Selalu Ada Pemain asal Pontianak di Setiap Tim Juara MPL ID Sejak Season 1

MPL ID Season 4 akhirnya menutup perjalanan panjangnya, yang diawali dari babak Regular Season (tanggal 23 Agustus – 13 Oktober 2019) dan ditutup oleh babak Playoffs (26-27 Oktober 2019). EVOS Esports akhirnya berhasil meraih predikat tim MLBB terbaik setelah perjuangan mereka selalu kandas di 3 Season sebelumnya.

Perjalanan EVOS Esports sepanjang sejarah MPL ID sendiri sebenarnya sudah menarik ceritanya. Di Season 1, meski dijagokan semua pihak, mereka kalah melawan NXL. Season 2, EVOS kembali ke partai final melawan Lemon dan kawan-kawannya dari RRQ. Namun sedikit berbeda, di penghujung Grand Final Season 2 yang digelar di Surabaya, RRQ yang memang dijagokan saat itu.

MPL ID Season 3 menjadi catatan rekor terburuk bagi EVOS Esports, dan juga RRQ, karena keduanya justru kandas di hari pertama. Di musim keempat inilah baru EVOS benar-benar mendominasi. EVOS berhasil bertengger di puncak klasemen Regular Season dan mereka akhirnya berhasil membalaskan dendam kekalahan mereka dari RRQ di final MPL ID Season 2.

Selain perjalanan EVOS tadi, fakta menarik lainnya yang dapat ditemukan dari setiap tim pemenang MPL ID adalah selalu ada pemain asal Pontianak yang berhasil jadi juara.

Hal ini disadari oleh Calvine Lekawel, Head of Broadcasting dari RevivalTV yang juga pengamat esports MLBB, yang bercerita kepada Hybrid. Inilah daftar pemain asal Pontianak yang berhasil membawa timnya jadi juara gelaran MPL ID dari Season 1.

S1 – NXL – Watt dan Billy

Supriadi "Watt" Dwi Putra. Dokumentasi: MPL ID S4 - MET Indonesia
Supriadi “Watt” Dwi Putra. Dokumentasi: MPL ID S4 – MET Indonesia

Seperti yang tadi kami sebutkan sedikit, NXL berhasil menumbangkan EVOS di partai final MPL ID S1 yang digelar di Mall Taman Anggrek, Jakarta Barat, tanggal 30 Maret – 1 April 2018. Kala itu, tim ini berisikan pemain-pemain berikut: G, Rave, LJ, Billy, dan Watt. Dari 5 nama tadi, Agung “Billy” Tribowo dan Supriadi “Watt” Dwi Putra adalah 2 pemain yang berasal dari kota Pontianak, Kalimantan Barat. Di MPL ID S4, Watt kembali bermain untuk Aerowolf namun gagal masuk Playoffs. Sedangkan Billy bermain untuk RRQ meski bukan jadi tim inti.

S2 – RRQ – InstincT, TUTURU, dan AyamJGO

TUTURU dan AyamJago. Dokumentasi: MPL ID S4 - MET Indonesia
TUTURU (Kiri) dan AyamJago (Kanan). Dokumentasi: MPL ID S4 – MET Indonesia

MPL ID Season 2 jadi masa kejayaan RRQ. Meski kala itu ONIC Esports yang menempati peringkat pertama Regular Season, RRQ sangat mendominasi babak Grand Final. Mereka bahkan mengalahkan EVOS di final tanpa balas, dengan skor 3-0. Kala itu, RRQ berisikan Lemon, TUTURU, Instinct (AmpunOM), Liam, dan AyamJGO. Ada 3 pemain asal Pontianak yang membawa RRQ jadi juara, yaitu InstincT – Calvien (MPL ID S4 di Geek Fam), TUTURU – Diky, dan AyamJGO – Try (keduanya masih di RRQ di S4 namun bisa dibilang bukan tim inti).

S3 – ONIC – Drian dan Psychoo

Adriand "Drian" Larsen. Dokumentasi: MPL ID S4 - MET Indonesia
Adriand “Drian” Larsen. Dokumentasi: MPL ID S4 – MET Indonesia

MPL ID S3 seolah menjadi panggung utama buat ONIC Esports. Pasalnya, tim ini benar-benar mendominasi dunia persilatan MLBB saat itu. ONIC bahkan memukul telak Louvre di pertandingan pamungkas Grand Final MPL ID S3 yang digelar di BritAma Arena, Kelapa Gading, tanggal 3-5 Mei 2019. Di Season 3 ini, Teguh “Psychoo” Imam Firdaus dan Adriand “Drian” Larsen adalah 2 pemain asal Pontianak yang berhasil membawa timnya jadi juara.

S4 – EVOS – Wann

Dokumentasi: MPL ID S4 - MET Indonesia
Muhammad “Wann” Ridwan. Dokumentasi: MPL ID S4 – MET Indonesia

EVOS Esports yang berisikan formasi menarik, 3 pemain senior (Oura, Donkey, dan Rekt) yang sudah berlaga di MPL sejak Season 1 dan 2 pemain baru (Wann dan Luminaire), berhasil mendominasi keseluruhan turnamen. Di musim ini, Muhammad ‘Wann’ Ridwan adalah pemain Pontianak yang jadi juara MPL Indonesia.

Bisa jadi, kebetulan saja setiap tim juara MPL memiliki pemain asal Pontianak. Apalagi memang banyak pemain asal sana yang mengejar kemampuan untuk bisa sampai ke tingkat kompetitif. Meski demikian, menarik juga jika ingin dicari tahu lebih jauh kenapa banyak para gamer asal Pontianak yang terjun ke esports. Kira-kira kenapa ya?

[Statistics] Menyambut Grand Final MPL ID S4 dengan Angka

Perhelatan esports paling dinamis di Indonesia, Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) Professional League (MPL) Indonesia Season 4, tidak lama lagi akan memasuki babak penentuan pada tanggal 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Stadium Gelora Bung Karno.

Dari 8 tim yang mengikuti babak Regular Season selama 8 pekan (23 Agustus – 13 Oktober 2019), 6 tim dengan peringkat tertinggi berhak melanjutkan perjuangannya dalam mengadu nasib merebutkan gelar tim MLBB terbaik di Indonesia.

Berikut adalah klasemen akhir dari Regular Season MPL ID S4:

Sumber: MET Indonesia
Sumber: MET Indonesia

Dari hasil klasemen di atas, 2 tim yang harus merelakan kesempatannya untuk bertanding di Grand Final adalah Geek Fam dan Genflix Aerowolf. Sedangkan dua tim teratas, EVOS dan RRQ, akan mendapatkan keuntungan di Upper Bracket.

Tabel klasemen tadi mungkin memang kelihatannya jelas dan mudah dipahami namun demikian ternyata ada beberapa statistik menarik yang mungkin tidak dapat langsung terlihat jelas buat para penonton. Selain itu, melihat ketatnya persaingan di papan atas (1-3) dan papan tengah (4-6), angka statistik mungkin juga dapat digunakan untuk memetakan seperti apa pertandingan di Grand Final ini nantinya.

Angka statistik ini kami dapatkan dari MET Indonesia, selaku organizer untuk MPL ID Season 4. Terima kasih untuk Pratama “Yota” Indraputra, sang Show Director dan Stats Manager, yang telah mengumpulkan angka-angka statistik tadi dan membagikannya kepada Hybrid.

Sumber: MET Indonesia
Bracket Grand Final MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

First Blood

TEAM FIRST BLOOD KILLS TEAM FIRST BLOOD DEATHS TEAM AVG. FIRST BLOOD TIMING
GEEK 20 EVOS 14 EVOS 01:30
EVOS 18 GEEK 14 BTR 01:37
GFLX 18 BTR 17 GFLX 01:38
AE 18 GFLX 17 GEEK 01:42
BTR 17 AURA 17 AURA 01:48
RRQ 17 RRQ 17 ONIC 01:55
AURA 13 AE 18 AE 01:57
ONIC 12 ONIC 20 RRQ 01:57

Dari statistik First Blood di atas, hal tersebut menunjukkan superiornya EVOS di beberapa aspek ini. Menariknya, hal yang sama tidak terlihat di RRQ dan Alter Ego yang menempati peringkat 2 dan 3 klasemen akhir Regular Season. Meski begitu, statistik ini membuktikan bahwa EVOS sudah cukup galak sejak early game.

Objectives

Jika berbicara soal objective di MLBB, ada 3 hal yang bisa dijadikan patokan yaitu, Turret, Turtle, dan Lord. Berikut ini adalah data yang kami dapatkan.

TEAM FIRST TURTLES TEAM FIRST TURRETS TEAM FIRST LORDS
GFLX 21 RRQ 25 RRQ 22
AE 21 EVOS 24 AE 20
ONIC 19 BTR 17 EVOS 19
RRQ 18 ONIC 14 AURA 16
EVOS 15 GEEK 14 ONIC 14
GEEK 14 AURA 14 BTR 13
AURA 14 GFLX 13 GEEK 12
BTR 12 AE 13 GFLX 9
TEAM TURTLE KILLS TEAM TOWER KILLS TEAM LORD KILLS
GFLX 34 RRQ 1125 RRQ 24
RRQ 33 AE 995 EVOS 23
AE 33 EVOS 985 AE 22
ONIC 30 AURA 880 AURA 19
EVOS 29 ONIC 795 ONIC 16
GEEK 26 BTR 695 GEEK 16
AURA 25 GFLX 695 BTR 13
BTR 24 GEEK 690 GFLX 12

Dari statistik di atas tentang objective, terlihat jelas bahwa RRQ memang fokus mengejar aspek ini. Mungkin inilah rahasia dari kesuksesan Lemon dan kawan-kawan menempati peringkat 2 Regular Season. Alter Ego dan EVOS juga terlihat cukup rajin mengejar aspek ini namun tetap kalah dari RRQ di keseluruhan aspek objective.

Gold

TEAM GOLD EARNED TEAM AVG. TEAM GOLD PER MIN TEAM AVG. TEAM GOLD DIFF.
RRQ 1657642 RRQ 3219 RRQ 4273
AE 1635975 EVOS 3206 EVOS 4264
GFLX 1510344 AE 3112 AE 1446
EVOS 1440206 ONIC 2999 ONIC 513
ONIC 1382807 BTR 2982 AURA -330
GEEK 1381874 AURA 2945 BTR -1353
AURA 1351501 GFLX 2859 GFLX -3826
BTR 1247042 GEEK 2811 GEEK -4747

Berkaitan dengan statistik sebelumnya, dengan rajinnya mengejar objective, RRQ juga berhasil menjadi tim yang paling kaya selama pertandingan Regular Season. Namun demikian, salah satu yang menarik dari statistik gold kali ini adalah nama Aerowolf yang bertengger di posisi ketiga soal jumlah total keseluruhan gold yang dikumpulkan. Sayangnya, mengingat mereka gagal melaju ke Grand Final, gold yang mereka dapatkan berarti tak dapat dimanfaatkan dengan baik.

K/D/A

Setelah mengintip dari sisi kekayaan masing-masing tim di dalam permainan, kali ini kita akan melihat statistik yang paling sering diagung-agungkan oleh banyak orang: Kill/Death/Assist (KDA). Namun demikian, terbukti dari statistik berikut bahwa KDA bukan segala-galanya. Faktor kekayaan tim dan seberapa cepat mereka mengumpulkannya justru lebih berbanding lurus dengan prestasi mereka masing-masing.

TEAM KILLS TEAM DEATHS TEAM ASSISTS
AE 567 ONIC 384 AE 1183
RRQ 563 EVOS 408 RRQ 1098
GFLX 480 AURA 410 GFLX 1002
EVOS 461 BTR 418 AURA 974
AURA 424 RRQ 464 EVOS 962
ONIC 422 GEEK 507 BTR 932
BTR 407 AE 531 ONIC 877
GEEK 392 GFLX 607 GEEK 800

Dari 3 tabel di atas, Alter Ego yang mendapatkan jumlah Kill dan Assist terbanyak justru menempati posisi 3. Sedangkan ONIC yang mendapatkan Death paling sedikit justru berada di peringkat 5. Aerowolf bahkan menempati posisi ketiga soal jumlah Kill, di atas EVOS yang bertengger di peringkat 1 Klasemen Akhir Regular Season.

Teamwork & META

Terakhir, yang tidak kalah penting dan bisa digunakan untuk memprediksi pertandingan Grand Final nanti adalah soal aspek penguasaan META dan soal kerja sama tim.

