[Opini] 7 Hal yang Perlu Disadari Untuk Membangun Karier di Esports


Salah satu pertanyaan yang seringkali saya dengar adalah “bagaimana caranya agar saya bisa berkarier di esports?” Beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan ini baik ketika saat saya jadi pembicara ataupun melalui chat.

Di sisi lain, jika pertanyaan tadi mungkin lebih sering dilontarkan bagi mereka-mereka yang baru lulus ataupun belum pernah bekerja sama sekali, saya juga beberapa kali menemukan beberapa profesional dari industri lain yang bergeser ke industri esports namun beranjak keluar lagi dari industri ini meski baru sebentar.

Karena itulah artikel ini saya buat untuk membantu mereka-mereka, baik yang belum pernah bekerja ataupun para pekerja dari industri lain, lebih jauh mengenal industri esports — sebelum terlanjur basah.

Oh iya, artikel ini ditujukan buat Anda yang ingin membangun karier di esports namun bukan sebagai pro player. Anda bisa membaca artikel kami lainnya jika cita-cita Anda adalah menjadi pemain profesional dan direkrut tim esports.

Terakhir, sebelum kita masuk ke pembahasan, sebagian besar dari artikel ini adalah opini saya pribadi namun saya juga meminta pendapat dari beberapa kawan saya tentang perjalanan karier mereka di esports. Namun saya tidak akan menyebutkan nama mereka di sini karena mungkin sensitif dengan perkembangan kariernya masing-masing.

1. It’s not always rainbows and butterflies

IEM Katowice 2020 diselenggarakan tanpa penonton.
Dokumentasi: ESL

Saya kira inilah hal pertama yang harus disadari buat semua orang, termasuk buat mereka yang di luar industri esports dan game. Faktanya, bagi saya pribadi, tidak ada pekerjaan yang mudah dan menyenangkan layaknya surga yang penuh dengan bidadari.

Kenapa? Karena yang namanya pekerjaan pasti ada target yang harus dicapai dan tantangan yang harus diselesaikan. Jika Anda merasa pekerjaan Anda saat ini mudah, menyenangkan, dan tanpa tantangan, kemungkinan besar Anda bekerja seenak perut… Pasalnya, saya percaya bahwa pekerja yang baik adalah mereka-mereka yang mencoba melampaui capaian-capaian terbaik mereka sebelumnya.

Sedangkan spesifik untuk industri esports dan game, berhubung saya memang dari zaman fresh graduate di tahun 2008 sudah bekerja di media & game, lontaran yang paling sering saya dengar adalah “enak ya kerja di industri game. Kerjanya main game.” Silakan percaya saya atau tidak namun kenyataan itu tak pernah seindah yang dibayangkan. Jangankan industri game, industri pornografi juga tidak seindah yang kelihatannya… Kayaknya sih…  Wkwkkwakawk…

Sumber: Georgia State University
Sumber: Georgia State University

Hal ini saya taruh pertama karena saya tahu kebanyakan orang berkecimpung di sini karena memang suka dengan game dan esports. Saya sendiri juga gamer dan masih bermain game 2-4 jam setiap harinya. Namun bermain game dengan tujuan sekadar bermain dan dengan tujuan review ataupun riset itu nyatanya memang berbeda rasanya.

Memang, saya tidak menihilkan juga kesenangan dan nikmat yang bisa didapat saat bisa bekerja di industri yang sesuai hobi. Namun seperti kata Maroon 5, “it’s not always rainbows and butterflies.” Inilah yang penting untuk disadari pertama kali buat semua yang ingin membangun karier di esports. Jika Anda hanya ingin bersenang-senang tanpa berupaya sekuat tenaga di sini, industri esports dan game tidak butuh Anda. Plus, kemungkinan besar, Anda juga tidak akan sukses di sini.

2. Pick your poison, with passion

Sumber: Inc.com
Sumber: Inc.com

Saya sebenarnya pernah menuliskan ini panjang lebar sebelumnya. Namun saya kira hal ini juga masih penting untuk disadari buat yang ingin membangun karier di sini. Tidak sedikit orang-orang yang terjun ke esports dengan hanya bermodal passion, tanpa tujuan expertise yang jelas.

Sebelum salah kaprah, saya juga tidak menihilkan pentingnya peranan passion dalam membangun karier. Nyatanya, ketika kita suka dengan seseorang, tanpa dibayar ataupun bahkan dilarang, kita biasanya nekat untuk mendekati atau setidaknya memelajari orang tersebut lebih jauh. Demikian juga dengan bidang yang kita geluti secara profesional. Meski begitu, passion hanyalah fondasi dasar semata dalam membangun karier. Tak sedikit juga orang-orang yang bahkan tidak menyarankan untuk menggeluti karier yang berbasis pada passion.

Saya kira hal ini juga berlaku (dan mungkin berguna) di semua aspek hidup, sering-seringlah menyadari hidup agar tak terdampak dengan keterasingan diri. Bagi saya, menyadari kelebihan dan kekurangan diri adalah hal penting yang harus dilakukan di setiap aspek hidup.

Sayangnya, di esport, tidak sedikit pekerja, pencari kerja, ataupun malah pemberi pekerjaan yang hanya menitikberatkan pada ketertarikan di game dan esports tanpa tuntutan keahlian yang jelas atau spesifik.

Di sisi lain, saya juga sebenarnya percaya setiap manusia sebenarnya bisa belajar keahlian apapun yang kita inginkan. Namun, setiap orang butuh waktu yang berbeda-beda untuk memelajari keahlian yang berbeda-beda. Padahal, waktu beradaptasi dan belajar adalah tuntutan profesional yang, bagi saya, jadi salah satu prioritas tertinggi. Dengan kata lain, jika Anda lamban belajar di satu bidang, mungkin baiknya Anda mencari profesi lain yang sesuai dengan keahlian.

3. Behind the bling-bling of esports

Sumber: Venture Beat
Sumber: Venture Beat

Dengan megahnya panggung, gemerlap lampu, dan dentuman suara kencang di setiap event esports, mungkin memang membuat industri esports terlihat lebih megah dari aslinya. Padahal, di balik megahnya setiap event esports, ada orang-orang yang dibayar dengan tarif recehan — seperti observer dan referee yang pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu.

Tidak sedikit juga kawan-kawan saya di sini yang memang gajinya sangat terbatas, di bawah atau di kisaran UMR Jakarta meski sudah beberapa tahun di sini. Di satu sisi, survivorship bias itu memang selalu ada di industri mana pun. Kita memang lebih cenderung melihat dan mengambil contoh dari orang-orang yang sukses di industri tersebut dan tak melihat berapa banyak yang gagal.

Namun di sisi lain, kenyataannya, industri esport saat ini memang belum memiliki sumber pendapatan yang sustainable. Sebagian besar atau bahkan sepenuhnya (jika di Indonesia), pendapatan di industri ini datang dari sponsor. Makanya, perputaran uang di industri ini memang masih belum luas dan cepat. Douglas Rushkoff percaya bahwa kunci sukses sebuah industri adalah velocity of the money (bagaimana caranya agar uang terus berputar antar pelaku satu dengan yang lain) dan saya mengamini hal tersebut. Nilai industri ini di Indonesia juga sebenarnya masih kalah jauh dengan industri lain yang sudah lebih dulu matang.

Memang, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari, sama seperti layaknya industri lainnya — setidaknya dari industri yang legal di Indonesia — jangan berharap Anda bisa tiba-tiba kaya raya dari industri esports. Jangan berharap juga Anda bisa mendapatkan gaji besar jika pengalaman Anda masih minimalis atau posisi Anda buat perusahaan masih gampang tergantikan.

4. There is no such thing as easy kills

Selain soal ‘enak’ tadi, tidak sedikit juga orang-orang awam yang menganggap industri game dan esports itu mudah. Menurut saya pribadi, faktanya, tidak ada yang mudah jika pembelajarannya ingin ke tingkat profesional — baik itu dari sisi industri yang digeluti ataupun profesinya.

Misalnya soal cakupan wilayah esports. Banyak orang mungkin belum sadar bahwa esports tidak bisa disamakan dengan satu cabang olahraga. Esports itu sendiri adalah olahraga yang punya banyak cabang/game.

Dari platform-nya saja sudah ada 3, yaitu PC, console, dan mobile. Belum lagi jika kita berbicara soal game esports-nya yang sampai puluhan jumlahnya dari LoL, Dota 2, R6S, Assetto Corsa, rFactor 2, Tekken, Street Fighter, FIFA, PES, MLBB, FreeFire, PUBGM, dan kawan-kawannya.

Mungkin memang platform mobile yang saat ini sedang naik daun namun bukan berarti yang lain tidak penting untuk dipelajari. Selain itu, banyak juga yang mungkin tidak menyadari bedanya industri game dan esports — meski memang keduanya terkait erat. Saya bahkan mendengar salah satu tokoh politik yang mengatakan bahwa pemain esports mencapai 60 juta orang (saat diwawancarai salah satu televisi swasta).

Buat yang belum tahu, faktanya, pasar esports itu berbeda dengan pasar gamer. Sedangkan angka 60 juta tadi adalah jumlah pasar gamer (menurut data dari Statista). Padahal jumlah pasar esports itu lebih kecil dari pasar gamer — setidaknya Lucas Mao, Director of Operations dari Moonton yang juga Commissioner of MPL Indonesia juga setuju dengan hal ini.

Dari sisi game sendiri juga ada banyak kategori seperti game singleplayer dan multiplayer yang membuat tujuan bermain game-nya juga jadi berbeda. Saya menyebutnya dengan istilah competitive vs. leisureItu tadi masih secuil dari segudang pengetahuan yang, idealnya, harus dipahami buat mereka-mereka yang ingin terjun di sini.

Belum lagi soal skill dan expertise bidang yang Anda geluti. Berhubung saya memang sudah jadi penulis/jurnalis sejak 2008, tidak sedikit yang berkata ke saya, “menulis itu kan mudah…” Nyatanya, sekali lagi jika boleh saya tekankan, tidak ada yang skill yang mudah jika ingin dikuasai.

Jika yang dimaksud menulis adalah kemampuan dasar seperti yang Anda pelajari di SD, mungkin memang hanya sekitar 4% penduduk Indonesia yang buta huruf — setidaknya dari data tahun 2017. Namun menulis secara profesional bukanlah hanya sekadar memahami arti kata ataupun kalimat… Keahlian lain, memasak, misalnya, juga tidak semudah yang dibayangkan. Masak air atau mie instan itu mungkin memang sederhana namun tentu akan berbeda tuntutannya untuk jadi koki hotel atau bahkan sekelas Gordon Ramsay ataupun Joël Robuchon.

Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo
Pasar gaming Indonesia pada 2017 | Sumber: Newzoo

5. Stairway to heaven or highway to hell?

Setelah 4 hal yang perlu disadari tadi, saya juga akan memberikan ‘bocoran’ ke kantor mana Anda bisa memulai membangun karier di esports. Satu hal yang pasti, bagian kali ini memang sepenuhnya pendapat pribadi saya, berdasarkan pengalaman saya juga mengenal sekian banyak orang-orang yang bekerja di industri ini.

