

Setelah memahami kecenderungan dan masalah yang saya miliki, saya menyadari bahwa saya dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan hal tersebut…yaitu untuk tidak membuat startup berdasarkan ide gila. Fokus lah kepada apa yang dibutuhkan oleh pasar, bukan pada apa yang layak mereka terima (pemikiran yang realistis ini saya ambil dari kisah Batman haha).

Saya juga berpikir mengenai hal-hal yang membuat saya bahagia, dan saya menyadari bahwa saya bahagia ketika membuat desain gamifikasi. Istilah “gamifikasi” mulai populer pada tahun 2010, namun pada kenyataannya saya telah mengerjakan aplikasi permainan yang produktif sejak tahun 2003 (ya, salah satu dari hal konyol yang “tidak akan pernah berhasil”). Saya tentu saja memiliki lebih banyak pengalaman dan gairah pada bidang ini.

Pencerahan dari Gamifikasi

Saya mempelajari industri gamifikasi pada akhir 2012. Pada saat itu, terdapat sejumlah “ahli gamifikasi” ternama. Meskipun saya menghabiskan sepuluh tahun untuk mengerjakan beberapa proyek terkait, saya tidak memiliki nama besar sebagai seorang ahli gamifikasi, karena seluruh usaha dan perhatian saya curahkan pada startup saya, bukan kemampuan saya sebagai individu.

Namun kemudian saya menyadari hal yang menarik: para “ahli gamifikasi” tersebut ternyata memiliki latar belakang yang berbeda-beda: sebagian merupakan desainer game, sebagian adalah pengembang software, sebagian berasal dari dunia pendidikan, sebagian lainnya dari dunia pemasaran. Dan saya menyadari bahwa saya memiliki satu keunggulan dibandingkan mereka semua – Personal Branding. Inilah yang Anda pelajari jika Anda bekerja di startup selama bertahun-tahun: saat memulai startup, Anda tidak memiliki latar belakang, nama, dan sumber daya sama sekali, dan Anda perlu untuk sampai pada tahap dimana semua orang mengenal Anda.

Jadi saya memutuskan untuk menggunakan keunggulan saya tersebut untuk mempromosikan keunggulan-keunggulan saya yang lain. Hasilnya, jumlah kunjungan blog saya meningkat tajam, dari 1,000 kunjungan yang tidak diarahkan menjadi 25,000 kunjungan yang diarahkan, dalam jangka waktu satu setengah tahun.

Saya membuat sebuah kerangka desain gamifikasi bernama Octalysis yang pernah saya buat semasa kuliah, dan produk tersebut langsung meroket. Octalysis telah diterjemahkan ke dalam enam belas bahasa yang berbeda dan banyak murid dari seluruh dunia menghubungi saya untuk bertanya lebih lanjut. Rancangan tersebut memang unik dalam artian jauh melebihi batasan-batasan yang ada, sehingga memotivasi saya untuk membuat 8 Core Drives.

Beberapa Core Drive diasosiasikan dengan Gamifikasi White Hat (hal-hal yang membuat Anda serasa memiliki kekuatan, namun tidak menciptakan situasi mendesak), sementara beberapa lainnya merupakan strategi Black Hat (hal-hal yang membuat Anda merasa terdesak, terobsesi atau kecanduan, namun pahit untuk dilakukan), dan sebagian lagi terkait dengan otak kiri (lebih berfokus kepada motivasi ekstrinsik) sementara sebagian lagi terkait dengan otak kanan (lebih berfokus kepada motivasi intrinsik).

Kesimpulannya, hidup saya menjadi lebih baik belakangan ini dan saya sangat bersemangat untuk bangun di pagi hari. Saya saat ini dikenal sebagai salah satu tokoh ternama di industri ini, saya juga pernah berbicara/memberi kuliah di Stanford, TEDx, SxSW, Accenture dan tempat-tempat lain nyaris di semua benua. Banyak VC yang meminta saya untuk membantu portfolio mereka dengan ilmu desain saya (beberapa dari mereka menyebutnya sebagai teknik perilaku). Daripada mengerjakan satu proyek selama 100 jam setiap minggunya, saya kini dapat mengerjakan lusinan pekerjaan yang saya minati sekaligus (sambil mengumpulkan beberapa ekuitas).

Tahun ini saya bahkan menerbitkan buku saya sendiri, Actionable Gamification: Beyond Points, Badges and Leaderboard yang merangkum apa yang telah saya pelajari selama 12 tahun.