TEAM PLAYERS USED TEAM UNIQUE PICKS TEAM AVG. KILL PARTICIPATION
GEEK 10 RRQ 41 AURA 64.80%
RRQ 10 GFLX 37 BTR 63.27%
BTR 7 GEEK 36 GFLX 61.92%
AE 7 AE 35 ONIC 61.38%
AURA 6 BTR 35 EVOS 60.97%
ONIC 6 ONIC 35 AE 60.46%
GFLX 5 AURA 34 GEEK 59.62%
EVOS 5 EVOS 32 RRQ 57.60%

Dari 3 tabel di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama adalah soal EVOS Esports. Meski mereka memberikan performa yang luar biasa hebat di Regular Season, EVOS hanya menggunakan 5 pemain. Hero pool mereka juga paling sedikit dibanding yang lain. Hal ini bisa berarti 2 hal, positif dan negatif.

Positifnya, siapa tahu EVOS memang tidak memainkan kelima pemain sisa ataupun menggunakan semua hero karena memang ingin menyimpan strategi untuk Grand Final. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa berarti EVOS tidak memiliki tingkat skill yang rata dari masing-masing pemainnya. Hal yang sama juga bisa dilihat dari variasi hero yang digunakan karena EVOS bisa saja memang sangat terbatas dari jumlah hero yang dikuasai. Jika penyebabnya adalah yang kedua, hal ini berarti strategi dan META yang akan digunakan EVOS sama persis dengan yang ada di Regular Season.

Di sisi lain, kebalikan dari EVOS, RRQ lebih berani mencoba memainkan lebih banyak hero dan pemain. Namun, RRQ memiliki persentase kill participation paling rendah dari semua tim yang ada. Hal ini juga bisa berarti 2 hal. Kerja sama antar pemain dari RRQ bisa jadi paling buruk atau skill individu masing-masing pemain di tim ini adalah yang paling baik — atau bisa juga keduanya benar.

Akhirnya, itu tadi sejumlah statistik yang dicatat oleh MET Indonesia yang coba kami jelaskan relevansinya. Benarkah EVOS memiliki keterbatasan soal pemain dan hero pool? Apakah mereka akhirnya bisa menjadi juara setelah 2x jadi Runner Up?

Bagaimana dengan RRQ? Formasi mereka kali ini sungguh meyakinkan di setiap lini. 10 pemain RRQ sekarang juga bisa dibilang sama kuat satu sama lain. Namun, biasanya pemain bintang itu memang lebih sulit diajak bekerja sama…

Atau justru malah Alter Ego, yang baik dari berbagai segi dan tercermin dari statistiknya, yang akan membuat sejarah baru lagi di gelaran MPL? Bagaimana dengan ONIC? Memang sungguh tidak ada yang istimewa terlihat dari statistik ONIC di Regular Season kali ini namun siapa tahu mereka bisa menemukan kembali chemistry dan keganasan yang mereka miliki di Season 3.

Bigetron dan Aura juga tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Siapa tahu, keajaiban MPL ID S1 yang fenomenal akan terjadi lagi… Kala itu, semua orang memprediksi EVOS yang juara dan memandang rendah NXL. Namun ternyata takdir mengguratkan garis yang berbeda.

Sumber: Mobile Legends: Bang Bang
Sumber: Mobile Legends: Bang Bang

Sumber Featured Image: Dokumentasi MPL ID Indonesia|MET Indonesia

World Championship 2019 Playoffs: Korea Selatan Kembali Mendominasi Dunia Persilatan

Ajang kompetitif paling bergengsi untuk League of Legends (LoL) tahun ini, World Championship 2019, sudah memasuki babak Playoffs. Di babak terakhir ini, semua perwakilan dari Korea Selatan berhasil melaju ke babak perempat final berkat dominasi mereka di masing-masing grupnya.

Buat yang belum terlalu familiar dengan format turnamen dari World Championship, inilah alur kompetisi turnamen yang digelar mulai tanggal 2 Oktober – 10 November 2019.

Sebelum masuk ke World Championship 2019 ada babak kualifikasi yang disebut Play-In Groups. Babak ini ditujukan sebagai kualifikasi terakhir buat tim-tim yang masuk 2 kategori:

  1. Tim terbaik dari beberapa liga (berbasis wilayah) yang masih terhitung baru ataupun belum dapat menunjukkan prestasi di tingkat global seperti LJL (Jepang), LLA (Amerika Latin), OPL (Oceania alias Australia dan sekitarnya), LST (Asia Tenggara, kecuali Vietnam), TCL (Turki), dan LCL (Rusia).
  2. Tim-tim dari liga besar seperti LCK (Korea Selatan), LEC (Eropa, kecuali Rusia), LCS (Amerika Utara), LMS (Taiwan & Hong Kong), dan VCS (Vietnam) yang belum mampu langsung mendapatkan kursi ke Group Stage.

Dari 12 tim yang bertanding di Play-In, yang dibagi lagi jadi Play-In Round 1 dan Round 2, 4 tim terbaik berhak melaju ke babak Group Stage. DAMWON Gaming dari LCK juga harus mengikuti mulai dari babak ini karena 2 slot utama untuk LCK diberikan pada SK Telecom T1 dan Griffin.

Pasca kualifikasi tadi, babak Group Stage World Championship pun dimulai. Di bawah ini adalah hasil akhir dari pertempuran masing-masing grup:

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Dari hasil grup di atas, terbukti tim-tim Korea Selatan masih mendominasi dunia persilatan League of Legends. DAMWON Gaming, yang melaju dari babak Play-In sekalipun, hanya kalah satu kali di babak ini. Mereka bahkan mampu mengalahkan Invictus Gaming dari Tiongkok yang jadi juara World Championship 2018.

Di grup A, Griffin juga menorehkan catatan yang serupa. Mereka juga kalah satu kali dari 6 pertandingan. Meski memang, perjalanan Griffin mungkin bisa dibilang lebih mudah ketimbang DAMWON. Karena, G2 Esports (dari Eropa) juga mampu menorehkan prestasi yang sama persis.

SK Telecom T1 (SKT), yang merupakan tim dengan raihan prestasi terbaik sepanjang sejarah esports LoL (3x juara dunia), juga kembali menunjukkan keganasannya setelah sempat memble di tahun 2018.

Sepanjang sejarah esports LoL, Korea Selatan memang seringkali mendominasi ajang Worlds. Dari 8 kali World Championship digelar (sampai 2018), tim Korea Selatan jadi juara sebanyak 5 kali. Pertandingan final World Championship yang mempertandingkan 2 tim Korea Selatan juga terjadi 3x (2017, 2016, dan 2015). Dari sejarah tadi, hanya di 2018 saja Korea Selatan tidak berhasil mengirimkan wakilnya di pertandingan final sejak keikutsertaan mereka dari 2012.

Selain 3 tim dari Korsel, 3 tim dari Eropa (LEC) dan 2 tim dari Tiongkok (LPL) juga mengamankan kursi ke babak Playoffs. Perbandingan jumlah tim Eropa dan Tiongkok ini sedikit berbeda dari beberapa kali World Championship sebelumnya. Pasalnya, tim Tiongkok boleh dibilang kasta kedua setelah Korea Selatan di LoL. Mereka memang baru satu kali juara dunia namun sudah 3x tim Tiongkok melaju ke babak pamungkas. Tahun 2018, LPL juga berhasil mengirimkan 3 tim ke babak Playoffs.

Di sisi lain, regional Eropa sepertinya memang semakin baik dari waktu ke waktu. Sepanjang sejarah esports LoL, kawasan Eropa memang satu tingkat di atas tim-tim NA (Amerika Utara) yang lebih sering jadi tim ‘hore’ di ajang Worlds. Namun, baru tahun ini mereka berhasil mengirimkan 3 wakil ke babak Playoff — setidaknya menghitung Worlds yang sudah lengkap melibatkan 4 regional besar (Korea Selatan, Tiongkok, Eropa, dan Amerika Utara).

Sumber: LoLEsports
Sumber: LoLEsports

Jika melihat bracket di atas, ronde pertama pertandingan World Championship 2019 Playoffs (perempat final) jadi terlalu menarik untuk dilewatkan. IG, sang juara bertahan, harus berhadapan dengan salah satu wakil dari Korea Selatan. Fnatic sepertinya sedikit lebih beruntung karena bertemu FunPlus Phoenix yang terhitung baru. Namun hal ini juga berarti pertaruhan nama besar Fnatic sebagai salah satu tim Eropa yang paling sering lolos ke Worlds. Mereka hanya absen di 2016 dan 2012.

SKT juga beruntung dan seharusnya menang melawan Splyce, mengingat tim ini memang belum bisa dibilang satu level dengan Faker dan kawan-kawannya. Namun, menonton permainan SKT itu selalu menarik, siapapun lawannya. Apalagi kali ini Faker dan Khan bekerja sama dengan 3 pemain muda yang tak kalah hebatnya. Pertandingan terakhir di perempat final juga wajib ditonton. G2 yang berhasil merebut tahta dari Fnatic sebagai tim LoL terbaik di Eropa sejak beberapa tahun silam harus berhadapan dengan tim unggulan ketiga dari Korea Selatan. Pertandingan antara keduanya seperti pertaruhan gengsi dua wilayah terbaik dari barat dan timur.

Saya pribadi, berhubung memang fanatik dengan SKT dan LCK secara umum (mengingat Uzi dari RNG sudah gagal menembus Playoffs), tentu berharap mereka akan kembali membawa pulang piala paling bergengsi ini keempat kalinya.

Pertandingan perempat final Worlds akan digelar pada tanggal 26-27 Oktober 2019. Sedangkan kelanjutannya, babak semifinal akan dilaksanakan tanggal 2-3 November 2019 sebelum menuju ke babak pamungkas yang diadakan tanggal 10 November 2019.

Mengukur Peran Media Game di Ekosistem Esports Indonesia

Douglas Rushkoff (Throwing Rocks at the Google Bus, 2017) berargumen bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi dana yang luas dan cepat. Pasalnya, dengan sirkulasi dana yang luas dan cepat, setiap pihak yang berkepentingan bisa terus bertahan dan memainkan perannya masing-masing. Sebaliknya, industri yang tidak sehat adalah industri yang hanya berusaha menggemukan 1-2 pihak saja karena model yang seperti ini justru memiskinkan banyak pelaku lainnya.

Lalu apa hubungannya argumentasi Rushkoff tadi dengan media game dan ekosistem esports di Indonesia? Besarnya anggaran esports yang berputar di ekosistem kita masih belum dapat dinikmati oleh para pelaku media game dan esports. Bahkan, jika mau lebih seksama melihatnya, baru 2 komponen di ekosistem esports yang bisa menuai banyak keuntungan saat ini: organisasi (tim) dan event organizer esports.

Jangankan media, publisher game-nya sendiri sebenarnya juga belum sebanyak itu mendapatkan keuntungan dari esports-nya. Memang, pendapatan dari penjualan item mall (in-app purchase) buat sejumlah game publisher bisa mencapai miliaran Rupiah setiap bulannya (meski sayangnya, saya tidak bisa menyebutkan nama publisher atau sumber informasi saya di sini). Namun demikian, tidak banyak pendapatan langsung yang diterima publisher dari setiap gelaran esports game mereka; seperti pendapatan yang diterima Valve setiap kali menggelar The International, berkat penjualan Battle Pass.

Korelasi yang jelas antara besaran pendapatan dari in-app purchase dengan ramainya ajang esports tiap game pun sebenarnya juga masih belum terdefinisikan dengan gamblang. Rata-rata memang masih hanya berpendapat soal esports sebagai sarana marketing dari game tersebut. Itu pun juga masih belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Mungkin lain waktu kita akan membahas lebih dalam soal korelasi antara pendapatan publisher dengan ajang esports karena kali ini saya ingin membahas lebih jauh soal peran media game dan esports di dalam ekosistem kita.

Untuk membahas hal ini, saya telah mengajak berbincang beberapa kawan-kawan saya yang tahu punya cukup pengalaman soal media game. Kawan-kawan saya yang saya ajak berbincang kali ini adalah Michael Samuel (Editor-in-Chief untuk EsportsID), Bambang Tri Utomo (COO dari IndoEsports), Edi Kusuma (Pendiri Hasagi dan mantan Editor untuk VGI), dan salah seorang lagi yang menolak untuk disebutkan namanya di sini (sebut saja Mawar namanya). Izinkan saya juga menuangkan pendapat saya di sini karena saya juga memang punya pengalaman spesifik berkarier di media game dari 2008, di media cetak ataupun digital.