Jika Anda adalah seorang fresh graduate atau bahkan masih kuliah, Anda bisa mencoba ke RevivalTV. Pasalnya, kawan-kawan saya di sana memang ada yang masih kuliah ataupun belum pernah kerja kantoran di industri lain sebelumnya. RevivalTV juga punya banyak divisi mulai dari event organizer, media, ataupun talent management.

Sebaliknya, jika Anda sudah mengantongi pengalaman bekerja di luar industri esports, mungkin Anda lebih cocok bergabung bersama MET Indonesia. Karena, tidak banyak kawan-kawan saya di MET yang masih kuliah ataupun fresh graduate seperti di RevivalTV tadi. Selain sebagai event organizer, MET Indonesia juga punya talent management.  

Pertimbangan tadi memang hanya sebatas kawan-kawan saya yang saya tahu bekerja di sana. Karena, asumsi saya saja, Anda yang sudah punya pengalaman profesional mungkin akan lebih cocok bekerja dengan rekan yang juga punya pengalaman. Namun, bisa jadi asumsi saya salah dan Anda punya preferensi yang berbeda.

Lalu bagaimana jika Anda ingin bekerja di tim esports? Nah, kalau ini saya tidak terlalu tahu perbedaan yang mencolok antar tim-tim esports di Indonesia seperti halnya antara RevivalTV dan MET. Soal fresh graduate atau tidak untuk di tim esports, sepertinya tergantung dengan posisi yang ingin Anda tuju. Namun demikian, ada beberapa informasi yang saya tahu dari beberapa tim esports yang mungkin bisa Anda jadikan pertimbangan.

EVOS Esports adalah organisasi esports dengan karyawan terbanyak di Indonesia. Sedangkan RRQ merupakan organisasi esports yang berada di bawah naungan MidPlaza Holding. Di sisi lain, Aura Esports mendapatkan modal awalnya dari Wicaksana Group. BOOM Esports adalah yang paling ‘idealis’ dengan PC gaming dan fokus pada game-game esports yang mainstream di barat (Dota 2, CS:GO, R6S). Sedangkan pemilik tim Alter Ego juga pemilik event organizer bernama Supreme League.

Lalu bagaimana caranya mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di esports? Sayangnya, informasi lowongan kerja di esports memang masih sedikit di situs-situs lowongan kerja. Saya hanya menemukan 15 lowongan di JobStreet, 7 lowongan di Kalibrr, 6 lowongan di Glints, dan 4 lowongan di LinkedIn (setidaknya saat saya menulis artikel ini). Sosial media masing-masing pelaku industri esports juga beberapa kali membuka lowongan lewat sana. Jadi, Anda yang tertarik bekerja juga bisa mulai follow akun-akun tersebut.

Mungkin memang esports sendiri belum terlalu banyak menyerap tenaga kerja seperti industri lainnya namun tidak sedikit juga lowongan kerja di esports yang hanya lewat belakang, alias dari mulut ke mulut.

Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang ingin memulai bisnis sendiri di esports? Apakah kelihatannya menjanjikan? Apalagi mengingat belakangan ada banyak tim-tim esports baru bermunculan seperti The Pillars besutan Ariel Noah ataupun Team Elvo dari Andrew Tobias. Mungkin lain kali kita akan bahas hal itu dan saya akan mengajak beberapa owner tim esports untuk berbagi pendapatnya.

6. Roles in the META

Setelah tempat bekerja, posisi apa saja yang tersedia di industri esports Indonesia jika Anda ingin berkarier di sini?

Well, buat yang belum menyadarinya, esports juga bisa dibilang sebagai industri hiburan. Jadi, pekerjaan-pekerjaan untuk produksi konten selalu dibutuhkan di setiap pelaku industri esports — dari tim, event organizerpublisher, apalagi media. Konten video mungkin jadi format paling favorit saat ini, mengingat semua orang nampaknya ingin kaya raya dari YouTube. Konten gambar (image) juga selalu diproduksi oleh semua pelaku industri esports — mengingat setiap mereka pasti punya media sosial yang kebanyakan isinya gambar-gambar.

Bagaimana jika Anda suka atau bisa menulis? Selamat, Anda adalah anak tiri di industri konten jaman milenial dengan pasar Gen Z… Wawkwakwakaw… Selain direndahkan oleh orang-orang yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata depan dan kata keterangan ataupun antara frasa dan kalimat, kemungkinan besar, Anda akan dibayar murah — sebelum mungkin akhirnya menemukan orang-orang yang menghargai keahlian menulis Anda tadi. Jadi, selamat berjuang kawan! Nyahaha…

Selain para pekerja kreatif pembuat konten, event mungkin bisa dibilang sebagai hasil produksi esports yang paling besar biayanya dan juga usaha yang dibutuhkan. Jadi, event juga, setahu saya, membutuhkan banyak para pekerja; mulai dari mereka-mereka yang menjalankan dari sisi turnamennya, memastikan semuanya berjalan tanpa kendala saat di acara, ataupun bertugas menayangkan turnamen tersebut.

Selain itu, profesi-profesi lain yang memang butuh keahlian spesifik juga sebenarnya masih banyak dibutuhkan — seperti orang-orang (digital) marketing yang tahu lebih dari sekadar eksploitasi gadis-gadis cantik sebagai penarik massa, orang-orang sales, bisnis, humas, SDM (HRD), ataupun posisi-posisi lainnya yang bertugas layaknya kantor di luar esports. Namun demikian, menurut saya, posisi-posisi tadi tidak menarik SDM sebanyak untuk event ataupun konten.

7. Esports is young and dangerous?

Terakhir, industri esports di Indonesia adalah industri yang sebagian besar diisi oleh anak-anak muda generasi milenial. Hal ini jadi memberikan keuntungan dan kekurangan tersendiri.

Salah satu kekurangan terbesarnya adalah, karena usia para pekerjanya yang masih muda dan hanya mengenal industri esports, masih banyak wawasan dan keahlian yang bisa digali dari luar ataupun dalam industri esports. Harus disadari juga bahwa keahlian dan wawasan tadi tidak sedangkal yang dibayangkan. Baik dari pencari kerja ataupun pemberi kerjanya, saya kira kita harus sudah mulai menyadari betapa krusialnya keahlian dan wawasan terhadap keberlangsungan sebuah indsutri — selain soal passion.

Namun demikian, jika melihat kondisi saat ini dengan keterbatasan wawasan dan keahlian tadi, potensi esports Indonesia berarti juga bisa dibilang besar — selama memang kekurangan tadi disadari dan dibenahi.

Sumber: Business Insider
Sumber: Business Insider

Di sisi lain, ada yang bilang juga esports is meritocratic. Industri yang diisi dengan banyak generasi muda seperti esports memang cenderung menggunakan sistem meritokrasi. Sistem seperti ini memang jadinya mendegradasi nilai-nilai lama seperti senioritas, latar belakang pendidikan, dan kawan-kawannya. Belum lagi, di jaman post-postmodernism ini, meragukan expertise (atau bahkan merasa jadi expert dengan mengomentari segala fenomena yang terjadi lewat sosial media) seakan jadi tren filosofi baru buat generasi muda.

Saya pribadi juga setuju dengan sistem meritokrasi, selama masing-masing dari kita bisa meminimalisir bias-bias kognitif yang mungkin terjadi saat kita menilai sesuatu dan mengambil keputusan. Apalagi, faktanya, tidak semua nilai-nilai lama itu harus ditinggalkan dan tidak semua yang tua itu sudah tidak punya nilai pragmatis.

Sebagai penutup, mungkin memang saya old-school soal ini namun, saya mengamini betul jika salah satu tolak ukur untuk menakar kesuksesan karier ataupun industri adalah dengan usia seberapa lama ia bisa bertahan.

Sumber: NYTimes
Sumber: Telegraph

Bagi saya, orang yang sukses bukanlah orang yang bisa jadi hype sesaat, punya jutaan followers, subscribers, atau apapun namanya; namun kemudian tak relevan lagi 10 tahun ke depan. Demikian juga dengan industri esports ini. Segala macam gegap gempita dan hedonisme yang bisa disuguhkan, tak akan ada artinya jika ia tak bisa terus bertahan untuk waktu yang lama.

Sumber header: GGEngine

ACF Fiorentina Terjun ke Esports Lewat Kerja Sama dengan Hexon

Klub bola asal Italia telah resmi membuka divisi esports mereka lewat kerja sama dengan Hexon Esports. Menurut rilis dari lama resmi mereka, Fiorentina eSports akan bertanding pada game FIFA dan Pro Evolution Soccer (PES).

Giovanni “Giovhy69” Salvaggio akan mewakili Fiorentina di FIFA. Sedangkan Angelo “Tipolosco319” Giannino akan bertanding mengangkat bendera Fiorentina di PES.


Dalam rilis yang sama, Joe Barone, General Director ACF Fiorentina mengatakan, “langkah kita ke esports menunjukkan semangat progresif untuk klub kita, seiring dengan fokus kita ke dunia digital dan esports, yang sedang digandrungi para kaum muda di seluruh dunia. Dengan dukungan perusahaan baru dan sukses seperti Hexon, kami akan membangun tim kompetitif yang akan membantu mengenalkan Fiorentina ke komunitas esports international; membawa mereka lebih dekat dengan klub.”

Sebelumnya, klub sepak bola asal Italia, Juventus sudah lebih dulu bergabung meramaikan eFootball League (PES) dengan menunjuk Astralis. Belakangan, Inter Milan juga menjalin rekanan dengan QLASH untuk terjun ke esportsSama seperti Fiorentina, Inter juga berkompetisi di FIFA dan PES. Dengan eSerie A yang akan digelar, akan ada lebih banyak klub-klub bola dari Italia yang akan mengikuti jejak tiga tim ini.

eFootball PES 2020 - Manchester United
Sumber: Konami

Sedangkan buat klub-klub bola di luar Italia, sebelumnya juga sudah ada Arsenal, Machester United, Barcelona, Bayern Munich, AS Monaco, dan kawan-kawannya yang sudah lebih dulu diumumkan di gelaran eFootball League.

Meski demikian, meski sudah ada beberapa klub bola luar negeri yang terjun ke esports, sebagian besar memang hanya bertanding di game sepak bola. Sepengetahuan saya, hanya PSG yang pernah terjun ke Mobile Legends dan Dota 2; dan Buriram (klub bola Thailand) yang punya divisi AoV dan beberapa game lain selain game bola. Sedangkan di Indonesia, Bali United yang juga punya divisi esports (Islands of Gods — IOG) memiliki divisi di luar game bola seperti Mobile Legends dan Free Fire.

Review Darksiders Genesis – Gaya Baru Seri Darksiders: Top-Down-Action

Beberapa waktu silam, saya menemukan game yang satu ini dan menyelesaikannya single player campaign-nya dalam waktu 46 jam. Sama seperti review Borderlands 3 yang saya tuliskan sebelumnya, saya juga memainkan semua seri Darksiders; mulai dari Darksiders, Darksiders 2, Darksiders 3, dan Darksiders Genesis.