Memang terdengar aneh dan sombong, namun sangat mudah untuk memperoleh hasil di atas, khususnya bila dibandingkan dengan menjalankan sebuah startup teknologi. Berdasarkan pelajaran yang saya petik di masa lalu, saya jauh lebih berhasil dalam mengelola kembali apa yang saya lakukan bertahun-tahun yang lalu, dibandingkan dengan mencoba untuk mengejar hal-hal di masa depan (percayalah, saya menahan diri untuk tidak mengerjakan hal-hal yang saya rasa bisa mengubah dunia).

Saya rasa pelajarannya disini adalah, tidak peduli seberapa banyak kesuksesan atau kegagalan yang Anda rasakan dalam hidup Anda, kuncinya adalah untuk memastikan bahwa Anda mengenal diri Anda sendiri, memahami posisi Anda di dunia ini, dan melakukan hal-hal yang bermanfaat yang Anda senangi.

Luka dapat diobati. Kesuksesan tidak dapat diraih dengan mudah, namun jika Anda menghabiskan waktu Anda untuk mengejar hal yang Anda sukai, maka perjalanannya lah yang membuatnya bermakna, bukan tujuannya. Hanya sedikit orang yang saya kenal yang telah menamatkan game Super Mario yang pertama, namun mereka semua memiliki kenangan dalam memainkan game tersebut. Hidup bukanlah tentang kemenangan (begitu Anda mencapai tujuan Anda, Anda lantas mencari tujuan lainnya), namun lebih kepada apakah Anda menggunakan waktu Anda untuk memaksimalkan hal-hal yang Anda sukai atau tidak.

Yu-kai Chou adalah pionir dalam Gamifikasi (yang telah ia mulai sejak 2003) dan mitra dari Enterprise Gamification Consultancy (EGC). Ia merupakan pembicara/pengajar Gamifikasi ternama di seluruh dunia, termasuk organisasi-organisasi besar seperti Stanford University, SxSW, Accenture, TEDx, dan Google. Yu-kai dikenal sebagai penemu Octalysis, sebuah kerangka gamifikasi, dan tercatat sebagai nomor satu dari 40 ahli gamifikasi terbaik berdasarkan data dari Leaderboarded asal Inggris. Ia juga telah diwawancarai oleh Wall Street Journal, CBS, PBS, Nielsen Online, dan masih banyak lagi. Sebelumnya, ia merupakan Co-Founder dan CEO dari RewardMe, sebuah platform loyalty yang memperkenalkan konsep Gamifikasi pada lingkungan offline.

Artikel ini diterbitkan ulang dari artikel aslinya atas seizin penulis dan diterjemahkan oleh Rifki Aria Nugraha

Membangun Startup dengan Tata Kelola Emosional

Mengedepankan hubungan emosional untuk menyatukan visi tim dalam startup / Shutterstock

Startup modern saat ini dilakukan dengan dua pendekatan utama, pendekatan rasional dan pendekatan emosional. Pendekatan yang rasional diawali dengan sebuah konsep membangun bisnis untuk memperoleh keuntungan, terutama dari segi finansial. Percaya atau tidak, ini menjadi dasar beberapa orang membangun startup. Continue reading Membangun Startup dengan Tata Kelola Emosional

Empat Cara Mengukur Pasar Anda

Kapanpun Anda meluncurkan produk atau layanan baru, Anda harus membuat asumsi mengenai seberapa banyak orang yang akan menggunakannya; namun, asumsi saja tidak akan membantu Anda menjual produk, bertemu investor dan menawarkan usaha Anda. Untuk hal tersebut, Anda perlu angka yang akurat. Tidak semua orang akan menjadi pelanggan Anda. Tidak ada bisnis di dunia, bahkan sekelas Google, yang berhasil membuat semua orang di dunia menjadi pelanggan mereka. Jadi, jika Anda ingin memenangkan pasar, Anda harus menentukan siapa yang benar-benar akan menggunakan layanan atau produk Anda, bukan siapa yang sekiranya akan tertarik dengan produk atau layanan Anda.

Continue reading Empat Cara Mengukur Pasar Anda

Four Ways to Size a Market for Your Startup

It's not that easy to determine your market size / Shutterstock

Whenever you launch a new product or service, you always have a basic assumption of how many people might use it; however, assumptions will not help you market, sell investors and price your offering. For that you need a more accurate number. While you may be entering a market with millions of potential customers it is highly unlikely that they will all become your customers. There are virtually no businesses in the entire world that can capture every single potential customer in their market – even Google. Therefore, when you want to correctly size a market, it is important to determine who will actually use your product or service and not just be interested in using it if they only knew it existed.

Continue reading Four Ways to Size a Market for Your Startup