Kondisi Media Game dan Esports Sekarang

Sebelum kita menggali lebih dalam soal peran media di ekosistem, ada baiknya kita melihat sebentar pada kondisi media game dan esports di Indonesia saat ini. Dari pengakuan kawan-kawan, baik yang saya sebutkan tadi ataupun yang tidak, kondisi keuangan kebanyakan media game saat ini memang masih bleeding alias lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Kalaupun ada pendapatan yang cukup besar, biasanya hal tersebut datang (atau setidaknya lebih besar) dari penyelenggaraan event — bukan seperti layaknya sumber pendapatan media zaman cetak dulu (iklan display, advertorial, ataupun banderol harga yang harus dibayarkan oleh pembaca).

Esports Indonesia
Esports market trend report 2019. Sumber: DailySocial

Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat kondisi industri media digital berubah drastis dibanding zaman sebelumnya. Berhubung supaya tidak jadi buku ratusan halaman, saya hanya akan menyebutkan beberapa hal yang menurut saya relevan dengan bahasan kita kali ini.

Pada zaman sebelum digitalisasi, media memiliki peran besar dalam mengatur arus informasi. Media, zaman itu, bahkan juga bisa saja semena-mena menutup keran informasi tentang sebuah cerita, kasus, atau apapun itu. Maka dari itu, para diktator negara juga biasanya tahu betul bahwa pengekangan arus informasi menjadi sebuah kunci keberlangsungan suatu rezim.

Kala itu, kekuasaan memegang arus informasi juga terbagi menjadi 3 kanal besar yaitu televisi, radio, dan media cetak. Pembagian 3 kanal besar ini berkaitan erat dengan industri periklanan yang sebelumnya jadi mata air utama pendapatan perusahaan media. Pasalnya, ketika itu, tidak ada 1 ruang atau platform beriklan yang mampu mencapai semua pengguna. Sekarang, pasca digitalisasi media, ada duopoli Google dan Facebook yang mungkin bisa dibilang mencakup gabungan pengguna 3 kanal tadi. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi ruang beriklan yang utama atau setidaknya sudah tidak jadi satu-satunya ruang beriklan. Meski memang, masih ada banyak juga pelaku industri yang percaya untuk menjaga hubungan baik dan menghidupi media agar terus menjaga perannya dalam sebuah ekosistem industri.

Sayangnya, di industri game atau esports saat ini, mayoritas para pelakunya lebih suka menggunakan Google atau Facebook (serta turunannya) sebagai ruang beriklan, publikasi, ataupun menyebarkan informasi. Hal inilah yang jadi salah satu faktor terbesar terhadap minimnya pendapatan media game saat ini.

Ketika saya masih di media cetak dulu, media game mendapatkan pemasukkan paling banyak dari publisher game lokal (Lyto, Megaxus, WaveGame, dkk.). Sekarang, publisher lokal yang tadinya menguasai industri game nasional sudah tergerus kencang oleh publisher internasional. Sedangkan publisher internasional tadi memang mayoritas lebih suka menggunakan Facebook atau Google untuk beriklan. Di sisi lain, Facebook dan Google memang nyatanya mampu menawarkan harga iklan yang lebih terjangkau, yang bahkan bisa dibeli secara ‘eceran’.

Mawar, yang awalnya lebih memilih diam di sudut meja saat kami duduk bersama di sebuah kafe di sekitaran SCBD, tiba-tiba mengatakan, “(melihat kondisi pendapatan media game sekarang,) ajaib jika (sejumlah media game) masih hidup.”

Itu tadi jika kita melihat faktor eksternalnya. Jika melihat sisi medianya sendiri, sayangnya, memang ada banyak hal yang mungkin bisa dibenahi ataupun ditambah.

Pertama, media digital antara satu dengan yang lainnya memang lebih saturated dibanding zaman cetak dulu. Hal ini juga terjadi di media yang spesifik membahas game dan esports. Maksudnya, ciri khas masing-masing media (termasuk media game) jadi tidak terlalu terlihat. Seingat saya, dulu perbedaan antara HotGame, GameStation, dan PC Gamer itu jelas sekali terlihat. 3 majalah game tadi juga setahu saya mengincar target pasar yang tidak sama persis dan menyuguhkan artikel eksklusifnya masing-masing.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Mike, panggilan sayang dari Michael Samuel, juga setuju bahwa memang media game yang seharusnya bisa menunjukkan ciri khasnya masing-masing. Ia juga menambahkan bahwa media tak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengiklan karena ada tuntutan adaptasi yang harus dijalani para pelaku media. Adaptasi untuk terus bertahan ini akan saya lanjutkan pembahasannya di bagian selanjutnya namun ada juga persoalan adaptasi yang berpengaruh terhadap kondisi media game saat ini.

Faktor internal kedua yang menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi media game saat ini ada di para pengambil kebijakannya. Mereka-mereka yang punya pengalaman membesarkan media justru kalah suaranya dengan mereka yang belum punya ataupun minim pengalaman. Faktanya, membesarkan sebuah media itu tidak mudah. Setidaknya, jelas tidak seperti memperlakukan layaknya akun-akun anonim di media sosial karena ada kode etik dan kredibilitas (baik brand media ataupun nama baik para jurnalisnya) yang harus dijaga.

Antara Media, Media Sosial, dan Influencer

Jika berbicara soal media, apalagi di ekosistem gaming dan esports, saya kira perlu juga dibuat satu bahasan khusus yang membandingkannya dengan media sosial atau malah influencer.

Menurut Edi, atau yang biasanya lebih dikenal dengan Edel, media itu seharusnya bisa menawarkan informasi yang lebih kredibel ketimbang media sosial. Ia juga menambahkan media sosial biasanya lebih cenderung untuk menggiring opini, ketimbang menyajikan fakta. Namun demikian, menurut Edel juga, perbedaan antara media dan media sosial juga sebenarnya bergantung pada selera si pembacanya. “Apakah lu mau berita yang cepet dan rame atau mau berita yang bisa dipertanggungjawabkan.” Ujarnya.

Sedangkan jika dibandingkan dengan influencer, Edel berpendapat bahwa influencer memang hanya bisa menyatakan pendapat pribadinya dan bisa saja merasa selalu benar. Sedangkan media seharusnya bisa lebih netral dan mencoba meluruskan informasi sesuai dengan fakta yang ada.

Sumber: GoodRebels.com
Sumber: GoodRebels.com

Sang COO IndoEsports yang mengaku lebih suka dipanggil Tommy juga menambahkan pendapatnya mengenai perbedaan antara media dengan media sosial dan influencer. Menurutnya, ada 2 jenis berita yang harus dipahami, “berita yang kita MAU tahu dan yang kita PERLU tahu.”

Pendapatnya senada juga dengan yang disampaikan oleh Mike. “Media itu tidak hanya soal hiburan tapi juga menyuguhkan informasi.” Kata Editor-in-Chief yang telah melanglang buana di industri game Indonesia.

Mawar juga mengamini bahwa media memang punya batasan yang jauh lebih banyak dibanding media sosial dan influencer.

Meski demikian, saya sendiri percaya sebenarnya media, (akun) media sosial, ataupun influencer bisa bersinergi membangun ekosistem asalkan memang perannya masing-masing disadari oleh banyak pihak. Konsepnya sederhana namun kenyataannya memang tidak mudah dijalankan. Karena tidak jarang media memang tidak mungkin secepat, sefrontal, ataupun semurah media sosial ataupun influencer. Pasalnya, media jelas statusnya sebagai perusahaan yang bayar pajak, harus mengikuti sekian banyak batasan (ataupun undang-undang), dan harus mendapatkan keuntungan agar bisa bertahan lama.

Peran Media Game di Ekosistem

Worst case, apa yang terjadi jika media-media niche yang khusus membahas esports dan game tak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports Indonesia?

Mawar berpendapat bahwa media-media portal (yang punya berbagai kanal) yang akan jadi lebih aktif membahas game dan esports. Namun demikian, media-media tersebut tetap saja tidak akan bisa membahas lebih banyak atau lebih dalam soal esports dan game. Kecuali, mereka akan menarik para penulis atau jurnalis yang memang punya spesialisasi expertise di sini. Namun jika media-media portal yang akhirnya membahas game dan esports juga tidak mampu mendatangkan penghasilan dari industri atau ekosistem ini, mustahil juga mereka menjadikan topik bahasan game dan esports sebagai prioritas.

Saat ini, media-media mainstream (yang bukan niche) memang sudah mencoba memasukkan topik bahasan game dan esports namun, sejauh yang saya tahu, mereka masih sebatas testing the water. 

Andai saja kondisi terburuk tadi memang terjadi, kondisinya mungkin akan sama dengan ekosistem olahraga di Indonesia saat ini. Bahkan media-media yang khusus membahas sepak bola pun tidak sedikit yang gulung tikar. Saya tahu ini karena memang ada media esports di Indonesia yang mayoritas isinya mantan jurnalis bola. Itu tadi masih sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Kita belum berbicara soal exposure dan publikasi untuk olahraga-olahraga lain seperti basket, voli, bulu tangkis, dan kawan-kawannya.

Sumber: Bola.net
Sumber: Bola.net

Jika melihat publikasi dan exposure sepak bola, hal yang serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi esports karena setiap tim besar punya kanal YouTube mereka masing-masing seperti Persija, Persib, ataupun Persebaya.

Dengan adanya media mainstream yang juga bisa membahas esports ataupun game secara umum dan kemudahan setiap pelaku industri (organisasi esports, EO, publisher) punya ruang distribusi publikasi sendiri, nilai jual media game dan esports memang jadi terlihat semakin kecil.

Maraknya platform yang mengijinkan user-generated content (YouTube, Facebook, Instagram, Twitch, Twitter) membuat banyak orang memang jadi menganggap membuat konten dan publikasi itu mudah dan murah. Namun, faktanya, expertise itu tidak pernah mudah apalagi murah jika memang ingin berkelas (yang bukan picisan). Sayangnya, memang lebih banyak orang-orang berpikiran dangkal yang lebih suka menyederhanakan segala sesuatunya dan tak mampu (atau mau) melihat setiap hal dari berbagai perspektif.

Misalnya tadi soal akses mudah ke platform user-generated content, banyak pelaku industri (dari semua sisi, termasuk produsen konten ataupun sponsor) menjadikan kuantitas semata sebagai tolak ukur utama dan bahkan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan tadi. Banyak yang jadi tidak sadar bahwa kemudahan akses ruang publikasi ataupun distribusi konten itu justru membuat tolak ukur lain selain kuantitas (viewer, trafficsubscriber, dkk.) semakin dibutuhkan dan penting untuk dirumuskan.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena nyatanya, video anak kecil makan bakso saja bisa mengalahkan popularitas video dari pro player. Nyatanya, saat artikel ini ditulis, jumlah subscriber Najwa Shihab bahkan di kisaran angka yang sama dengan sang anak kecil tadi. Dengan mudahnya akses publikasi dan distribusi konten, keahlian dan keberhasilan jadi tidak bisa semata-mata dinilai dari popularitas.

Maksud saya menjabarkan hal tadi karena saya kira penting juga untuk disadari bahwa ruang publikasi dan distribusi yang mudah dan murah itu juga menuntut pertimbangan yang lebih jauh dari yang kelihatan jelas di permukaan. Sampai hari ini, memang saya tahu juga ada beberapa pelaku di esports, seperti EO, yang sudah menyadari pentingnya peran dan expertise media dan mengalirkan dana ke sana (thanks buat kliennya Hybrid wkwkwkwk…) namun masih banyak juga yang belum sampai memikirkan bagaimana nasib para pekerja media game dan esports.

Namun demikian, di sisi lain, kembali ke perkataan Mike tadi memang media game dan esports juga harus beradaptasi dan upgrade kelas untuk terus bertahan dan memainkan perannya dalam ekosistem.

Saya sepenuhnya setuju soal adaptasi dan upgrade tadi karena, menurut saya, banyak media juga belum mampu menunjukkan ciri khasnya masing-masing dan menyuguhkan konten yang benar-benar berkualitas. Mungkin karena memang standar rekrutmen atau gajinya juga terlalu rendah (nyahahaha). Tidak jarang media juga malah jadi sekadar pengikut tren dan bahkan malah mengambil peran influencer ataupun akun anonim yang lebih suka terlibat atau malah memulai kegaduhan dan keonaran yang tidak berfaedah (alias drama).

Adaptasi dalam mencari pendapatan juga sebenarnya bisa dilakukan kawan-kawan media game yang memang memiliki keahlian di sana, asalkan juga disadari oleh tim, event, ataupun sponsor yang memang memahami pentingnya brand image-nya masing-masing. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, adalah memainkan peran media relation. Perusahaan media game yang punya orang-orang berkualitas, seperti kawan saya Mike, Mawar, ataupun yang lain-lainnya juga sebenarnya mampu menawarkan knowledge soal esports ataupun game yang mendalam namun juga tahu bagaimana membuat rilis ataupun bentuk publikasi lain yang lebih proper. Membangun kerangka narasi besar yang ingin dibentuk untuk jangka panjang serta implementasinya juga bisa dilakukan jika disadari kebutuhannya oleh para pelaku.