Buat Anda yang juga memainkan ketiga seri sebelumnya, Anda mungkin terkejut juga saat melihat video gameplay atau trailer-nya yang berubah sudut kameranya jadi top-down. Lalu pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Inilah review Darksiders Genesis yang akan saya bagi jadi beberapa aspek.

Oh iya, sebelum masuk ke reviewnya, saya memainkan game ini di PC dengan spesifikasi sebagai berikut:

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: Gigabyte AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB

Graphics: 76/100

Mengingat sudut pandangnya yang berubah jadi top-down, Darksidersm Genesis memang jadinya jauh lebih sederhana ketimbang Darksiders 3 yang dirilis tahun 2018 ataupun Darksiders 2. Namun demikian, detail grafisnya masih cukup diperhatikan dengan baik.

Jujur saja, bagi saya pribadi, saya lebih suka game dengan sudut pandang top-down seperti ini namun dengan detail yang baik ketimbang game third-person (dari belakang) ataupun first-person namun dengan kualitas yang seadanya — game-game free-to-play atau game mobile misalnya… uhuk…

Selain itu, dengan grafis yang sederhana, game ini pun jadi ringan dijalankan. Dengan spek yang saya gunakan tadi, game ini bisa berjalan mulus di 165fps (di monitor 165Hz) tanpa gangguan sama sekali. Saya kira hal ini juga penting disebutkan mengingat saya juga kerap menemukan game-game yang grafisnya sederhana tapi tidak mampu berjalan mulus framerate-nya.

Di PS4, harusnya game ini juga bisa berjalan mulus — mengingat kebanyakan game rilisan modern kemarin memang sudah dioptimalisasi untuk console. Red Dead Redemption 2, misalnya, adalah salah satu game yang cukup berat di PC namun cukup mulus saat dijalankan di PS4.

Story: 61/100

Jika ingin ditilik ke belakang, seri Darksiders memang bukan game yang mengedepankan aspek ceritanya. Meski begitu, cerita di setiap Darksiders memang bukan yang sesederhana jagoan melawan penjahat dan jagoannya menang, termasuk di Darksiders Genesis ini.

Ada sedikit plot twist dan intrik politis di setiap game Darksiders. Lore seri Darksiders sendiri memang berkisar soal pertempuran antara Heaven dan Hell dengan The Council yang berperan sebagai penjaga keseimbangan. The Council pun punya 4 penjaga perdamaian yang disebut horse-riders yang ditugaskan untuk menyelesaikan konflik antara pihak-pihak tadi. Keempat horse-riders tadi adalah War (yang dimainkan di Darksiders pertama dan Genesis), Death (dimainkan di Darksiders 2), Fury (Darksiders 3), dan Strife (yang bisa dimainkan di Genesis).

Dengan plot besar tadi, cerita di Darksiders Genesis ataupun Darksiders lainnya berkisar antara intrik dan manipulasi antara ketiga pihak itu. Sekali lagi, bagi saya pribadi, cerita di seri Darksiders memang tidak pernah sekuat game-game fenomenal macam Skyrim, The Witcher, ataupun Mass Effect. Karakter-karakternya pun tidak sekuat itu membangun ketertarikan atau emosi para pemainnya seperti RDR2 yang punya Arthur Morgan atau Handsome Jack di BL2. Namun ceritanya memang tidak sedatar soal pertempuran antara kebajikan dan kebatilan… Pemikiran yang mencoba mengaburkan dikotomi moral antara hitam dan putih selalu saya temukan di setiap Darksiders, termasuk Genesis.

Terakhir dari aspek storyline, penyajian cerita di sini juga ditampilkan dengan sederhana, tanpa cutscenes. Game ini hanya menyuguhkan slideshow gambar saat jeda dari permainan. Lagi-lagi bagi saya, konsep sederhana namun digarap dengan baik itu lebih menyenangkan ketimbang ambisi tinggi yang digarap setengah hati — macam game-game yang pakai cutscenes in-game tapi animasi dan ekspresi mukanya bikin ilfil.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Gameplay: 81/100

Bagi saya, inilah aspek paling penting dari sebuah game. Cerita, grafis, audio, karakter, atau apapun itu aspek lainnya tidak akan membuat game-nya asyik dimainkan jika tidak menawarkan gameplay yang menyenangkan.

Darksiders Genesis sebenarnya bisa dibilang menawarkan dua gaya pertempuran yang berbeda tergantung karakter yang Anda gunakan. Saat Anda memainkan Strife, Genesis akan berubah jadi top-down shooter. Sedangkan jika Anda memainkan War, gameplay-nya akan berubah jadi beat ‘em-up dengan sudut pandang top-down. Anda bisa berganti-ganti karakter kapanpun yang Anda mau.

Screenshot from Darksiders Genesis
Screenshot from Darksiders Genesis

Tidak ada level karakter di game ini. Namun progression-nya bisa Anda temukan dalam bentuk Creature Core. Setiap Anda mengalahkan musuh, Anda akan memiliki kesempatan mendapatkan Creature Core dari musuh tersebut. Setiap Creature Core memiliki efek yang berbeda — ada yang sama juga sih. Semakin langka musuhnya, semakin bagus pula efeknya. Efek di sini tidak hanya yang sekadar pasif +Attack, +Defend, dkk. tapi juga ada juga yang proccing (procs). Sayangnya, tidak banyak efek-efek tersebut. Saya pribadi sebenarnya suka dengan mekanisme semacam ini.

Hal tersebut memang jadi membuat game ini terasa grinding dan mengandalkan random loot namun beberapa Creature Core benar-benar membuat permainan terasa berbeda. Sayangnya, kekurangan dari mekanisme ini adalah masih lebih banyak efek status pasif ketimbang yang berupa procs.

Selain soal pertempuran dan progresi karakter, seri Darksiders juga mengusung fitur platformer dan puzzles — meski memang tidak sesulit game-game yang menaruh perhatian ke aspek tersebut. Aspek platformer-nya misalnya tidak sesulit Super Meat Boy ataupun seri Prince of Persia. Aspek puzzle-nya juga demikian. Mungkin tujuan sang developer adalah memberikan variasi yang berbeda agar tidak jenuh selalu bertarung.

Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis
Creature Cores. Screenshot from Darksiders Genesis

Namun demikian, saya sendiri malah berharap aspek ini tidak ada di seri Darksiders. Fitur pertempuran yang diusung Darksiders dari game pertamanya sudah memuaskan sehingga sebenarnya tak perlu gameplay filler seperti puzzle atau platformer.

Di Genesis, aspek puzzle-nya memang lumayan mudah namun aspek platformer-nya cukup menantang jika Anda ingin mengumpulkan semua collectibles.

Akhirnya

Pertanyaannya, apakah game ini layak dibeli? Bagi saya, mengingat harganya yang murah (sekitar Rp200 ribuan di Steam dan US$40 di PlayStation Store– tak seperti harga game AAA yang berkisar antara Rp600-800 ribu), Genesis layak dibeli buat yang suka dengan seri Darksiders, suka dengan gameplay yang sederhana, ataupun memang sedang kehabisan game untuk dimainkan. Meski mungkin game ini tidak akan jadi kandidat game of the year, Genesis bisa jadi pengisi kekosongan sembari menanti game-game besar yang akan dirilis tahun ini (Cyberpunk 2077, Dying Light 2, ataupun Final Fantasy 7 Remake misalnya).

Berapa Lama Lagi Umur Game dan Esports MLBB di Indonesia?

MSC 2017 adalah awal mula dari kebangkitan industri esports Indonesia gelombang kedua. Playoffs MPL Indonesia Season 1 adalah event yang berjasa mendobrak industri gaming dan esports ke khalayak ramai ataupun industri non-endemic.

Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) ada di pusat kebangkitan industri esports Indonesia gelombang kedua ini — gelombang pertamanya berawal di tahun 2003 dan tak berhasil memancing ketertarikan industri non-endemic. Meski sudah berjalan 3 tahun, MLBB masih menjadi salah satu game dan esports terlaris di Indonesia.

Namun demikian, sebagian besar (jika tidak semua) orang yang sudah cukup lama berkecimpung di industri game di Indonesia punya anggapan bahwa semua game pasti ada umurnya (life-cycle). Di sisi lain, jika kita berbicara soal game MOBA, sudah ada 2 studi kasus yang mampu menunjukkan umur panjangnya di platform PC — setidaknya di pasar global. Dua game tersebut adalah Dota 2 dan League of Legends (LoL). Keduanya sudah menjalankan turnamen esports tingkat dunianya sejak 2011 dan belum ada tanda-tanda akan ada penurunan dalam waktu dekat.

Sumber: MPL Indonesia
Sumber: MPL Indonesia

Jadi, pertanyaan yang ingin coba saya bahas kali ini adalah berapa lama umur game dan esports MLBB di Indonesia? Apakah game ini bisa sama panjang umurnya dengan Dota 2 ataupun LoL, meski berada di platform mobile?

Tulisan ini ‘hanyalah’ opini saya semata. Namun demikian, bagi saya, opini bisa jadi berbobot tergantung siapa yang berpendapat dan bagaimana argumentasinya. Faktanya, gravitasi, gelombang radio, arus listrik, aljabar, analisa data, dan semua ilmu pengetahuan yang ada saat ini juga berangkat dari opini — sebelum dibuktikan dan dikaji ulang. Meski begitu, bagi Anda yang gusar, cemas, dan takut dengan ‘opini’ itu tadi, silakan tutup laman ini.

Sebelum kita masuk ke pembahasan, seperti yang tadi saya tuliskan, izinkan saya menjelaskan sedikit pengalaman saya sebagai justifikasi argumentasi atas opini saya di sini. Saya sudah bekerja secara profesional penuh waktu di industri game dan sekitarnya sebagai pekerjaan pertama saya pasca lulus kuliah di 2008. 85% perjalanan karier saya ada di industri media (cetak ataupun digital). Sisanya ada di publisher aplikasi ataupun game.

Mari kita kembali ke pertanyaan yang ingin saya bahas di sini. Berapa lama lagi MLBB masih bisa terus bertahan di Indonesia baik dari sisi user (gamer) ataupun ekosistem esports-nya? Sebelum saya mencoba menjawab pertanyaan tadi di akhir artikel, izinkan saya menjabarkan beberapa hal yang menurut saya berpengaruh terhadap keberlangsungan MLBB sebagai argumentasinya.

Sentimen Negatif dan Pesimisme Esports MLBB

Sumber: MSC
Sumber: MLBB

Selama 3 tahun MLBB hidup di ekosistem esports Indonesia, sentimen negatif dan positif memang selalu ada. Namun, sentimen pesimis tentang keberlangsungan MLBB paling gencar terdengar pasca gelaran Playoffs MPL ID S3 yang digelar di Britama Arena, Kelapa Gading. Gelaran tersebut mungkin memang jadi yang paling sepi sepanjang sejarah MPL ID, setidaknya sampai artikel ini ditulis.

Oh iya, buat yang tidak tahu apa itu MPL, MPL adalah liga kompetitif tertinggi untuk MLBB yang resmi digelar oleh Moonton selaku publisher dari MLBB. Anggaplah turnamen ini seperti Premier League di sepak bola atau NBA di basket. Karenanya, MPL memang bisa jadi salah satu tolak ukur antusiasme gamer ataupun fans esports MLBB di Indonesia.

Optimisme atas MLBB kembali datang saat 21 ribu orang (menurut data dari Moonton) datang memadati Playoffs MPL ID S4 yang digelar di Tennis Indoor Stadium, GBK.

Meski demikian, sentimen negatif juga muncul dengan berubahnya MPL jadi sistem franchise yang mengharuskan tim-tim peserta untuk turut investasi sebesar US$1 juta di Season 4 kemarin. Sentimen negatifnya adalah soal regenerasi dan ekosistem esports MLBB untuk kelas amatir.

Kenapa saya membahas soal sentimen negatif dan pesimisme soal ekosistem esports MLBB? Karena faktanya sentimen-sentimen ini jugalah yang, menurut saya, akan berpengaruh terhadap keberlangsungan ekosistem.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Kathy Klotz-Guest berargumen bahwa tujuan utama para penjual barang dan jasa adalah soal merangkai cerita yang membuat pelanggan Anda jadi sang protagonis. “It all begins with telling the right stories about real people who use your product or service and not focusing on the product itself. Your best stories are not about your products or you. Your goal is to tell a bigger story that makes your customer the hero.”

Sederhananya, banyak produk laris manis karena memang menjual harapan. Banyak orang ingin jadi seleb gaming karena berharap bisa jadi the next JessNoLimit atau setidaknya populer dan kaya raya dari sana. Demikian juga dengan alasan seleb medsos gadis-gadis cantik punya banyak fans. Buat yang main saham, Anda juga pasti tahu seberapa penting sentimen positif atau negatif bisa berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

Lalu bagaimana dengan sentimen negatif ekosistem MLBB kelas amatir? Saya kira banyak gamer dan fans esports tahu betul bahwa memang tidak mudah masuk ke golongan elit peserta MPL karena ada tuntutan skill yang harus dipenuhi sebelum bisa bergabung dengan top 1% dari total seluruh pemain. Entry barrier ini jadi semakin tinggi dengan ditambahkannya ‘tiket’ investasi sebesar US$1 juta.

Sumber: Dokumentasi Resmi MPL ID S4
Sumber: Dokumentasi Resmi MPL ID S4

Padahal, menurut Frans Volva Riyando, salah satu shoutcaster untuk MPL ID dari Season 1-4 yang juga masuk ke dalam tim pelatih timnas MLBB untuk SEA Games 2019, salah satu hal yang membuat esports MLBB begitu dinamis sampai hari ini adalah banyaknya jumlah pemain MLBB di tingkat amatir dan semi-pro. Hal ini menyebabkan tim-tim profesional tidak akan pernah kehilangan suplai pemain baru.

Jika banyak gamer amatir atau semi-pro kehilangan harapannya untuk bisa setingkat dengan Eko “Oura” Julianto ataupun Muhammad “Lemon” Ikhsan, motivasi mereka untuk terus bermain pun jadi tergerus dan bisa saja sirna.

Hilangnya harapan inilah yang, menurut saya, terjadi di ekosistem Dota 2 Indonesia yang sebelumnya jadi esports paling populer di Indonesia. Banyak pemain dan tim sudah tidak lagi punya harapan bisa meraih keuntungan materi ataupun prestasi dari sini.

Rencana ke depan dari Moonton untuk MLBB

November 2019 kemarin, saat gelaran M1 World Championship 2019 di Axiata Arena, Kuala Lumpur, Malaysia, saya mendapatkan kesempatan untuk berbincang eksklusif dengan Lucas Mao, Director of Operation at Moonton dan MPL Indonesia League Commisioner, tentang rencana mereka di 2020.

Berkaca dari M1 World Championship 2019, Lucas mengaku kejuaraan internasional tersebut melebihi ekspektasi awal mereka. Tiket yang terjual habis, jumlah penonton live stream yang besar, dan antusiasme yang tinggi memang bisa dibilang sebagai capaian yang baik. Namun Lucas mengaku M1 hanyalah permulaan dari ekspansi mereka di pasar global.

Sampai artikel ini ditulis, MLBB mungkin memang sudah bisa dibilang sebagai salah satu esports paling hidup di kawasan Asia Tenggara (SEA). Meski memang belum semua negara di kawasan ini, MLBB jadi yang salah satu yang populer dengan jumlah negara terbanyak di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, ataupun Myanmar.

Saat saya diundang untuk meliput ke Kuala Lumpur tadi, bahkan petugas imigrasi dan supir Grab di sana sudah tidak asing dengan nama MLBB. Namun demikian, esports MLBB mungkin masih belum bisa dibilang mainstream di luar kawasan SEA.

Di negara-negara barat, Dota 2, LoL, CS:GO dan game-game di platform PC ataupun console masih jadi esports yang paling digemari. Moonton pun berencana untuk ekspansi pasar ke lebih banyak negara di luar SEA.

Sumber: Dokumentasi Hybrid
Sumber: Dokumentasi Hybrid

Berhubung meningkatkan user base dan mengembangkan ekosistem esports memang sebenarnya adalah dua hal yang berbeda, yang manakah yang jadi fokus utama mereka? Lucas pun mengatakan bahwa mereka akan menjalankannya secara berbarengan. “Kami tidak melihat ada masalah untuk menjalankannya secara paralel. Kami akan terus meningkatkan user base di banyak negara sembari terus mengembangkan ekosistem esports-nya. Kami juga akan mencoba menggelar MPL di negara-negara yang belum ada dan mengimplementasikan sistem franchise MPL di negara lainnya setelah sukses di Indonesia.” Jepang, Turki, Kamboja, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia adalah beberapa negara yang disebut Lucas akan jadi target selanjutnya untuk penetrasi pasar dan esports MLBB.

Jika melihat dari M1, hanya satu tim dari luar kawasan SEA yang bisa tembus ke babak Playoffs yaitu 10s Gaming dari Jepang. Menurut Lucas, hal ini terjadi karena memang struktur esports MLBB yang sudah terbangun di kawasan SEA dengan MPL. Buat yang belum tahu, MPL ada di 4 kawasan yaitu Indonesia, Malaysia/Singapura, Myanmar, dan Filipina. “Esports adalah soal profesionalisme olahraga. Liga profesional tentunya berpengaruh besar bagi kualitas para pemainnya.” Jelas Lucas.

Lalu bagaimana dengan sistem franchise yang diterapkan di MPL Indonesia? Di satu sisi, saya sendiri juga percaya bahwa sistem franchise MPL ID S4 memaksa tim-tim untuk lebih profesional dalam mengatur manajemen dan para pemainnya. Hal ini terlihat dari hasil M1 yang menyuguhkan all-Indonesian final, antara EVOS vs. RRQ. Namun demikian, di sisi lain, Indonesia juga mendominasi ajang MSC 2019 yang juga menghadirkan all-Indonesian final antara ONIC melawan Louvre. Padahal, kala itu MPL ID belum menerapkan sistem franchise karena baru kelar S3. Plus, Indonesia juga gagal meraih medali emas untuk MLBB dalam SEA Games 2019 meski masih jadi satu-satunya kawasan dengan sistem franchise MPL — walaupun memang SEA Games sebenarnya tak bisa dijadikan acuan esports yang … Isi sendiri ya, saya tidak enak ngomongnya akwkakwka…

Kenapa saya berbicara soal rencana Moonton di pasar global? Karena, menurut saya, besar di ‘kandang’ sendiri itu belum cukup kuat untuk memastikan keberlangsungan hidupnya dalam kurun waktu yang lama. Hal ini sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia dengan AyoDance dan Point Blank. Keduanya bisa dibilang pernah jadi game yang paling laris di Indonesia dan memang masih hidup sampai artikel ini ditulis. Turnamennya pun masih ada. Namun demikian, mungkin karena publisher-nya lokal, mereka kesulitan menggarap pasar global juga.

BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.
BOOM ID saat berlaga di ajang Minor. Sumber: VP Esports.

Bagaimanapun juga, siapa sih yang tidak mau dan semangat dengan pengakuan dunia atas esports Indonesia? BOOM Esports, yang kemarin baru saja merayakan hari jadinya yang ketiga, masih mempertahankan divisi Dota 2 dan CS:GO nya karena memang ingin membawa nama Indonesia di panggung dunia lewat dua game tadi.

Bayangkan saja seperti ini: jika nanti MLBB berhasil merebut perhatian tim-tim esports internasional macam Astralis, Team Liquid, SKT T1, Cloud9, Fnatic dan tim Indonesia macam EVOS, RRQ, Alter Ego dkk. bisa mengalahkan mereka di turnamen MLBB, hal tersebut akan menambah sentimen positif yang masif buat para pelaku di industri esports Indonesia.

Sentimen negatif soal gameplay dan variasi permainan

Jika kita tadi berbicara dari sisi ekosistem esports-nya, sekarang mari kita membahas soal aspek di dalam game-nya itu sendiri. Muasalnya, saya percaya kualitas produk juga akan berpengaruh terhadap antusiasme para penggunanya.

Dari sisi in-game, ada 2 hal yang mungkin bisa dibilang sebagai sentimen negatif untuk MLBB. Pertama, dari beberapa shoutcaster MLBB sendiri, tidak sedikit yang mengatakan soal Hero-Hero baru yang kerap kali overpowered (OP) alias terlalu kuat dibandingkan Hero yang sudah ada. Hero yang mendapatkan Skin mahal baru juga biasanya di-buff dengan cukup drastis.

Dari sisi bisnis, hal ini sebenarnya memang masuk akal. Jika Hero baru ini tidak menarik banyak pengguna, tidak banyak juga yang mau membelinya. Demikian juga soal rilisan Skin baru. Namun, menurut saya, hal ini tetap saja dipandang sebuah sentimen negatif oleh komunitasnya.

Hal kedua yang, bagi saya, kurang variatif dari sisi gameplay adalah soal itemization. Moonton memang rajin sekali mengeluarkan Hero baru namun mereka jarang merilis item baru. Hero-hero yang paling laris digunakan setiap turnamen dari tahun 2017 seringnya berubah. Namun item yang digunakan tidak jauh berbeda selama bertahun-tahun. Jika tidak percaya, coba googling item build (nama Hero). Baik itu artikel ataupun video di YouTube tentang panduan sebuah Hero, item yang disarankan kebanyakan sama setiap role. Memang, ada faktor juga soal keterbatasan sang pembuat panduan di tiap konten (artikel atau video) namun kesamaan itemization ini juga terlihat di banyak turnamen tingkat pro.

Menurut saya, dengan itemization yang lebih kaya variasinya, hal ini dapat memberikan keuntungan buat para pemain di semua kalangan (pro, semi-pro, ataupun amatir). Para pemain jadi bisa bereksperimen dengan build baru dengan Hero andalannya masing-masing setiap kali bermain — tanpa harus memelajari Hero baru. Variasi item build yang lebih kaya juga akan memberikan pilihan lebih banyak buat para pemain tanpa harus membeli Hero. Setidaknya, hal ini juga bisa menekan sentimen negatif soal penjualan Hero baru yang selalu OP.