Sekali lagi, expertise jurnalistik dan berbahasa itu tidak mudah. Saya kira hal ini juga penting untuk disadari betul oleh para pelaku industri. Pasalnya saya sudah beberapa kali mendengar seperti ini, “menulis itu kan gampang, Bes…” Hmmm, bagi saya, jangan pernah mengaku bisa berbahasa jika belum bisa membedakan antara kata kerja, kata sifat, dan saudara-saudaranya. Itu tadi bahkan masih pengetahuan dasar berbahasa, belum sampai keahlian untuk merangkainya menjadi sebuah cerita karena masih ada soal kekayaan diksi, koherensi antar paragraf, penjabaran argumentasi, ataupun segudang hal lainnya. Ini juga masih soal berbahasa juga belum sampai soal kode etik jurnalistik.

Expertise inilah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan lebih variatif jika memang disadari oleh berbagai pelakunya, seperti beberapa contoh yang saya sebutkan tadi.

Akhirnya, bisa jadi saya memang bias dalam memandang peran media game di dalam ekosistem ini. Namun saya sangat percaya bahwa peran media sebagai ruang informasi dan edukasi terbuka yang bermartabat dan berpatutan punya andil besar sebagai salah satu dari pilar-pilar penting: media, komunitas (di dalamnya termasuk influencer, pekerja perorangan, dkk), EO, sponsor, tim/organisasi, dan publisher; dalam membangun industri esports yang berkesinambungan.

Sumber Header: IGN

Misi Besar dari Manta Esports Cafe

Hari Sabtu 21 September 2019 kemarin, Manta Esports Cafe menggelar Grand Launching mereka. Kala itu, mereka juga mengundang Mega Kiss dalam acara tersebut.

Meski demikian, bukan hal tersebut yang membuat warnet ini istimewa. Kami pun berbincang Julian Gunajaya, sang pemilik warnet, seputar misi dan ambisinya berkiprah di industri ini. Menurutnya, ada 3 hal yang menjadi keunggulan dari Manta Esports Cafe.

Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid
Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid

Pertama, iCafe ini menyuguhkan spek PC gaming yang cukup premium sehingga bisa mendukung semua game berat terbaru sekalipun. Berikut ini adalah spesifikasi yang ditawarkan oleh Manta:

Reef (Regular):

  • Monitor 144Hz
  • NVIDIA GeForce GTX 1660Ti
  • Intel Core i5 9400F
  • SteelSeries Apex M500
  • SteelSeries Rival 105
  • SteelSeries Arctics 3
  • Kursi gaming PEX Chair Indonesia

Abyss (VIP):

  • Monitor 240Hz
  • NVIDIA GeForce RTX 2070
  • Intel Core i5 9400F
  • SteelSeries Apex M750
  • SteelSeries Rival 105
  • SteelSeries Arctics 5
  • Kursi gaming PEX Chair Indonesia

Dengan paket harga sebagai berikut:

REEF (Regular) ABYSS (VIP)
10 ribu/jam 15ribu/jam
40 ribu/5 jam 65ribu/5 jam
75ribu/10 jam 120ribu/10 jam
Paket Malam: Paket Malam:
22.00 – 06.00 22.00 – 06.00
40.000 50.000
Paket Pagi: Paket Pagi:
07.00 – 12.00 07.00 – 12.00
25.000 35.000

Namun demikian, jika hanya premium sudah mulai banyak juga iCafe yang menawarkan konsep serupa. Karena itulah, selain premium tadi, Julian menambahkan jika ia ingin menjadikan Manta sebagai ruang positif buat komunitas gamer. “Di sini ada cafe yang nyaman buat nongkrong, buat hangout. Tidak ada smoking room juga di lantai 2 karena ingin buat yang positif.”

Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid
Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid

Ditambah lagi, ia juga ingin menciptakan ekosistem buat para komunitas esports untuk PC melalui Manta. Rencananya, Julian juga ingin membuka cabang Manta di kota-kota lain, yang bahkan tak hanya di Jabodetabek. Ia melihat ada banyak talenta yang tak tersalurkan karena para pemain tersebut tak memiliki akses ke tempat bermain yang nyaman.

Buat yang belum tahu, Julian juga yang sebelum membentuk tim Dota 2 Antrophy yang bertanding di ESL Indonesia Championship Season 2 — Dota 2. Namun demikian, ia mengaku saat ini tim tersebut sedang vakum.

Selain ingin membuka iCafe Manta di berbagai tempat, ia juga punya misi agar sistem billing-nya bisa digunakan di berbagai warnet di seluruh Indonesia. Ia mengklaim sistem billing yang ia tawarkan mampu menyuguhkan beberapa keunggulan yang belum bisa ditawarkan oleh sistem billing lain yang sudah digunakan di banyak warnet di Indonesia.

Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid
Manta Esports Cafe. Dokumentasi: Hybrid

Saat saya mengunjungi Manta di acara Grand Launching mereka, menariknya, mayoritas para pemain di sini bermain game FPS seperti Point Blank, CS:GO, ataupun Rainbow Six: Siege.

[Review] Borderlands 3, Gameplay Nyaris Sempurna Terjegal oleh Performa yang Payah

Penantian panjang untuk penggemar seri Borderlands memang sudah berakhir dengan dirilisnya Borderlands 3 tanggal 13 September 2019 yang lalu. Sayangnya, Anda harus menunggu lagi untuk benar-benar mendapatkan pengalaman bermain yang ideal.

Sebelum kita masuk ke review Borderlands 3 (BL3) kali ini, saya harus jelaskan bahwa saya merupakan fans berat dari seri game yang satu ini. Saya memainkan semua seri BL (kecuali spin-off nya) mulai dari Borderlands (2009), Borderlands 2 (2012), dan juga Borderlands: The Pre-Sequel (2014). Borderlands 2 bahkan jadi salah satu game yang paling lama, dari total sekitar 2000 game PC, yang saya mainkan.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Borderlands 3 yang akan saya bagi ke dalam 3 kategori.

Gameplay: 93/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Di aspek inilah BL3 nyaris sempurna. Buat yang belum pernah memainkan seri Borderlands sebelumnya, Borderlands (2009) adalah game pertama dalam sejarah yang berhasil mengawinkan genre RPG dan FPS dengan sangat baik. Sebelumnya, memang sudah ada game-game lain yang mencoba menggabungkan 2 genre tadi namun tidak ada yang berhasil membuat ramuan yang pas dan menyenangkan. Borderlands 2 bahkan berhasil mengembangkan formula awalnya dengan jauh lebih baik. The Pre-Sequel (BL:TPS), meski dikritik banyak orang, juga tetap sangat saya nikmati.

BL3, Gearbox kembali berhasil mengembangkan formula hebat tadi jadi nyaris sempurna. Senjata-senjata yang ada di sini terasa unik dan lebih variatif dibanding dengan yang saya temukan di BL2. Demikian juga equipment lainnya seperti Shield, Class MOD, Relic, dan Grenade Mod. Di BL2, ada banyak senjata dan equipment yang terasa sia-sia karena jelas kalah kegunaannya dengan beberapa opsi yang ada. Misalnya saja semua pistol jadi tidak menarik jika dibandingkan dengan Unkempt Harold dan semua sniper rifle pasti kalah damage dengan Pimpernel. End-game build (OP8-10) juga dapat dipastikan bahwa The Bee yang akan dijadikan Shield pilihan untuk mayoritas build yang ada.

Di BL3, saya belum merasakan ada senjata ataupun equipment yang benar-benar begitu dominan seperti contoh tadi. Namun demikian, penting dicatat, saya memainkan BL2 itu bahkan mungkin sudah lebih dari 1000 jam. Jadi, bisa saja saya belum menemukan equipment yang dominan di BL3 karena keterbatasan waktu saya bermain (karena harus mengejar review ini).

Skill tree dari BL3 untuk Amara
Skill tree dari BL3 untuk Amara

Skill dari masing-masing karakter juga jauh lebih menarik dibanding game-game sebelumnya. Setiap karakter punya build lebih dari 1 yang sama menyenangkannya untuk dimainkan. Dengan 4 karakter yang bisa Anda mainkan sekarang, Amara, Moze, Zane, dan Fl4k; ada banyak sekali build yang bisa dicoba sehingga membuat BL3 akan terasa menyenangkan jika dimainkan berulang-ulang. Karena kompleksitas masing-masing skill karakter yang disuguhkan, terlalu panjang jika semuanya saya jelaskan di sini. Anda bisa mencari banyak video di YouTube jika ingin tahu lebih detail tentang masing-masing karakter dan skillnya.

Satu hal yang pasti, dibandingkan dengan semua seri BL yang saya mainkan tadi, variasi karakter, build, equipmentskill, ataupun setiap elemen RPG-nya, BL3 jauuuuuuuuuuuuuuh lebih variatif.

Itu tadi jika dibandingkan dengan pendahulunya. Bagaimana jika gameplay nya dibandingkan dengan FPS lain yang baru-baru ini dirilis? Kebetulan, belum lama ini saya juga menamatkan Singleplayer Campaign untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood. Saya tidak ragu mengatakan bahwa BL3 juga jauh lebih superior dibandingkan dengan 2 game tadi dari sisi kompleksitas gameplay-nya.

Jika dibandingkan dengan 2 game tadi, hanya Rage 2 yang lebih superior di satu aspek gameplay atas BL3. Rage 2 mampu menyuguhkan feel pertempuran (menembak, menggunakan skill, ataupun menghancurkan musuh berkeping-keping) yang paling asyik yang benar-benar belum bisa saya temukan di game lainnya. Namun di luar satu aspek tadi, BL3 menang di semua aspek gameplay lainnya.

Satu-satunya hal yang membuat saya belum berani memberikan skor sempurna (100/100) atas gameplay BL3 adalah soal balancing dan level scaling antar karakter. Pasalnya, dari semua BL yang saya mainkan, selalu ada 1 karakter yang jauh lebih superior dibanding yang lainnya. Lilith adalah karakter paling superior di BL(1), Salvador di BL2, dan Nisha di BL:TPS.

Misalnya saja di BL2, skala progress karakternya terlalu tinggi karena bisa sampai ke OP10 (dengan DLC terakhirnya). Namun hal itu tidak diimbangi dengan damage scaling yang sepadan untuk semua karakter. Hanya Salvador yang benar-benar bisa scaling dengan sangat baik di level tinggi (mulai UVHM). Hal inilah yang saya takutkan terjadi lagi di BL3.

Story-building: 74/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Buat yang suka dengan game-game gratisan, mungkin aspek ini tidak masuk akal untuk Anda… Namun untuk game-game kasta bangsawan alias AAA, aspek-aspek pembangun cerita merupakan elemen penting yang bisa menentukan apakah sebuah game layak dibeli atau tidak.

Di bagian ini, ada beberapa hal yang bisa kita bahas yang menurut saya berpengaruh dalam menentukan kualitas story-building dari sebuah game.

Soal plot cerita, berhubung saya memang tidak ingin membocorkannya di sini, saya hanya akan membandingkannya dengan beberapa game lainnya. Semua seri BL yang saya mainkan memang nyatanya tidak terlalu fokus pada kekuatan plot cerita. Jadi, jangan berharap akan menemukan level kualitas alur cerita yang sama dengan Skyrim, The Witcher 3, Wolfenstein: The New Order, GTA V ataupun game-game lain yang benar-benar menjunjung tinggi aspek ini. Namun demikian, alur ceritanya mungkin masih terbilang baik untuk game multiplayer (meski memang lebih berat ke Co-Op) — mengingat kebanyakan game multiplayer bahkan tidak menyuguhkan aspek ini sama sekali.

Selain alur cerita, aspek lain yang saya kira masuk ke dalam bagian kerangka narasi di sini adalah soal karakter dan karaterisasi. Meski BL2 juga memang tak punya alur cerita yang istimewa, game tersebut punya Handsome Jack yang sungguh sangat berkesan dan menghibur. Buat saya, Handsome Jack bisa masuk dalam salah satu penjahat (villain) di game yang paling ikonik sepanjang sejarah.

Sayangnya, hal itu tidak saya temukan di tokoh antagonis utama di sini. Calypso bersaudara (Tyreen dan Troy) bahkan bisa saya bilang terlalu cheesy. Memang, saya tahu membuat tokoh antagonis yang ikonik itu sulitnya bukan main. Namun, berhubung sebelumnya Gearbox berhasil menciptakan Handsome Jack, ekspektasi saya mungkin jadi lebih tinggi soal ini.

Untungnya, karakter-karakter yang ada di game-game sebelumnya muncul kembali di sini dengan ciri khasnya masing-masing. Walau memang dari semua karakter yang muncul kembali, favorit saya tetap 2 karena keunikannya: Claptrap dan (Tiny) Tina.

Soal story-building, BL3 memang (sekali lagi) tak bisa disejajarkan dengan banyak game yang menaruh perhatian besar ke sana. Namun demikian, bagi saya, aspek ini masih bisa membuat saya terhibur dan menikmatinya.

Features & Performance: 31/100

Sebelum kita masuk ke performanya, di atas kertas, ada satu fitur menarik yang coba ditawarkan oleh multiplayer BL3. Pasalnya, BL3 menawarkan 2 sistem Co-Op: Cooperation dan Coopetition.

Screenshot BL3
Screenshot dari BL3

Mode Coopetition sama dengan yang pernah diterapkan di BL2 dan BL:TPS. Loot drop yang ada di game bisa diambil oleh semua pemain. Hal ini memang bisa menyenangkan jika bermain bersama kawan. Namun jika bermain bersama dengan orang yang tak dikenal, Anda harus berebut loot dengan mereka. Selain itu, loot di game tersebut bisa jadi tidak relevan jika Anda bermain dengan karakter yang levelnya di atas atau di bawah.

Contohnya seperti ini, Anda memainkan karakter level 24 bersama dengan orang lain yang menggunakan karakter level 35. Di sistem Coopetition atau di kebanyakan game-game Co-Op lainnya, loot yang Anda berdua dapatkan ada di level 24 ataupun level 35. Buat Anda yang level 24, Anda tidak bisa menggunakan loot jika yang drop adalah level 35 karena ada level requirements. Sebaliknya, karakter level 35 tidak lagi butuh loot level 24 karena stats nya sudah tidak lagi relevan.

Sistem Cooperation BL3, teorinya, mencoba menyelesaikan persoalan tersebut. Di situasi tadi, buat Anda yang masih level 24, musuh yang Anda hadapi dan loot yang didapat akan scaling ke level Anda meski bergabung bersama pemain level 35 ataupun malah level 11. Inilah keistimewaan fitur multiplayer dari BL3.

Sayangnya, itu tadi sebatas teori — setidaknya dari pengalaman saya mencobanya sendiri. Saat saya mencoba fitur ini, karakter saya level 26 bergabung ke game orang tak dikenal lewat Matchmaking yang karakternya sudah mencapai level 32. Anehnya, musuh yang saya hadapi di kesempatan tersebut justru malah level 19-21. Padahal, jika saya bermain sendiri, musuh-musuh di Map tersebut adalah sekitar level 24-26. Sekali lagi, karena keterbatasan waktu, saya memang hanya mencoba fitur multiplayer-nya tadi 1x. Semoga saja, di lain waktu, saya benar-benar bisa merasakan sistem multiplayer BL3 yang ideal.

Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot diambil dari MSI Afterburner
Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot dan grafik framerate diambil menggunakan MSI Afterburner.

Jika tadi saya menemukan keanehan dari fitur Multiplayer BL3, performa BL3 yang saya mainkan di PC bahkan bisa dibilang menyedihkan. Performa yang menyedihkan ini tidak hanya saya yang mengalaminya namun juga banyak orang, di berbagai platform. Coba saja googling “borderlands 3 performance issues” jika tidak percaya.

Inilah spek PC saya saat memainkan game ini:

  • Procie: AMD Ryzen 3 1300X
  • Motherboard: GIGABYTE AB350-Gaming 3
  • Memory: Corsair Vengeance LPX 2x4GB DDR4 2666MHz
  • Graphic Card: Palit RTX 2070 SUPER JS
  • Storage: Corsair Force LS SSD (Game Directory), Palit PSP120 SSD (System Directory).

Saya tahu betul spek saya di atas memang hanya istimewa di kartu grafisnya, dan bottleneck juga (karena memang lagi menabung untuk upgrade CPU). Namun demikian, dengan spek tersebut, saya bisa mendapatkan 56-60 fps (90% of the time, V-Sync: On) di resolusi 1080p, 60Hz di banyak game baru yang saya mainkan beberapa bulan terakhir seperti Rage 2, Wolfenstein: Youngblood, Remnant: From the Ashes, Gears 5, ataupun Greedfall. Target saya yang memang hanya 1080p dan 60Hz di jaman sekarang juga sebenarnya sudah minimalis untuk PC gaming karena sudah ada resolusi 4K ataupun 1440p dan refresh rate 120Hz ataupun 144Hz.

Setting grafis BL3
Setting grafis BL3

Di sini? Minimum framerate yang saya dapatkan bahkan anjlok sampai 30 fps dan itupun sangat fluktuatif. Sayangnya, meski saya sudah mengutak-atik setting visual yang ada di BL3 cukup lama, saya tetap saja tidak bisa mendapatkan fps yang stabil. Setting Volumetric Fog, Overall Quality, atau apapun yang saya coba tidak berhasil membuatnya mulus. Padahal, untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood, saya bahkan tidak perlu repot-repot tweaking opsinya satu persatu.

Oh iya, saya kira perlu juga diketahui bahwa, selain sudah memainkan lebih dari 2000 game PC, saya juga hobi bermain modding di PC gaming — termasuk mainan ReShade (dulu dikenal dengan SweetFX) ataupun ENB. Jadi, saya sudah tidak asing lagi tweaking masalah grafis di PC gaming. Jika saya masih kesulitan mendapatkan framerate yang mulus di BL3, kemungkinan besar, banyak orang juga tidak akan mendapatkan yang smooth.

Average Score: 66/100

Akhirnya, Borderlands 3 tersedia di EPIC Games Store seharga US$44.99 (sekitar Rp632 ribu) untuk versi standarnya. Dengan harga yang harus Anda bayarkan, gameplay-nya memang sungguh istimewa dan paling asyik dari semua game FPS yang pernah saya mainkan. Ceritanya pun juga masih menghibur. Sayangnya, game ini seperti masih dalam tahap BETA untuk fitur multiplayer ataupun malah optimisasi performanya.

Jadi, buat Anda yang sudah mengeluarkan dana sampai Rp20 juta lebih untuk satu set PC gaming ataupun Rp8 juta lebih untuk satu buah kartu grafis dan tidak bisa menerima bermain game di bawah 50 fps (seperti saya), Anda mungkin harus bersabar sampai Gearbox menyelesaikan permasalahan performa BL3 sebelum membelinya. Pasalnya, ada alternatif game shooter ataupun RPG yang jauh lebih mulus dan tidak kalah menyenangkan yang dirilis belakangan ini.

Namun buat Anda yang punya standar framerate rendah (alias 30 fps) ataupun memang benar-benar mencari kombinasi FPS dan RPG yang ideal, BL3 wajib dimainkan.

[In-Depth] Karena Passion di Esports Saja Tidak Cukup

Sejak 2018 kemarin, perputaran uang di industri esports Indonesia memang sudah mencapai miliaran Rupiah. Menurut catatan kami di Hybrid, kompetisi dengan total hadiah yang ‘hanya’ mencapai Rp1 miliar saja tidak masuk daftar 10 turnamen dengan hadiah terbesar di 2018.

Gemerlap dan hingar bingar esports juga mungkin membuat banyak orang awam takjub dengan industri baru ini. Namun demikian, dari perbincangan saya dengan sejumlah orang-orang di belakang layar, ada sebuah kekhawatiran tentang bagaimana industri dan ekosistem esports di Indonesia bisa sustain untuk jangka panjang dan scaling ke tingkat yang lebih tinggi ataupun lebih lebar.

Berhubung saya kebetulan sudah bekerja di industri game (khususnya media) dari 2008, menurut saya pribadi, ada satu kekurangan utama yang menjadi penyebab kekhawatiran atas sustainability dan scalability di industri game dan esports Indonesia yakni: minimnya kapasitas (skills, knowledge, dan perspectives) dan romantisme hiperbolis atas passion. Hal ini juga disadari oleh Yohannes Siagian, Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD; sekaligus pionir yang membawa esports masuk ke dalam institusi pendidikan formal kala ia menjabat sebagai Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD.

Menurutnya, banyak orang di esports Indonesia saat ini memang tidak mengenal bidang yang ia geluti. Ia memberikan pengandaian seperti seorang ABG yang baru saja punya pacar. ABG tersebut hanya tau yang sebatas kasat mata, seperti namanya siapa, mukanya cantik atau tidak; namun ia tidak memahami level yang lebih mendalam seperti kepribadian, kebutuhan, idealisme, tujuan hidup, impian, dan lain sebagainya.

Masalah kompetensi ini sebenarnya sudah ada sejak lama di industri ini; bahkan ketika esports belum sebesar sekarang ini. Namun, satu pertanyaan dari kawan saya, Wibi Irbawanto (yang mencoba menggalakan kesadaran dan kebutuhan soal legalitas dan hukum di esports), yang membuat saya akhirnya ‘terpaksa’ menuliskan artikel ini.

Pertanyaannya kala itu ke saya adalah, “apa yang terjadi jika pertumbuhan industri di esports tidak berbanding lurus dengan kapasitas para profesional yang menjalankannya?”

Faktanya, hal tersebut sebenarnya sudah terjadi meski memang gap antara pertumbuhan industri dan kapasitas para profesionalnya memang belum terlalu besar; karena nilai industrinya sendiri juga masih imut-imut menurut saya. Tribekti Nasima, salah satu penggiat esports Indonesia kelas kakap yang juga sudah malang melintang bekerja dari berbagai elemen ekosistem seperti publisher, tim esports, ataupun event organizer ini juga menyatakan keresahannya saat saya ajak berbincang. Menurutnya, rendahnya kompetensi SDM (Sumber Daya Manusia) yang memunculkan keresahan atas keberlanjutan (sustainabilityesports Indonesia. “Uangnya (industri esports) ada buat sustain tapi kualitas (SDM) nya yang sangat minimalis.” Ujarnya.

Contoh pertama adalah soal konten di ekosistem dan industri game (termasuk esports) di Indonesia. Karena pengalaman saya yang memang lebih banyak di media dan konten, izinkan saya mengutarakan pendapat soal ini.

The Bad

Para pembuat konten dan para pengambil kebijakannya di industri ini masih banyak sekali yang berpatokan pada kuantitas semata, mengesampingkan kualitas, dan bahkan mengorbankan banyak hal lainnya demi kuantitas tadi (seperti reputasi, hubungan baik dengan ekosistem, ataupun paradigma tentang industrinya itu sendiri).

Menurut saya pribadi, salah satu penyebabnya ada di kapasitas orang-orang itu yang memang masih minim. Maksud saya seperti ini, setiap pelaku industri tentu harus punya tolak ukur keberhasilan di ranahnya masing-masing namun karena kapasitasnya masih minim mereka baru mampu melihatnya dari sisi kuantitas. Saya percaya bahwa setiap orang ingin juga mengukur seberapa bagus hasil karya/produksi mereka sendiri namun, karena keterbatasan tadi, acuan yang yang paling mudah digunakan adalah angka-angka yang terpampang jelas seperti jumlah subscriber, follower, pageviews, users, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Argumentasi saya ada dua. Pertama, produk kreatif tak bisa hanya ditakar dari segi kuantitatif. Misalnya saja antara seri Lord of the Rings (Tolkien), seri Harry Potter (Rowling), atau malah Fifty Shades of Grey (James). Buat yang benar-benar tahu soal karya populis, saya kira jawabannya sudah jelas mana yang menang dalam soal plot, penokohan, penyajian cerita, ataupun soal pengaruhnya ke ekosistem di sekitarnya. Lainnya, andai dunia kreatif hanya mengenal popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan, mungkin kita tidak akan punya nama-nama besar seperti Jostein Gaarder, Dream Theater, Quentin Tarantino, George Carlin, dan kawan-kawannya.

Sumber: QuoteFancy
Sumber: QuoteFancy

Kedua, popularitas/viralitas itu tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan. Kita mungkin memang hidup di jaman duopoli digital oleh Google dan Facebook yang sangat besar pengaruhnya terhadap pola pikir banyak orang, termasuk para pembuat konten. Berkat kedua perusahaan raksasa tadi, para produsen konten digital dan orang-orang di sekitarnya (seperti sponsor, pengiklan, dkk.) jadi seolah tak mampu berpikir kritis dan menemukan alternatif dari popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan dan keuntungan.