Saya tahu betul bahwa balancing itu memang bukan hal yang mudah — bahkan bisa juga dibilang tugas tersulit untuk para developer game. Namun demikian, jika kita melihat Dota 2 dan LoL, baik Valve ataupun Riot Games rajin melakukan perubahan dari sisi gameplay untuk menjaga keseimbangan.

Jika saya boleh jujur, dibandingkan dengan ekosistem esports-nya, perkembangan gameplay di dalam MLBB sendiri terlihat begitu tertinggal. Mungkin, Moonton bisa mengundang beberapa pro player ataupun shoutcaster untuk bisa turut menyumbangkan ide soal bagaimana perkembangan gameplay MLBB.

Hal ini sebenarnya sudah beberapa kali dilakukan oleh produsen motherboard ataupun gaming peripheral. Saya tahu betul bahwa sejumlah produsen mengundang overclocker ataupun gamer ke kantor pusatnya untuk memberikan masukan tentang rancangan produk mereka di masa mendatang. Selain mendapatkan input yang sangat berharga, kegiatan seperti ini juga bisa jadi publikasi positif untuk Moonton sebagai developer MLBB.

Monetisasi esports MLBB

Nyatanya, kita semua butuh uang untuk bisa terus bertahan. Setiap perusahaan bahkan butuh profit untuk bisa terus ada. Namun demikian, perusahaan yang terlalu serakah juga, kemungkinan besar, tidak dapat bertahan lama. Di sinilah peliknya masalah monetisasi, khususnya game free-to-play.

Sebelum kita ke monetisasi game-nya, yang akan saya bahas lebih panjang, saya ingin membahas soal monetisasi dari esports MLBB. Soal ini, saya salut dengan Moonton. Mereka bisa meyakinkan 8 tim untuk investasi sebesar US$1 juta untuk membiayai MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) Indonesia sejak Season 4. Saya kira nominal tersebut (US$8 juta) cukup buat menghidupi ekosistem esports-nya selama beberapa musim. Mereka tinggal mencari sponsor untuk mencari keuntungan dari gelaran esports-nya.

Selain uang dari sponsor dan tim yang mau berinvestasi, ada juga sumber pendapatan lain yang, menurut saya, tidak bisa diremehkan; yaitu soal tiket masuk gelaran esports. Di M1 World Championship 2019 kemarin, menurut Lucas, mereka berhasil mendatangkan 16 ribu pengunjung.

Hitungan kasar pendapatan dari harga tiket M1 tadi seperti ini. Untuk memudahkan saya menghitung, saya hanya akan menggunakan harga tiket 3 hari paling murah yaitu RM55 (sekitar Rp185 ribu). Berarti, dari tiket saja, mereka bisa mendapatkan Rp2,9 miliar (Rp185 ribu x 16 ribu). Itu tadi hanya perhitungan kasar saja namun mungkin bisa dijadikan gambaran seberapa besar peluang revenue yang bisa diraih.

Di sisi lain, Lucas sendiri mengaku jika pendapatan dari tiket sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan angka yang mereka dapat dari sponsor. Namun demikian, revenue tadi sebenarnya bisa digunakan untuk beberapa kebutuhan seperti mengundang media untuk meliput. Saat M1 kemarin, Moonton memang mengundang 4 media dari Indonesia untuk meliput ke sana (termasuk saya sendiri). Meski memang Moonton menanggung ongkos transportasi, akomodasi, dan uang saku untuk 4 wartawan sekalipun, saya kira anggarannya tidak akan mencapai Rp1 miliar — anggaplah perhitungan saya meleset sampai 50% nya.

Di MPL Indonesia Season 5 nanti, Lucas juga mengaku akan menerapkan sistem tiket untuk babak Playoffs-nya. Namun, tujuan mereka bukanlah untuk mencari revenue namun lebih ke memberikan akses yang lebih nyaman untuk para fans yang ingin menonton — mengingat banyak fans yang tidak kebagian tempat duduk dan bahkan tak bisa masuk ke venue karena kapasitas yang melebihi batas saat Playoffs MPL ID S4 di Tennis Indoor Stadium GBK.

Dari beberapa beberapa hal di atas lah yang membuat saya salut dengan ekosistem esports untuk MLBB. Mengingat MLBB juga masih menjadi ajang esports paling dinamis di Indonesia dan perhitungan soal revenue tadi, seharusnya esports MLBB masih akan terus bertahan setidaknya sampai 2 tahun ke depan (2022) — jika Moonton sebagai developer/publisher juga masih bisa mempertahankan eksistensi game MLBB.

Monetisasi game MLBB

Meski saya salut dan mengakui ekosistem/industri esports MLBB yang cukup matang saat ini karena sudah punya MDL juga, jujur saja saya punya banyak kritik untuk Moonton sebagai developer/publisher game  khususnya soal monetisasi.

Jadi, karena saya bukan tipe yang suka mengkritik tanpa pernah merasakan langsung, saya sengaja mengeluarkan uang sebesar Rp1,6 juta untuk membeli in-app purchase di MLBB. Saya memilih paket 6000 Diamond dan satu paket yang saya lupa namanya (yang dapat Skin Suzuhime untuk Miya). Dari 6000 Diamond tadi, saya membeli beberapa Hero dan membayar Starlight Member.

Benefit yang saya dapat dengan uang yang harus saya bayarkan, jujur saja, tidak sebanding. Hero-hero baru dijual dengan harga 599 Diamond. Berarti, dengan paket Diamond Rp1,5 juta (5000+1000 Diamond), Anda hanya bisa mendapatkan 10 hero. Saat artikel ini ditulis, ada 90 hero di MLBB. Anggaplah Anda bisa mendapatkan 10 hero gratis dan Anda bisa membeli 20 hero dengan BP, masih ada 60 hero yang tidak Anda miliki. Jika Anda ingin membeli 60 hero tadi dengan Diamond, Anda berarti harus merogoh kocek sebesar 6 x Rp1,5 juta alias Rp9 juta. Sebagai perbandingan, bulan kemarin saya juga membeli Red Dead Redemption 2 dari Steam senilai Rp500 ribuan (memang karena saat Steam Winter Sale). Berarti, saya bisa membeli 18 copy dari RDR 2 yang kelasnya game AAA dengan uang Rp9 juta.

Jika Anda ingin membeli hero dengan BP (yang bisa Anda dapatkan gratis setiap hari), inilah perhitungan BP yang bisa Anda dapatkan setiap bulannya.

Daily Weekly Monthly
Dari Match 10000 40000
Dari Daily Chest Rewards 440 3080 12320
Dari Daily Quest/Activity 230 1610+500 8440
 Total 60760

Tabel di atas adalah perhitungan BP yang bisa saya dapatkan rutin/minimal setiap bulannya. Untuk hero baru yang harganya 32 ribu BP, saya bahkan tidak bisa membeli 2 setiap bulan. Jumlah BP maksimum dari Match yang saya dapatkan per minggu memang lebih besar karena dapat tambahan 1500 BP (dari kartu Double BP 1-Day berkat Starlight Member) dan Credit Score maksimal. Saya sengaja menggunakan angka tersebut untuk memperkecil selisih jumlah BP random yang didapat dari Chest biru (40-50 BP tiap 4 jam) dan Chest emas (200-250 BP tiap hari).

Anggaplah semua hero harganya sama (32k BP) dan saya beruntung bisa mendapatkan 10 hero tanpa BP sama sekali — lewat event atau gratisan (seperti Layla dan Zilong) namun saya ingin melengkapi semua koleksi hero. Berarti, saya butuh waktu kurang lebih 43 bulan — (32000×80)/57960 — untuk melakukan hal ini. Itu belum menghitung Moonton yang bisa merilis 2 hero baru setiap bulan.

Memang, saya tahu jika tidak semestinya juga kita memiliki semua hero karena setiap pemain biasanya hanya fokus ke beberapa role. Namun demikian, tetap saja, harga untuk mendapatkan satu hero baru terlalu tinggi. Entahlah, menurut saya, Moonton harusnya menaruh banderol harga yang lebih murah untuk hero dan mencari revenue lebih dari skin. Pasalnya, Anda tidak mungkin beli skin untuk hero yang tidak Anda miliki. Semakin banyak hero yang Anda punya, semakin besar pula kemungkinan Anda membeli lebih banyak skin. Semakin sedikit orang yang beli skin, semakin kecil pula pendapatan.

Screenshot dari MLBB
Screenshot dari MLBB

Selain itu, menurut saya, program Starlight Member juga tidak terlalu menarik dan kurang berhasil dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan. Dengan Starlight Member, memang ada beberapa benefit yang bisa didapat namun benefit tersebut tidak terlalu menarik. Keuntungan yang bisa didapat dari Starlight Member memang lebih bagus dibanding saat saya mencobanya di 2018 karena ada tambahan skor untuk proteksi kehilangan bintang di mode Ranked.

Namun, jumlahnya terlalu kecil untuk sebuah program yang harganya Rp150 ribu (550 Diamond). Jadi, dengan Starlight Member, Anda bisa mendapatkan tambahan 10 Protection Points setiap match di Ranked Mode. Sayangnya, jumlah ini tidak signifikan karena jumlahnya yang dibutuhkan naik setiap Rank. Misalnya, untuk Rank Master, Anda butuh 300 Protection Points sebelum kehilangan bintang saat kalah di mode Ranked. Sedangkan untuk Grand Master, Anda butuh 500 Protection Points dan Epic 1000 Protection Points. Bahkan untuk Rank Master sekalipun, 10 poin dari 300 poin itu terlalu kecil karena bahkan tidak sampai 10%. Apalagi untuk Rank Epic, mengingat kebanyakan orang stuck di Epic. Meski Anda sudah membayar Rp150 ribu lebih mahal ketimbang free user, Anda tidak dapat keuntungan apapun untuk mendaki Rank.

Saat ini, ada juga Starlight Level yang bisa Anda kejar dengan hanya bermain. Namun, lagi-lagi, hadiahnya tidak menarik — atau setidaknya bukan sebuah benefit yang terlalu manis untuk dilewatkan. Inilah tabel yang bisa Anda dapatkan dari menaikkan Starlight Level.

Painted Skin 1
Skin Trial Pack 3
Hero Fragment 5
Battle Effect 1 Day 3
Lucky Ticket 6
Ticket 150
Epic Skin Trial 13
Diamond Coupon 50 3
Battle Effect 7 Days 3
Starlight Coupon 20% 1
Premium Skin Fragment 4
Random Skin Chest Permanent 1
Magic Wheel Potion 3
Starlight Gem 1
Starlight Chest (Trial) 2
Star Protection Card 1
Rare Skin Fragment 3
Battle Effect 30 Days 2
Battle Emote Permanent 1
Sacred Statue Permanent 1

Dari tabel di atas, hanya 4 tipe hadiah (yang saya bold nama dan angkanya) yang benar-benar layak dengan harga yang dibayarkan yaitu Star Protection Card, Battle Effect 30 Days, Battle Emote permanen, dan Starlight Gem. Ingat, tabel di atas adalah hadiah Starlight Level Premium ya, bukan yang gratisan. Sedangkan untuk hadiah yang saya bold namanya saja (tidak dengan angkanya) memang cukup menarik namun tidak layak dengan harga yang harus dibayarkan.