Padahal, kenyataannya, popularitas dan keuntungan perusahaan tidak selalu berbanding lurus. Setelah artikel ini, saya akan lebih detail membahas soal media dan konten karena bisa jadi terlalu panjang untuk dijabarkan semuanya di sini. Namun, satu hal yang pasti, kenapa saya bisa bilang popularitas atau kuantitas itu tak selalu berbanding lurus dengan keuntungan perusahaan; karena kelas sosial dan ekonomi itu nyata, sedangkan Google dan Facebook belum mampu mengukur hal tersebut…

Contoh lainnya adalah dari sisi bisnis event di esports. Dari beberapa obrolan saya dengan sejumlah sponsor yang sudah mencoba masuk ke esports, ada sejumlah kekecewaan yang mereka utarakan. Untuk membahas hal ini, saya pun menghubungi kawan saya lainnya, Kris Ardianto yang sekarang menjadi Head of Business Development untuk MET Indonesia. Keistimewaan kawan saya yang satu ini, dibanding orang-orang bisnis lain yang bekerja di perusahaan esports di Indonesia sekarang, ada di pengalamannya yang pernah bekerja untuk perusahaan-perusahaan endemic kelas kakap, seperti NJT (salah satu distributor hardware PC terbesar di Indonesia), NVIDIA, dan ASUS. Karena sebelumnya ia bertanggung jawab mengurus masalah penjualan, pemasaran, dan penjenamaan, ia jadi pernah merasakan bagaimana berada di posisi sponsor. Perspektifnya tentu saja berbeda dari orang-orang bisnis lain yang belum pernah merasakan di posisi yang sama.

Kekecewaan yang diutarakan oleh beberapa sponsor tadi, menurut saya, memang karena banyak pelaku di industri ini masih terlalu mengagungkan yang namanya viewership. Kris pun setuju soal ini. Ia memang tidak menafikkan pentingnya viewership namun tidak hanya itu yang harus dipikirkan oleh para penyelenggara event esports. “Viewership itu ibarat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif). Penting memang tapi kemampuan seseorang yang sebenarnya kan tidak bisa hanya diukur dari sana.”

Menurutnya, sponsor event di jaman sekarang pasti juga sudah mengejar ke arah engagement ataupun activation. Bentuk konkretnya seperti apa? Kris pun memberikan beberapa contoh. Pertama, ada sponsor yang ingin menargetkan product experience. Ada juga yang ingin langsung mengejar transaksi atau penjualan. Menurutnya, penyelenggara acara yang baik juga seharusnya mampu merumuskan dan menjalankan campaign seperti apa yang diinginkan sponsor.

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3 yang merupakan garapan dari MET Indonesia. Dokumentasi: Hybrid

“Kalau memang ada yang kecewa, itu berarti ada ekspektasi sponsor yang tidak tercapai. Sampai hari ini, selama saya kerja di MET, belum pernah ada sih sponsor yang kecewa.” Ujar Kris yang memulai kariernya sejak 2009.

Lalu apa rule of thumb untuk mereka yang ingin terjun jadi orang bisnis? Saya pun bertanya. “Know your market. Know your product. Semuanya harus based on data. Memang ga bisa kalau nekat.”

Dua contoh konkret tentang pemahaman pasar yang ia maksud tadi misalnya adalah berapa banyak kompetitor di pasar ini dan seberapa besar pasarnya? Selain 2 itu tadi, ada satu skill lagi yang dibutuhkan di semua profesi termasuk bisnis, yaitu komunikasi. “Contohnya di ranah bisnis soal komunikasi itu ya soal mencari tahu ekspektasi klien. Kalau sampai ekspektasinya bisa ga sinkron ya berarti skill komunikasinya yang kurang.”

Namun demikian, di sisi lain, Joey (panggilan Yohannes Siagian) juga menambahkan soal ketidaksesuaian ekspektasi bisnis. Menurutnya, “Sebagian masalah soal kekecewaan sponsor tentang esports itu datang dari mereka juga sih. Mereka cuma melihat angka-angka viewer dan mendengar popularitas esports. Tapi mereka tidak punya orang yang benar-benar paham esports. So they make bad or misinformed investments, then they are disappointed with results.”

Itu tadi beberapa contoh konkret dari yang saya lihat di ekosistem kita sekarang. Namun demikian, terlalu picik juga rasanya jika kita tidak mencoba mencari tahu akar permasalahannya. Daniel J. Boorstin, pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge.”

Hal itu senada dengan apa yang dikatakan Joey. “Banyak juga orang esports yang sangat tertutup mengenai input dari luar pemahaman mereka mengenai esports. Tidak sekali dua kali saya mendengar dari orang yang dianggap ‘ahli’ bahwa “ini kan esports”, berbeda dengan olahraga atau bidang lainnya. Ada semacam pandangan di antara beberapa komponen ekosistem bahwa esports itu bidang yang unik dan berbeda yang tidak bisa dipahami oleh orang dari luar ekosistem esports.

Menurutnya, hal itu juga lah yang menyebabkan banyak pelaku di esports yang hanya punya parameter kesuksesan itu-itu saja.

Berhubung saya memang fans beratnya Socrates, saya percaya bahwa hal terpenting yang harus dimiliki setiap manusia untuk berkembang adalah kesadaran diri bahwa kita memang belum tahu apa-apa tentang hidup, dunia ini, dan segala macam yang ada di dalamnya. Sebaliknya, merasa sudah tahu dan berhenti bertanya membuat kita terjebak dalam kebodohan kita sendiri.

Sebenarnya ada satu lagi penyebab yang diutarakan oleh Yohannes mengenai minimnya kompetensi di antara para pelaku esports. “Overall, the whole esports industry is lacking experience; and I’m not just talking esports experience but things like life experience and maturity as well. The average age in the esports industry is pretty low in comparison to other fields that have similar amounts of money flowing through it.

Di satu sisi, saya setuju dengan pendapatnya bahwa usia dari kebanyakan para pelaku esports yang relatif muda – jika dibandingkan dengan nominal uang yang berputar di dalam industri ini – memang bisa berarti minimnya pengalaman, baik soal pengalaman hidup ataupun pengalaman sebagai seorang profesional. Saya percaya minimnya pengalaman hidup (personal) dan bekerja (profesional) memang berpengaruh terhadap kekayaan perspektif ataupun tingkat kesadaran menjalani proses namun, di sisi lain, saya harus menambahkan perspektif saya agar hal tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Pertama, saya percaya bahwa usia dan kedewasaan berpikir itu bisa saja tidak berbanding lurus. Maksudnya, ada orang-orang yang masih muda tapi cukup dewasa dalam berpikir. Sebaliknya, ada juga generasi tua yang berpikir kekanak-kanakan. Di sisi lainnya, usia muda ataupun minimnya pengalaman itu tidak bisa jadi alasan untuk malas belajar dan lamban menyadari proses.

The Solution

Lalu, bagaimana solusinya?

Sumber: Instagram ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Sebelum ke sana, saya harus tegaskan bahwa bukan berarti tulisan ini menihilkan pentingnya passion di esports. Bagaimana pun juga, saya percaya passion tetap bisa jadi landasan yang baik untuk menggeluti dan belajar di satu bidang. Namun, seperti judulnya, tujuan saya menuliskan artikel ini adalah untuk menyuguhkan argumentasi agar kita semua tidak terjebak dalam romantisme passion yang terlalu hiperbolis karena ada hal-hal lanjutan yang harus disadari dan dipelajari.

Jika kita berbicara soal solusi, ada 2 yang opsi yang sebenarnya bisa dipilih atau dijalankan bersama-sama. “Salah satunya menarik SDM berkualitas masuk. Karena orang bagus akan menarik orang-orang bagus juga. Namun pertanyaannya adalah bagaimana caranya membuat orang-orang tersebut tertarik masuk ke esports.” Ujar Bekti.

Hal ini sebenarnya jugalah yang sudah dilakukan oleh MET Indonesia. Selain kawan saya Kris tadi, ada juga beberapa nama profesional berpengalaman dari industri terkait yang ditarik ke MET Indonesia, seperti Reza Afrian Ramadhan (Head of Marketing MET Indonesia) ataupun Herry Wijaya (Head of Operation MET Indonesia).

Sayangnya, nama-nama di atas memang berasal dari industri terkait. Reza sebelumnya dari ASUS dan Acer. Sedangkan Herry merupakan salah satu senior di ranah EO esports Indonesia yang paling dipandang. Menarik saja rasanya, menurut saya, andai ada para senior dari industri non-endemik (perbankan, hukum, properti, dkk.) yang berubah halauan ke esports karena ada perspektif baru yang bisa ditawarkan. Itulah sebabnya, Yohannes Siagian sering jadi target narasumber saya di banyak artikel berat (wkakwkkwa) karena ia sudah mengantongi belasan tahun pengalaman dari industri pendidikan.

Mencari orang-orang yang tepat dan punya jam terbang tinggi di spesialisasi tertentu itu, bagi saya, salah satu cara yang tepat untuk memperbesar peluang kesuksesan sebuah perusahaan ataupun keseluruhan ekosistem. Sayangnya sampai hari ini, tidak sedikit juga yang masih meremehkan ranah-ranah tertentu.

Mungkin memang gampang kalau yang dikejar adalah kualitas KW 2; namun untuk tingkatan yang benar-benar dapat dijaga konsistensi kualitas atau performanya, saya kira hal tersebut tidak mudah diberikan. Ibaratnya, anak SD saja juga bisa masak mie instant ataupun merebus air. Tapi untuk meracik hidangan yang sekelas hotel ataupun restoran bintang 5?

Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian
Kris Ardianto (kanan) bersama dengan Agustian Hwang (tengah) dan Reza Afrian (kiri). Dokumentasi: Reza Afrian

Selain solusi pertama menarik orang-orang yang memang sudah punya kapasitas (baik dari industri endemik ataupun non-endemik), solusi lain yang bisa dilakukan adalah dengan memaksa para profesional yang sudah ada di industri esports sekarang (ataupun akan datang) untuk belajar dengan cepat dan terbiasa untuk melihat segala sesuatunya dari beragam perspektif.

Ada banyak sekali hal yang bisa dikejar untuk meningkatkan kemampuan, tergantung dari skill yang diinginkan. Menurut Bekti, misalnya, buat yang ingin jadi orang bisnis, mereka bisa baca Never Eats Alone (Keith Ferrazi & Tahl Raz) ataupun buku-buku lain yang bisa digunakan untuk meningkatkan skill jualan. Di sisi lain, jika yang dibutuhkan adalah posisi Project Manager (PM), “PM itu kan paling utama ada di organizational skill nyaJadi, harus belajar terstruktur. PM itu juga harus mempelajari semua hal yang dikerjakan oleh anak buahnya sehingga bisa menakar beban kerja masing-masing anggotanya. Belajar stress management dan self development itu juga saya kira penting buat yang mau jadi PM berkualitas.” Ujarnya.

Buku-buku teori tentunya bisa jadi sumber utama bagi mereka-mereka yang memang serius ingin belajar. Namun, berhubung saya tahu kadang waktu kita sebagai para pekerja sudah tidak sebanyak dibanding saat kita kuliah dulu, berbagai video seminar bisa jadi semacam ‘cemilan sehat’. Artikel-artikel panjang seperti yang kami coba tawarkan di Hybrid (Meninjau Kembali tentang Tren BA Esports Cantik di Indonesia: Sebuah OpiniUpaya Mengurai Permasalahan Ekosistem Esports Dota 2 IndonesiaRegenerasi Esports: Sebuah Abstraksi dan Kedewasaan Menjadi Solusi, dkk.) juga sebenarnya bisa jadi langkah awal untuk mengusik rasa keingintahuan. Promosi dulu yak… Wkwkawkwak.

Berbicara soal belajar, saya kira saya juga harus membahas soal ilmu yang kita dapatkan dari institusi pendidikan formal. Pasalnya, menurut saya, ada salah kaprah yang terjadi di pola pikir kaum muda termasuk di para pekerja esports. Dari perbincangan saya dengan banyak orang, tidak sedikit yang percaya bahwa ilmu yang didapat di bangku kuliah itu tidak relevan lagi termasuk di bidang esports.

Memang, belajar itu bisa dilakukan di mana pun kita berada; tak harus terkurung di ruang-ruang edukasi formal. Memang, tidak semua teori yang kita dapatkan saat sekolah dan kuliah itu punya nilai pragmatis di setiap desk job kita sebagai seorang profesional. Namun, saya sungguh percaya mindset dan logika berpikir yang bisa dipelajari dari ruang pendidikan formal itu bisa digunakan di setiap keputusan kita (jika memang disadari dan dipahami).