Premium Skin Fragment misalnya, harganya di Shop berkisar antara 75-250 fragment dan Anda hanya dapat 4 setiap bulan dari Starlight Member — itu pun harus ada usaha menaikkan levelnya. Untuk mendapatkan skin termahalnya, Anda butuh 63 bulan (250/4). Demikian juga dengan Rare Skin Fragment yang hanya dapat 3 sebulan, sedangkan skin termurah harganya 60-200 fragment. Hero Fragment yang didapat juga sama kecilnya. Anda dapat 5 buah sebulan. Padahal harga di Shop adalah 120 fragment untuk setiap hero. Andaikan angka-angka fragment hadiah tadi dinaikkan 3-5x lipat, menurut saya jumlah tersebut masih masuk akal — tidak terlalu sedikit tapi juga tidak terlalu banyak.

Satu hal yang paling mengecewakan dari hadiah Starlight adalah jumlah skin trial yang paling banyak. Buat saya, hadiah ini tidak menarik karena random. Saya bisa saja dapat skin trial untuk hero yang tidak saya miliki. Seperti yang saya bilang tadi, usaha atau harga yang dibanderol untuk mendapatkan 1 hero itu terlalu tinggi jadinya hadiah skin trial pun jadi tidak menarik. Andaikan saya punya semua hero, saya mungkin merasa hadiah skin trial jadi lumayan menarik.

Ada banyak ide sebenarnya yang bisa diterapkan sebagai benefit Starlight Member yang membuatnya jadi sebuah program yang terlalu menguntungkan untuk dilewatkan — a deal that you can’t refuse.

Sumber: Screenshot dari MLBB
Sumber: Screenshot dari MLBB

Misalnya, pertama, soal boks iklan. Jujur saja, buat saya, iklan itu menyebalkan. Saya mengeluarkan uang untuk jadi premium member di YouTube atau bahkan di … (saya tidak bisa sebut website-nya di sini kwkawkakwa…) untuk menghindari iklan. Di game-game lain, kebanyakan yang saya temukan, ada batasan minimal top-up agar saya bisa skip iklan. Biasanya, batasan minimal tadi ada di kisaran Rp1 jutaan (US$99). Di sini, meski saya sudah bayar Rp1,6 juta, saya tetap harus melihat iklan untuk mendapatkan bonus BP dari boks. Boks iklannya pun jadi memenuhi Inventory saya karena saya malas membukanya.

Selain itu, jika Moonton ingin menjaga game-nya agar tetap esports-oriented, mereka juga bisa menggunakan mode lain untuk menyenangkan paying users. Misalnya adalah mode Brawl. Jika free-user hanya bisa mendapatkan 2 pilihan hero di mode Brawl, berikan 3 pilihan untuk paying users atau Starlight Member.

Bonus Protection Point ataupun Star Raising Point juga bisa dimanfaatkan lebih baik untuk Starlight Member atau premium member. Misalnya, Protection Point-nya juga meningkat seiring Rank. Jika rank Master mendapatkan 10 poin, rank Epic bisa mendapatkan 50 poin. Demikian juga dengan BP maksimal yang bisa didapatkan per minggu bisa di-tweak untuk Starlight Member. Jika pengguna gratis hanya bisa mendapatkan 10 ribu per minggu, buat Starlight Member mendapatkan angka maksimal 20 ribu per minggu. Toh, ini hanya batas maksimal saja pengguna Starlight Member tetap harus bermain untuk bisa sampai ke sana.

Ide lain yang bisa jadi inspirasi adalah sistem Plus Assistant dari Dota Plus. Sistem ini bisa digunakan oleh paying member mendapatkan statistik ataupun tips yang berguna untuk meningkatkan permainan mereka. Sayangnya, saya tahu sistem ini mungkin tidak mudah diimplementasikan. Namun, fitur ini dapat memberikan informasi yang layak untuk dibayarkan. Dengan sistem Plus Assistant ataupun benefit yang lebih baik kepada Starlight Member ataupun paying user, mungkin sudah tidak banyak pemain lagi yang butuh jasa joki. Uang yang harus dibayarkan untuk jasa joki pun jadi bisa masuk ke kantong Moonton — yang saya rasa lebih berharga karena bisa memperpanjang usia game tersebut.

Ide lainnya, sistem Starlight Member juga sebenarnya bisa digunakan untuk mereka yang rela membayar menghindari bermain dengan orang-orang menyebalkan. Misalnya, mereka yang Starlight Member akan mendapatkan prioritas untuk bermain sesama Starlight Member atau setidaknya pemain yang Credit Score-nya tinggi — selama tidak terbentur dengan batasan Rank. Atau, Starlight Member diijinkan untuk mute chat. Di League of Legends, saya sudah menemukan fitur ini bertahun-tahun silam. Jika saya menemukan pemain yang mulutnya seperti WC umum ataupun terlalu banyak mengeluh, saya langsung otomatis mute chat mereka. Update: Ternyata, sudah ada caranya mematikan chat teks. Anda bisa membaca caranya di tautan ini.

Mungkin memang ego saya juga yang tinggi namun, yang jelas saya, tidak suka dimaki-maki. Sepanjang perjalanan karier saya dari 2008, dari 7 orang yang pernah jadi atasan saya, hanya 1 orang yang mulutnya seperti tidak pernah merasakan bangku sekolahan. Awkawakakwkaw… Dimaki atasan pun saya tidak suka, padahal mereka jelas-jelas yang menentukan hidup dan mati pekerjaan saya di sana. Apalagi dimaki-maki oleh orang-orang yang tidak bahagia dengan hidupnya yang bersembunyi atas anonimitas mereka di dunia maya?

Lebih bagus lagi, mungkin malah Moonton bisa menghapus sistem chat teks di saat match sepenuhnya karena; dari pengalaman saya, isinya hanyalah soal memaki dan menyalahkan… Toh, komunikasi lewat teks di game mobile di MOBA, faktanya juga tidak efisien karena terlalu lama dan malah membuang waktu. Bahkan di game MOBA di PC pun, yang bahkan jelas lebih nyaman dan cepat untuk mengetik sekalipun (karena pasti punya akses ke full-sized keyboard), mereka juga tahu butuh shortcut yang lebih efisien dari sekadar chat teks. Dota 2 punya yang namanya Chat Wheel sedangkan LoL punya yang namanya Smart Ping.

Moonton sebenarnya, jika mau, bisa cek sendiri log chat di banyak game. Berapa persen dari total seluruh chat yang positif dan berapa persen yang negatif. Jika memang sebagian besar negatif, bukankah lebih baik dihilangkan saja?

Jujur saja, saya juga tidak merasa jago bermain MLBB karena saya tidak punya banyak waktu untuk berlatih. Namun, saya tahu banyak juga orang yang sebenarnya punya uang namun tak punya banyak waktu ingin bermain game ini. Sistem Starlight Member atau benefit untuk paying user tadi juga sebenarnya bisa ditujukan untuk orang-orang seperti saya.

Sekali lagi, saya tahu masalah monetisasi in-game itu pelik. Terlalu berpihak pada paying user, free user-nya yang kabur layaknya game-game RPG free-to-play yang umurnya singkat. Tidak memberikan benefit yang layak untuk dibayarkan buat premium user, tidak besar juga profit/revenue yang didapat oleh sang publisher/developer. Kondisi MLBB saat ini? Setelah saya membayarkan uang tadi, jujur saya tidak merasa mendapatkan benefit yang cukup signifikan.

Penutup

Akhirnya, sebagai penyelenggara liga ataupun penggiat ekosistem/industri esports, saya rasa Moonton sudah melakukan yang terbaik. Mungkin hanya soal publikasi soal ekosistem kelas amatir yang perlu digalakkan untuk menekan sentimen negatif. Sayangnya, sebagai publisher/developer game, saya rasa masih banyak yang harus diperbaiki. Entahlah, mungkin sayanya saja yang terlalu banyak main game PC yang kelasnya AAA jadi tuntutan saya yang terlalu muluk-muluk. Namun, itu tadi yang saya rasakan yang saya kira akan sangat berpengaruh terhadap umur game dan esports MLBB.

Pasalnya, jika mereka pun akhirnya tak dapat mempertahankan eksistensi game-nya, esports MLBB pun juga tak bisa bertahan — seperti game sebelah itu… Di sisi lain, tak sedikit beberapa pelaku di industri esports yang meramalkan turunnya popularitas MLBB jika League of Legends: Wildrift dirilis nanti. Namun demikian, setidaknya dari sejarah industri yang saya pelajari, sebuah produk biasanya hancur bukan karena kompetitornya namun karena produk itu sendiri yang tak mampu memuaskan para penggunanya.

Lalu, berapa lama lagi MLBB masih bisa bertahan? Menurut saya, 3 tahun ini (sampai 2022) adalah masa ujian untuk Moonton. Andai mereka bisa mempertahankan jumlah player base yang masih besar seperti sekarang, terus menjaga ekosistem esports mereka, dan berhasil mendapatkan revenue yang besar (baik dari game ataupun esports-nya) sampai 2022, menurut saya, mereka bisa survive cukup lama.

Semoga saja Moonton menyadarinya karena saya pribadi berharap mereka bisa terus bertahan selama Dota 2 dan League of Legends di platform PC. Namun jika kita melihat kedua game tersebut, bagi saya, kuncinya ada di 2 sisi; yaitu memberikan pengalaman bermain yang menyenangkan di dalam game (sebagai publisher dan developer) dan menyuguhkan ekosistem esports yang selalu menarik untuk ditonton.

Akademisi Bergelar Doktor Sumbang Medali Emas dari Esports untuk Malaysia

Indonesia mungkin memang hanya kebagian dua medali sepanjang perjalanan SEA Games 2019 untuk cabang esports. Keduanya datang dari MLBB dan AoV yang sama-sama berhasil meraih medali perak. Untuk cabang-cabang lainnya seperti Hearthstone, Tekken 7, Dota 2, dan Star Craft 2, nampaknya keberuntungan belum berada di pihak kita.

Timnas Dota 2 kita bahkan tak berhasil lolos dari babak grup. Adriansyah Yusuf yang mewakili Indonesia untuk di Tekken 7 mampu menorehkan capaian yang lebih baik, meski gugur di babak 8 besar. Sedangkan untuk cabang Hearthstone dan Star Craft 2, para pemain kita berhasil lolos dari babak grup.

Sumber: Academia.edu
Sumber: Academia.edu

Terlepas dari hasil tadi, ada yang menarik dari pertandingan cabang Hearthstone di SEA Games 2019 kali ini. Peraih medali emas dari esports Hearthstone ternyata seorang asisten profesor Heriot Watt University yang bernama Yew Weng Kean alias Wkyew90. Pemain asal Malaysia ini berhasil meraih emas pasca kemenangannya atas pemain Thailand, Popian Werit, dengan skor 3-1.

Menariknya lagi, perjalanan Yew memang tidak mulus. Ia sempat dikalahkan oleh pemain Singapura sehingga harus turun ke Lower Bracket. Namun demikian, ia menunjukkan permainan yang begitu ciamik di Lower Bracket Finals.

Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq, yang belakangan merilis rencananya untuk esports Malaysia 5 tahun ke depan, bahkan memberikan ucapan selamatnya lewat Instagram.

Mengutip dari MalayMail, pemegang gelar PhD (S3) untuk Electric Engineering (Teknik Listrik) ini memberikan komentarnya, “medali emas ini punya arti besar untuk saya dan Malaysia, karena inilah medali emas dari esports pertama kita sepanjang sejarah SEA Games. Saya merasa takjub, bahagia, dan bersyukur. Saya percaya bisa mencetak sejarah dengan menyumbangkan medali untuk negara dan saya merasa bangga bisa melakukannya.”

“Esports adalah tren saat ini dan akan terus berlanjut, apapun yang kita lakukan. Para orang tua harus mencoba melihatnya dari sisi positif karena bermain game bisa mengasah ketajaman berpikir kritis dan kemampuan strategis. Skill tersebut juga dibutuhkan dalam hidup. Namun anak-anak harusnya memang bisa menyeimbangkan aktivitas antara bermain game, olahraga, dan belajar. Jika hanya bermain game tanpa belajar, Anda tidak akan bisa berjalan jauh.”

Sumber Featured Image: MalayMail /Bernama pic

10 Klub Bola di Liga PES eFootball, Juve Tunjuk Astralis!

9 Desember 2019, KONAMI mengumumkan 10 klub bola yang akan berpartisipasi dalam liga PES eFootball musim 2019/2020 yang terbagi jadi 2 bagian, yaitu eFootball.Open dan eFootball.Pro. Di rilis yang sama, KONAMI juga mengumumkan fitur eFootball Season Program.

Sebelum kita membahas lebih detail tentang masing-masing bagian, inilah kesepuluh tim yang akan berpartisipasi di liga PES eFootball:

  1. FC Barcelona
  2. Manchester United FC
  3. FC Bayern Munich
  4. Juventus
  5. Arsenal FC
  6. Celtic FC
  7. AS Monaco
  8. FC Schalke 04
  9. Boavista FC
  10. FC Nantes

eFootball.Open

Buat para pemain PES 2020 yang ingin ikut berlaga dalam eFootball.Open, pendaftarannya telah dibuka via situs resminya. Anda bisa mengunjungi tautan ini untuk melakukan registrasi ataupun mencari tahu informasi lebih lanjut soal turnamen ini.

Sumber: KONAMI
Sumber: KONAMI

Buat yang belum tahu, eFootball.Open sebelumnya diberi nama PES League yang merupakan kompetisi 1v1 dan menggunakan fitur online Matchday mode di PES 2020.

Agar dapat mengakomodir semua pemain dari berbagai tingkat skill permainan, eFootball.Open akan dibagi jadi tiga kategori: Basic, Intermediate, dan Expert. Pertandingan eFootball.Open akan digelar setiap 2 pekan. Kategori pemain akan ditentukan dari rating masing-masing di Online Divisions.

Hanya para pemain dengan peringkat tertinggi di kategori Expert yang memiliki kesempatan untuk bertanding di tingkat Regional dan, selanjutnya, World Finals. Para pemain inilah yang berhak untuk mendapatkan uang hadiah dan perhatian dari klub-klub terbesar dunia saat mereka scouting talenta-talenta muda.

Jumlah dan distribusi hadiah. Sumber: KONAMI
Jumlah dan distribusi hadiah. Sumber: KONAMI

Oh iya, satu hal yang penting dicatat, buat para peserta yang ingin ikut turnamen ini, Anda harus bermain di console (PS4); setidaknya menurut keterangan dari Liga1PES. Sayangnya, kami tidak menemukan konfirmasi resmi soal ini selain jadwal Online Finals, Regional Finals, dan World Finals yang bertuliskan Console Only — apakah Xbox One juga termasuk ataupun para pemain di PC (Steam).

eFootball.Pro

Program inilah yang membedakan esports PES musim ini dengan musim-musim sebelumnya. Pasalnya, turnamen ini hanya bisa diikuti para pemain yang telah ditunjuk sebagai perwakilan dari 10 klub bola di daftar di atas.

Sampai artikel ini ditulis, baru ada beberapa nama klub bola yang sudah mengumumkan perwakilan mereka. Juventus menunjuk Astralis sebagai perwakilan mereka. Buat yang belum tahu, Astralis adalah organisasi esports asal Denmark yang bisa dibilang tim CS:GO paling berprestasi akhir-akhir ini. Astralis juga merupakan klub esports pertama yang menggelar IPO.

Sumber: Astralis
Sumber: Astralis

Bayern Munchen menunjuk Matthias Luttenberger dari Austria sebagai coach and tiga pemain asal Spanyol; Miguel Mestre Oltra, Alejandro Alguacil Segura, dan Jose Carlos Sánchez Guillén.

Terakhir, Barcelona juga telah mengumumkan perwakilan mereka yaitu dari tim ELigaSul.

Sayangnya, belum ada kejelasan apakah ada pemain Indonesia yang akan ditunjuk mewakili klub bola di eFootball.Pro kali ini. Menurut pengakuan Valentinus Sanusi (Founder Liga1PES yang juga sering disebut-sebut sebagai ketua komunitas PES di Indonesia), “tadinya sebenarnya ada pemain Indonesia yang akan masuk Celtic tapi visa-nya ditolak.”

eFootball Esports Program

Program terakhir yang diusung musim ini adalah eFootball Esports Program. Program ini sebenarnya adalah program bagi-bagi hadiah dari KONAMI. Pasalnya, setiap pemain yang turut serta dalam eFootball punya kesempatan untuk mendapatkan berbagai hadiah, mulai dari in-game items ataupun official merchandise. 

Program ini tersedia untuk semua pemain di semua platform, PC, console, ataupun mobile. Anda bisa mengunjungi website resminya untuk cari tahu lebih jauh tentang program ini.

Sumber: KONAMI
Sumber: KONAMI

Sumber Featured Image: KONAMI 

 

Minecraft di PS4 Akhirnya Dapatkan Fitur Cross-Platform Play

Para pemain Minecraft di PS4 akhirnya bisa merasakan nikmatnya bermain multiplayer lintas platform. Microsoft, pemegang hak cipta untuk Minecraft, mengumumkannya hari ini (10 Desember 2019). Fitur ini mengakhiri penolakan Sony terhadap fitur cross-platform multiplayer untuk Minecraft.

Minecraft di PS4 akhirnya akan mendapatkan update universal Bedrock, yang sebelumnya diimplementasikan di Switch bulan Juni 2018. Update ini memungkinkan para pemainnya bermain lintas platform dengan Xbox One, Nintendo Switch, Windows 10, iOS, Android, dan Gear VR.

Meski Minecraft sudah diakuisisi Microsoft (September 2014), perusahaan teknologi raksasa ini memberikan kejutan dengan mengijinkan cross-platform dengan rivalnya di industri console — Nintendo Switch. Kala itu, kemesraan antara Nintendo dan Xbox pun ditunjukkan via akun Twitter-nya masing-masing.

Fitur cross-platform ini memang sebenarnya hal yang baru di industri gaming. Fitur ini pertama kali diterapkan di akhir 2018, ketika Epic Games dan Fortnite-nya berhasil meyakinkan sejumlah produsen console. Sepanjang tahun 2019, judul-judul game yang mendukung fitur ini pun bertambah banyak dengan Destiny 2 dan Call of Duty: Modern Warfare.

Sony sendiri memang sedikit tertinggal dalam hal cross-platform play di game seperti Fortnite ataupun Minecraft. Selain kedua game tadi, ada satu game lagi yang mendukung penuh fitur cross-platform di PS4, yaitu Rocket League.

Dengan fitur cross-platform untuk Minecraft di PS4 ini, jarak antara 3 brand console (Microsoft, Nintendo, dan Sony) kian dekat. Sony bahkan bekerja sama dengan Microsoft dalam mengembangkan teknologi game streaming dan AI solutions untuk menggarap cloud gaming.

Meski demikian, mungkin terlalu cepat juga jika berharap akan ada game-game eksklusif yang dirilis lintas platform. Pasalnya, Minecraft dan Fortnite adalah 2 game terlaris saat ini yang mampu memaksa sejumlah raksasa teknologi untuk bekerja sama. Menurut data terakhir, Mei 2019, Minecraft berhasil terjual sebanyak 176 juta copy di seluruh dunia.

Kelsey Howard mengatakan dalam rilis resminya, “sebagai tambahan, pemain PS4 dapat mengakses semua pembelian, progres lintas platform, dan in-game store — untuk membeli worlds, skins, mini-games, ataupun mash up packs.”

Timnas Mobile Legends Indonesia untuk SEA Games Raih Medali Perak

Meski jadi kontingen yang paling dijagokan, sayangnya timnas Mobile Legends Indonesia harus tunduk di hadapan timnas Filipina.

Berisikan 4 pemain EVOS Esports di M1 World Championship dan MPL ID S4 (Yurino “Donkey” Putra, Eko “Oura” Julianto, Muhammad “Wann” Ridwan, dan Gustian “Rekt”) dan 2 pemain ONIC Esports (Adrian “Drian” Larsen dan Teguh “Psychoo” Imam Firdaus), timnas Mobile Legends Indonesia sebenarnya mengawali SEA Games 2019 dengan sangat baik.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Timnas kita berhasil memuncaki klasemen Grup B dengan perolehan 7 poin. Pertandingan final antara Indonesia dan Filipina pun sebenarnya diawali dengan hasil yang positif. Meski kehilangan poin di game pertama, Indonesia berhasil mencuri 2 kemenangan di 2 game berikutnya. Skor 2-1 untuk Indonesia. Sayangnya, tim tuan rumah berhasil memutarbalik keadaan dan mengakhiri pertandingan dengan skor akhir 2-3 untuk mereka.

Hasil ini memang nyatanya pahit karena tim MLBB bisa jadi adalah satu-satunya kontingen esports yang punya peluang terbesar untuk meraih emas — mengingat hasil M1 dan MSC 2019 yang menyuguhkan pertandingan all-Indonesian final. Tim Filipina yang menempati peringkat 2 Grup B pun harus melangkah dari Lower Bracket. Namun tim tersebut berhasil mengalahkan timnas Vietnam dan Malaysia dengan cukup mulus. Tim Malaysia sendiri turun ke Lower Bracket setelah dikalahkan Indonesia di Final Upper Bracket.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Dengan seluruh pertandingan MLBB untuk SEA Games 2019 kali ini, berikut adalah raihan medali dan anggota timnya:

Filipina – Medali Emas

  • Kenneth Jiane ”Kenji” Villa
  • Karl ”KarlTzy” Nepomuceno
  • Jeniel ”Haze” Bata-anon
  • Angelo Kyle ”Pheww” Arcangel
  • Allan “Lusty” Castromayor Jr
  • Jason Rafael ”Jay” Torculas
  • Carlito ”Ribo” Ribo

Indonesia – Medali Perak 

  • Eko “Oura” Julianto
  • Teguk Imam “Psychoo” Firdaus
  • Muhammad “Wannn” Ridwan
  • Gustian “Rekt”
  • Yurina “Donkey” Putra

Malaysia – Medali Perunggu

  • Ahmad Ali “Leixia” Huzaifi Abdullah
  • Abdul Wandi “Logan” Abdul Kadir
  • Izme Haqeem “Kaizer” Hamsjid
  • Muhammad Hazeem “Scott” Onn
  • Jamil “Zaraki” Nurolla
  • Mohd Faris “Soloz” Zakaria
Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

10 Konten Gaming di YouTube yang Paling Populer di 2019

YouTube Rewind 2019 sudah datang. Anda bisa nyinyir soal ini atau mengambil pelajaran tentang data konten gaming di YouTube yang paling populer.