Misalnya, mereka-mereka yang belajar dan memahami aljabar linear bisa mencari logika apa yang ada di balik sistem itu. Saya sendiri yang lulusan Fakultas Sastra juga bisa menggunakan mindset storytelling (atau malah teori Hegemoni dari Gramsci) yang saya dapatkan saat saya kuliah dulu dalam banyak hal yang saya lakukan sebagai seorang pekerja sekarang: bagaimana bercerita tentang perusahaan, produk, event, atau apapun. Setidaknya menurut Yuval Noah Harari, cerita dengan kekuatan narasi yang istimewa bahkan mampu menguasai dunia.

Saya sungguh percaya ada banyak benang merah yang bisa ditemukan dari teori-teori yang kita dapat di institusi pendidikan formal dengan yang kita hadapi sehari-hari (personal ataupun profesional), asalkan kita memang mampu memahaminya di tingkat yang paling dalam.

The Good News

Meski penjabaran dan argumentasi saya tadi mungkin terasa pesimistis, perspektif positif sebenarnya juga bisa digunakan untuk membaca kondisi esports kita sekarang ini.

Dengan kapasitas SDM saat ini saja, esports Indonesia sudah berhasil menarik perhatian banyak pihak dan mengalirkan dana yang lumayan. Bayangkan jika SDM nya bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi…

Saya sudah berada di industri ini cukup lama dan melihat naik turunnya bak jungkat-jungkit. Bagi saya, hal ini tidak bisa dimaklumi, apalagi dijadikan pembenaran. Jujur saja, ambisi pribadi saya saat ini adalah bagaimana industri ini tidak kehilangan momentumnya sehingga bisa terus berkembang dan memakmurkan semua pihak yang terkait di dalamnya.

Semoga saja, artikel ini bisa menjadi memancing kesadaran dan keinginan belajar bagi semua orang yang berkepentingan dan berkeinginan melihat industri game dan esports Indonesia bisa terus berkembang dan bertahan. Satu hal yang saya percayai sejak lama, belajar itu bisa juga menyenangkan. Apalagi buat mereka-mereka yang memang punya passion bermain game, proses pembelajaran itu sendiri juga bisa dimaknai sebagai sebuah permainan.

Akhirnya, izinkan saya menutup artikel panjang ini dengan sebuah kutipan dari salah satu tokoh yang menjadi inspirasi saya untuk terus belajar dan bermain game.

The spirit of playful competition is, as a social impulse, older than culture itself and pervades all life like a veritable ferment. Ritual grew up in sacred play; poetry was born in play and nourished on play; music and dancing were pure play….We have to conclude, therefore, that civilization is, in its earliest phases, played. It does not come from play…it arises in and as play, and never leaves it.” Johan Huizinga (Homo Ludens: A Study of the Play-Elements in Culture).

Mengukur Peta Pertempuran MPL ID S4 dan Dampaknya untuk Ekosistem Esports MLBB

MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) Indonesia Season 4 akhirnya mulai berjalan akhir pekan kemarin (23-25 Agustus 2019). Menariknya, ada beberapa kejutan yang terjadi di Week 1 MPL ID S4 kemarin.

Selain ONIC Esports yang langsung menduduki puncak klasemen sementara, yang memang sudah diprediksi banyak orang, ada 2 tim yang berisikan banyak pemain baru yang ada di papan atas. Kedua tim tersebut adalah Aura Esports dan Bigetron Esports.

EVOS Esports juga sebenarnya punya poin yang sama dengan Aura dan Bigetron namun tim berlogo singa putih itu sekarang masih berisikan sejumlah pemain yang pernah merasakan megahnya panggung MPL sebelumnya, seperti Four (Afrindo), Donkey (Yurino), Oura (Eko), ataupun Rekt (Gustian).

RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB
RRQ.O2 saat jadi juara MPL ID S2. Sumber: MLBB

Sedangkan Bigetron, tim ini memang selalu mengikuti MPL dari Season 1 (kala itu namanya Bigetron Player Kill) namun roster mereka sekarang sudah berbeda jauh dari musim-musim sebelumnya. Dari formasi mereka saat ini, hanya ada Arya “Hexazor” Hans yang senior di dunia persilatan MLBB Indonesia. Di sisi satunya, Aura juga turut meramaikan MPL ID di Season 3. Namun musim kemarin mereka tak mampu berbicara banyak dan hanya bisa berakhir di peringkat 9 klasemen akhir Regular Season (dari total 12 tim). Nama pemain senior yang ada di Aura saat ini adalah YAM yang di Season 1 bermain untuk Bigetron PK.

Lalu pertanyaannya, apakah para pemain-pemain muda ini nanti yang akan menguasai dunia persilatan MPL ID S4?

Jika melihat klasemen sementara di pekan pertama, RRQ, yang jadi juara MPL ID S2, justru berada di papan bawah. Dari 2x bertanding, RRQ harus pulang dengan tangan hampa meski memang lawan mereka di pekan pertama ini adalah EVOS dan ONIC. Padahal, di atas kertas, formasi tim RRQ musim ini sangat menarik karena semuanya punya pengalaman berharga. Ada para pemain juara MPL ID S1 (LJ, Billy, dan Rave) dan juara MPL ID S2 (AyamJago, Lemon, Tuturu, dan Liam). Ada pemain yang sebelumnya jadi andalan tim Star8 di MPL ID S3, Yesaya “Xin” Yehuda. Ada juga VYN (Calvin) yang mengawali petualangannya di MPL ID sejak S2, bersama BOOM Jr. Plus, ada Rivaldi “R7” Fatah yang bahkan bisa dibilang salah satu bintang di esports Dota 2 Indonesia, yang pindah ke MLBB.

Frans “Volva” Riyando, salah satu shoutcaster kawakan di MLBB, sempat memberikan komentarnya kepada saya mengenai roster RRQ musim ini beberapa waktu silam. “Mantan trio Aerowolf (LJ, Billy, dan Rave) ini memang terbilang cukup kuat dan memiliki performa yang luar biasa pada saat Playoff MPL ID S3 walau hasilnya kurang memuaskan.” Ujar Volva.

Meski memiliki formasi tim yang kuat, Volva juga beranggapan bahwa tim ini masih jauh di bawah para pemain ONIC. “ONIC memiliki draft yang bisa dibilang gak berbeda jauh dengan RRQ tapi mekanik dan skill individu ONIC sungguh di atas rata-rata pemain Indonesia.”

KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster sejak MPL ID S1
KB dan Volva yang sudah jadi shoutcaster langganan sejak MPL ID S1. Sumber: RevivalTV

Menurut Volva, formasi ini mungkin bisa mengejar level para pemain ex-Louvre yang sekarang di Genflix Aerowolf asalkan chemistry di tim ini bisa dibangun. Selain berbincang dengan Volva, saya juga mengajak Afrindo “Four” Valentino untuk menyuarakan pendapatnya. Afrindo adalah salah satu pemain MLBB senior yang jadi juara MPL ID S1. Saat ini, selain jadi Assistant Coach untuk Pelatnas SEA Games 2019 cabang Mobile Legends, ia juga masuk dalam formasi tim EVOS Esports MPL ID S4.

Afrindo menyebutkan 4 tim yang menurutnya layak diperhatikan di Season 4 kali ini. 4 tim tersebut adalah ONIC, EVOS, RRQ, dan Aerowolf. “ONIC karena merupakan tim paling stabil dibanding yang lain sampai hari ini. EVOS karena kekompakan para pemainnya di dalam dan di luar game yang sudah sangat solid. RRQ juga menarik karena roster barunya sangat menakutkan dan susah ditebak berkat bisa rotasi pemainnya setiap saat. Terakhir, ada Aerowolf dengan permainan yang agresif dan draft-pick tak terduga yang akan membuat musuhnya kesulitan menebak arah permainan.”

Penting dicatat, pendapat tadi memang saya tanyakan ke Afrindo sebelum Week 1 berjalan. Jadi, pengamatannya memang masih sebatas di atas kertas, alias belum menilainya langsung dari semua pertandingan di minggu pertama. Satu pertanyaan terakhir yang saya tanyakan ke Afrindo adalah, apakah ONIC mampu jadi juara lagi di Season 4? Apalagi mengingat juara MPL ID selalu berganti setiap musim.

“Kalo dari saya, selama ONIC tidak ada masalah internal, mereka pasti bisa jadi juara lagi . Walaupun sepanjang sejarah MPL ID belum ada yang bisa juara berturut-turut tapi mereka membuktikan bisa juara 3 kali berturut-turut di turnamen besar berbeda. Tapi, pesaing terberat dari ONIC untuk musim ini adalah EVOS.” Tutup Afrindo.

Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL
Afrindo saat masih bermain untuk Aerowolf. Sumber: MPL

Setelah ke Afrindo, saya pun menghubungi Ryan “KB” Batistuta yang juga seorang shoutcaster langganan untuk MPL ataupun turnamen MLBB lainnya. Menariknya, KB juga memberikan pendapat yang tak jauh berbeda dengan Afrindo. Ia bahkan berani memprediksi bahwa Grand Final MPL ID S4 adalah antara ONIC melawan EVOS.

Selain itu, KB juga menyebut dua pemain dari RRQ. “Vyn dan Xin dari RRQ akan mendapatkan spotlight yg luar biasa pada MPL S4 ini.” Kata KB. “Darkness, Tanker Aura Esports, juga akan jadi salah satu pemain yang akan diperhitungkan.” Seperti Afrindo tadi, saya juga sebenarnya bertanya pada KB sebelum Week 1 dimulai namun, hebatnya, ada 2 prediksinya yang tepat.

“Jika sebelumnya EVOS selama 3 Season belum pernah mendapatkan kemenangan 1x pun melawan RRQ, mereka bisa melepaskan kutukan El Classico mereka di Week 1 MPL mendatang.” Tutur KB. Selain itu, KB juga memprediksi bahwa Bigetron akan jadi tim kuda hitam yang akan menyulitkan 7 tim lainnya di MPL ID S4. Kedua prediksi tadi terbukti karena EVOS memang berhasil mengalahkan RRQ di hari ketiga pekan pertama. Sedangkan Bigetron berhasil memenangkan semua pertandingan mereka di pekan pertama. Mereka menang lawan Alter Ego (2-0) dan Geek Fam (2-1).

MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid
MPL ID S3. Dokumentasi: Hybrid

Dari perbincangan saya dengan ketiga kawan saya tadi, ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas dari dunia persilatan MLBB kasta tertinggi alias MPL. Pertama, sampai musim keempat ini, dunia persilatan MPL memang sangat dinamis. EVOS Esports memang berhasil menjadi Runner-Up berturut-turut di S1 dan S2. Namun mereka harus pulang di hari pertama Grand Final MPL ID S3. RRQ memang berhasil jadi juara di Season 2 namun performa mereka di Season 1 dan 3 kurang maksimal. Apakah ONIC mampu mempertahankan gelarnya dan menjadi tim pertama yang meraih gelar tim terhebat lebih dari 1 musim?

Dunia persilatan yang dinamis ini mungkin memang bagus untuk para pecinta esports MLBB seperti saya. Namun hal ini bisa jadi mengkhawatirkan untuk para pemainnya. Jika pengalaman bermain yang lebih lama tak mampu menunjang performa dan bahkan mudah tergantikan oleh para pemain baru, usia produktif para pemain MLBB bisa jadi lebih singkat ketimbang game esports lainnya.

Selain itu, dinamika MLBB yang tinggi berarti menuntut proses belajar yang lebih intensif untuk para pro player-nya. Hal ini juga bisa dilihat positif ataupun negatif. Positif karena memang sudah seharusnya kasta tertinggi dari scene esports sebuah game menuntut komitmen dan keseriusan untuk terus berkembang. Namun, hal ini juga bisa mengakibatkan lebih banyak pro player yang memutuskan untuk menjadi streamer ataupun content creator seperti JessNoLimit ataupun Emperor.

Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia
Klasemen sementara MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

Untuk yang tertarik menonton semua pertandingan MPL ID S4, Anda bisa menyaksikannya langsung di Facebook Fanpage Mobile Legends: Bang Bang. Jika Anda juga tertarik melihat statistik, hasil pertandingan lengkap, ataupun detail lainnya dari MPL ID S4, Anda bisa mengunjungi website resmi MLP ID S4 di id-mpl.com.

Rekap ASL Indonesia Season 3 Week 2: EVOS Esports Masih Merajai Dunia Persilatan AoV

Arena of Valor Star League (ASL) adalah liga kompetitif dengan kasta tertinggi untuk Arena of Valor di tiap negara. Jika sebelumnya, di Season 1 dan 2, ASL dijalankan langsung oleh Garena sebagai publisher AoV di Indonesia, ASL Season 3 kali ini dijalankan oleh ESL Indonesia dan masuk dalam rangkaian ESL Indonesia Championship Season 2.

Sampai artikel ini ditulis, ASL Indonesia Season 3 telah merampungkan semua pertandingan mereka untuk pekan kedua. EVOS Esports, yang merupakan juara bertahan dari ASL Indonesia Season 2 sekaligus ESL Indonesia National Championship dan Clash of Nations 2019, memang masih mendominasi dunia persilatan AoV Indonesia di 2019 ini.

Di musim kedua ini, EVOS yang hanya memasukkan 1 pemain baru, Gilang “Fall” Dwi Fallah sebagai midlaner, berhasil memuncaki klasemen sementara ASL Indonesia S3 dengan kemenangan sempurna.

Mereka berhasil kokohkan posisinya di puncak klasemen dengan perolehan 12 poin. Melawan BOOM.ID pada pekan ini, EVOS hanya terpeleset satu kali. Namun setelahnya, mereka berhasil membalikkan keadaan dan memenangkan pertandingan dengan skor 2-1. Hal ini menarik karena sebelumnya, BOOM ID yang mendominasi dunia persilatan Dota 2 Indonesia menaklukkan EVOS di ESL Indonesia Championship S2 untuk Dota 2.

Selain perebutan posisi sebagai pemuncak klasemen yang sangat sengit, pertarungan klasemen papan tengah juga jadi tidak kalah menarik karena kehadiran tim Comeback. Merupakan tim kuda hitam yang baru muncul di musim ini, Comeback menjadi penantang keras organisasi-organisasi besar yang sudah lama bertengger di kancah AOV, seperti SES, Bigetron, ataupun DG Esports.

Berisikan pemain-pemain baru, mereka membuktikan juga bisa bicara banyak di dalam liga kasta utama. Pekan ini, mereka bertanding sebanyak tiga kali, melawan Bigetron, SES, dan BOOM.ID. Dari semua rangkaian pertandingan, pertarungan Comeback melawan BOOM.ID adalah yang paling mendebarkan.

Dari seri best of 3, Comeback tergelincir pada game pertama. Hanya karena satu kesalahan dalam teamfight, yaitu 4 pemain Comeback secara berbarengan terkena stun Ormar dari BOOM.Fracel. Dalam satu tarikan nafas, Comeback terkena wipeout, BOOM.ID fokus push lewat tengah, yang langsung memenangkan permainan game 1. Untungnya, dua game selanjutnya Comeback bisa membayar kesalahan tersebut dan menang secara berturut-turut. Permainan berakhir dengan skor 2-1 untuk kemenangan Comeback.

Kemenangan tersebut berhasil mendongkrak posisi Comeback ke peringkat 4. Dengan perolehan dua kali menang dan dua kali kalah dari empat partai pertandingan yang dijalani, poin Comeback dan BOOM.ID kini jadi setara; sama-sama 6 poin. Setelah pertandingan yang panas di pekan ketiga, berikut keadaan klasemen ASL Season 3:

Dalam pertempuran panjang liga dengan model double round-robin, 7 tim Arena of Valor terbaik se-Indonesia harus berjuang selama 6 pekan untuk memastikan 4 slot di babak playoff yang diselenggarakan tatap muka pada pertengahan September 2019. Turnamen gelaran ASL Season 3 yang diselenggarakan oleh ESL ini didukung oleh Mercedez sebagai Premium Sponsor serta Garena Indonesia selaku Official Partner, dan menyuguhkan total hadiah sebesar Rp1 Miliar. Kini, turnamen ini masih menyisakan 3 pekan pertandingan dengan jadwal lengkap yang bisa dilihat di bawah ini:

 

  • Pekan 1: 17-19 Juli 2019
  • Pekan 2: 3-5 Agustus 2019
  • Pekan 3: 14-16 Agustus 2019
  • Pekan 4: 19-21 Agustus 2019
  • Pekan 5: 23-25 Agustus 2019
  • Pekan 6 (Semifinal): 30 Agustus – 1 September 2019

Siapakah 4 tim yang nantinya akan berlaga di babak Playoff? Akankah dominasi EVOS dapat ditumbangkan pada musim ini? Dapatkan para kuda hitam buktikan diri bahwa mereka bukanlah penantang yang bisa diremehkan pada ASL musim ini? Saksikan setiap pertandingan Arena of Valor Star League di kanal YouTube ESL Indonesia ataupun Facebook Fanpage ESL Indonesia.

Disclosure: Hybrid adalah perwakilan Media Relations untuk ESL Indonesia Championship Season 2

Advokasi Sistem Esports Terbuka yang Ditunjukkan oleh ESL Jagoan Series – Free Fire

29 Juli 2019 kemarin menjadi akhir dari perjalanan panjang kualifikasi ESL Jagoan Series – Free Fire menuju babak Grand Final. Dari kompetisi ini, ESL seolah menegaskan posisi mereka dengan lantang dalam advokasi sistem esports yang terbuka.

Namun demikian, sebelum kita masuk ke sana, mari kita lihat detail dari ESL Jagoan Series – Free Fire. Berikut adalah proses kualifikasi ESL Jagoan Series yang dimulai dari pertengahan bulan Juni 2019:

  1. Bandung
    1. 17-18 Juni 2019 (Babak Kualifikasi Bandung)
    2. 19-20 Juni 2019 (Babak Playoff Bandung)
    3. 29 Juni 2019 (Final Kualifikasi Bandung)
  2. Yogyakarta
    1. 1-2 Juli 2019 (Babak Kualifikasi Yogyakarta)
    2. 3-4 Juli 2019 (Babak Playoff Yogyakarta)
    3. 13 Juli 2019 (Final Kualifikasi Yogyakarta)
  3. Jakarta
    1. 22-24 Juli 2019 (Babak Kualifikasi Jakarta)
    2. 25-26 Juli 2019 (Babak Playoff Jakarta)
    3. 28 Juli 2019 (Final Kualifikasi Jakarta)
  4. Kualifikasi Tim Profesional
    1. 29 Juli 2019 (Kualifikasi Tertutup untuk 12 Tim Profesional, peserta Garena Summer League)

Dari 4 fase kualifikasi di atas, 3 tim peringkat tertinggi di masing-masing jalur mendapatkan kursi untuk bertanding kembali di babak Grand Final yang akan digelar tanggal 10 Agustus 2019, di Mall of Indonesia, Jakarta. Karena itulah, ada 12 tim yang siap bertanding untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$20 ribu (atau setara dengan Rp280 juta).

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Istimewanya, selain memperebutkan uang hadiah, sang juara Jagoan Series kali ini akan mendapatkan tiket untuk kembali bertarung di Free Fire Indonesia Master 2019 Grand Final.

Berikut ini adalah daftar 12 peserta yang lolos dari 4 fase kualifikasi tadi:

  1. Star8
  2. SFI Zet Alpha
  3. Bigetron
  4. Swift Frontline
  5. Louvre Indopride
  6. RRQ Fudo
  7. Comeback Esports
  8. Jakarta Army Done
  9. Dragon Navi
  10. Dranix Esports
  11. SES Alfalink
  12. Alter Ego Devil

Ada 2 hal menarik dari proses kualifikasi yang memakan waktu hampir dua bulan tadi. Pertama, kualifikasi di kota Yogyakarta dan Bandung digelar secara tatap muka namun para pesertanya bahkan ada yang datang dari Makassar dan kota-kota lainnya dengan biaya mereka masing-masing.

Kedua, selain 4700 tim peserta yang meramaikan turnamen ini, Jagoan Series juga akan mempertemukan tim-tim amatir melawan tim-tim pro peserta Garena Summer League; lewat fase kualifikasi terakhirnya. Buat yang belum tahu, Garena Summer League adalah liga profesional resmi dari Garena (sebagai publisher Free Fire) yang berisikan tim-tim profesional.

Yang tak kalah penting juga untuk disebutkan, ESL Jagoan Series – Free Fire kali ini dipersembahkan oleh Indofood, Chitato, Good To Go, dan Popmie sebagai Premium Sponsor. Selain itu, ada juga dukungan sponsor dari CBN, Logitech, Matrix, Indomaret, NimoTV, dan Mall of Indonesia yang turut mendukung suksesnya kompetisi ini.

Advokasi Sistem Esports Terbuka

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Buat yang setia membaca Hybrid, Anda mungkin pernah membaca penjelasan panjang kami soal dua sistem esports yang digunakan di dunia saat ini: terbuka dan tertutup.

Untuk penjelasan lebih detail, silakan kunjungi tautan yang saya berikan di paragraf sebelumnya. Namun singkatnya, sistem esports tertutup biasanya berbentuk franchising. Sistem ini disebut tertutup karena memang diperuntukkan bagi tim/organisasi esports yang berani dan mampu investasi terlebih dahulu ke sistem tersebut.

Di Indonesia, sistem ini baru akan dicoba lewat MPL Indonesia Season 4. Namun di luar, sistem ini sudah banyak digunakan di banyak game, misalnya di ekosistem esports League of Legends dan Overwatch. Sistem kompetisi olahraga di Amerika Serikat juga biasanya menggunakan sistem franchising.

Sebaliknya, sistem esports terbuka mengijinkan tim-tim amatir untuk bisa merasakan mewahnya panggung esports selama mereka memang punya ketangkasan dan kecerdikan bertanding. Sistem esports terbuka bisa dilihat dari ekosistem esports Dota 2. Liga sepak bola di Eropa juga, setahu saya, menggunakan sistem terbuka.

Dalam rilis tentang Jagoan Series kali ini, Stefano Adrian, Project Manager Jagoan Series ESL Indonesia memberikan komentarnya, “Dengan Jagoan Series, ESL ingin ikut serta mengembangkan kualitas ekosistem esports di indonesia dan memberikan kesempatan bagi semua orang.

Harapan yang selalu ada di ESL adalah keterbukaan esports untuk semua; tidak hanya tim dan pemain pro yang sudah berpengalaman saja yang bisa menikmati kompetisi dan mendominasi esports dengan hadiah besar di indonesia. Oleh karena itu, Jagoan Series diselenggarakan untuk merangkul komunitas-komunitas kecil dari seluruh penjuru Indonesia dan memberikan mereka pengalaman berkompetisi dengan standar internasional; serta menyuguhkan ruang tanding dan unjuk kemampuan melawan para tim profesional.

Mimpi kami di ESL yang ingin menyediakan perjalanan from zero to hero juga tercapai lewat Jagoan Series kali ini karena ada tim-tim ‘Jagoan’ komunitas yang melaju ke Grand Final dan juga diakuisisi organisasi-organisasi esports besar di Indonesia.”

Seperti yang saya tuliskan tadi, Jagoan Series ini memang mencoba mempertemukan tim-tim amatir dan profesional lewat kualifikasi tertutup untuk tim-tim Garena Summer League dan juga tiket emas ke Free Fire Indonesia Master 2019 Grand Final untuk sang jawara.

Konsep perjalanan from zero to hero juga pernah disampaikan oleh Nick Vanzetti, SVP, Managing Director – ESL Asia Pacific Japan, saat perbincangan saya dengannya; yang bisa Anda lihat videonya di atas.

Di sebuah artikel di PolygonKevin Rosenblatt, ESL Vice President of Product and Content bahkan menegaskan demikian, “Here at ESL, we’re a big proponent of open ecosystems. We’ve built our business on the philosophy of open ecosystems and that’s what we evangelize.

Hal ini menarik dan penting disadari karena ada banyak hal yang bisa kita gali dan pelajari dari ESL, yang memang sudah sejak tahun 2000 membangun ekosistem esports dunia; bahwa ESL Indonesia mencoba menyematkan idealisme mereka lewat ESL Jagoan Series kali ini.

Plus, mengingat ESL Indonesia merupakan kolaborasi bersama Salim Group (dengan Indofood dan saudara-saudaranya), apakah sistem esports yang terbuka untuk semua juga yang coba mereka angkat dari sepak terjang grup konglomerasi ini di ekosistem esports Indonesia?

Sumber: ESL Indonesia
Sumber: ESL Indonesia

Akhirnya, bagi saya pribadi, saya kira Indonesia butuh keduanya (terbuka dan tertutup) untuk mendewasakan ekosistem esports kita yang saat ini mungkin masih sedang lucu-lucunya. Dan, perbedaan antara keduanya juga bisa dilihat bukan sebagai sebuah perdebatan namun sebuah kekayaan keberagaman.

Disclosure: Hybrid adalah perwakilan Media Relations untuk ESL Indonesia Championship Season 2