Data-data ini dirilis di microsite dari YouTube Rewind dan menggunakan data sampai dengan 30 Oktober 2019 (berarti angkanya harusnya lebih besar lagi saat artikel ini ditulis). Tanpa basa-basi lagi, inilah 10 konten gaming terlaris di YouTube.

1. Minecraft

Sumber: Mojang
Sumber: Mojang

Dengan total 100,2 miliar views, Minecraft merajai konten gaming di YouTube. Menariknya, Minecraft kembali naik daun setelah content creator gaming paling populer di YouTube, PewDiePie, kembali mengunggah konten Minecraft di akhir bulan Juni. Sebulan setelah PewDiePie mengunggah video berjudul ‘Minecraft Part 1‘, unggahan video terkait Minecraft mencapai titik tertinggi.

Jumlah pemain Minecraft sendiri juga masih sangat masif yang mencapai 480 juta orang. Minecraft juga jadi salah satu game dengan penjualan terlaris sepanjang masa.

2. Fortnite

Sumber: Epic Games
Sumber: Epic Games

Berada di peringkat dua, ada Fortnite yang telah ditonton selama 60,9 miliar kali. Meski Fortnite bisa dibilang sebagai game paling populer di dunia, ia bukanlah yang paling laris ditonton di Youtube.

Sampai bulan Maret 2019, Fortnite memiliki 250 juta pemain di seluruh dunia. Meski memang game ini ‘hanya’ memiliki 78,3 juta pemain aktif setiap bulannya (MAU).

3. GTA V

Sumber: Best HQ Wallpapers
Sumber: Best HQ Wallpapers

Selanjutnya ada Grand Theft Auto V besutan Rockstar Games yang telah ditonton sebanyak 36,9 miliar kali di tahun 2019 ini. Menariknya, GTA V adalah satu-satunya game di daftar ini yang kuat dari aspek singleplayer dan kedalaman cerita.

Meski demikian, GTA V memang sungguh istimewa. GTA V merupakan produk media terlaris sepanjang sejarah (highest gross) — yang berarti dibandingkan produk musik dan film sekalipun. GTA V mencatatkan angka penjualan sebesar US$6 miliarBandingkan dengan Avengers: Endgame yang hanya mencetak uang sebesar US$2,7 miliar.

4. Garena Free Fire

Image Credit: Garena
Image Credit: Garena

Konten Free Fire di YouTube berhasil ditonton setidaknya 29,9 miliar kali sepanjang 2019. Free Fire mungkin adalah satu-satunya game yang masuk peringkat 5 besar yang tidak laris di pasar barat, yang memang lebih suka dengan platform PC ataupun console.

Namun demikian, popularitas Free Fire di Brasil dan Asia Tenggara ternyata mampu mengalahkan 6 game lainnya di daftar ini. Game ini juga ternyata memiliki 450 juta gamer di seluruh dunia dengan 50 juta pemain aktif setiap harinya (DAU), menurut data bulan Mei 2019.

5. Roblox

Jujur saja, mungkin inilah satu-satunya game di daftar ini yang paling tidak familiar di kepala saya. Namun, jika sekilas melihat gameplay-nya, Roblox menawarkan konsep yang mirip dengan Minecraft yang memberikan ruang bermain bebas (sandbox) yang memang cocok bagi komunitasnya memamerkan kreasi mereka sendiri lewat YouTube. Konten Roblox di YouTube berhasil ditonton sebanyak 29,6 miliar kali sepanjang tahun 2019.

Menurut data yang dirilis di bulan April 2019, Roblox memiliki 90 juta pemain aktif setiap bulannya (MAU) di seluruh dunia.

6. PUBG Mobile

Sumber: PUBG Mobile
Sumber: PUBG Mobile

Sayangnya, untuk peringkat 6 dan seterusnya, tidak ada angka yang disuguhkan untuk setiap game. Meski demikian, saya kira tetap menarik dan berguna jika kita melanjutkan daftar ini.

PUBG Mobile memang langsung mencuri perhatian saat ia dirilis pertama kali. PUBG (versi PC-nya) sendiri memang sedang hangat-hangatnya saat versi mobile-nya dirilis. Sayangnya, game ini sepertinya kehilangan momentum dan kalah popularitasnya ketimbang Free Fire – setidaknya dari pengamatan saya di scene esports Indonesia. Mungkin karena memang Free Fire memiliki requirements yang lebih ringan dari sisi perangkat yang digunakan.

Meski begitu, pada bulan Juni 2019, game ini telah mencatatkan total pengguna sebanyak 400 juta dengan 50 juta pemain aktif setiap hari (DAU) di seluruh penjuru dunia.

7. Playerunknown’s Battlegrounds (PUBG)

Sumber: PUBG
Sumber: PUBG

Jika PUBG Mobile kalah dengan Free Fire di platform mobile, PUBG juga sepertinya kalah popularitasnya di platform yang lebih dewasa dibanding Fortnite.

Hal ini juga terlihat dari penurunan pemain aktifnya (concurrent players) di platform PC (Steam) dari titik tertingginya di Januari 2018. Kala itu PUBG mampu menarik 3,2 juta pemain aktif di saat yang sama. Namun menurut data terakhir dari Statista, di bulan November 2019 kemarin, concurrent players-nya menurun hingga di angka 695 ribu.

8. League of Legends

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Meski League of Legends (LoL) jadi game paling populer di Twitch (saat artikel ini ditulis), nampaknya game ini tak begitu populer di YouTube. Namun demikian, tetap saja LoL adalah salah satu game paling laris di dunia sampai hari ini. Menurut data yang diungkap oleh Riot Games selaku publisher-nya di bulan September 2019, ada 8 juta concurrent players setiap harinya.

9. Brawl Stars

Sumber: Red Bull
Sumber: Red Bull

Di peringkat 9, kita kembali ke platform mobile. Brawl Stars adalah game besutan Supercell yang sebelumnya lebih dikenal dari Clash of Clans dan Clash Royale. Nampaknya, setidaknya di YouTube, Brawl Stars sudah mengalahkan popularitas 2 saudara tuanya itu tadi.

Menariknya, meski diperuntukkan untuk platform mobile, game ini tak terlalu populer di Indonesia. Menurut data bulan Juli 2018, 5 negara dengan pemain Brawl Stars terbanyak adalah Singapura, Finlandia, Macau, Hong Kong, dan Malaysia.

10. Mobile Legends: Bang Bang

Sama seperti Free Fire ataupun PUBG Mobile, saya mungkin tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang game ini. Setidaknya, di Indonesia, MLBB adalah salah satu game esports terlaris sampai artikel ini ditulis.

Di Indonesia saja, menurut data dari Moonton selaku publisher-nya, MLBB memiliki 31 juta pengguna aktif setiap bulannya (MAU). Lalu kenapa game ini ‘hanya’ bertengger di peringkat 10 di YouTube? Bisa jadi karena turnamen-turnamen resmi dari Moonton seperti MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) di 4 kawasan (Indonesia, Malaysia-Singapura, Filipina, dan Myanmar) dan MSC (Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup) 2019 hanya tayang eksklusif di Facebook. Hanya M1 World Championship 2019 yang tayang eksklusif di YouTube.

Terakhir, sebagai penutup, uniknya 10 game yang paling populer di YouTube tadi tidak ada yang dirilis di tahun 2019 ini. Daftarnya dipenuhi dengan game-game yang punya komunitas besar tapi rajin mendapatkan update.

Pasar Gaming AMD Kian Kuat di Eropa dan Pengguna Steam

Pasca rilisnya microarchitecture Zen di 2017, AMD semakin ganas menunjukkan taringnya melawan dominasi Intel di pasaran. Sebelumnya, di akhir Q3 2019, AMD berhasil memperoleh market share sebesar 30%. Angka tadi mengagumkan karena menunjukkan pertumbuhan sebesar 70% dari 2017.

Sumber: CPU Benchmark
Sumber: CPU Benchmark

Lebih hebatnya lagi, menurut salah satu data dari penjual retail terbesar di Jerman, AMD berhasil mengalahkan penjualan Intel bahkan sebesar 4x lipat.

Sumber: Ingebor via Imgur
Sumber: Ingebor via Imgur

Cerita keperkasaan pertumbuhan pasar gaming AMD di akhir tahun ini masih belum berhenti. Sebuah survei independen dari European Hardware Association (EHA) menunjukkan peningkatan popularitas sebesar 50% dalam 2 tahun terakhir. Survey terakhir mereka yang melibatkan lebih dari 10 ribu responden menunjukkan bahwa 60% pengguna akan memilih AMD saat ingin membeli prosesor desktop mereka selanjutnya.

“AMD mendapatkan momentum besar dalam tiga tahun terakhir di segmen enthusiast,” kata Chairman EHA Koen Crijns. “Dengan CPU seri Ryzen, AMD berhasil menutup jarak performa yang besar, sembari menawarkan rasio harga/performa yang tinggi.”

Sebelumnya, dalam survey EHA yang sejenis di tahun 2018, hanya 40% yang memilih AMD. Sedangkan pada survey Mei 2019, hasilnya meningkat menjadi 50%.

Sumber: European Hardware Association
Sumber: European Hardware Association

“Kenaikan 50% ke 60% selama beberapa bulan terakhir disebabkan oleh peluncuran CPU Ryzen generasi ketiga. Ryzen seri 3000 tak hanya menawarkan performa yang lebih baik pada workload multi-threading tetapi juga pada aplikasi yang butuh thread sedikit seperti game PC.” Ujar Crijns.

Sentimen yang positif juga ditunjukkan oleh GPU AMD.

Crijns pun melanjutkan, “meski NVIDIA masih mendominasi segmen ini dan 72,8% dari technology enthusiast, early adopter, dan influencer yang membaca publikasi dari EHA masih memilih GeForce, peluncuran GPU AMD dengan harga yang agresif seperti RX 5700 dan 5700 XT memberikan dampak yang cukup signifikan. Pada bulan Mei 2019, kurang dari 19% pembaca memilih AMD. Sekarang, angka tersebut beranjak jadi 23%.”

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Selain sentimen positif tadi, hasil yang sama terlihat juga dari Steam Hardware & Software Survey: November 2019. Menurut survey tersebut, pengguna AMD saat ini sudah mencapai angka 20% — lonjakan yang fantastis dibanding 2 tahun yang lalu. Pasalnya, pengguna prosesor AMD di Januari 2018 hanyalah 8%. Peningkatan drastis baru terlihat di bulan Juni 2018 saat angkanya mencapai 16%.

Sayangnya, tren yang sama tak terjadi untuk GPU mereka. Pengguna GPU AMD masih bertahan pada angka 15% dengan RX 580 dan 570 yang jadi GPU terlaris dari Radeon.